Categories
Opini

Problematika & Pandangan Islam Terhadap Budaya Antre

Oleh: Agift Akmal Maulana*

Antre ialah sebuah aktivitas menunggu dengan cara berbaris kemudian menunggu giliran. Hal ini telah menjadi budaya dikarenakan aktivitas ini telah benar-benar melekat dalam kehidupan sosial. Bahkan dalam ajaran Islam budaya antre telah dianjurkan. Sebagaimana para ulama telah menetapkan antre ialah “Kullu man sabaqa ila mubah fahuwa ahaqqu bihi”. Antre menjadi suatu aktivitas yang dihukumi mubah, dikarenakan seseorang yang terlebih dahulu datang atau memperoleh kesempatan lebih dahulu pantas mendapat haknya untuk dilayani dahulu.

Namun, manusia ialah makhluk hidup yang sempurna. Dikatakan sempurna karena tak luput dari yang namanya perasaan negatif, berbeda dengan malaikat dan setan yang hanya fokus pada satu sifat saja. Manusia memiliki rasa bosan, hal ini sering terjadi dalam budaya antre. Kerap kali terlihat seseorang menyerobot antrean hingga akhirnya terjadi percekcokan. Hal itu dikarenakan antre mampu melatih sifat kesabaran yang ada manusia.

Masalah yang selalu muncul terkait dengan budaya antre ialah rasa bosan atau sudah tidak sabar lagi. Penyerobotan barisan antrean dapat menjadi tempat yang negatif bagi sekitar kita. Umumnya orang yang diserobot antreannya hanya akan melotot ke arah orang yang menyerobot. Hal ini dapat menimbulkan dengki dan membuat dosa baik bagi kedua orang tersebut.

Rasulullah saw. telah melarang aktivitas menyerobot antrean sebagaimana dalam haditsnya. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Tidak boleh bagi seseorang menyuruh orang lain berdiri atau pindah dari tempat duduknya lalu ia duduk di tempatnya.” (Mutaffaqun ‘alaih).

Oleh karena itu, berdasarkan hadits Rasulullah saw. tersebut, seseorang tidaklah berhak untuk merampas hak orang walaupun dalam hal antre sekalipun. Adapun di negara kita, Indonesia, juga mewajibkan kita untuk patuh dalam mengantre. Dikutip dari jabar.kemenkumham.go.id bahwa setiap manusia wajib patuh terhadap peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal tersebut sebagaimana tertulis dalam peraturan perundang-undangan, Pasal 67 UU RI No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Bunyinya:

“Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Di dalam Islam telah diajarkan untuk selalu antre. Hal tersebut dapat dijumpai dalam berbagai aktivitas Islam. Seperti contoh dalam wudhu, umat Islam selalu diwajibkan untuk tertib dalam wudhu atau sesuai urutan.

Maka dari itu, kita harus senantiasa membudayakan antre. Hal ini selain menghargai hak orang lain juga melatih kesabaran diri sendiri. Apabila orang lain yang menyerobot antrean kita. Maka sebaiknya diberi nasihat atau lebih baik bersabar.

Adapun juga di negeri barat yang memakai antre sebagai media untuk mencari uang atau bisa disebut sebagai jasa antre. Hal ini dibolehkan dalam Islam. Dikarenakan termasuk dalam kategori jual beli. Hal tersebut karena adanya akad serta uang, sekaligus dengan keridhaan dan keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa ayat 29 yang artinya:

“…janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29).

            Adapun mengutip dari republika.co.id bahwa ketua MUI Kudus, M. Syafiq Nashan menjelaskan bahwa tidak haram karena telah disesuaikan dengan akad jual beli.

            Oleh karena itu, budaya antre harus lebih digalakkan lagi terutama berawal dari sendiri. Pandanglah hal tersebut sebagai ajang untuk melatih kesabaran. Karena sesungguhnya Allah SWT. menyukai hamba-hambanya yang sabar. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. surat Al-Baqarah ayat 153 yang berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Surat Al-Baqarah, ayat 153).

*Penulis adalah mahasantri Ponpes Darul Hikam, Mahasiswa FTIK UIN KHAS Jember dan peraih juara 1 lomba artikel Darul Hikam Tahun 2022.

Categories
Opini

Mualaf Jalur Piala Dunia

Oleh : Ainur Rofiqil ‘Ala*

Ajang pertandingan sepak bola terbesar di dunia sudah dimulai, kali ini Negara Timur Tengah berkesempatan menjadi tuan rumah perhelatan sepak bola bergengsi tersebut. Qatar tak tanggung-tanggung menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, sekitar 200 miliar dollar dikeluarkan Qatar demi megahnya Piala Dunia dinegaranya. Bahkan Piala Dunia 2022 Qatar ini menjadi yang termahal dan termegah sepanjang sejarah.

Sebanyak 32 Negara peserta Piala Dunia berkumpul di Qatar, tentu ini sebuah kesempatan bagi Qatar mempromosikan negaranya bahkan menjadikan suatu kesempatan berdakwah Islam kepada dunia. Qatar menunjukkan Islam yang sebenarnya, yang berbeda dengan berita yang disebar luaskan oleh media di eropa. Setiap langkah dan setiap tempat tidak di lewatkan untuk tempat berdakwah agama Islam.

Aturan dalam pergelaran Piala Dunia 2022 Qatar kali ini juga sangat berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Banyak larangan yang mungkin sudah biasa dilakukan oleh orang Eropa. Mulai dari minuman beralkohol, membawa daging babi, berhubungan seks, hingga berpakaian terbuka tak lepas dari larangan yang dilayangkan oleh Pemerintah Qatar untuk Piala Dunia tahun 2022.

FIFA sebagai federasi yang mengatur jalannya suatu acara pertandingan sepak bola terbesar ini tidak bisa berbuat banyak terkait aturan yang dibuat oleh Qatar. Tak sedikit sponsor-sponsor yang biasa kita lihat di Piala Dunia sebelumnya hilang seakan ditelan bumi pada perhelatan sepak bola terbesar tahun ini.

Tidak hanya minuman beralkohol dan berpakaian terbuka di stadion, penolakan terhadap kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang mulai didukung oleh sebagian Negara Eropa menjadi hal yang paling ditekankan oleh Pemerintah Qatar. Penolakan ini tentu bukan tanpa landasan, sebab bagi orang Islam LGBT ini sebuah larangan keras. Bahkan dalam Opening Piala Dunia Qatar 2022 banyak diisi lantunan ayat suci Al Quran, salah satunya QS. Al Hujarat ayat 13  yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki laki-dan perempuan, ini sangat jelas bahwa islam melarang umat manusia berpasangan sesama jenis yang sudah mulai marak di beberapa bagian Negara eropa.

Beberapa mural hadist Nabi juga tak lupa didakwahkan oleh Qatar, dari hadist tentang sedekah, kasih sayang dan lain sebagainya. Ini hal positif yang dilakukan oleh Qatar dalam memperkenalkan agama islam kepada dunia.

Hadist hadist ini ditempatkan di area yang ramai pengunjung, mulai dari stadion, taman hingga hotel. Bahkan disetiap kamar hotelpun tak lepas dari dakwah islam yang dilakukan oleh Qatar dengan disediakannya QR yang didalamnya ada hadist serta penjelasan sederhana tentang keimanan.

Qatar juga mengganti muazin masjid sekitar dengan muazin yang bersuara indah, bahkan jika sudah masuk waktu shalat, seluruh stadion yang dipakai Piala Dunia 2022 ini juga dilantunkan adzan untuk memberi tahu jika sudah masuk waktu shalat.

Tak hanya adzan, disetiap stadion banyak mushala ataupun tempat untuk melaksanakan shalat yang sengaja disiapkan oleh pemerintah Qatar sebagai bentuk prioritas pemerintah kepada umat islam.

Disediakannya tepat wudhu yang tersebar diarea dalam stadion juga mempermudah penonton yang hendak melaksanakan shalat. Ini juga salah satu upaya pemerintah Qatar untuk mengedepankan ibadah daripada hal selain ibadah.

Dakwah Islam yang dilakukan oleh Qatar ini membuahkan hasil, sebanyak kurang lebih 558 orang menjadi mualaf sesaat setelah Opening Piala Dunia 2022 Qatar, ini sebuah kabar gembira bagi umat Islam di dunia.

Tidak hanya sampai disana, sehari setelah pertandingan pertama, 1000 lebih orang bersyahadat berkat dakwah yang ada di Piala Dunia Qatar 2022.  Bahkan tidak menutup kemungkinan akan bertambah menjadi puluhan ribu bahkan ratusan ribu turis yang menjadi mualaf.

Hal yang mungkin baru di daerah Eropa dan Amerika tetapi inilah sebuah upaya daerah timur tengah khususnya Qatar memperkenalkan Islam yang murni kepada dunia yang dikemas dalam acara Piala dunia 2022.

Piala Dunia 2022 menjadi sejarah bagi umat Islam bahkan dunia. Tidak hanya karena kemewahan yang dipersiapkan oleh Qatar, tetapi juga untuk menyiarkan Islam.

Terima kasih Qatar dan semoga para mualaf bisa istiqomah berada dijalan yang benar.

*Penulis adalah Maha Santri Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember

Categories
Opini

Waspada Penyakit Hati di Era Digital

Oleh : Lutvi Hendrawan* 

Alhamdulillah, saya sudah berinfaq  untuk pembangunan masjid hari ini”. Kalimat di atas tak jarang kita temukan dalam status atau story di media sosial. Sehingga potensi penyakit hati seperti riya’ atau ujub terasa sangat mudah untuk dilakukan. Perbuatan seperti itu, seakan-akan sudah menjadi perbuatan yang biasa-biasa saja. Bahkan tak jarang hampir setiap kegiatan religius seseorang upload di berbagai media sosialnya dengan berbagai macam seperti foto, video, atau hanya sekedar tulisan.

Sebagian besar orang juga tidak dapat melepaskan kehidupan sehari-harinya dari media sosial, baik untuk melakukan update status, membaca status orang lain, membagikan berita, maupun motif lainnya. Media sosial telah mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupannya. Dengan hadirnya media sosial telah mendorong orang menunjukkan eksistensi dirinya.

Pada dasarnya, keberagamaan seseorang ditunjukkan dalam dua hubungan, yaitu hubungan seseorang sebagai manusia dengan manusia yang lain dan hubungannya dengan Allah SWT. Hubungan manusia dengan Sang Khaliq atau Sang Pencipta sebenarnya merupakan hubungan yang sangat pribadi yang tidak seharusnya atau tidak lazim jika kemudian ditunjukkan atau dipamerkan kepada publik, dalam hal ini menggunakan media sosial.

Namun, kenyataannya di era digital ini media sosial telah menjadi sarana seseorang untuk menunjukkan perilakunya dalam beribadah yang cenderung menuju riya’. Oleh karena itu tak heran pada era digital ini, setiap orang mempunyai rasa bangga terhadap pencapaian dan perbuatan ibadah yang semestinya menjadi rahasia sendiri, akan tetapi sering diumbar, terkadang seseorang juga lupa, mana yang penting untuk disebarkan dan yang mana hanya untuk dijadikan dokumen pribadinya.

Rasulullah SAW bersabda artinya: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: apakah syirik paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya! Allah berfirman pada hari kiamat, ketika memberikan pahala terhadap manusia sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: “Pergilah kamu sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amalmu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu” (HR. Ahmad).

Hadist di atas menerangkan bahwasannya kebiasaan riya’ (Pamer) bukanlah hal sepele bahkan dikatakan perbuatan tersebut merupakan bagian dari syirik kecil. Maka dari itulah perlu kehati-hatian dalam meng-upload segala kegiatan yang berkaitan dengan ibadah. Karena dikhawatirkan hal tersebut dikategorikan sebagai riya’ (Pamer).

Di dalam Kitab Tafsir Al-Misbah, Prof. M Quraish Syihab, mengatakan riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit, bahkan mustahil dapat dikenal orang lain. Bahkan yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Apalagi jika dia sedang dipengaruhi dengan kesibukannya sendiri.  

Akan tetapi pada dasarnya kita tidak dapat memutuskan perbuatan tersebut sebagai suatu keburukan. Namun, yang dikhawatirkan adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang, ketika berbuat mengumbar ibadahnya dengan tujuan agar membuat kagum dan mendapat pujian dari orang lain. Seperti contoh, pada awalnya kita ikhlas melaksanakan ibadah akan tetapi setelah dipublikasikan atau diupdate status mendapat banyak like dan komen sehingga membuat kita besar kepala. Akan tetapi sebaliknya, ketika update status tidak mendapat respon yang baik malah mendapat hinaan, kita menjadi jengkel dan marah. Pada  posisi itulah terkadang niat kita gampang digerogoti dengan sifat riya’.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada para umatnya agar senantiasa menebar kebaikan meski itu hanya satu ayat atau satu kalimat, Rasulullah SAW bersabda artinya: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan dalam Islam, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala mereka.” (HR Muslim)

Pada hakikatnya media sosial memiliki sisi negatif dan positifnya masing-masing. Namun bagaimana cara memanfaatkan media sosial kembali lagi kepada para penggunanya. Terlepas dari bagaimana hukum seseorang memamerkan ibadahnya di dalam dunia sosial, tidaklah bisa kita simpulkan. Hal ini harus ditanyakan kembali pada masing-masing individu penggunanya.

Namun, ketika seseorang mempublikasikan ibadah lewat media sosial agar menjadi motivasi bagi orang lain, itu merupakan hal terpuji, dan hal ini harus sesuai dengan koridor yang disyariatkan. Karena perbedaan antara “memotivasi orang lain” dengan “ingin mendapat pujian” sangatlah tipis. Meskipun pada akhirnya mendapat sanjungan dari orang lain, di hatinya sangatlah mungkin terselip ingin dilihat atau didengar oleh orang lain. Dan dia akan mendapatkan kebaikan dari orang yang telah termotivasi untuk melakukan kebaikan.

Sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi “Segala sesuai tergantung maqasid (tujuan)nya”  berarti seluruh yang dilakukan oleh manusia bergantung pada niat dan maksudnya, dan tempatnya niat ialah dalam hati, akan tetapi apakah kita dapat mengetahui niat yang terbesit di dalam hati manusia? Waallhua’lam Bi As-Sawab.

*Penulis adalah Maha Santri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 3 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember. 

Categories
Opini

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Bukan Solusi Penyelesaian Masalah dalam Berkeluarga

Oleh : Lutvi Hendrawan*

Rumah tangga seperti sebuah bahtera dalam kehidupan, didalam mengarungi perjalanan berumah tangga pasti akan merasakan bahagia, sedih, dan senang. Rumah tangga berawal dari sebuah perkawinan, antara suami dan istri mengikatkan diri dalam akad suci perkawinan. Setelah terjadi perkwinan maka antara suami dan istri saling mempunyai hak dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas dan fungsi didalam keluarga, sehingga tujuan dari terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah tercapai.

Dibalik pemilihan judul artikel diatas, penulis bukan tanpa alasan tetapi penulis sangat tertarik dengan permasalahan didalam keluarga, seperti Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Penulis yakin bahwa didalam mengarungi rumahtangga suami istri pasti pernah mengalami yang namanya pertengkaran didalam keluarga, namun apakah disetiap pertengkaran itu disebut kekerasan, kriteria apa yang bisa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana dampak yang terjadi dari kekerasan dalam rumah tangga, sangat menarik untuk dibahas.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan  atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga.

Kasus KDRT yang baru  saja terjadi menimpa Lesti Kejora yang mendapat kekerasan dalam dari suaminya Riski Bilar. Setelah terjadi kekarasan Lesty melaporkan kejadian kepada kepolisian, sehingga suami diperiksa, Rizki Bilar terancam mendapat hukuman 5 tahun penjara dan denda 15 juta rupiah. Hukuman ini berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Karena Lesty mencabut tuntutan kepada kepolisian maka Kepolisian membebaskan Riski Bilar.

Klasifikasi yang bisa disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi, Pertama, Kekerasan Fisik Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, katuh sakit, atau luka berat. Kedua, Perbuatan yang membuat ketakutan, rasa tidak berdaya, rasa percaya diri atau kemapuan untuk bertindak, atau penderitaan psikis pada seseorang. Ketiga, Perbuatan yang berupa pemkasaan hubungan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, pemaksaan hungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemkasaan hubungan seksual terhadap orang lain untuk tujuan komersial atau tujua tertentu. Keempat, Perbuatan menelantarkan orang dalam rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku atau karena persetujuan/perjanjian, ia wajib memenuhi kebutuhan hidup orang tersebut.

Data mengenai kasus KDRT dilansir dari Komnas Perempuan 8 Maret 2022, CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.

Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 22.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020). Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80% dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Sebaliknya, data dari lembaga layanan menurun 15%, terutama disebabkan sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi selama pandemi Covid-19, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya.

Sebenarnya Islam tidak mengenal Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun bagaimana jika kekerasan itu dilakukan dalam rangka untuk mendidik/memberikan pengajaran sebagaimana yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan dilindungi peraturan perundang-undangan, seperti suami dibolehkan memukul istri yan nusyuz.Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang menganut prisnsip kesetaraan partnersip (kerjasama) dan keadilan. Tujuan perkawinan adalah tercapainya keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Oleh karena itu, segala perbuatan yang mengakibatkan timbulnya mafsadat yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan kepada perbuatan melawan hukun. Islam mengajarkan mendidik dengan moral dan etika dan dibenarkan syar’i.

Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34 menjelaskan “Laki-laki (suami) itu adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dam karena (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka ditempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.

Pemahaman yang salah pada lafadz “Wadribuhunna/pukullah” menjadi penyebab atau dasar suami melakukan kekarasan kepada sang istri. Sebenarnya dalam memaknai lafadz tersebut membutuhkan tafsir sehingga tidak meyebabkan kerancuan. Dalam Kitab Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna memukul, kebolehan memukul dengan pukulan yang tidak melukai. Menurut Al-Hasan AL-Basri, yang dimaksud dengan memukul, ialah pukulan yang tidak membekas. Menurut Ulama Fiqih, yang dimaksud dengan memukul ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikitpun. Dari sini sudah diketahui bahwa Islam tidak membolehkan atau mengajarkan untuk melakukan kekerasan kepada istri dengan memukul atau sejenisnya.

Pemahaman mengenai kepala keluarga bukan lagi suami mempunyai hak dan wewenang menyuruh atau memberlakukan istri dengan semena-mena, karena seiring dengan berjalannya waktu perubahan merubah hukum karena sudah dengan kenyataan. Jika dulu seorang istri hanya dirumah mengatur keluarga, namun pada saat sekarang istri terkadang membantu suami dalam mencari nafkah, oleh karena itu pemahaman dalam keluarga perlu pemaknaaan yang baru sehingga Hukum Keluarga mengikuti perubahan waktu dan kondisi.

Pandangan dari penulis kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena antarasuami atau istri timbul rasa keegoisan yang tinggi, tidak mau saling memahami, ketika suami marah atau menasehati istri, istri memberikan bantahan-bantahan sehingga muncul emosi yang meluap-luap yang menyebabkan timbul perbuatan melukai kepada istri. Atau sebaliknya, jika sang suami salah maka harus mengakui kesalahan dan meminta maaf bukan mencari kebenaran dalam kesalahan.

Bercermin dari Kisah Khalifah Umar Bin Khattab R.A yang tidak murka saat dimarahi istrinya. Kisah ini ditulis dalam Kitab Tanbih al-Ghafilin Karya Abu Lais as-Samarkandi dan Kitab U’qud al-Lujain karya Syekh Nawawin al-Bantani, seorang ulama asli Banten yang lama bermukim di Makkah al-Mukarramah. Diceritakan pada saat itu ada sahabat yang mau bertemu dengan beliau ingin mengadukan dan mau menceraikan istrinya, namun terlebih dahulu konsultasi kepada kepada Khalifah.

Maka bergegaslah sahabat Rasulullah itu ke rumah Umar. Namun tiba di depan rumah sang khalifah, dia urung mengetuk pintu. Sebab dari dalam terdengar suara keras sang istri Umar yang sedang marah. Umar dimarahi istrinya. Tak terdengar sama sekali suara Umar membantah atau melawan sang istri. Padahal nada marah istri Umar sangat tinggi. Tak jado mengetuk pintu Umar, sang sahabat tadi pun berniat meninggalkan rumah Umar dia bergumam, “Kalau khalifah saja seperti itu, bagaimana dengan diriku”.

Alasan kenapa Umar diam saja ketika dimarahi istri adalah karena seorang istri sudah bekerja memasak, mencuci baju dan mengasuh anak-anak. Penulis sangat tidak setuju dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, belajar dari kisah Lesty, Bilar dan Khalifah Umar. Permaslahan yang ada dalam keluarga harusnya diselesaikan dengan cara yang baik, komunikasi yang baik antar suami istri, tentunya masing-masing suami istri tidak mengedepankan keegoisannya dalam bersikapdan bertindak.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah pelindung terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan dalam islam sendiri tidak membenarkan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

*Penulis adalah Maha Santri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Categories
Opini

Dahsyatnya Bersyukur Agar Hati Tak Selalu Kufur

Oleh :

Apriliyatus Sholichah*

Sering kita temui manusia yang belum bisa merasakan nikmatnya untuk bersyukur. Akibatnya hati tertanam untuk slalu kufur akan nikmat yang di berikan oleh allah SWT. Masih merasa kurang cukup, sedikit, bahkan tak dianggap akan nikmat allah SWT berikan kepada manusia. Hal seperti itu, menunjukkan bahwa manusia belum bisa menikmati dahsyatnya untuk terus bersyukur dan hatinya masih tertanam nikmat untuk slalu kufur. Mengapa hal seperti ini sering terjadi?

Setiap insan dimuka bumi ini, pasti didalam kehidupannya pernah merasakan suka duka sepanjang hidupnya. Begitupun dengan sebaliknya tak ada insan yang terus merasakan sukanya karena pasti suatu saat nanti duka akan menyapanya. Ketika duka itu menyapa seorang insan akan muncul rasa kurang bersyukur,  malah menganggap rasa syukur itu terkubur dan timbullah hati menjadi kufur. Begitulah kehidupan di dunia ini, kesengsaraan dapat berganti dengan kebahagiaan dan kebahagian dapat berganti dengan kesedihan.

Sebagai insan yang memiliki iman tinggi mampu menompang segalah suka dukanya dengan rasa bersyukur bukan hati yang kufur, agar dahsyatnya bersyukur bisa hadir dalam kehidupan seorang insane, terutama seorang santri yang dididik untuk hidup mandiri dengan dibekali tholabul ilmi, dibimbing langsung oleh pak yai dan bunyai setiap hari.

Belajar dari kemandiriaannya yang rela untuk jauh dari orang tua demi sebuah tholabul ilmi dan menciptakan rangsangan untuk salalu bersyukur, supaya hati tak slalu kufur. Dalam konteks inilah tak hanya seorang yang didik, terdidik dan mendidik mampu meraih manisnya rasa syukur, melainkan semua insane yang ada di bumi pertiwi ini. Semua yang terjadi dialam fana ini pasti akan membawakan hal positif maupun negative dan pastinya memiliki pelajaran  berharga dalam kehidupan fatamorgana yang dapat berubah secara silih berganti.

Jiwa yang kaya akan rasa syukur inilah raja yang sebenarnya. Seorang raja tak lagi membutuhkan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian seorang raja juga pandai dalam bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.  Merasa cukup dan puas dengan semua nikmat dari-Nya, sehingga mata, wajah, dan hatinya tidak pernah menoleh kepada sesuatu yang bukan hak dan miliknya. Seperti hadist dari sahabat nabi SAW yang menyatakan bahwa “bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sebenarnya adalah yang kaya akan jiwanya.”

Secara global manusia mampu menjalankan kewajiban untuk terus mensyukuri semua atas kenikmatan-Nya dengan berhati-hati jangan sampai  mengufuri-Nya. mempraktikkan rasa syukur didalam kesehariannya manusia bisa menjadi insane yang dapat terhindar dari rasa kufur terhadap apapun yang bukan hak miliknya.

Kenikmatan yang diberikan oleh allah swt terhadap manusia merupakan kenikmatan yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya, oleh karena itu manusia sebagai insane yang diberikan banyak kenikmatan seharusnya mampu meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan cara menikmati dahsyatnya bersyukur agar hati tak slalu kufur. Maka dari itu Bersyukur tidak semata-mata mengucapkan kata manis dibibir saja, tetapi bersyukur adalah ungkapan yang nyata dalam hati yang ikhlas.

Hidup menjadi indah, nyaman, tentram, dan bahagia. Apabila manusia mampu bersyukur dengan hati yang ikhlas, karena Tak ada alasan bagi manusia untuk mengisi kehidupannya dengan berkeluh kesah dan putus asa. Maka dari itu gunakan waktumu untuk terus bersyukur agar terhindar dari hati yang kufur dan menjadi manusia yang unggul.

* Penulis adalah MahaSantri Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan Mahasiswi Hukum Pidana Islam (HPI) Fakultas Syariah UIN KHAS Jember

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Kiai M. Noor Harisudin: Negara Tidak Berlakukan Hukum Salah Satu Agama 

Rabu 16/09 Fakultas Syariah IAIN Kudus mempersembahkan Seminar Nasional Online bertajuk “Dinamika Hukum Islam di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Acara berlangsung dari pukul 09.00-12.00 WIB yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai penjuru kota di Indonesia.

Narasumber pada acara tersebut, Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Guru Besar IAIN Jember, Dr. H. Mundakir, M. Ag., selaku rektor IAIN Kudus, dan Narasumber terakhir, Dr. H. Amran Suadi, SH, M.Hum., selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Acara tersebut dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan ke acara inti yakni Seminar Nasional yang dimoderatori oleh Dr. Any Ismayawati, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

Sesuai dengan tema, jika berbicara mengenai dinamika hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa hal yang wajib yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah mengenai posisi hukum Islam itu sendiri, dalam arti syariah (fiqh). Kemudian posisi kedua adalah kita hidup di Indonesia. Di Indonesia Islam punya kekhususan tersendiri, punya khittah tersendiri yakni ”sulhu Hudaibiyah” atau biasa disebut dengan perjanjian damai Hudaibiyah antara umat Islam dengan kafir di masa Nabi Muhammad. Artinya, Indonesia bukanlah negara Islam, bukan negara khilafah, yang bukan berazazkan hukum Islam tertentu, tapi inilah negara yang disebut dengan “darul ahdi”, atau “darul mitsaq”, yaitu  negara konsensus yang bersama-sama membangun bangsa, di mana Pancasila menjadi dasarnya dan  yang penting adalah umat Islam bisa menjalankan syariat agamanya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Jadi, tidak bisa jika semua hukum Islam dari luar negeri diambil dan diterapkan di Indonesia.

“Karena itu saya sepakat dengan Prof. Mahfud yang mengatakan bahwa negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Berbicara mengenai skema hukum Islam, hukum Islam ternyata dibagi menjadi dua bagian, yakni ibadah mahdlah dan Non-ibadah mahdlah. Yang termasuk dalam ibadah mahdlah adalah sholat, puasa, haji. Sedangkan Non-ibadah mahdlah adalah muamalah, ahwalus syakhsiyah, jinayah, siyasah, dan Qadla atau penyelesaian pengadilan.

Lain halnya dengan skema hukum Islam dan perubahan sosial, dimulai dari fakta-fakta, konsep, ‘illat hukum dan diktum hukum/fatwa. Jadi, jika ada fakta-fakta yang berubah maka nanti hukum di atasnya juga akan berubah. Misalnya saja Nahdlatul Ulama (NU) dulu pada tahun 30-an pernah menetapkan bahwa sunnah hukumnya menyalakan petasan di malam ramadhan sebagai juga bentuk syiar yang dianjurkan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 1999 hukum itu menjadi berubah status yakni “haram” karena menimbulkan mudharat yang besar yakni dapat membuat seseorang terluka dengan petasan yang ukurannya besar. Dari sini dapat diketahui bahwa ada hukum Islam yang berubah dan ada hukum Islam yang tidak berubah.

Perubahan-perubahan dalam hukum Islam tadi, dapat diperoleh dengan cara ijtihad. Ijtihad adalah metode agar hukum Islam dapat selalu hidup dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seseorang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Ijtihad yang sesuai untuk zaman saat ini adalah ijtihad jama’I,  yakni ijtihad yang disepakati oleh mujtahid dalam satu masalah. Ijtihad ini juga berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bentuk dinamika  hukum Islam  dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya dari kelembagaan, Rechtvinding dalam putusan Hakim pengadilan agama, regulasi dan Undang-Undang, perdebatan wacana pemikiran pembaharuan Hukum Islam, penelitian dan kajian hukum Islam yang selalu update.

“Untuk menjadi tokoh penegak hukum yang baik, harus ditata dulu akidahnya. Karena jika akidahnya baik, maka ibadah dan akhlaqnya juga akan baik,” ujar Dr. H. Mundakir, M. Ag., saat ini menjabat sebagai rektor di IAIN Kudus. Karena sesungguhnya saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana orang-orang yang taat hukum bisa menjalani syariat dengan baik. Maka insyaalah akan lahir orang-orang islam  yang teguh menjalankan hukum sesuai syariat Islam.

Dialektika hukum Islam diwujudkan dalam dua hal; living laws dan positif laws. Living laws adalah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat, diajarkan di perguruan tinggi, pesantren, juga madrasah dan didiskusikan oleh lembaga ijtihad masing-masing organisasi masyarakat. Sedangkan   positif laws adalah hukum Islam yang telah ditetapkan menjadi hukum positif di Indonesia. Misalnya kompilasi hukum Islam, kompilasi hukum ekonomi syariah, dan lain-lain. Bentuk lain positif laws dapat dilihat dari undang-undang yang sesuai dengan Maqashidus Syariah. Misalnya undang-undang lalu lintas, undang-undang pemilu, dan sebagainya.

Jadi, bisa saja keputusan antara organisasi masyarakat satu dengan organisasi masyarakat lain bisa saling berbeda. Misalnya saja kemarin saat bulan Ramadan, untuk pelaksanaan salat Id bisa tidak bersamaan. Jadi jangan heran dengan perbedaan pendapat. Contoh lain jika ada perbedaan madzab yang dianut seseorang. Demikian tidak bersifat mengikat.

Terdapat empat faktor penyebab dinamika hukum Islam, yakni bergantungnya bandul politik hukum penguasa, pergerakan pembaharu dan pemikirannya di Indonesia, berdirinya lembaga-lembaga baru, dan perubahan sosial yang demikian cepat.

Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat ketika pengadilan agama mempunyai kewenangan yang lebih luas, yang semula hanya mewakili permasalahan cerai, kemudian sudah mulai meluas ke masalah wakaf, waris, bisnis syariah, dan sudah sangat luas.

“Gambaran dinamika hukum Islam di Indonesia sudah semakin membaik, tinggal bagaimana para alumni PTKIN membuat perkembangan dirinya,” pungkas Dr. H. Amran Suadi selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Karena sasaran sangat banyak sekali bagi alumni Fakultas Syariah, hakim dilingkungan peradilan agama  sekarang masih terbatas. ini dapat menjadi peluang emas bagi mahasiswa hukum Fakultas Syariah.

“Saya harap kita semua bisa menjadi pionir untuk membumikan hukum Islam, permasalahan hidup selalu ada dan tidak bisa kita abaikan, dan hukum yang adil itu ketika memang sesuai  norma-norma kehidupan,” ungkap Dr. Any yang juga sebagai Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

“Closing statement dari saya, ingatlah bahwa tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau belajar. Tetap semangat untuk adik-adik Fakultas Syariah,” ujar Prof. Kiai Haris yang juga pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember dan Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : Moh. Abd. Rauf

Categories
Opini

Santri Milenial dalam Peradaban Berbasis Jaringan

Oleh: M. Noor Harisudin

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember

Guru Besar IAIN Jember 

Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan, tiba-tiba terjadi. Apa yang tidak direncanakan manusia tiba-tiba menjadi sebuah kenyataan kehidupan. Pandemi Virus Corona telah merubah segalanya. Covid-19 yang juga ciptaan Tuhan adalah peluncur keberadaan perubahan itu sendiri. Dalam Kitab Hikam, Ibnu Athailah mengatakan: “al-ghafilu idza ashbaha yandluru madza yafalu.  Wal aaqilu yandluru ma yafalu allahu bihi. Orang lalai memulai harinya dengan memikirkan apa yang harus dia kerjakan. Sementara, orang berakal merenungkan apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya. 

Orang cerdas selalu berpikir apa yang Allah lakukan hari ini sembari menyiapkan berbagai penyesuaian dengan realitas ciptaan-Nya. Dalam konteks inilah, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan kita akan adanya apa yang saya sebut dengan a Networked Civilization (Peradaban berbasis jaringan). Sebagai santri, kita harus secepat kilat melakukan penyesuaikan dengan peradaban baru jenis ini. Lalu apa yang disebut dengan a Networked Civilization? Apa pula tanda-tandanya ?

Peradaban berbasis jaringan ditandai dengan membanjirnya cloud, zoom, google meet,teamlink, instagram dan sebagainya dalam satu dasawarsa terakhir, namun kian masih dalam tiga bulan terakhir saat pandemi Covid-19. Sebuah peradaban yang tak lagi dibatasi negara, agama, maupun lainnya, namun justru dibatasi alasan klise: kuota dan dan sinyal internet. Selama Ramadlan, pembelajaran online juga ramai-ramai digalakkan berbagai lembaga pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tak terkecuali pesantren.

Lalu, apa yang dilakukan santri milenial di era Perabadan berbasis Jaringan tersebut? Saya kira, keinginan menjadi youtuber hanya satu dari varian apa yang dapat dilakukan santri. Ada hal penting lagi yang harus dilakukan oleh santri milenial, yaitu melakukan transformasi kesantrian dalam kehidupan publik medsos.

Transformasi nilai-nilai kesantrian menjadi prioritas utama dalam peradaban berbasis jaringan. Nilai-nilai kesantrian seperti kemandirian, kesederhanaan, kerendah-hatian, etos keilmuan, kecintaan terhadap tanah air dan sebagainya harus menjelma menjadi nilai yang membumi dalam peradaban berbasis jaringan ini. Spritualisasi dalam nilai-nilai santri harus masuk dibumikan membentuk kesalehan sosial yang juga berbasis digital tersebut.

Pada sisi lain, dalam konteks keindonesiaan, santri juga harus terlibat gerakan anti-hoak di negeri ini. Agama mengajarkan untuk bersikap jujur dalam kehidupan. Sebaliknya, melarang keras berdusta dan apalagi jika kebohongan dilakukan secara massal. Hoak ini yang meresahkan berbagai kalangan. Apalagi hoak-hoak yang bernuansa agama, hemat saya, santri milenial harus berada di garda terdepan. Sikap diam santri terhadap hoak sama halnya setuju dengan kehidupan yang berbalut hoak.  

Dalam konteks itu, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh santri milenial, sebagaimana berikut:

Pertama, santri milenial mesti melek teknologi. Bukan hanya sebagai konsumen, santri milenial harus juga belajar menjadi produsen. Oleh karenanya, jika ditarik lebih jauh, santri milenial tidak hanya paham bagaimana bisnis start up, namun mereka juga membuat secara kreatif bisnis start up tidak kalah dengan kalangan lainnya.

Kedua, mengetahui seluk beluk Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE). Undang-undang ITE ini sangat penting untuk mengetahui rambu-rambu, apa yang boleh dan tidak boleh dalam dunia digital. Demikian juga, sangsi apa yang akan diperoleh jika melanggar aturan main dalam dunia online. Banyak kasus dimana kebebasan berespkresi bertabrakan dengan hak orang lain yang juga dijamin dalam Undang-undang ini.Saya sekedar menyebut contoh satu pasal penting. Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Meski oleh sebagian kalangan dianggap pasal karet, pasal ini sejatinya memberikan efek jera pada orang yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Ketiga, memperkuat jaringan nasional dan internasional. Peradaban berbasis jaringan menjadikan santri milenial harus melebarkan sayap jejaring ke dunia internasional. Jaringan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU se-dunia hemat saya dapat menjadi batu loncatan untuk membangin jaringan tersebut. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga telah melakukan jejaring kuat dengan berbagai kalangan internasional yang perlu disinergikan.

Keempat, menguatkan penyebaran Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Juga, Islam yang rahmat, bukan yang menjadi laknat’. Santri harus memiliki pengetahuan standar yang diramu dengan multidisiplin ilmu yang lain untuk mendesiminasikan Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Islam yang rahmatan lil alamin ini lalu disebar dengan bahasa popular yang mudah diserap oleh berbagai kalangan.Bahasa bahtsul masail harus diterjemahkan menjadi bahasa yang mudah diserap orang awam.

Kelima, menguatkan kemahiran dalam literasi jurnalistik. Santri milenial harus memiliki kemampuan dasar jurnalistik untuk menguatkan peradaban berbasis jaringan. Jika dulu menulis di Koran orang bisa antri lama atau bahkan ditolak, kini peradaban berbasis jaringan mempermudah mempublish tulisan berbagai kalangan dalam hitungan menit dengan kemudahan misalnya membuat website yang free maupun berbayar. 

Namun, untuk mencapai apa yang saya sampaikan diatas, santri milenial at least harus memiliki dua nilai keunggulan. Nilai ini selanjutnya diinternalisasi dalam dirinya menjadi bagian dirinya. Dua nilai ini adalah :

Pertama, self-development atau selalu mengembangkan diri. Belajar dan belajar di waktu kapa dan tempat mana pun. Juga belajar tentang apa saja yang membuat orang semakin profesional. Self-development menolak orang menjadi statis dan jumud serta membanggakan dengan kemampuan dirinya saat ini, sebaliknya mendorong orang untuk berkembang dalam koridor life long education. (Minal ahdi ilal lahdi) 

Kedua, innovation. Selalu melakukan inovasi sebagai lanjutan dari self-development. Bahasa pesantrennya, innovation adalah kerja-kerja ijtihad, untuk manfaat kemanusiaan. Ijtihad demi ijtihad harus dilakukan untuk melakukan percepatan kemajuan dalam peradaban ini.

Dua nilai ini yang membuat santri, seperti apa yang disebut kitab Hikam: kaifa laka alawaa’idu waanta lam tukhriq min nafsika al-‘awaa’ida. Bagaimana mungkin kau menjadi luar biasa sementara yang kau lakukan hal yang biasa. Santri milenial yang luar biasa adalah santri up date: up date terhadap self development dan innovation. Tanpa up date kedua nilai utama ini, saya kira, santri akan ditinggal oleh zaman now.

Wallahualam

*Tulisan disampaikan dalam acara “Reaktualisasi Nikai Kesantrian pada Generasi Milenial” yang diselenggarakan Madrasah Virtual dan Telkom Jawa Timur, Rabu, 10 Juli 2020

Categories
Opini

Tarawih di Rumah Adalah Perintah Agama 

Oleh: 

M. Noor Harisudin

Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember dan Guru Besar IAIN Jember

Kala pandemi covid-19, umat Islam di Indonesia dianjurkan untuk tidak melakukan tarawih di masjid. Demikian ini untuk memutus persebaran virus covid-19 yang semakin mengganas. Diprediksi, virus ini akan menyebar puncak pada bulan Mei 2020, tepat dimana Bulan Ramadlan tiba. Wakil Presiden RI, KH. Maruf Amin meminta masyarakat untuk melakukan sholat tarawih, tadarus dan sholat berjamaah di rumah. Bahkan, tarawih di daerah yang zona merah, lanjut Ketua Umum MUI non-aktif ini, tidak boleh dilakukan di masjid secara berjamaah. (Republika, 17/4/2020). 

Sebagian kalangan memandang bahwa instruksi pemerintah dan sejumlah ormas untuk melaksanakan tarawih di rumah merupakan upaya menjauhkan umat dari masjid. Dalam konteks ini, pemerintah dan ormas dipandang hanya akan menjauhkan umat dari masjid saja. Karena itu, sebagian takmir masjid memilih untuk menolak instruksi pemerintah. Bahkan, sebagian ‘bandel’ dengan mengatakan bahwa mati hidup sudah merupakan ketentuan dan takdir Allah Swt.

Lebih dari itu, sebagian kalangan ini justru memandang instruksi Menteri Agama RI dan Ormas merupakan bentuk ketidakpatuhan pada Allah Swt. Dalam logika mereka, ketaatan hanya berlaku bagi orang yang melakukan sholat tarawih di masjid dalam keadaan apapun juga, meski nyawa mengancam manusia. Pandangan ‘pendek’ sebagian kalangan ini dapat dimaklumi karena mereka memandang keberlakukan keabadiaan hukum syariat Allah Swt dalam tanpa kecuali; dalam keadaaan apapun dan tempat apapun juga. Padahal, dalam hukum Islam fiqh berlaku kaidah al-hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa adaman.  Hukum itu bergantung pada ada tidaknya illat hukum.

Dalam hemat penulis, dalam keadaan darurat covid-19, perintah melaksanakan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah agama. Ada beberapa argumentasi mengapa melakukan sholat tarawih di rumah dalam keadaan ini disebut perintah agama sebagaimana berikut:

Pertama, hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunah muakad yang sunah hukumnya dilakukan secara berjamaah. Karena itu, kita melihat di Indonesia pada umumnya,  shalat tarawih dilakukan di masjid setelah melakukan sholat Isya. Sholat tarawih jelas berbeda dengan melakukan sholat Jumat yang hukumnya wajib.

Kedua, melakukan shalat tarawih di rumah merupakan rukhsah (dispensasi) karena udzur syari berupa virus pandemi yang persebarannya melalui manusia. Dalam terma Ushul Fiqh, dikenal dua keadaan hukum: keadaan normal dimana berlaku hukum azimah dan keadaan darurat yang berlaku hukum rukhsah. Jika hukum azimah disebut juga dengan hukum asal, maka hukum keringanan disebut dengan hukum rukhsah. Hukum asal memakan bangkai adalah haram, namun dalam keadaan darurat misalnya tidak ada makanan lain dan kalau tidak memakan seseorang akan mati, hukum memakan bangkai adalah halal. Haramnya memakan bangkai dalam situasi normal adalah azimah, sementara, halalnya makan bangkai ketika keadaan darurat adalah hukum rukhsah.

Ketiga, dalam al-Quran dikatakan: wala tulqu biadiikum ilt tahlukati. (al-Baqarah: 195). Janganlah kau jatuhkan dirimu ke dalam kerusakan. Dalam kondisi pandemi dimana jumlah jamaah di masjid sulit dibatasi, maka menghadiri jamaah masjid bisa menuju pada tahlukah. Dalam gramatikal Arab, tahlukah berarti kerusakan atau kebinasaan. Seorang muslim diwajibkan untuk menjauhkan diri dari kerusakan dan kebinasaan.

Keempat, hadits Nabi la dlarara wala dlirara. (HR Imam Ahmad dan at-Tahbrani). Tidak boleh ada madlarat pada diri dan madlarat pada orang lain. Prinsip tidak tertular dan tidak menulari pada orang lain saat covid-19 selaras dengan hadits la dlarara wala dlirara, meskipun hanya berupa  dugaan kuat. Hadits ini lebih relevan lagi dengan keadaan beberapa kota yang sudah dinyatakan zona merah dan pemerintah dengan keras melarang perkumpulan yang diduga menjadi media persebaran virus Covid-19.

Kelima, dalam kaidah Fiqh dikatakan: darul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih. Menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada menggapai kemaslahatan. Seperti yang telah disebut, berkumpulnya banyak orang di masjid dalam situasi pandemi diduga menjadi mafsadah (kerusakan). Dalam konteks ini, memperhatikan menghindar mafsadah itu lebih diutamakan daripada menggapai maslahah dengan melakukan tarawih di masjid. 

Keenam, memelihara jiwa, dalam pandangan ulama, lebih diutamakan daripada memelihara agama. Menghindari sholat tarawih berjamaah di masjid adalah bagian daripada memelihara jiwa, sementara melaksanakan tarawih adalah bentuk kemaslahatan yang mestinya dinomorduakan karena harus dengan mengutamakan jiwa atau nyawa manusia. Ini selaras dengan prinsip dalam ilmu hukum. “Salus Populi Suprema lex esto.” Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Ketujuh, taat pada ulil amri sejatinya juga taat pada Tuhan, selama tidak memerintahkan maksiat. Perintah Ulil Amri dalam hal ini pemerintah–untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, social distance, memakai masker, cuci tangan adalah perintah yang mengandung kemaslahatan yang harus ditaati oleh rakyatnya.

Dalam konteks taat pada Ulil Amri ini, Syeikh Nawawi Banten, ulama besar Nusantara yang tinggal di Mekah abad 19, mengatakan: Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sudah wajib, maka hukumnya menjadi wajib muakad. Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sunah maka hukumnya menjadi wajib. Jika pemerintah mewajibkan yang mubah jika mengandung kemaslahatan umum seperti meninggalkan merokok, maka hukumnya menjadi wajib juga. (Nihayatuz Zein: I, 112 ).

Walhasil, dalam keadaan darurat pandemic covis-19, perintah untuk melakukan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah Tuhan. Perintah sholat tarawih di rumah, karena itu, juga merupakan ketaatan dan kepatuhan kita pada Allah Swt.

Wallahualam.**

Categories
Opini

COVID-19  dan Ke-Mahakuasa-an  Tuhan

Oleh: M. Noor Harisudin*

Pagi itu, ketua sebuah majlis pengajian di Jember bersilaturrahmi ke pondok pesantren kami di Mangli Kaliwates Jember. Padahal, saya sudah bersiap ke luar rumah dengan keluarga. Saya pun akhirnya harus menunggu sejenak. Saya turun dari mobil dan menyalaminya masuk ke rumah.

Mohon maaf, mengganggu“, ungkapnya melihat saya dan istri bersiap pergi. 

Saya mulai menerka hal ihwal tema yang mau dibicarakan denganya. Terutama dengan virus Corona  yang sedang menjadi bencana dunia, termasuk di negara kita tercinta, Indonesia. 

Saya minta maaf. Pengajian yang sedianya akhir Maret 2020 ini ditunda bulan Juni 2020. Karena  menghindari kumpulan banyak orang, sebagaimana anjuran pemerintah“, pinta ustadz ini pada saya. Saya pun mengangguk setuju.

Saya maklum saja. Beberapa hari ini, berita di medsos, media cetak maupun media elektronik semuanya memberitakan Covid-19 atau Virus Corona Disease. Artinya, saya setuju dengan penundaan ini. Beberapa pengajian di Masjid Agung dan Masjid Besar di kota kami sementara juga sudah saya stop. Jadwal keluar kota: Surabaya, Jakarta, Lampung, Palembang, Aceh, Maluku dan sebagainya juga saya pending semua bulan Maret dan April 2020 sembari menunggu info ter-update.

Sebagaimana maklum, Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di Wuhan China ini telah menjadi hantu dunia. Hingga Maret 2020, menurut realtime Worldmeters (Sabtu, 14 Maret 2020) virus ini telah menyerang ke 169 negara dan 145.637 orang dengan angka kematian 5.4167 nyawa manusia. Selain sangat cepat penyebarannya, virus ini juga belum ditemukan vaksinnya. Organisasi kesehatan dunia WHO pada awal Pebruari 2020 ini juga menetapkan darurat global atas virus ini dan pada 11 Maret 2020 menyatakan virus ini sebagai pandemi.

Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2003, Virus SARS telah menelan korban global 774 orang dari 8.100 kasus. Demikian juga pada tahun 2012 yang silam, virus Mers. Hanya saja, Covid-19 ini telah melampaui jumlah korban SARS ataupun MERS hanya dalam waktu setengah bulan.

Bukan karena takut corona. Status yang saya buatpun direspon banyak jamaah di berbagai negara.  “Ketakutanmu pada makluk-Nya bukan pada Sang Pencipta adalah tanda lemahnya imanmu pada kuasa-Nya”. 

Kita memang tidak boleh takut pada siapapun, kecuali hanya pada Sang Pencipta. Hanya saja, sebagai antisipasi dan ikhtiar untuk menghindari dari virus yang sangat mematikan tersebut, kita perlu melakukan langkah-langkah pencegahan, termasuk mengganti ibadah sholat Jumat dengan dluhur di tempat zona merah yang terpapar Covid-19.

Masjid Istiqlal di Jakarta pada Hari Jum’at, tanggal 20 Maret ini juga meniadakan sholat Jumat berjamaah dan menghimbau umat Islam untuk sholat dluhur di rumah masing-masing. Meski tetap melaksanakan Jumat, Masjid Al-Akbar Surabaya tetap melakukan ikhtiar pencegahan dengan menggulung karpet, menyemprotkan disenfektan dan membuat pengetatan jamaah yang masuk ke dalam masjid kebanggaan orang Jawa Timur tersebut. 

Ikhtiar seperti ini selaras dengan apa yang dilakukan Umar bin Khattab, ketika wabah tha’un datang pada warga negeri Syam saat itu. Sebagian orang bertanya tentang kebijakan Umar bin Khattab. 

“Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?”, tanya Ubaidah. 

Umar menjawab:  “Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir yang lain. Tidaklah engkau melihat, seandainya engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur, dan yang kedua gersang, bukankah ketika engkau memelihara di tempat yang subur berarti itu takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?“. (Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah: at-Thib an-Nabawi)

Pada sisi lain, kepanikan terhadap virus Corona dan masyarakat dunia mengingatkan saya pada perkataan Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam. “Al-Ghaafilu idza ashbaha yandluru maadza yafalu wal aaqilu yandluru maadza yafalu Allahu bihi“. Artinya, “Orang lalai memulai harinya dengan berpikir apa yang harus dilakukan. Orang berakal berpikir apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya“.  

Virus Corona benar-benar di luar kekuasan manusia: ilmu pengetahuan dan teknologi seolah dibuat tidak berdaya. Akal manusia tidak lagi menandingi keampuhan virus corona. Peradaban manusia terlihat rapuh berhadap-hadapan dengan virus Corona. Sebaliknya, Covid-19 menunjukkan dengan jelas ke-mahakuasa-an Tuhan. 

Saya tidak tahu: apakah rekayasa Tuhan berhenti pada Covid-19 ini. Setelah tiga bulan pasca virus Corona, apakah akan ada lagi kejadian yang lebih dahsyat? Wallahu’alam.  Mengapa kita harus kembali pada keluarga ?. Mengapa kita harus menghentikan aktivitas kita semua: sebagai dosen, guru, pengusaha, petani, pedagang, advokat, hakim, jaksa, dan sebagainya ?. 

Saya mendadak menjadi teringat dengan petuah Ibnu Athailah al-Iskandari dalam lembaran lain kitab Hikam-nya. “Alima annaka laa taqbalu an-nusha al-mujarrada fadzawwaqaka min dzawaaqiha maa sahhala alaika wujuuda firaaqiha“. Maksudnya, Allah mengetahui bahwa kamu sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia memberimu pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.  

Jangan-jangan, ini adalah peringatan. Jangan-jangan, ada rekayasa dahsyat lain pasca virus Corona. Justru dalam keadaan ‘panik’ ini, kita musti merapat dan bersimpuh ke haribaan-Nya. 

Kita belum tahu hikmah di balik virus corona sebagai bencana dunia. Boleh jadi, bencana ini menjadi peringatan pada kita saat telinga menjadi tuli, mata menjadi buta dan hati menjadi sekeras batu permata. Agar kita secepat kilat merapat ke haribaan-Nya. **

*Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Pendiri Majlis Taklim Bengkel Kalbu, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur dan Ketua Umum ASPIRASI (Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia)*.   

        

Categories
Opini

SDGs, Maqashidus Syariah dan Generasi Milenial 4.0

Meski agak terlambat, gema SDGs masih kita rasakan di Jember. Apalagi ketika Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jember dan sejumlah perguruan tinggi di Jember seperti IAIN Jember dan Universitas Jember ikut mendiskusikan, (mungkin) mengkritik bahkan malah mengimplementasikan SDGs di sejumlah kabupaten Jember. Kita melihat dengan seksama, gencarnya kampanye SDGs oleh Baznas dengan membangun kampung-kampungnya bahkan di pelosok tertinggal Jember. Tidak penting, apakah orang kampung di pelosok itu paham tentang SDGs atau tidak. Dalam amatan saya, kampanye ini relatif berhasil.

Lalu, pertanyaannya: ‘makhluk’ apa SDGs itu? SDGs adalah singkatan dari Sustainable Development Goals. Sustainable Development Goals adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang disahkan 25 September 2015 di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Tak kurang dari 193 kepala negara di dunia hadir. Dari Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden saat itu, Yusuf Kalla.

Berbeda dari pendahulunya Millennium Development Goals (MDGs), SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu pemerintah, civil society organization (CSO), sektor swasta, maupun akademisi, dan sebagainya. Kurang lebih 8,5 juta suara warga di seluruh dunia juga berkontribusi terhadap tujuan dan target SDGs.

Tema pertemuan saat itu adalah “Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”. SDGs sendiri berisi 17 tujuan dengan menerapkan 169 target yang merupakan aksi global sejak tahun 2016 sampai dengan 2030. Tujuan akhirnya agar tidak ada kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai tujuan dan target SDGs.

Secara ringkas, 17 tujuan SDGs sebagaimana berikut: (1) Menghapus kemiskinan (2) Mengakhiri kelaparan; (3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan; (4) Pendidikan bermutu; (5) Kesetaraan gender; (6) Akses air bersih dan sanitasi; (7) Energi bersih dan terjangkau; (8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) Infrastruktur industri dan inovasi; (10) Mengurangi ketimpangan; (11) Kota dan komunitas yang berkelanjutan; (12) Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) Penanganan perubahan iklim; (14) Menjaga ekosistem laut; (15) Menjaga ekosistem darat; (16) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat; dan (17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.

Dalam pandangan saya, SDGs adalah konsensus bersama tentang kemaslahatan universal yang sesuai dengan Islam. Dalam kajian keislaman, demikian ini disebut dengan “Maqahidus syari’ah “ yang bersifat ammah.

Tentang Maqashidus Syariah ini, Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin (1973: 333), mengatakan: “Sesungguhnya syariat itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada ke-mafsadat-an, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syariat, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi.”

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali (Abu Zahra: 1994) menjelaskan detail Maqashid yang kembali pada maslahat yang di-breakdown dengan“…Akan tetapi, yang kita maksud dengan maslahah adalah maqshud as-syar’i. Sementara tujuan syar’i dari makhluk adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini adalah maslahah. Sementara, yang tidak mengandung lima ini adalah mafsadah dan menolaknya termasuk maslahah…”

Para pemikir dan tokoh Maqashid Syariah yang lain seperti Ramadlan al-Buthi, Jamaludin Athiyah, Jaser Auda, Ar-Raisuni, Bin Bayah, dan sebagainya lebih detail lagi menyebut dalam domain keluarga (Maqashid al-Usrah), ekonomi (Maqashid al-Iqtishad), lingkungan hidup (Maqashid al-bi’ah), dan maqashid-maqashid lainnya. Oleh karena itu, hemat saya, SDGs adalah “Maqashid Syariah” yang menjadi konsensus umat dunia yang tidak dapat diingkari keberadaannya dan bersifat universal.

Pertanyaan selanjutnya: lalu, apa yang bisa dilakukan terutama generasi milenial untuk program SDGs tersebut? Pertama, generasi milenial harus sadar bahwa problem radikalisme ekonomi menjadi ancaman serius ‘daripada radikalisme agama’. Problem kemiskinan akut harus diselesaikan dengan segera. Kesadaran ini menjadi penting sebagai starting point generasi milenial di masa sekarang.

Kedua, generasi milenial tidak perlu lagi melakukan provokasi ala komunisme terhadap publik luas. Namun, mereka harus melakukan upaya-upaya yang membangun Indonesia dengan memperkuat ekonomi. Dengan kata lain, generasi milenial harus muncul menjadi pengusaha-pengusaha hebat yang menguatkan ekonomi Indonesia dan turut serta menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Ketiga, generasi milenial harus sinergi dan bekerja sama dengan bukan hanya jejaring di negeri sendiri, namun juga luar negeri untuk membangun dan mempercepat tercapainya tujuan dan target SDGs di Indonesia di 2030 nanti. Mereka harus bergerak bersama komunitas lain di dunia untuk mencapai cita-cita kemaslahatan yang bersifat universal tersebut.

Keempat, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir, generasi milenial harus hadir di garda terdepan, dari mengampanyekan hingga mengimplementasikan tujuan SDGs tersebut dalam kehidupan. Artinya, era revolusi industri 4.0 di masa sekarang harus menjadi ‘teman’ dan ‘alat’ generasi milenial untuk mencapai tujuan dan target SDGs pada tahun 2030 nanti. Semoga. Wallahu’alam!

(Prof. Dr. HM. Noor Harisudin, M.Fil.I., Guru Besar dan Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Ketua Umum ASPIRASI).