Categories
Dunia Islam

 Kiai Ma’ruf Amin: Sang Ahli Fiqh

Oleh: Nadirsyah Hosen*

Saya mau menjelaskan soal kesaksian KH Ma’ruf Amin di sidang Ahok. Apakah beliau berbohong? Ini pertanyaannya. Pengacara Ahok bertanya apa SBY menelpon Kiai Ma’ruf Amin. Ini dijawab beliau, “tidak”. Lantas jawaban ini dianggap berbohong. Benarkah?

Pengacara Ahok bertanya panjang kepada beliau dengan asumsi SBY menelpon itu untuk mempengaruhi fatwa MUI. Ini jebakan batman ala pengacara. Kiai Ma’ruf Amin paham bahwa pertanyaan ini jebakan dari pengacara. Reputasi MUI dipertaruhkan. Kalau beliau jawab ya, maka terbangun kesan seperti yang diinginkan pengacara bahwa SBY berada di balik sikap keagamaan MUI terhadap Ahok.

Kiai Ma’ruf Amin seorang ahli fiqh, jadi beliau menjawab pertanyaan jebakan tersebut dengan helah fiqh. Beliau mengatakan “tidak ada telpon dari SBY”. Karena yang ada itu telpon dari staff SBY, baru kemudian SBY bicara. Ini  helah fiqh

Helah dalam mazhab Hanafi dibenarkan, yaitu mencari jalan keluar dalam situasi sulit dengan cara yang seolah dilarang tapi kemudian menjadi halal. Contoh helah itu menghibahkan sebagian harta menjelang haul untuk menyiasati agar tidak terkena zakat karena tidak sampai nisab.

Kiai Ma’ruf Amin demi menyelamatkan marwah MUI beliau menjawab dengan gaya helah ahli fiqh. Dalam kajian balaghah, ada yang dinamakan tauriyah. Ini jg bisa menjelaskan jawaban Kiai Ma’ruf Amin. Ucapan yang artinya difahami oleh orang yang mendengarkan, akan tetapi orang yang mengatakan menginginkan arti lain yang  terkandung dalam perkataan. Misalnya ungkapan: “saya tidak punya dirham” dapat dipahami dia tidak punya harta, padahal maksudnya dia punya dinar bukan dirham.

Tauriyah ini termasuk solusi agama untuk menghindari kondisi-kondisi sulit yang terjadi pada seseorang. Dikala ditanya tentang suatu urusan,  dia tidak ingin memberitahukannya secara apa adanya tapi di sisi lain dia tidak ingin berbohong.Jadi, helah dan tauriyah bisa kita pakai untuk memahami jawaban Kiai Ma’ruf Amin di sidang Ahok.

Kalau pengacara Ahok lebih jeli, mereka akan ubah pertanyaannya, bukannya malah menganggap Kiai Ma’ruf berdusta. Harus lebih cerdik berhadapan dengan ahli fiqh. Beliau tidak berbohong dan bukan memberi keterangan palsu. Beliau melakukan helah dan tauriyah. Demikian penjelasan saya.

Tabik,

* Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand

Categories
Dunia Islam

Ziarah Kubur, Cara Berbakti kepada Orang Tua yang Wafat

Jember, NU Online

Pengajian Ahad (5/2) pagi di Masjid Agung al-Baitul Amin Jember, Jawa Timur, yang diasuh Kiai M. Noor Harisudin berlangsung gayeng. Tema yang diangkat berkaitan dengan ziarah kubur. Hadir tidak kurang 200 jamaah shalat shubuh, termasuk dr Rahim, suami Bupati Jember dr Faida.  

Kiai M. Noor Harisudin yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember membacakan kitab Irsyadul Ibad, halaman 32-33, “Barangsiapa berziarah kubur pada kedua orang tuanya yang sudah meninggal atau salah satunya, maka dia akan diampuni dosanya dan dicatat padanya pahala satu kebaikan (birr)”.

Dengan demikian, lanjut  Kiai M. Noor Harisudin yang juga Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember ini, untuk berbuat baik pada kedua orang tua setelah keduanya meninggal adalah dengan ziarah kubur pada keduanya. 

Menguatkan apa yang telah dibaca, Kiai M Noor Harisudin menjelaskan kisah seorang alim yang bermimpi bertemu dengan ahli kubur (orang-orang yang telah mati). Dalam mimpi tersebut, orang alim ini melihat orang-orang yang mati itu keluar dari kuburan dan berebut pahala.

Ada seorang ahli kubur yang tidak ikut berebut. Dalam mimpi ini, orang alim ini mendekat pada satu orang yang tidak ikut berebut sembari bertanya, “Apa yang mereka perebutkan?” Jawab ahli kubur ini, “Mereka berebut pahala yang dihadiahkan pada mereka berupa bacaan Al-Qur’an, shadaqah, dan doa.” “Mengapa kamu tidak ikut berebut?” Jawab ahli kubur, “Saya sudah cukup dengan hadiah khataman Al-Qur’an yang dibacakan anak saya di pasar fulan (menyebut sebuah pasar tertentu).

Seketika itu juga, orang alaim ini bangun. Dia lantas mencari pasar tersebut dan mencari seorang anak yang jualan kue. Ternyata, sambil jualan anak ini menggerakkan dua bibirnya sembari membaca Al-Qur’an. Ketika ditanya orang alim ini, anak ini menjawab, “Saya membaca Al-Qur’an yang saya hadiahkan pada kedua orang tua saya yang telah meninggal”. 

Kiai M Noor Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur meneruskan kisah ini. Beberapa bulan kemudian, orang alim ini bermimpi hal yang sama, bertemu dengan para ahli kubur yang berebut pahala lagi. Pahala shadaqah, bacaan Al-Qur’an dan doa. Dalam mimpi orang alim tersebut, ada hal yang aneh, seorang laki-laki ahli kubur yang kemarin tidak ikut berebut pahala (karena sudah cukup dengan kiriman bacaan Al-Qur’an anaknya), kini ikut berebut pahala. Orang alim ini akhirnya terjaga dari tidurnya. Esoknya ia kembali ke pasar tempat yang kemarin bertemu dengan seorang anak yang membacakan Al-Qur’an untuk kedua orang tuanya. Ternyata, setelah sampai di pasar yang dituju, dia tidak menemukan anak tersebut. Setelah tanya sana-sini, orang alai mini mendapat informasi bahwa anak tersebut meninggal dunia. Kiai M Noor Harisudin menjelaskan, “Kisah ini menegaskan pada kita, bahwa pahala yang dikirim pada ahli kubur itu sampai pada mereka. Dan kita bisa birrul walidain pada kedua orang tua dengan mengirimkan pahala membaca Al-Qur’an, shadaqah dan doa pada ahli kubur. Ini bentuk birrul walidain pada kedua orang tua setelah meninggal dunia”, pungkas Kiai M Noor Harisudin yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember itu mengakhiri. (Anwari/Mahbib)      

Categories
Dunia Islam

Maha Santri Darul Hikam Peroleh Ijazah Kitab Fathul Mujib

Jember – Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember menerima tamu istimewa. Ya, muallif atau pengarang Kitab Fathul Mujib al-Qarib yakni KH Afifudin Muhajir, berkenan berkunjung ke pondok tersebut usai menjadi pembicara di IAIN Jember, Jumat (2/12).

Tidak sekedar hadir di pondok yang diasuh oleh Dr Kiai MN Harisuddin, MFil I, Kiai Afifuddin, sapaan akrabnya juga memberikan ijazah kitab kepada para mahasantri di sana. 

Dalam sambutannya, Kiai Harisuddin sangat berterima kasih atas kedatangan KH. Afifudin Muhajir. “Alhamdulillah, kami sangat senang atas rawuhnya romo KH. Afifudin Muhajir,” katanya. 

Dalam pandangan dosen pascasarjana IAIN Jember tersebut, Kiai Afifuddin adalah gurunya saat di Ma’had Aly Situbondo. “Karena itu, kami mohon perkenan beliau memberi motivasi pada adik-adik mahasantri PP Darul Hikam yang rata-rata mahasiswa IAIN Jember,” katanya.

Demikian pula secara khusus, Katib Syuriah PCNU Jember ini meminta kepada Kiai Afifuddin untuk berkenan memberikan ijasah karena kitabnya dijadikan bacaan wajib di pesantren tersebut.

Kiai Afifudin yang juga Wakil Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo mendoakan agar ilmun para santri bermanfaat. “Saya berdoa semoga adaik-adik mahasantri Pesantren Darul Hikam menjadi anak-anak yang sholehah, berguna bagi agama nusa dan bangsa,” katanya. Demikian pula yang tidak kalah penting adalah mereka harus terus belajar untuk mencapai cita-cita. “Jadi apapun, semoga ilmunya berkah,” kata kiai yang dijuluki kamus Ushul Fiqh berjalan itu 

“Saya ijasahkan kitab Fathul Mujib al-Qarib kepada yang hadir semua di sini, semoga menjadi amal yang berkah dan manfaat untuk umat,” ingkapnya yang diamini hadirin. (Anwari/Saiful dari www.pwnujatim.or.id)

Categories
Dunia Islam

Resep Raih Rezeki Banyak

Jember, NU Online

Katib Syuriyah NU Jember Kiai M.N. Harisudin mengatakan, jika seseorang ingin permintaannya banyak dikabulkan Allah, seyogyanya dia juga melakukan perintah Allah yang banyak. 

Kiai Harisudin menceritakan seorang kaya raya yang cepat sekali membangun rumahnya di Jakarta. Dua rumahnya seharga miliaran hanya dibangun dalam tempo tidak kurang dari 10 bulan. Setelah seorang temannya bertanya, dengan amalan apa ia bisa membangun cepat rumahnya, ia menjawab ia hanya bermodal sajadah dan air wudlu. 

“’Maksudnya apa’, tanya temannya. ‘Yaitu shalat dluha dua belas raka’at,’ jawab orang kaya raya tadi. Jadi, dengan hanya modal 12 rakaat dia bisa membangun rumahnya dengan cepat. Subhanallah,” katanya pada ceramah subuh di Bank Mu’amalah Jember yang dihadiri 60 pegawai, termasuk Kepala Bank Mu’amalah Nasrullah, Sabtu (22/10). 

Dosen Pascasarjana IAIN Jember tersebut menegaskan, inilah yang disebut dalam kitab al-Hikam karya Ibnu Athailah al-Iskandari dengan “khairu ma tatlubuhi minhu huwa ma thalibuhu minka”. “Artinya, sebaik-baik apa yang kamu minta pada Allah adalah apa yang Allah tuntut pada kamu.

Jadi jika kamu minta banyak pada Allah, maka tuntutan Allah yang banyak pada kamu juga seharusnya dilakukan. “Jangan banyak minta pada Allah, tapi perintah Allah hanya sedikit di lakukan. Ya tidak imbang namanya”, lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut disambut ger para hadirin. 

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur ini mencontohkan beberapa yang sukses dengan shalat dluha 12 rakaat. Misalnya KH Asep Saefudin Chalim, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Umah Pacet Mojokerto yang terus-terusan membangun pesantren. Menurut Kiai Harisudin, resepnya sama: dluha 12 raka’at juga. 

“Saya punya seorang karyawan. Sudah 3 tahun yang silam praktek shalat dluha 12 rakaat, dia kemarin cerita pada saya, sejak mendapat tausiyah untuk praktek shalat dluha 12 rakaat, dia praktek shalat tersebut. Hasilnya sejak saat itu sampai sekarang, tidak pernah kekurangan rizki, padahal dia sebelumnya sangat kekurangan. Bahkan dia bisa memberi uang pada orang tua dan adik-adiknya yang di pesantren”, tutur Kiai muda yang juga Pengurus Majlis Ulama Kabupaten Jember tersebut.

Karena itu, Kiai M.N. Harisudin mengingatkan, bahwa untuk memperoleh banyak dari Allah, maka harus diimbangi dengan banyak melakukan perintah Allah. Insyaallah, demikian ini akan dikabulkan Allah. (Anwari/Abdullah Alawi)         

Categories
Dunia Islam

Kiai M.N. Harisudin : Kyai Tidak Ada Yang Melakukan Penggandaan Uang

Jember, Darul Hikam

Katib Syuriyah PCNU Jember, Kiai M Noor Harisudin mengaku bersyukur atas tertangkapnya Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo oleh Polda Jawa Timur. Menurutnya, sudah sepantasnya Taat Pribadi ini ditangkap karena sudah banyak melakukan penipuan pada ribuan orang.

“Ini aneh, ada seorang dukun dianggap bisa menggandakan uang banyak, tapi ternyata tidak ada hasil penggandaannya. Saya herannya, kok masih banyak pengikutnya. Ini pakai ilmu apa?” Ujar Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut ditemui di kantor NU Jember, Jalan Imam Bonjol 41 A, Jember, Sabtu lalu.
Tentu, menurut pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini, ada sesuatu yang janggal. Dan, sesuatu yang janggal ini baru ditemukan sekarang. “Jadi, kalau sekarang ini baru ditemukan kasusnya, ya memang ada yang salah di Kanjeng Taat ini. Jadi, saya sangat mendukung apa yang dilakukan Polda tersebut, terutama setelah dua orang anggota mereka dibunuh karena dianggap akan membongkar kebobrokan Taat Pribadi.”

Selain itu, Kiai M.N. Harisudin juga menyorot pandangan sebagian orang kalau Kanjeng Taat seorang kiai. “Tidak benar, kalau Taat Pribadi itu seorang kiai. Seorang kiai itu mengajarkan agama Islam. Tidak ada seorang kiai yang gandakan uang. Makanya, kediaman Taat Pribadi bukan pesantren, melainkan padepokan. Sekali lagi, Taat Pribadi bukan seorang kiai,” tutur Sekjen Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo tersebut. Ke depan, Kiai MN Harisudin berharap umat semakin dewasa sehingga tidak mudah dibohongi oleh siapa pun dengan modus apa pun juga. “Ini juga pelajaran bagi kita semua agar semakin ‘cerdas’ dalam menghadapi godaan materialisme dalam hidup. Kalau mau kaya, ya dengan kerja, tidak uang diberikan untuk digandakan seperti Kanjeng Taat Pribadi. Tapi, setelah kaya, juga ditasharufkan untuk kemanfaatan banyak orang. Ini yang ajaran Islam,” katanya.

(Anwari/Humas NU) 

Categories
Sains

Katib Syuriyah NU Jember: Tanpa Resolusi Jihad, Tidak Ada 10 Nopember

Jember, NU Online

Ada banyak yang disembunyikan dalam sejarah, termasuk peran santri dalam merebut kemerdekaan RI. Para ahli sejarah sekarang yang mulai membuka tabir peran santri dalam kemerdekaan. Demikian disampaikan Katib Syuriyah NU Jember, Dr. Kiai MN. Harisudin, M.Fil.I dalam tausiyah Peringatan Hari Santri Nasional dan Khotmil Qur’an di Aula Universitas Islam Jember, Jum’at, 28 Oktober 2016, jam 09.00 Wib sd 10.30 WIB. Acara ini dihadiri rektor Universitas Islam Jember, Drs. H. Abdul Hadi, SH, MM, para dekan, dan seluruh pegawai dan dosen yang berjumlah kurang lebih 150 orang.

“Makanya, sekarang dengan adanya hari santri ini peran santri ini diakui. Ini bukan riya’, melainkan tahaduts bin ni’mah agar ke depan peran santri semakin meluas dalam kancah nasional”, ujar Kiai MN Harisudin yang juga Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama Jember yang menaungi Universitas Islam Jember.

Kini, lanjut Kiai M.N. Harisudin, orang mulai sadar bahwa tanpa resolusi Jihad NU tanggal 22 Oktober 1945, maka tidak mungkin ada peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. “Jadi, betapa pentingnya santri dan kiai dalam merebut kemerdekaan RI”, ujar Kiai M.N. Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.

Selanjutnya, dalam rangka mengisi hari santri, Kiai M.N. Harisudin mengajak menedalani para pahlawan yang menggunakan filosofi: bagaimana menggunakan umur bukan berapa umurnya.”Para kiai dan ulama serta santri yang dulu berjuang sekuat tenaga selalu menggunakan umur dengan sebaik-baiknya. Ada K.H. Wahid Hasyim yang umurnya pendek, namun amalnya luar biasa. Beliau jadi Mentri Agama di umur yang belia. Karyanya juga banyak sehingga hingga hari ini namanya diabadikan menjadi nama sekolah, madrasah, universitas dan lain-lain. Ini potret bagaimana menggunakan umur, bukan berapa jumlah umurnya. Inilah yang harus kita teladani dalam kehidupan”, kata Kiai MN Harisudin yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember.

Sementara itu, Rektor Universitas Islam Jember, Drs. H Abdul Hadi, SH, MM dalam sambutannya menegaskan nilai-nilai santri seperti kemandirian, kesederhanaan dan keikhlasan yang seharusnya dipraktekkan di UIJ. “ Para santri itu selain mandiri, juga hidupnya sederhana. Makan apa adanya Tidak neka-neko. Selain itu mereka juga ikhlas. Ini yang bisa kita teladani. Oleh karena itu, saya instruksikan, nanti hari Senin, 31 Oktober, seluruh pimpinan, karyawan, dosen dan mahasiswa harus pakai baju santri, yaitu sarungan dan pakai bakiak tidak apa. Ini untuk memperingati hari santri tanggal 22 Oktober kemarin”, ujar Drs. H Abdul Hadi, MM disambut tertawa gembira seluruh hadirin.   

(Anwari/Humas NU)             

Categories
Resensi Buku

Membantah Dalil Salafi-Wahabi tentang Maulid Nabi Saw.

Judul Buku    : Argumentasi Peringatan Maulid Nabi Bantahan Terhadap Salafi-Wahabi

Penulis            : M. Baits Kholili dan M. Faiz Nasir

Peresensi        : Yuni dan Halimah

                         Maha Santri Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember dan Mahasiswa 

                         IAIN Jember

Penerbit          : Pustaka Radja

Kota Terbit    : Surabaya

Tanggal Terbit: Agustus 2016

Tebal Buku    : xii + 114

Secara istilah Maulid nabi Muhammad SAW merupakan perayaan kelahiran baginda Nabi SAW,  dengan tujuan mengingat sirah beliau untuk menanamkan kecintaan kepadanya, serta mempraktekkan seluruh ajarannya.

Ada sejarah tersendiri dari perayaan Maulid Nabi SAW. Menurut beberapa pendapat orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi SAWadalah Syaikh bin Muhammad Umar al-Mulla (Abad 6 H) dan kemudian diikuti oleh Raja Irbil (Malik Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukkburi bin Buktikin). Namun pada hakikatnya perayaan maulid, sudah dilakukan oleh Nabi SAW sebagai shahib maulid itu sendiri. Beliau merayakan kelahirannya dengan berpuasa pada tiap hari senin, tidak dalam bentuk seremoni perayaan maulid Nabi SAW seperti yang dilakukan oleh raja Irbil dan kemudian terlaksan hingga saat ini.

Dibalik dari perayaan maulid Nabi SAW ini sendiri tidaka hanya sekedar perayaan seperti biasanya, namun ada beberapa keutamaan dan faedah dari perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Sebelum itu, didalam perayaan maulid Nabi SAW ada beberapa unsur yang terkandung didalamnya diantaranya kebaikan, atau bahkan unsur syara’ seperti membaca al-Qur’an, shalawat, sedekah, nasihat, silaturrahmi, dan mengingat sejarah Rosulullah SAW dan mensyukuri lahirnya beliau. (Hal: 56)

Adapun keutamaan dan faedah dari perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, sebagaimanaberikut: (1) Pembacaan sirah Nabawiyah(2) Pembacaan shalawat Nabi SAW (3) Kebaikan sosial (4) Pembacaan al-Qur’an dan lain-lain (5) Memperoleh hikmah dari kisah-kisah orang yang mmengagungkan Maulid Nabi SAWdan (6) Menghadirkan ruh Nabi SAW.

Sedangkan hikmah merayakan Maulid Nabi SAW pada hari Senin adalah:

Pertama, sebagaimana tertera dalam hadis bahwa Allah SWT menciptakan pepeohonan pada hari Senin, dan hal itu merupakan peringatan besar bahwa penciptaan rezeki-rezeki, makanan-makanan pokok, serta kebutuhan primer yang lainnya.

Kedua, lafadz “rabi” dari pecahan kata rabi’ul awwal merupakan isyarat kebaikan serta tafa’ul (berharapan baik).

Ketiga, bulan Rabi’ adalah paling seimbangnya cuaca bulan diantara beberapa bulan, sedangkan syari’at Nabi SAW adalah paling seimbangnya syari’at diantara beberapa syari’at.

Keempat, Allah SWT menghendaki untuk memuliakan bulan ini dengan kelahiran Nbi SAW.

Mayoritas ummat Islam dipenjuru dunia ini merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Bahkan menjadi rutinitas tahunan yang ditepatkan pada bulan Rabi’ul Awwal namun ada sebagian kelompok Salafi Wahabi yang menolak keras terhadap perayaan Maulid Nabi SAW ini dengan dalih bahwa perayaan semacam ini tidak pernah dilakukan dan dipraktekkan oleh Nabi SAW sendiri bahkan para sahabat, tabi’in, dan semua orang yang hidup akhir era generasi salaf. Seremonial perayaan Maulid Nabi SAW memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan sahabatnya. Akan tetapi nilai-nilai serta komponen-komponen yang terkandung didalam perayaan Maulid Nabi SAW ini merupakan anjuran syara’. Perayaan hanyalah sebuah seremonial yang membungkus dan mewadahi serangkaian ibadah-ibadah yang terlaksana didalamnya. (Hal 98)

Melihat dari buku ini ada beberapa poin yang membuat buku ini memang layak untuk dibaca oleh semua kalangan mulai dosen, ustadz, santri, dan para stakeholder yang lain yang ingin tahu tentang dalil-dalil mauled Nabi. Kelebihan lain buku ini adalah bahwa pemaparan dari semua isi serta pokok pemikiran yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembacaa sangat  jelas alias tidak berbelit-belit sehingga mudah difahami oleh pembacanya dan serasa enak dan mengalir.

Namun, disamping itu, ada beberapa poin kekurangan dari buku ini, yaitu: banyaknya penulisan ayat al-Qur’an serta hadis yang ditulis tanpa harakat atau tanda baca, sehingga membuat sebagian pembaca tidak mengerti apa yang di maksud dari penjelasannya.  Serta ada beberpa tata bahasa dan penulisan yang kurang tepat. Serta desain sampul yang kurang sempurna.

Wallahu’alam. **

Categories
Dunia Islam

Dukungan Sepenuh Hati untuk Sang Buah Hati

Jember, NU Online

Katib Syuriyah NU, Dr. Kiai MN. Harisudin, M.Fil.I mendukung kebijakan Anies Baswedan, Mendikbud RI, yang mengeluarkan surat edaran kepada  aparatur sipil Negara (ASN) yang hendak mengantar anak-anak mereka pada hari pertama ajaran baru. Sebagaimana dimaklumi, Anies Baswedan mengeluarkan surat edaran tertanggal 11 Juli 2016 yang meminta Gubernur, Bupati dan Wali Kota terkait dengan  dispensasi pada ASN untuk mengantar buah hati mereka pada hari pertama pelajaran.

Demikian disampaikan Dr Kiai M.N. Harisudin, M.Fil. I di sela-sela acara Halal Bi Halal PCNU Jember yang diselenggarakan pada Kamis, 20.00 WIB sd 21.00 WIB di kediaman Prof. Babun Suharto, MM, di Condro Kaliwates Jember.

“Para orang tua mesti menyadari bahwa anak itu merupakan “aset” dunia dan akhirat kita. Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita harus mereka jaga betul bagaimana agar aset itu bisa berfungsi maksimal. Caranya, ya harus mendukung buah hati dengan sepenuh hati”, tukas Kiai M.N. Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur.

Mendukung buah hati, lanjut Kiai MN Harisudin, salah satunya dengan mengantar anak-anak ke sekolah di hari pertama. “Menurut saya, ini seruan moral yang baik untuk orang tua, terutama yang menjadi Aparatur Sipil Negara. Dukungan pada buah hati jangan setengah hati, melainkan harus total”, pungkas Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember dan sejumlah Pasca Sarjana di Perguruan Tinggi Jawa Timur.

Menurut Kiai M.N. Harisudin, pada umumnya, sebagian orang tua karena merasa memiliki finansial yang memadai, hanya mencukupkan anaknya diantar pembantu atau sopirnya. “Ini pandangan yang keliru, karena jika orang tuanya sendiri yang mengantarkan anaknya pasti anaknya akan semakin bersemangat sekolah dan akan lebih merekatkan hubungan orang tua, anak dan juga sekolah. Sedemikian pentingnya peran orang tua dalam kesuksesan pendidikan anaknya”, ujar Dr Kiai MN Harisudin, M.Fil.I yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Sementara itu, Wakil Sekretaris NU, Kiai Moh. Eksan, S.Ag, menyatakan bahwa SE Mendikbud RI, tak lebih sebagai seruan moral. Tujuannya adalah ikhtiar moral pemerintah untuk merekatkan hubungan  antara orang tua, siswa dan sekolah sebagai pelaku pendidikan. “Hubungan yang sinergis mutlak diperlukan untuk menopang kesuksesan pendidikan nasional. Jadi, menurut saya dukungan finansial saja tidak cukup ”, kata Moh. Eksan yang alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Jember tersebut.

Kiai Moh. Eksan berharap orang tua harus lebih menyadari bahwa pendidikan pada dasarnya tugas dan tanggung jawab orang tua. Sedang guru dan masyarakat hanya membantu.”Namun lama kelamaan, seakan tugas dan tanggung jawab pendidikan hanya pada guru. Orang tua hanya membantu. Ini menurut saya tidak benar”, tukas Moh. Eksan yang juga Pengasuh Ponpes NURIS II Mangli Jember tersebut.

(Anwari/Kontributor NU Online)     

Categories
Kolom Pengasuh

Ironi “Pesta-Pora” Dalam Puasa

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Setiap kali memasuki sepuluh hari kedua puasa, kita dipertontonkan dengan ironi pesta-pora puasa. Puasa yang semestinya untuk mengendalikan, justru malah meningkatkan libido nafsu konsumerisme. Lihatlah dengan seksama, pesta pora yang mewujud dalam jubel ramainya orang melakukan buka bersama di rumah makan dan restoran. Mall dan pusat perbelanjaan yang menjadi jujugan banyak umat Islam dalam menghabiskan milyaran bahkan triliunan rupiah. Antrian panjang berbagai makanan menjelang buka puasa menjadi pemandangan yang tidak luput dari pengamatan keseharian kita.   

Puasa yang sejatinya menjadi media untuk mengendalikan nafsu, tiba-tiba menjadi pembiakan nafsu sehingga alih-alih terkendali, justru nafsu malah menjadi liar tak terkendali. Puasa yang semestinya berjalan dalam suasana hening menjadi hiruk pikuk konsumerisme manusia. Ritus konsumerisme ini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari puasa. Ada tontonan kemewahan, kesenangan, kepuasan diri, gengsi dan citra diri dalam ritus konsumerisme. Apalagi, demikian ini juga terkait dengan kesuksesan manusia mencapai “pangkat, jabatan dan kedudukan terhormat”, ketika pulang kampung dengan membawa oleh-oleh hasil olah konsumerisme yang sangat melimpah-ruah tersebut.

Konsumerisme sebagai gaya hidup yang boros ini secara faktualditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka. Lihatlah, takaran makan orang yang tiba-tiba dua kali lipat atau bisa jadi lebih daripada hari biasa di malam hari Ramadlan. Pada ghalibnya, sikap ini merupakan aksi “balas dendam” terhadap penderitaan puasa di siang hari dengan keadaan berlapar-lapar yang sangat.    

Mengabaikan Subtansi Puasa  

Banyak sekali orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Demikian bunyi hadits Nabi Saw. yang sering diceramahkan para kiai, ustdaz, dan ustadzah di bulan Ramadlan. Namun sayangnya, hadits ini malah dipakai sebagai justifikasi bahwa realitas masyarakat yang berpuasa dengan gaya hidup konsumerisme ini sebagai sunnatullah yang wajar-wajar saja. Artinya, perilaku ini dianggap bukan suatu masalah yang serius untuk dicarikan solusinya. Padahal, hadits ini sesungguhnya berbicara tentang banyak orang berpuasa, namun sesungguhnya ia meninggalkan subtansi puasa.

Subtansi puasa, adalah pengendalian diri. Me-refer pada Yusuf Qardlawi (1991 M), subtansi puasa adalah penghancuran nafsu syahwat manusia (kasru syahawt an-nas). Yusuf Qardlawi juga menyebut subtansi puasa yang lain, yaitu mengubah  “nafsu amarah” menjadi “nafsu mutmainnah”. Ulama salaf menyebut subtansi puasa sebagai pensucian terhadap jiwa dan anggota tubuh manusia dari melakukan berbagai kemaksiatan serta  dosa.

Ulama salaf lebih memilih berkonsentrasi pada subtansi puasa. Mereka berlomba untuk melakukan puasa yang tidak hanya sekedar tidak makan, minum dan bersenggama. Mereka melakukan ritual “puasa tarekat” dengan meninggalkan berbagai kesenangan duniawi. Orang-orang saleh ini melakukan puasa tarekat dengan menutup anggota tubuh dari berbuat dosa. Mulut, telinga, hidung, pikiran, hati dan semua anggota tubuhnya disucikan dari melakukan berbuat maksiat pada Allah Swt. Sebaliknya, semua anggota tubuhnya didedikasikan pada Allah Swt. sehingga tidak cukup waktu untuk memikirkan konsumerisme.

Kritik Imam Ghazali (t.t) dalam kitab Bidayah untuk tidak memperbanyak konsumsi makan di malam hari harus dilihat sebagai upaya untuk konsentrasi pada subtansi dalam puasa. Bagaimana mungkin, kita makan malam hari puasa dengan takaran yang sama dengan hari tidak puasa atau bahkan bisa lebih. Demikian al-Ghazali mengkritik jamaknya umat Islam yang berpuasa hanya sekedar balas dendam atas siang hari puasa. Jika kritik Ghazali ditarik pada spektrum yang lebih luas, maka muncul gugatan: bagaimana mungkin konsumerisme bisa sangat berlipat-lipat justru di bulan puasa yang mestinya gaya hidup  konsumerisme dilipat di sudut pojok kehidupan? Tapi, mengapa justru konsumerisme menguat dan subtansi puasa hilang dalam peredaran kehidupan umat.            

Menuju Nilai Kesederhanaan         

Nabi Saw. sendiri mencontohkan dengan sempurna kesederhanaan, baik di bulan puasa ataupun luar bulan puasa. Lihatlah kehidupan Rasulullah Saw. ketika berbuka puasa hanya dengan seteguk air putih dan beberapa buah kurma. Dalam beberapa riwayat, juga diceritakan seringkali Nabi Saw. berbuka puasa dengan tidak ada makanan yang cukup. Nabi Saw. juga acapkali puasa sunah ketika Aisyah mengatakan bahwa tidak ada persediaan makanan pada hari itu. Ini semua menunjukkan betapa sederhananya cara Nabi Saw. berpuasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Saw. juga sangat sederhana. Beliau berpakaian sangat sederhana. Tidak ada kemewahan fashion ala Rasulullah Saw. Demikian juga dengan rumah Nabi Saw. Apalagi, tempat tidur beliau yang sangat jauh dari kemewahan alias sangat sederhana. Ketika seorang perempuan Anshor masuk ke kamar Nabi Saw. bersama Siti Aisyah, betapa kagetnya tempat tidur seorang pemimpin agung Islam tersebut. Air matanya bercucuran melihat tempat tidur Nabi Saw. seraya meminta ijin pada Aisyah untuk mengambil selimutnya yang baru dan mewah untuk diberikan pada baginda Rasul. Namun, anehnya baginda Rasulullah memilih menolak pemberian wanita Ansor ini karena beliau memang ingin hidup sederhana.

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Saw. ingin mempertontonkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupan. Kesederhanaan yang bahkan beliau sebut sama dengan kemiskinan. Nabi Saw. seringkali berdoa lirih untuk selamanya menjadi orang miskin. ” Allahuma ahyina miskinan. Wa amitna miskinan. Wahsyurna fi zumratil masakin. Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Matikan aku dalam keadaan miskian. Dan kumpulkan kami bersama orang-orang miskin”. Betapa sangat sederhana atau miskinnya beliau, sang pemimpin agung kita. Adakah pemimpin-pemimpin kita yang berani berdoa demikian ?

Inilah yang semestinya kita tuju sebagai umat Muhammad dalam berpuasa. Yaitu dengan menerapkan nilai-nilai kesederhanaan yang kini nyaris hilang dalam gemerlap kemewahan hotel berbintang, mobil mewah, dan hiruk pikuk kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan kita dengan Tuhan.  

Wallahu’alam. **       

Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Alamat:  Ponpes Darul Hikam

Perum Pesona Surya Milenia C.7 No. 6 Mangli Kaliwates Jember Jawa Timur.

Telp: 082331575640. 081249995403. Email: mnharisudinstainjember@gmail.com

Norek. 0243453809 BCA KCU Jember atas nama M. Noor Harisudin.

Categories
Sains

JECO Bagikan Ratusan Bingkisan dan Takjil Ramadlan

Jember, NU Online

Bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia, Jember Entrepreneur Community (JECO) yang diketuai Rueko Djoko Nugroho membagi-bagikan  kurang lebih tiga ratus bingkisan lebaran pada kaum dluafa dan fakir miskin.  Acara diselenggarakan di auditorium RRI Jember, Selasa, 28 Juni 2016, sore jam 16.00 Wib sd Maghrib. Hadir pada kesempatan itu, Ketua Jeco, Rueko Djoko Nugroho,  Kasi LPU RRI, Mudiono dan Pembina Jeco, Dr. Yuli  Witono, S.Tp,M.P. Selain itu, juga hadir, penceramah Dr Kiai MN Harisudin, M. Fil. I yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember.  Sementara, para pengurus JECO juga ikut berpartisipasi mensukseskan acara tahunan tersebut.

Dalam sambutannya, Ketua JECO, Rueko, menyatakan bahwa ini adalah kegiatan tahunan para pengusaha yang tergabung di JECO. “Alhamdulillah, sekarang ini murni para pengusaha JECO. Kalau kemarin, masih dibantu artis yaitu Mas Anang Hermansyah. Sekarang, artisnya ya beliau-beliau yang ada di depan-depan ini”, tukas pak Rueko menunjuk Dr Yuli Witono, Mas Sigit, dan para pengusaha yang hadir di depan.

Sementara, Kasi LPU RRIJember, Mudiono, menyampaikan terima kasih pada JECO atas kerja samanya. Karena RRI selama ini menurutnya masih belum familiar di masyarakat. “Nah, JECO ini membuat RRI semakin terkenal dan bersahabat pada masyarakat. Ke depan perlu ada kerja sama yang lebih baik lagi”, jelas pak Mudiono mengapresiasi kerjasama JECO.

Acara diakhiri dengan tausiyah dari Dr. Kiai MN Harisudin, M.Fil. I. Dalam tausiyahnya, Kiai MN Harisudin menekankan pentingnya syukur. “Hari ini, bulan ini, kita bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah Swt. untuk melakukan ibadah puasa. Tahun kemarin, mungkin ada saudara, teman, atau anak, yang masih ikut bersama kita menjalankan puasa, sekarang mereka sudah tidak kita jumpai. Jadi, kita bersyukur masih bisa puasa”, tukas kiai muda yang juga Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.

Kiai MN. Harisudin juga menekankan pentingnya doa di bulan puasa. “Di dalam QS. Al-Baqarah tentang puasa ada dua ayat 185 dan 187 yang di tengah-tengahi dengan perintah berdoa. Waidza saalaka ‘ibadi anni fainni qarib.  (QS. Al-Baqarah: 186). Artinya: Ketika para hambaku minta padaku maka sesungguhnya Aku maha dekat. Makanya, mari kita doakan para pengusaha JECO ini agar tambah maju dan jaya. Mereka menjadi orang-orang terkaya di Indonesia sehingga lebih banyak manfaatnya. Juga, mari kita doakan RRI Jember, agar semakin lebih maju dan jaya. Apalagi, auditorium RRI ini sudah seperti hotel”, doa Kiai M.N. Harisudin yang diamini seluruh peserta yang hadir.

Pesan Ramadlan yang terakhir disampaikan Kiai MN Harisudin adalah terkait dengan ketaqwaan. “Tujuan puasa tidak lain adalah bertakwa. Jadi, mari kita fokuskan puasa agar kita menjadi bertakwa. Yaitu puasa tidak hanya sekedar tidak makan, tidak minum dan tidak senggama. Melainkan, agar kita lebih baik lagi perilaku dan sifat kita”, tukas Kiai M.N. Harisudin Wakil Ketua PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut mengakhiri yang disambung dengan do’a.

(Anwari/Kontributor NU Online)