Categories
Kolom Pengasuh Opini Tokoh

Tahun Baru 2024: Momentum Mensyukuri Hingga Reparasi Diri

Oleh: M. Noor Harisudin*

Bolehkah kita mengirim ucapan selamat tahun baru? Bagaimana juga hukum merayakan Tahun Baru? Lalu, apa makna tahun baru 1 Januari 2024 bagi seorang Muslim? Bukankah ini bukan tradisi Islam? Inilah yang menjadi pertanyaan bagi Muslim, baik menjelang maupun sesudah tahun baru masehi.    

Dalam beberapa forum dan pengajian, saya selalu mengatakan bahwa tahun baru itu bersifat netral. Hukumnya boleh, senyampang tidak ada kegiatan kemaksiatan. Dengan demikian, hukum asal merayakan tahun baru adalah boleh (mubah). Hukum mengirim ucapan tahun baru juga boleh. Tidak berpahala, tapi sekaligus juga tidak berdosa.

Hukum merayakan tahun baru berubah haram, ketika tahun baru diisi dengan melakukan kemaksiatan. Misalnya, tahun baru dengan meninggalkan shalat Isya, minum-minuman keras, ikhtilat laki-laki dan perempuan serta kemaksiatan yang lain.

Sebaliknya, tahun baru yang diisi dengan ketaatan seperti sholawatan, santunan anak yatim, dan khataman al-Qur’an sangat dianjurkan. Dalam bahasa agama, hukumnya sunah. Apalagi jika tahun baru ini dijadikan momentum tafakur bagi seorang muslim.

Dalam hemat saya, setidaknya ada lima makna tahun baru masehi, sebagai berikut:

Pertama, momentum mensyukuri. Memasuki tahun baru dalam keadaan sehat dan bisa bercengkerama dalam keluarga adalah kebahagiaan yang tiada tara. Bayangkan jika kita tidak sehat, semua menjadi tidak nikmat. Ibnu Atailah al-Iskandari dalam Master Piece-nya mengatakan. “Man lam yaskurin niam, faqad ta’aradla lizawaliha. Waman syakaraha, faqad yaddayah bi’iqaliha.” Barang siapa tidak mensyukuri nikmat, maka ia ingin hilangnya nikmat. Barang siapa mensyukuri, maka ia ingin nikmat tersebut lengket.  

Kedua, momentum introspeksi atau muhasabah. Umar bin Khatab mengatakan: “Melakukan hisablah kalian sebelum kalian dihisab besok di hari kiamat. Sesungguhnya hisab itu menjadi ringan di hari kiamat bagi orang yang biasa melakukan hisab di dunia”. Tahun baru 2024 adalah momentum kita introspeksi dan melihat ke belakang, yakni tahun 2023. Muhasabah ini sebagai pijakan untuk melakukan berbagai agenda tahun ini.

Ketiga, momentum mempertanyakan legacy. Allah Swt berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, seyogyanya seseorang melihat apa yang dilakukan di masa dulu untuk masa depannya. (QS.al-Hasyr: 18). Pertanyaannya, tahun kemarin, kita sudah meninggalkan legacy apa pada keluarga atau masyarakat. Tahun 2024, legacy apa yang akan kita siapkan.  

Keempat, momentum mawas diri. Tahun ini harusnya kita lebih hati-hati supaya tidak terjerumus dalam kesalahan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Allah Swt. Berfirman: “Taatlah kalian pada Allah Swt dan taatlah kalian pada Rasul serta berhati-hatilah”. (QS. Al-Maidah: 92).    

Kelima, momentum reparasi diri. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari yang kemarin, maka dia beruntung. Barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia merugi. Dan barang siapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka dia dilaknat”. Hadits ini memerintahkan pada kita untuk selalu mereparasi diri.

Tahun 2024 adalah momentum kita melakukan; mensyukuri, introspeksi, legacy, mawas diri dan juga reparasi diri. Semuanya merujuk pada terma insan kamil, manusia sempurna yang menjadi Impian orang-orang saleh. Dan ini bisa kita upayakan dengan melakukan reparasi diri sepanjang hayat kita. Wallahu’alam. **  

*M. Noor Harisudin adalah Ketua Yayasan Pendidikan Islam Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember dan Guru Besar UIN KHAS Jember.

Categories
Kolom Pengasuh Lembaga Wakaf Tunai Opini

Wakaf, Nazhir Dan Harapan Baru Kesejahteraan Umat

Oleh: M. Noor Harisudin*

Sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Islam Darul Hikam—selanjutnya disingkat YPI Darul Hikam, di tanggal 24 Desember 2023 ini saya sungguh bahagia. Kenapa? Karena Darul Hikam punya dua Nazhir wakaf yang kompeten dan telah lulus oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) serta berhak mendapatkan gelar CWC (Certified Waqf Competence).  

Sebelumnya, pada tanggal 20-21 Desember, dua Nazhir YPI Darul Hikam telah mengikuti pelatihan kompetensi nazhir wakaf secara online. Dan di hari Minggu, satu hari menjelang natal Tahun 2023, dua Nazhir wakaf ini dinyatakan lulus asesmen di Hotel Balairung Jakarta Timur. Tidak main-main, asesmen berlangsung sejak pagi jam 07.30 hingga jam 16.00 WIB. Beruntung, dua Nazhir Darul Hikam lulus asesmen. Dua Nazhir itu adalah saya dan ustadz M. Irwan Zamroni Ali.

Dua Nazhir ini jelas merupakan ‘energi baru’ untuk Lembaga Wakaf Darul Hikam yang berada di bawah naungan YPI Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember. Apalagi, Lembaga Wakaf ini sedang proses pengajuan SK ke Badan Wakaf Indonesia (BWI).  Hal ini akan semakin menyempurnakan Lembaga Wakaf Darul Hikam dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dan tentunya, di 2024, performance Lembaga Wakaf Darul Hikam akan lebih baik dan juga akan berlari GASPOL untuk mencapai tujuan bersama yang dicitakan.

Sejatinya, bukan hanya soal administrasi lembaga wakaf yang diuntungkan, secara kualitas sumber daya manusia, adanya nazhir ini sungguh sangat membantu kemajuan wakaf. Semua nazhir—dalam skema satu di antara 10 skema yang dijadikan objek pelatihan Badan Wakaf Indonesia—akan memahami pengetahuan seluk beluk wakaf mulai A hingga Z. Hal-hal mendasar dalam wakaf seperti pengertian, hukum wakaf, macam-macam wakaf, macam-macam nazhir, dan tata cara pendaftaran wakaf, menjadi pengetahuan wajib bagi para nazhir. Belum lagi tentang akuntasi wakaf, strategi fundrising wakaf, manajemen risiko dan cara pengembangan wakaf yang menjadi diskusi utama para nazhir yang lulus asesmen wakaf pada Minggu lalu.  

Para nazhir juga ditekankan fungsinya sebagai pengelola mauquf ‘alaih sesuai dengan UU Wakaf Tahun 2004 dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 1 tahun 2020. Nazhir harus kuat dengan berbagai keilmuan yang dibutuhkan. Dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Badan Wakaf Indonesia, disebutkan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf. Oleh nazhir, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif sesuai prinsip syariah dan perundang-undangan.   

Dalam fikih Islam, nazhir memang tidak menjadi rukun, namun dalam Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004, nazhir adalah ‘rukun wakaf’ yang sangat urgen kehadirannya. Tentu demikian ini menjadi sebuah gerakan yang luar biasa. Dalam Pasal 6 UU Wakaf Tahun 2021, disebutkan bahwa unsur wakaf meliputi ; wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan juga jangka waktu wakaf.

Sebelumnya, dalam Undang-undang Wakaf tahun 2004 ini, ditegaskan bahwa nazhir memiliki tugas pokok sebagai berikut; a). Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b). Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai tujuan, fungsi dan peruntukannya; c). Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; dan d) Melaporkan pelaksanaan tugas pada Badan Wakaf Indonesia (Lihat, Pasal 11 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).    

Begitu urgennya nazhir dalam memajukan perwakafan di Indonesia. Maju tidaknya wakaf tergantung pada nazhir- nazhir yang profesional di negeri ini. Tak heran, jika untuk memperkuat ini, para nazhir wakaf Indonesia bergabung dalam asosiasi nazhir yang disingkat ANI atau Asosiasi Nazhir Indonesia. Di sini, ada seribu lebih nazhir yang tergabung untuk sharing dan berkolaborasi memajukan wakaf di Indonesia. 

Oleh karena itu, mari bergandengan tangan memajukan wakaf Indonesia dengan terlibat menjadi nazhir profesional. Mari kita majukan wakaf untuk menyejahterakan umat Islam Indonesia. Kapan lagi kalau bukan sekarang. Siapa lagi, kalau bukan kita, umat Islam.

Wallahu’lam. *

*M. Noor Harisudin adalah Ketua Yayasan Pendidikan Islam Darul Hikam Mangli Jember dan Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Categories
Opini

Rasa Malu, Perhiasan Muslimah Mulia

Oleh: Lutvi Hendrawan

*Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 5 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember

Malu merupakan salah satu sifat terpuji. Sifat ini mampu menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan, dosa, perbuatan buruk dan kemaksiatan. Seseorang yang memiliki rasa malu akan terjaga dari tindakan-tindakan tercela dan memiliki kesadaran untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Dijelaskan dalam kitab Huququl-Mar’ah wa Wajibatuha fi Dhau’il-Kitab was-Sunnah, “Jika rasa malu yang terdapat dalam diri seorang laki-laki dinilai baik, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika rasa malu itu terdapat di dalam diri seorang perempuan. Jika rasa malu dinilai memiliki keutamaan dalam diri seorang laki-laki, maka sesungguhnya rasa malu itu lebih utama jika terdapat dalam diri seorang perempuan. Karena rasa malu itu akan memberikan tambahan perhiasan dan keindahan bagi perempuan, menjadikannya lebih dicinta dan disukai.”

Salah satu bentuk implementasi dari sifat malu pada seorang Muslimah adalah dengan menggunakan jilbab. Jilbab dan rasa malu bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan tidak dapat terpisahkan.

Dalam pandangan lain, Imam Baihaqi membahas sifat malu dalam kitabnya Syu’abul-Iman. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa jilbab pada perempuan termasuk ke dalam bahasan bab malu (babul-haya). Ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jilbab dan rasa malu pada wanita.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Aku sering masuk ke dalam rumah dengan melepas pakaianku, padahal Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan di dalamnya. Karena sesungguhnya dia adalah suami dan ayahku sendiri. Ketika Umar dimakamkan di tempat yang sama, Demi Allah aku tidak pernah masuk ke dalamnya kecuali jika aku tertutup rapat dengan mengenakan pakaian, karena merasa malu kepada Umar.

Dalam riwayat ini, bisa diambil hikmah dari bukti nyata rasa malu yang dimiliki Sayyidah Aisyah terhadap seorang yang telah meninggal dunia, oleh karena itu jika Sayyidah Aisyah saja mempunyai rasa malu dengan manusia yang sudah meninggal, lantas bagaimana dengan rasa malu beliau terhadap mereka yang masih hidup?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra., ia berkata, Rasulullah Saw. telah bersabda pada suatu hari, “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Kami (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu.’ Rasulullah bersabda, “Bukan sekadar itu, akan tetapi barang siapa yang malu dari Allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga perut dan apa yang di dalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Barang siapa menginginkan akhirat, ia akan meninggalkan hiasan dunia. Barang siapa yang mengerjakan itu semua, berarti ia telah merasa malu kepada Allah dengan sesungguhnya.”

Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa melepaskan diri dari rasa malu merupakan suatu hal yang sangat buruk bahkan bisa menjadi indikator dalam kemerosotan harga diri seorang perempuan. Kehilangan rasa malu juga bisa menjadikan manusia kehilangan akhlak, suka melakukan hal yang dilarang oleh ajaran agama, dan tidak memperdulikan terhadap hal yang diharamkan.

Perlu kita sadari bahwa terdapat hubungan yang lazim antara menutup aurat yang diwajibkan oleh Allah dengan ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian bagi manusia. Takwa bisa menutupi aurat batin serta menghiasinya. Sedangkan rasa malu bisa menutupi aurat zahir dan juga menghiasinya. Kedua hal ini akan selalu beriringan dan saling melengkapi satu sama lain.

Di antara tanda bahwa seseorang itu takut dan malu kepada Allah SWT adalah anggapan buruknya terhadap perbuatan membuka aurat atau perasaan malunya untuk membuka aurat. Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. al-A’raf : 26)

Penulis mengutip dari pandangan Wahab bin Munabbih, beliau berpendapat, “Iman itu diumpamakan dengan sesuatu yang masih telanjang. Pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah sifat malu dan hartanya adalah iffah (menjaga diri). Oleh karena itu, manusia harus memperhatikan, menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang begitu saja. Jika rasa malu berhasil dijaga, maka menjaga dan menyelamatkan fitrah manusia dari noda dan penyimpangan akan mudah diwujudkan. Karena di dalam penyimpangan fitrah itu terdapat noda yang bisa mengotori naluri manusia. Wallahu a’lam bi as-sawab .

Categories
Opini

Bagaimana Kedudukan Suami Istri Dalam Keluarga?

Oleh: Ekik Filang Pradana*

Setiap manusia pada umumnya akan melaksanakan pernikahan. Usia minimal dapat menikah adalah 19 tahun baik untuk pria dan wanita.  Sebelum melaksanakan pernikahan baik pria dan wanita diharapkan terlebih dahulu belajar tentang bagiamana ilmu berumah tangga, hal ini menjadi sebuah pondasi untuk menciptakan keluarga yang damai dan penuh ketenagan. Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk menjaga kehormatan diri dan terhindar dari fitnah.

Pernikahan adalah ikatan antara suami dan istri dengan akad ijab qabul, jadi dengan ikatan pernikahan antara suami istri sah untuk melakukan hubungan apapun termasuk hubungan intim. Dalam surat ar-Rum ayat 21 di jelaskan “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)- Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.

Kedudukan suami dalam keluarga sering kali dianggap paling tinggi mengalahkan kedudukan istri, dengan memaknai lafadz ar-rijaalu qawwaamuuna alan-nisaa dalam surat an-Nisa ayat 34. Bahwasanya artinya adalah suami adalah pelindung bagi istrinya. Kedudukan suami yang lebih tinggi, dianggap suami berkuasa kepada istrinya dari segala hal apapun.

Budaya patriarki di Indonesia yang menganggap laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kelurga yang berperan utama didalamnya. Budaya ini menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua yang diposisikan secara  subordinat dengan batasan dimana mereka tidak dapat melampaui standart kedudukan peran utama laki-laki.

Pada konteks patriarki  menyebabkan ketidak seimbangnya kesetaraan gender laki-laki dengan perempuan. Laki-laki disematkan dalam status  kepala rumah tangga setelah menikah yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rumah tangga, sementara perempuan terbatasi oleh lingkup domestik seperti mengasuh, melayani dan merawat rumah tangga. Dari pandangan tersebut, laki-laki akan dipandang negatif jika tidak memenuhi tuntutan ekonomi begitu juga perempuan yang tidak memiliki cukup ruang gerak untuk berpartisipasi dalam ranah kehidupan lainnya.

Budaya patriarki  yang mendarah daging di Indonesia, menyebabkan terjadinya kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, penindasan, ketidakadilan  sampai pembunuhan, memperlihatkan tidak adanya kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan. Pola pikir yang terbangun atas budaya patriarki mengobjektifikasi perempuan sebagai makhluk yang tidak punya kontrol kuasa atas tubuhnya.

Memaknai arti Qawwam sebagai pemimpin, kuat, dan lain-lain.  Seperti yang dikatakan Gus Rifqil Muslim, bahwa lafadz qawwam tidak menunjukkan laki-laki atau suami menjadi superior kepada istrinya, namun yang benar adalah bahwa laki-laki haruslah mencukupi seluruh kebutuhan istrinya, bertanggung jawab baik secara lahiriyah maupun batiniyah.  Oleh karena itu kata pemimpin itu hanya menjadi sebuah sebutan, akan tetapi dalam pelaksanaannya atau pengamalan dari arti pemimpin itu sendiri, bisa dilakukan oleh suami ataupun istri dengan saling berkomunikasi.

Bisa kita teladani bagaimana keharmonisan rumah tanggah Rasulullah Saw dengan Aisyah, dalam berbagai kesempatan, Aisyah menjelaskan dengan gamblang tingginya posisi kaum wanita di sisi beliau. Mereka kaum hawa memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi  Rasulullah Saw menjawab pertanyaan  Amr bin Al-Ash R.A seputar masalah ini, beliau menjelaskan kepadanya bahwa mencintai  istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seseorang lelaki yang normal.

Keharmonisan Rasulullah Saw dengan Aisyah yang bisa diteladani dalam menjalani keluarga, antara lain; tidur satu selimut, makan dan minum bersama, sering mencium istri, menyuapi istri, membantu pekerjaan rumah tangga, mengajak istri melihat hiburan, tidur di pangkuan istri.

Al-Quran sangat bijaksana dengan menyebutkan bahwa hubungan suami istri harus dibangun dengan cara mu`asyarah bi al-ma`ruf. Suami yang baik adalah suami yang dapat menyenangkan, menjaga dan membantu seorang istrinya. Dengan hal ini, tidak lah elok ketika kedudukan suami dalam keluarga disebut pemimpin tetapi memperlakukan istrinya dengan rendah. Sikap tanggung jawab dan mampu memenuhi kebutuhan lahir batin istri sebenarnya yang menjadi tugas dari seorang suami.

*Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 6 Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Categories
Opini

Berbagi Kebahagiaan Bersama 100 Anak Yatim

Categories
Opini

Disaat Senyum Muslimah Bukan Lagi Sedekah

Oleh: Lutvi Hendrawan

(Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 4 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember)

Siapa yang tidak suka dengan senyuman? hanya dengan satu senyuman seakan-akan dunia bisa diubah seperti dalam genggaman. Hanya dengan modal tersenyum, seseorang yang baru saja bertemu akan lebih mudah terasa akrab dan nyaman. Oleh karena itu tak heran jika karyawan-karyawati berbagai perusahaan selalu melempar senyuman dalam setiap pelayanan, agar dapat memikat hati para pelanggan.

Senyum memang memiliki daya pikat luar biasa. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati manusia dengan harta kalian, maka tariklah hati mereka dengan wajah berseri (senyuman) dan akhlak mulia.” (HR. at-Tirmidzi). Senyum itulah yang senantiasa terpancar dari wajah mulia Rasulullah SAW. Bahkandisaat diperlakukan tidak sopan, Rasulullah SAW tetap tersenyum.

Suatu ketika Rasulullah SAW didatangi oleh seorang arab Badui. Dengan lancangnya si Badui bersikap kasar dengan menarik selendang Rasulullah SAW hingga berbekas warna merah di leher mulia Rasulullah SAW. Orang Badui itu dengan lantang mengatakan, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu untuk memberiku uang dari baitul-mal.” lalu Rasulullah SAW menoleh kepadanya dengan lembut seraya tersenyum, lalu menyuruh sahabat memberinya harta yang berasal dari baitul-mal sesuai dengan permintaannya.

Selain sosok yang murah senyum, Rasulullah SAW juga menganjurkan para sahabatnya untuk menyebar senyum. Rasulullah bersabda, “Senyummu di hadapan sudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR at-Tirmidzi). Akan tetapi Rasulullah SAW juga mewanti para sahabatnya agar tidak menyepelekan soal bermuka manis dengan murah senyum. Rasulullah SAW mengingatkan, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria (tersenyum).” (HR. Muslim)

Namun yang perlu diperhatikan, apabila yang tersenyum itu merupakan seorang muslimah yang mampu memikat jiwa terhadap seorang pria yang tidak punya ikatan keluarga, apakah patut yang demikian ini tetap bernilai pahala atau sedekah? Apakah hal ini tetap dianjurkan untuk tersenyum dengan wajah yang berseri-seri ketika seorang muslimah berjumpa dengan seorang pria? Lebih-lebih, jika seorang muslimah  berparas cantik jelita.

Tersenyum saat berjumpa saudara seiman memang sangat dianjurkan. Hal ini sudah jelas didalam hadis berikut ini:

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

“Senyummu di hadapan sudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR at-Tirmidzi)

Kata saudara (akhun) dalam hadis tersebut berbentuk tunggal (mufrad) yang disandarkan pada kata setelahnya (mudhâf). Menurut aturan Ushul Fikih, karakter semacam ini mengindikasikan universal (‘am). Sehingga, pada dasarnya seorang muslimah juga dapat masuk dalam lingkup hadis tersebut, baik yang masih muda maupun lanjut usia. Akan tetapi, universalitas kata saudara (‘akhun) itu dibatasi (takhshîsh) oleh hadis lain yang menyebut seorang wanita dapat menjadi fitnah terbesar bagi kaum pria. Rasulullah SAW bersabda:

ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء

“Tidaklah aku tinggalkan fitnah (cobaan) yang paling berat bagi laki-laki selain fitnah (cobaan) wanita” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:

المرأةُ عورةٌ ، فإذا خرَجَتْ اسْتَشْرَفَها الشيطانُ

“Wanita adalah aurat, jika ia keluar, setan akan menghiasinya” (HR. at-Tirmidzi)

Oleh karena itu bisa kita simpulkan, bolehnya seorang muslimah tersenyum terhadap seorang pria saat berjumpa ialah terbatas saat aman dari fitnah. Itupun dengan mengikuti pendapat Ulama yang menyatakan bahwa wajah tidak termasuk aurat bagi muslimah. Berbeda dengan pendapat yang kuat (al-Ashah) yang memasukkan wajah, selain bola mata, pada aurat. Hal ini selaras dengan persoalan mengucap salam kepada lawan jenis. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fathul-Bâri-nya, mengomentari salah satu sub tema dalam kitab Shahîhul-Bukhârî, yaitu laki-laki yang mengucap salam terhadap wanita dan sebaliknya, bahwa kebolehan saling berucap salam itu hanya terbatas saat aman dari fitnah.

Yang patut kita pertanyakan, di era milenial ini, mungkinkah aman dari fitnah saat seorang gadis melempar senyumnya kepada  seorang pria yang dijumpainya? Apalagi, jika sang gadis berparas cantik jelita dan sangat menawan, ditambah dengan tatapan lama dan penuh hasrat? Hal ini belum mempertimbangkan pendapat yang kuat (Al-Ashah) yang menyatakan wajah seorang wanita bagian dari aurat. Sungguh, bukan murah senyum yang wanita dapat, justru senyum murahan yang ia perlihatkan.

Disisi lain, muslimah yang senyumnya menawan diacungi jempol oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah ditanya; “Wanita yang bagaimana yang paling baik?” Beliau menjawab: “Jika dipandang (suami) ia menyenangkan, jika diperintah ia taat, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara-perkara yang dibencinya, baik dalam diri maupun harta” (HR. Ahmad).

Dari sini, terkait dengan soal senyuman, para ulama memberi syarat bolehnya seorang muslimah tersenyum pada lelaki yaitu, selama tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Alangkah indahnya jika seorang muslimah dapat menjaga senyumnya hanya untuk mereka yang berhak menikmati. Sayyidah Aisyah mengungkapkan, “Rasulullah ketika bersama istri-istrinya adalah sosok suami yang paling perhatian dan paling mulianya manusia yang dipenuhi dengan tawa dan senyum simpul.” (HR. Ibnu Asakir).

Oleh karena itu sudah selayaknya seorang muslimah dapat  menjaga diri dan menyucikan hati. Ia tetap harus murah senyum seperti anjuran Nabi, namun yang perlu diperhatikan jangan sampai memberi senyum murahan, yaitu senyuman kepada lawan jenis yang tentu saja sangat disukai oleh setan yang terkutuk. Yang pada awalnya kita mengharap sebagai senyuman sebagai ibadah akan tetapi malah berbalik menjadi laknat.

Terakhir, Penulis teringat dengan firman Allah SWT:

عَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ    

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Titik pointnya yakni pada ungkapan: “boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”. Wallahu a’lam bi as-sawab

Categories
Opini

Diam Yang Menyelamatkan

Oleh: Miftakhul Jannah (Mahasantri Darul Hikam Prodi Bahasa Sastra Arab Semester 5)

Lisan merupakan salah satu bentuk kenikmatan yang Allah SWT anugerahkan kepada kita. Hakikatnya lisan diciptakan senantiasa untuk banyak menyebut asma Allah SWT. Namun belakangan ini tak jarang ditemukan orang yang sering berkata hal yang tak baik termasuk juga hal yang bathil. Lisan memang sulit untuk dikendalikan. Lisan yang tak terkontrol dapat menimbulkan seseorang terperangkap dalam jerat permusuhan, hingga berujung pertumpah darahan. Na’udzubillah. Salah satu sikap bijak agar tidak terjadi hal demikian ialah diam. Iya diam. Diam merupakan kunci keselamatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari sahabat Abdullah bin Amr, beliau berkata“Barang siapa yang diam niscaya ia akan selamat.”(H.R Tirmidzi). Memang benar apa yang beliau katakan, dengan diam seseorang tidak akan terjerumus dalam jurang kebinasaan terlebih kemaksiatan. Bahkan, dalam sikap diam pun tersirat tingkat kedalaman iman seorang hamba terhadap tuhan-Nya. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰه واليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik atau diam”(Muttafaq ‘alaih : Imam Bukhari, no. 6018; Imam Muslim, no.47)

Memang diam bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih berbicara merupakan salah satu bentuk interaksi manusia dengan manusia yang lain. Karena manusia termasuk makhluk sosial. Akan tetapi sikap diam merupakan paling tingginya ibadah dan bisa menjadi cerminan hati seseorang. Seseorang yang bijak akan mencerna perkataannya terlebih dahulu sebelum dikeluarkan, bahkan sangat teliti dalam mempertimbangkan perkataan. Terlebih seorang muslim. Karena sebaik-baiknya muslim ialah yang menjaga muslim yang lain dari gangguan lisan dan tangannya. Lantas apakah diam yang menyelamatkan yang dimaksudkan? Nah, diantaranya ialah menghindari statement atau pembicaraan yang unfaedah yang berbau kemaksiatan dan berujung kesia-siaan, seperti halnya debat kusir, dusta yakni berkata-kata yang tidak sebenarnya, syatm yakni perkataan yang mengandung unsur penghinaan, buhtan yakni menyebarkan kebohongan dengan tujuan untuk menjatuhkan harga diri seseorang dan menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain, dalam Islam disebut dengan ghibah.Yang mana ghibah tersebut sangat dilarang keras untuk dilakukan, bahkan seseorang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai). Sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub dalam Q.S Al Hujurat/ 12:

يٰأيُّهَا الّذِيْنَ اٰمَنُوْا اجْتَنِبُوْا  كَثِيْرًا مِنَ الظنِّ، إنّ بَعْضَ الظنّ اثم ولاَ تجسّسُوْا ولا يغْتَب بَعْضُكُمْ بَعْضًآ أيُحِبُّ اَحَدُكُمْ أن يَأْكُلَ  لحْمَ اخِيْه مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ، وَإتَّقُوا اللّٰه، إنّ اللّٰهَ توّابٌ رّحِيْمٌ ( الحجرات/١٢)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Na’udzubillahi min dzalikjami’an, semoga kita semua terhindar dari hal demikian. Tak hanya itu saja, bahkan banyak sekali pepatah yang mengatakan perihal bobroknya lisan yang tak asing kita dengar, diantaranya“Jika pedang melukai tubuh masih ada harapan untuk sembuh, jika lidah melukai hati dimana obat hendak dicari.” Dari situ terlihatjelas bahwa lisan lebih tajam daripada pedang, tidaklah mudah menyembuhkan hati yang terluka akibat goresan ucapan lidah meski tak berdarah. Dengan itu diam lebih utama dari berkata-kata. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhu berkata: “Seseorang mati karena tersandung lidahnya, dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya, tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya sedangkan tersandung kakinya akan sembuh secara perlahan.”Maka dari itu berpikir cermat sebelum berbicara mutlak harus diupayakan agar terhindar dari kerusakan terlebih kemaksiatan. Lukman berkata kepada sang anak “Andaikata bicara terbuat dari perak, maka diam dari emas”, yang kemudian ditambahkan oleh Ibnu Al Mubarak “Andaikata perkataan dalam mentaati Allah SWT adalah perak, maka diam dari maksiat kepada Allah SWT adalah dari emas.”Sungguh diam lebih berharga dari berkata-kata. Perlu kita ingat “Mulutmu harimaumu”. Jikalau tidak bisa berkata baik niscaya diam lebih baik. Karena dengan diam, risiko tergelincir akan semakin kecil.

Wallahua’lamubisshawaab.

Categories
Opini

Tips Judul Berita Unik dan Menarik ala Wartawan

Oleh: Erni Fitriani, S.Pd (Pengajar Jurnalistik Ponpes Darul Hikam Jember)

Ketika anda ingin membuat sebuah berita, hal yang paling penting dan mendasar adalah judulnya. Seorang wartawan senior yang juga konsultan ahli untuk komunikasi dan media massa, Tri Juli Sukaryana mengungkapkan bahwa membuat judul berita itu gampang-gampang susah. Gampang ketika di awal liputan anda sudah mengetahui gambaran akan judulnya. Dan susah ketika selesai liputan anda belum terpikirkan judul apa yang kira-kira mau dibuat.  

Oleh karena itu, untuk memudahkan anda dalam membuat judul, sebaiknya seorang wartawan menentukan terlebih dahulu sudut pandang atau framing berita yang akan ditulis.

Judul yang baik adalah judul yang mampu memikat pembacanya untuk terus membaca dan menyelesaikannya hingga akhir. Berikut ini kami sajikan tentang tips membuat judul yang unik dan menarik ala wartawan.

Pertama, menggambarkan isi dan kalimat lengkap SPOK

Cara membuat judul berita yang baik yaitu dengan menggunakan susunan kalimat SPOK (subjek, predikat, objek dan keterangan) atau minimal terdiri atas subjek (s) dan predikat (p).

Contoh: LPG langka.

Dari teks di atas didapati bahwa LPG berperan sebagai “Subjek” dan Langka merupakan kata sifat atau “Predikat”. Judul seperti contoh tersebut sudah cukup mewakili jika anda ingin membuat sebuah berita.

Kedua, membuat penasaran pembaca

Contoh: Warga asal Ponorogo Bangun Tembok di Gang, 13 KK Tidak Bisa Lewat, apa Alasannya?

Judul di atas mencoba memunculkan kata mengapa (Why) peristiwa itu bisa terjadi? Tentu dari judul tersebut akan membuat pembaca penasaran, kira-kira apa penyebabnya. Maka dari itu, anda dapat menggunakan alternatif judul menggunakan Why adalah yang paling disarankan.

Ketiga, mampu menggoda pembaca (ada unsur Wow)

Contoh: Digugat Panji Gumilang Rp 1 Triliun, Anwar Abbas Tegaskan Taat Hukum.

Salah satu cara untuk membuat judul anda menggoda adalah dengan memasukkan kata yang memuat unsur wow. Misalnya pada judul di atas, unsur wownya adalah nominal 1 Triliun karena itu bukan nominal yang lazim. Uang 1 triliun sudah termasuk uang yang sangat banyak sekali dan hanya dimiliki oleh orang kaya atau menengah ke atas.

Keempat, tidak bertele-tele

Contoh: Warga Ponorogo Nekat Bangun Tembok di Gang Akses Jalan, Tetangga Tidak Bisa Lewat, ternyata Ini Alasannya.

Judul di atas terlalu panjang karena memuat 16 kata. Judul berita yang baik biasanya berkisar antara 8 hingga 12 kata. Ini juga tergantung kepada kesepakatan masing-masing perusahaan. Semakin pendek judul yang anda buat maka akan semakin baik karena langsung kepada poin utama berita.

Sehingga judul di atas dapat diubah menjadi: “Pria Asal Ponorogo Tembok Gang Akses 13 KK, ini alasannya”.

Kelima, tidak membocorkan isi

Contoh: Merasa dikucilkan, Warga di Ponorogo Tembok Gang Akses 13 KK

Sudah jelas bahwa judul di atas sudah memuat/ membocorkan isi berita yaitu pada kata “merasa dikucilkan”. Ketika pembaca sudah tahu isi dari berita itu bahwa pemilik rumah merasa dikucilkan, maka akan hilang secara otomatis rasa penasaran dari pembaca. Ini bukanlah hal yang salah, namun sebaiknya dihindari.

Alangkah lebih baiknya, judul diganti dengan, “Warga di Ponorogo Tembok Gang Akses 13 KK, ini penyebabnya”.

Dengan memberikan pemantik seperti contoh judul di atas maka pembaca akan lebih tertarik untuk meng-klik judul dan pembaca akan menemukan sendiri penyebab dari masalah setelah ia menyelesaikan bacaannya.  

Keenam, setiap awal kata menggunakan huruf besar (kapital)

Contoh: Panji Gumilang Geram Al-Zaytun Dicap Sesat: yang Tetapkan Siapa?

Judul yang baik adalah judul ditulis sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yaitu apabila ketika menulis sebuah judul maka harus diawali dengan huruf kapital pada setiap katanya seperti pada contoh di atas. Hanya ada satu kata yang menggunakan awalan huruf kecil yakni pada kata “yang” karena ia termasuk kata sambung sehingga ditulis dengan huruf kecil.

Ketujuh, kata sambung ditulis menggunakan huruf kecil.

Contoh: Anggota DPR Bangga dengan Permainan Timnas saat Ladeni Argentina.

Seperti yang sudah kami jelaskan pada paragraf sebelumnya, yaitu ketika di dalam judul terdapat kata sambung maka wajib ditulis menggunakan huruf kecil. Bisa anda cermati dalam judul di atas memuat kata sambung “dengan” dan “saat” sehingga wajib ditulis menggunakan huruf kecil.

Kedelapan, pilih diksi populer

Anda dapat menciptakan judul berita yang unik dan menarik yaitu dengan menggunakan diksi yang populer. Apalagi ketika berita anda diterbitkan di media online. Memilih diksi populer akan sangat menguntungkan anda karena judul dengan diksi populer akan lebih mudah memikat pembaca dan otomatis jumlah viewers akan meningkat. Kebanyakan judul yang digandrungi di media online adalah judul tentang ‘how to’ dan ‘what’.

Kesembilan, hindari menulis singkatan tidak umum

Kesalahan umum yang sering dilakukan oleh penulis pemula adalah dengan membuat judul dengan singkatan yang tidak lazim/ umum. Harus kita pahami bahwa tidak semua orang tahu tentang berbagai singkatan. Yang biasa dibuat singkatan adalah nama lembaga atau organisasi, namun apabila nama tersebut jarang diketahui orang banyak sebaiknya tidak perlu disingkat tapi tulis apa adanya dan kemudian berikan penjelasan pada teks bila diperlukan.

Kesepuluh, hindari judul normatif

Hindarilah judul normatif karena cenderung tidak menarik. Judul normatif tidak akan bermasalah jika dipakai dalam acara formal atau resmi seperti sambutan/ pidato. Semoga bermanfaat.

Categories
Opini

Cara Menyusun Artikel Opini Yang Baik Dan Benar

Oleh: Erni Fitriani, S.Pd (Pengajar Jurnalistik Ponpes Darul Hikam)

Anda ingin menyusun sebuah artikel/ opini tapi bingung mulai dari mana? Untuk menyusun sebuah artikel yang baik dan benar dibutuhkan langkah-langkah terstruktur dan terukur agar artikel yang anda tulis dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.

Jika dilihat dari definisinya, artikel adalah sebuah teks karangan yang dibuat berdasarkan fakta dan opini untuk kemudian dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik. Artikel memiliki tujuan menyampaikan suatu gagasan penulis yang memuat data dan fakta akurat. Artikel berfungsi mendidik, meyakinkan, dan juga menjadi sarana hiburan bagi pembaca.

Artikel ini biasanya ditulis dalam bentuk opini. Opini dipakai sebagai sarana untuk menanggapi sebuah permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat sekaligus memberikan solusi dari permasalahan tersebut. Yang perlu menjadi perhatian ketika menulis opini yaitu solusi yang ditawarkan adalah berasal dari data dan fakta akurat sehingga dapat diuji kebenarannya.

Untuk menghasilkan artikle/opini yang berkualitas, maka dibutuhkan tips cara menyusunnya adalah sebagai berikut.

Pertama, Perhatikan Topik yang Diangkat

Topik harus aktual. Jika anda membuat sebuah opini, langkah pertama yang harus anda lakukan ialah memilih topik. Topik yang dipilih harus terkini/aktual sehingga menarik untuk dibahas dan diselesaikan permasalahannya.

Tulis tema yang dikuasai. Saat anda menulis artikel, pilihlah tema yang anda kuasai. Karena ketika menulis artikel opini maka kita juga harus punya pengetahuan tentang poin yang akan kita bahas tersebut. Dengan memilih topik yang sudah akrab dengan kita, ini akan memudahkan anda dalam menulis.

Tulisan harus orisinil. Saat membuat tulisan jenis apapun, sudah menjadi kewajiban bagi penulis untuk memastikan keorisinilan tulisan. Tulisan yang orisinil akan memiliki daya jual yang tinggi dan menjadi tulisan yang berkualitas dan bisa dipertanggung jawabkan.

Tulisan tidak berbau SARA. Tulisan yang tidak berbau SARA artinya tulisan anda tidak membahas konten-konten sensitif terkait suku, agama, ras dan antar golongan. Mengapa menulis yang berbau SARA ini tidak disarankan? Karena jika anda salah sedikit saja menyinggung isu tersebut, fatalnya ini dapat menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Apalagi sejenis artikel opini yang memuat pendapat atau opini pribadi dari penulis. Misalnya meskipun anda sudah melengkapi tulisan dengan referensi ilmiah sekalipun, namun membahas isu SARA tetap menjadi rawan dan sangat berbahaya. Maka dari itu, membahas isu-isu SARA sebaiknya dihindari.

Pahami Segmen Media yang Dituju. Ketika anda ingin menerbitkan tulisan di ‘Media A’, penting bagi anda untuk memahami karakteristik dari media tersebut. Bagaimana terkait dengan templatenya, jumlah katanya? Apa yang menjadi batasan-batasan media tersebut? Isu-isu apa yang sebaiknya dipilih dan dimunculkan? Apa yang menjadi kekhasan media tersebut? Serta hal-hal lainnya yang membuat peluang tulisan anda bisa diterima oleh media yang bersangkutan.  

Kedua, perhatikan Struktur Penulisan Artikel Opini

Mengutip dari Buku Jurnalistik Dasar karya Khoirul Muslimin, ada lima struktur artikel opini yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut.

Headline dan byline. Headline dan byline biasanya memuat judul artikel yang merupakan bagian teratas dari sebuah artikel opini. Pada bagian ini penting untuk dibuat semenarik mungkin agar dapat menarik perhatian pembaca.

Lead (kepala artikel).Lead adalah intro artikel. Anda dapat mengisi bagian ini dengan memberikan penjelasan dari peristiwa yang akan ditulis, pernyataan aktual, dan rangkuman dari sebuah peristiwa. Lead  juga harus dibuat semenarik mungkin seperti pada judul, karena lead juga menjadi penentu akankah pembaca tertarik untuk melanjutkan bacaannya atau tidak.

Neck (leher artikel). Leher artikel ini berfungsi untuk mengaitkan bagian lead dengan isi artikel sehingga tercipta kesinambungan yang baik antar paragraf diantara keduanya.

Content (isi artikel). Pada bagian ini, anda dapat menulis tentang permasalahan yang sesuai dengan topik dengan lebih detail. Anda bisa menguak permasalahan yang ada dengan disandingkan bersama data dan fakta akurat. Jadi, meskipun artikel opini ini dominan dengan pendapat atau opini penulis, namun juga harus tetap ilmiah dalam proses menulisnya. Opini biasa ditulis dengan bahasa populer agar lebih mudah dimengerti semua khalayak. Dalam artikel opini, anda juga bisa memasukkan data berupa kutipan beberapa tokoh dan hal-hal lainnya yang dapat menguatkan isu yang anda bahas.

Leg (kaki artikel). Anda dapat mengisi bagian ini dengan memasukkan kesimpulan terkait isu yang dibahas/ penegasan dari opini. Anda juga bisa memberikan saran terkait masalah/ isu dengan memberikan solusi alternatif atas permasalahan tersebut yang berdasarkan hasil riset dan kajian yang akurat.

Ketiga, Pahami Cara membuat Artikel Opini

Untuk membuat artikel opini yang baik dan benar, maka disajikan cara sebagai berikut.

  • Tentukan topik aktual yang ingin anda bahas dan tanggapi.
  • Pilih posisi anda sebagai pihak yang pro atau kontra dari isu yang ingin anda tanggapi tersebut.
  • Setelah menentukan posisi sebagai pihak pro atau kontra, selanjutnya anda dapat mulai menulis dengan beracuan pada struktur opini yang sudah kami jelaskan sebelumnya. Buatlah tulisan secara runtut dan sistematis agar tulisan anda menjadi menarik dan mudah dipahami.

Bagaimana? Mudah bukan? Setelah memahaminya, apakah anda tertarik untuk membuat sebuah artikel opini? Jika iya, mulailah melakukannya sekarang. Selamat belajar dan berkarya! Semoga bermanfaat.

Categories
Opini

Pantaskah Muslimah Salihah Tampil di Sosial Media?

Oleh : Lutvi Hendrawan (Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 4 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember)

Menjadi seorang muslimah ialah suatu kebanggaan yang patut untuk disyukuri dalam hati yang terdalam, terlebih jika menyandang predikat muslimah salihah. Tentu ada banyak hal yang harus ditempuh untuk menjadi perempuan yang bergelar salihah, karena memperoleh gelar tersebut tidaklah mudah bahkan lebih sukar dari sekadar mendapat titel sarjana. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman hal yang sangat mudah kita jumpai seorang muslimah yang tampil di media sosial. Namun demikian pantaskah bagi seorang muslimah eksis dan memposting wajahnya di media sosial? hal ini tentunya menarik untuk kita kaji lebih dalam.

Aktif menggunakan sosial media bukanlah hal yang buruk bagi seorang muslimah. Selagi hal tersebut dijadikan media silaturahim atau hal-hal yang dianjurkan oleh syariah Islam. Seorang muslimah diibaratkan sebuah permata yang harus terjaga dan terkunci rapat-rapat di dalam rumah. Oleh karena itu, dia dapat terhindar dan jauh dari pandangan seorang pria yang seakan-akan hendak mencurinya. Begitu pula keanggunan dan kecantikan seorang muslimah ibarat berlian yang sangat berharga. Oleh karena itu, tidak selayaknya diumbar di sosial media, bahkan bisa menjadi tontonan gratis para pria. Lebih-lebih mungkin bisa sampai menjadi pemuas nafsu birahi pandangan mereka. Tentu tidak ada perempuan yang menginginkan dirinya menjadi pemuas nafsu lelaki yang belum berstatus suaminya yang sah.

Rasulullah SAW bersabda: “Wanita dinikahi karena empat perkara: harta, tahta, kecantikan, dan agamanya. Perhatikanlah wanita yang beragama (religius), maka kau tidak akan fakir di dunia.” Rasulullah SAW menempatkan kecantikan wanita di urutan kedua bukanlah suatu kebetulan, akan tetapi menjadi bukti bahwa kecantikan dan keanggunan merupakan senjata ampuh bagi kaum hawa dalam menaklukkan hati kaum adam. Bahkan lelaki yang kejam sekalipun, bisa meleleh kekejamannya oleh sebab kecantikan seorang perempuan.

Soal kecantikan perempuan, pria mana yang tak tergoda dan terpesona dengan keanggunan seorang perempuan, bahkan sering membuat anak-anak muda rela bertekuk lutut di hadapannya. Harta bahkan apapun itu, rela mereka pertaruhkan sebab terkurung hatinya oleh sihir kecantikan seorang perempuan. Terkadang banyak yang mengemis cinta di hadapan perempuan cantik nan jelita, lemah tak berdaya sudah hal yang lumrah terjadi. Maka tak heran mayoritas kaum hawa berlomba-lomba dalam merias raut wajah. Selalu ingin tampil menarik sehingga menebar pesona di hadapan kaum pria. Rela mengeluarkan biaya ratusan ribu bahkan berjuta-juta demi bisa membawa pulang alat-alat kecantikan atau bedak pemutih demi mempercantik raut wajah.

Tak lepas dari gaya hidup (lifestyle) kebanyakan orang zaman sekarang tidak luput dari dunia maya, sehingga jika tidak diekspos di media sosial ada hal yang kurang bagi dirinya. Sehingga dengan adanya hal itu lingkup baru kehidupan bersosial yang menjadi faktor utama para perempuan maupun pria selalu tampil di kehidupan tidak nyata. Oleh karena itu, jarang ditemukan kaum wanita yang menutup diri atau memposting fotonya di sosial media.

Seorang muslimah sudah seharusnya menutup diri, kecuali bagi keluarganya sendiri. Di dalam al-Quran pun ketika menyinggung kisah sosok wanita, tak satupun ayat menyebut nama perempuan secara jelas (sharih). Sebatas nama wanita saja, al-Quran tidak menyebutkan, lebih-lebih wajah dan kecantikannya secara alami. Maka tak selayaknya para muslimah memajang foto dan wajahnya di dunia maya hingga menjadi tontonan para lelaki. Kecuali ada satu nama wanita yang disebutkan namanya dalam al-Quran secara sharih. Sayyidatina Maryam, dialah sosok wanita salihah yang dipuji-puji. Ibunda dari nabiyullah Isa, satu-satunya nama wanita yang diabadikan namanya menjadi nama surah dalam kitab suci yakni al-Qur’an.

Sekalipun muslimah bercadar tidak elok di pandang mata bila fotonya terpajang di dunia maya. Cukuplah keindahan gaun Muslimah dan kain cadarnya sebagai penutup aurat dan wajahnya. Menjaga diri dari pandangan seorang pria, demi menanti sosok pria salih yang akan menjadi jodohnya. Tidak perlu gundah dan resah, takut tidak laku menikah. Sebab wanita salihah akan dipertemukan dengan lelaki yang salih juga. Dalam al-Qur’an Allah berfirman (artinya), “Wanita keji bagi laki-laki yang keji. Wanita yang baik bagi laki-laki yang baik. Merekalah orang-orang yang dibebaskan dari apa yang mereka katakana. Bagi merekalah (orang-orang yang baik) ampunan (Tuhan) dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur, ayat 25).

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dunia ibarat sebuah harta. Dan sebaik-sebaiknya harta dunia ialah wanita salihah,” (HR. Ibnu Umar). Maka Muslimah yang cantik nan jelita serta menutup diri dari gemerlap dunia maya sekaligus salihah, dialah ibarat intan permata tak bernilai harganya bagi keluarganya dan patut mendapat pujian Allah dan Rasul-Nya. Cukuplah keluarganya yang merasakan keindahan perangai dan keanggunan diri seorang muslimah. Menjadi Muslimah yang didamba-damba bagi para lelaki salih, serta buah kebanggaan bagi keluarganya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baiknya wanita, dialah yang membahagiakan ketika dilihat, taat ketika diperintah, dan tidak menyalahi di dalam diri dan hartanya,” (HR. al-Hakim).

Sekarang pun mulai banyak muncul muslimah bercadar yang semangat untuk tampil di sosial media. Kegiatan apapun yang bersinggunan dengan sosok muslimah, sambil bercadar dan bergaun indah mereka posting di sosial media. Hemat penulis mungkin hal itu muncul dari ghirah semangat kaum Muslimah dalam berdakwah. Namun, apakah tidak lebih baik mereka berdakwah dari keluarga masing-masing hingga ditiru oleh satu keluarga hingga terbentuklah lingkungan yang sarat akan menjadi muslimah salihah. Sebab tanda seorang Muslimah yang beriman dialah yang pemalu. Sebab pemalu merupakan sebagian dari keimanan kepada Allah. Malu perilaku jelek dan kecantikan wajahnya tersebar di sekelilingnya. Wallahu a’lam bi as-sawab