Categories
Opini

Ketika Al-Quran Melekat Di dalam Jiwa

Indonesia memiliki umat beragama Islam terbanyak di dunia. Umat yang menteladani figur agung Nabi Muhammad Saw yang menjalani pahit manisnya kehidupan dengan tanpa gundah gulana. Cacian dan makian beliau terima dengan lapang dada. Akhlak yang mulia, ilmu yang tinggi menjadikan beliau di cap sebagai manusia satu-satunya yang paling sempurna di muka bumi.

Indonesia memiliki puluhan bahkan ribuan kyai dan ulama atau biasa disebut dalam bahasa Jawa sebagai wong ngalim artinya orang yang berilmu. Kyai dan ulama berusaha dalam mengupayakan tersebarnya syariat Islam bagi orang awam agar masyarakat mengerti dan mengetahui seluk beluk yang terkandung didalam agama Islam, karena agama Islam adalah sebaik-baiknya agama.

Sebelum Islam masuk, negara Arab disebut-sebut sebagai negara yang kacau balau. Arab menjadi sorotan utama dengan tradisi yang terkenal pada saat itu tradisi dimana setiap ibu yang melahirkan anak berjenis kelamin perempuan harus memilih salah satu dari 2 pilihan.Pilihan pertama anak perempuan harus dibunuh atau kedua diperbolehkan hidup namun orang tua harus siap menanggung aib karena mempunyai anak perempuan.

Umat Islam di dalam maupun di luar Indonesia pasti tidak asing mendengar dua pedoman yang dimiliki agama Islam yakni Al-Quran dan Al-Hadis.Keduanya mempunyai peranan sangat penting bagi umat Islam dalam menjalani hidup, dimulai dari dilahirkanya manusia ke dunia hingga kembali lagi ke tanah. Tidak dapat dielak isi dari Al-Quran yang dimiliki agama Islam adalah pedoman yang jelas, sudah pasti  kebenaranya dan tidak ada yang lebih baik darinya.

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqoroh ayat 23 yang artinya : “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Firman Allah pada ayat (23) dijawab di dalam ayat selanjutnya (24) yang memastikan bahwa tidak akan ada yang mampu membuat serupa dengan isi Al-Quran, karena memang Al-Quran diciptakan sebagai kitab yang tidak ada duanya bahkan tidak ada kesepuluhnya. Dibaan atau yang biasa disebut tiba’an dalam bahasa Jawa,sering dilakukan pada Kamis malam Jumat dimana didalamnya berkumpulnya muslimin dan muslimat bersama-sama melantunkan shalawat NabiMuhammad SAW.

Melantunkan shalawat-shalawat nabi tanpa membaca niat untuk meneladani Rasul tidak mendapatkan pahala, lain ketika kita membaca Al-Quran dengan atau tanpa niat kita sudah mendapatkan pahala dari Allah.

Berbicara tentang pengalaman menghafal kitab suci Al-Quran butuh waktu berjam-jam untuk bercerita dan butuh waktu behari-hari untuk menorehkan tinta diatas kertas putih ini.Kitab suci Al-Quran memiliki 114 surat dan 6666 ayat. Sempat terbesit satu pertanyaan di kepala penulis apa mungkin? Apakah mungkin penulis bisa khatam menghafal dengan jumlah sebanyak itu?

Penulis adalah salah satu mahasiswi di Institus Agama Islam Negeri di salah satu kota yang dikenal dengan kota administrasi yang diapit oleh tiga kabupaten di Jawa Timur.Penulis termasuk salah satu mahasiswi baru yang masuk dalam daftar nama-nama mahasiswa kupu-kupu. Mahasiswa kupu-kupu adalah mahasiswa yang kerjanya hanya kuliah pulang kuliah pulang. Masyarakat di sekitar kampus menyediakan beberapa pilihan tempat menetap untuk mahasiswa luar kota diantaranya rumah kost, rumah kontrak dan pondok. Penulis memilih rumah kost untuk menetap bersama dengan 2 teman dekatnya Luluk dan Elma. Teman yang selalu menasehati jika salah satu dari kita ada yang sedikit melewati garis batas, salah satu contohnya keluar sampai malam dengan pacar.

Delapan bulan berada di kost, Luluk memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Pondok yang jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 100 meter dari mantan kost yang dulu.Keputusan tesebut didasarkan ada campur tangan keinginan dari keluarga, selain itu dia juga merasa bosan karena tidak ada kegiatan lain sekaligus tidak ada peraturan yang menekan dirinya untuk melakukan sesuatu. Setengah tahun telah berlalu, pertambahan semesterpun juga sudah di depan mata.

Penulis merasakan adanya kekosongan hati, kosong dari pengetahuan-pengetahuan agama. Hati yang kosong sangat penting adanya pemasukan pengetahuan tentang agama, pondok insya Allah tempat yang cocok untuk itu semua. Singkat cerita, tanpa berfikir lama penulis langsung memutuskan untuk mengikuti jejak temannya untuk menetap di pondok. Orang tua sempat tidak menyetujui dengan keputusan yang ditetapkan karena menurut mereka kasihan dengan otak yang harus dibagi-bagi, urusan pondok dengan urusan kuliah. Dengan beribu penjelasan yang diutarakan penulis, akhirnya orang tua menyetujui masuk ke pondok.

Tujuan masuk ke pondok hanya satu, selain mencari ilmu di bangku kuliah tidak lain dan tidak bukan hanyalah ingin lebih dekat dengan Allah. Karena lingkungan yang menentukan, jika lingkungan yang kita tinggali buruk kemungkinan terbesar kita juga akan ikut-ikutan untuk berperilaku buruk dan sebaliknya jika lingkungan disekitar kita baik maka kitapun akan menjadi orang yang baik. Jika lingkungan kita adalah lingkungan yang selalu dekat dengan Allah, kita juga akan ikut lebih dekat dengan Allah. Pertama kali masuk pondok penulis bertemu dengan dua santri baru pindahan dari pondok sebelah Elis dan Riza. Merekalah yang mengajak penulis untuk menghafal Al-Quran dengan memberikan terjemah hadis yang isinya “Barang siapa yang menghafal Al-Quran, maka nanti di akhirat dia akan memasangkan mahkota kepada orang tuanya”.

Doa anak semoga selalu bisa membahagiakan orang tua di dunia dan akhirat. Proses menghafal Al-Quran tidak semudah membalikan telapak tangan. Niat dan tujuan yang besar adalah modal awal yang harus kita miliki untuk memulai suatu pekerjaan. Karena dengan adanya dua hal tersebut dapat mempengaruhi psikologis kita untuk selalu semangat. Bekal sabar dan tekun juga dianjurkan untuk dimiliki siapa saja yang ingin menghafal al-Quran. Di saat sudah mengulang-ulang bacaan namun tak kunjung hafal sempat membuat penulis tak lagi optimis. Air mata menetes dan pertanyaan itu kembali datang “Apa aku bisa?”.Teringat dengan firman Allah yang berbunyi: “….. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”

Kerisauan penulis sudah terjawab lewat potongan terjemahan dalam QS. Yusuf ayat 87.Orang yang berputus asa dialah orang kafir. Proses tidak akan menghianati hasil, besar prosesnya besar pula hasilnya. Semenjak dekat dengan Al-Quran, rasa aman, nyaman, tenang dan tentram telah dirasakan oleh penulis. Bukti nyata yang terjadi, dengan kita menghafal, memahami dan mengamalkan Al-Quran membuat kita semakin dekat dengan Allah. Semakin kita dekat dengan, maka Allah akan lebih dekat lagi pada kita. Nabi Muhammad bersabda: “Allah ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku saat sendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”(HR. Bukhori no 6970 dan Muslim no. 2675).

Nabi Muhammad yang sejatinya sudah terjamin manusia terjaga atau yang disebut ma’sum masih menyempatkan waktu untuk selalu dekat dengan Allah, lalu bagaimana dengan kita?Manusia biasa tanpa memiliki jaminan namun tetap sombong diatas bumi.Apa yang bisa kita banggakan selain mencari ridho Allah?
Wallahu’alam. []

Penulis: Asti Faradina. Mahasiswi Prodi Tadris Matematika FTIK IAIN Jember dan Maha Santri PP Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember

Categories
Opini

Pluralitas Yes, Pluralisme No!

Oleh: Happy Hafidzoh Widyana

Pluralisme agama, kalimat yang saat ini sangat trend di kalangan umat Islam, terutama di kalangan mahasiswa-mahasiswa Islam. Mereka beranggapan bahwa pluralisme sebagai toleransi keragaman pemikiran, agama, dan juga budaya. Lebih jauh, pluralisme ini dipahami bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi juga bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman.

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Sehingga siapapun termasuk Nabi dan Rasul sekalipun, tidak berhak mengklaim ajaran agamanya yang paling benar. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Semua dianggap sama dan tidak ada yang lebih baik antara satu sama lain.

Ironisnya, kaum Islam liberal yang sangat menyetujui akan adanya pluralisme agama. Islam liberal sendiri merupakan aliran pemikiran atau pemahaman yang mempercayai dan meyakini serta mengimani bahwasanya nash Al-Qur’an  dan as-Sunnah harus tunduk kepada akal. Mereka juga meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak. Islam liberal sangat menyetujui dengan adanya pluralisme agama, karena seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwasanya mereka mengatakan semua pemeluk agama masuk dan hidup berdampingan di surga. Dan mereka juga meggunakan surat Albaqoroh ayat 62 dan 256 sebagai landasan pemikiran mereka.

Ini berbeda jauh dengan fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang pluralisme agama.  MUI mengharamkan mengikuti paham pluralisme agama karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. MUI menolak pluralisme agama akan tetapi mengakui pluralitas agama. Antara pluralisme dan pluralitas memiliki perbedaan, dimana kalau pluralisme adalah pengakuan terhadap keberagaman dan kebenaran agama lain, sedangkan pluralitas adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau di daerah tertentu terdapat pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Islam menerima pluralitas karena merupakan Sunatullah sebagai suatu kehidupan yang menghargai suatu keberagaman. Karenanya umat Islam bisa hidup berdampingan dengan umat beragama lain secara damai dan penuh toleran, saling menghormati dan saling menghargai. Tiap umat beragama bebas meyakini kebenaranya masing-masing dan bebas untuk tidak menerima agama lain, namun tidak boleh mendzaliminya. Mereka tidak boleh memaksa untuk membenarkan agama lain sebagaimana yang dilakukan kaum liberal. Intinya Islam sangat menghargai kebebasan beragama tetapi menolak mencampur adukkan agama dan penodaan agama.

Alasan lainnya MUI menolak pluralisme  karena mereka meyakini hanya orang Islam yang bakal masuk surga, sedangkan yang lain masuk ke dalam neraka. Meskipun begitu MUI tetap adanya mengakui pluralitas agama . Karena dengan pluralitas agama, kita bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dan kita juga tidak mendzalimi mereka. Dalam hal ini, MUI menggunakan dalil QS. Surat Al-Imran ayat 85 dan 19 :

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imron: 85).

Pada ayat yang lain, Allah Swt. juga berfirman:

“Dan barang siapa mencari agama selain islam, dia tidak akan diterima, dan diakhirat ia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 19)

Kedua ayat ini menegaskan bahwa agama yang paling benar adalah Islam. Inilah yang harus kita pegangi sebagai umat Islam. Setiap muslim mesti meyakini agamanya yang paling benar. Tidak mungkin ada banyak kebenaran dalam agama. Karena itu, Islam yang benar dan yang lain tidak benar. Kira-kira, demikian logika yang dibangun oleh Majlis Ulama Indonesia.    

Sikap toleransi boleh saja, akan tetapi sikap toleransi harus memiliki rambu-rambu tersendiri dalam Islam. Islam sudah mengatur sedemikian rupa kerukunan antar umat manusia dengan tidak mengabaikan kemurnian aqidah yang dianut oleh umat muslim. Sehingga tidak hanya esensi dari toleransi, yaitu  terciptanya kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, tetapi juga keutuhan dan kemurnian aqidah tetap terjaga.

Walhasil, toleransi tetap dapat dilakukan dengan baik  sembari mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing seperti yang sudah di jelaskan dalam Alqur’an surat Al-kafirun ayat 6: Lakum dinukum waliyaddin (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Inilah yang penulis maksud: “Pluralitas Yes, Pluralisme No”.

Wallahu a’lam bis shawab.**

Categories
Opini

Muslimah dan Pasir di Pesisir Pantai

Oleh: Mar’atus Sholehah

“Dan katakanlah pada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat), kecuali yang biasa tampak.dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan auratnya………”(QS. An-Nur:31).

Wahai nabi!, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “hendaknya mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.“ yang demikian itu agar mereka lebih dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Ahzab: 59)

Ukhti, kita sebagai muslimah yang mukmin tentunya sudah mengerti tentang diwajibkannya jilbab pada kita semua sesuai dengan ayat diatas. Begitu sempurnanya Islam menjaga kita, menjaga kehormatan kita agar kita tetap menjadi muslimah yang beriman. namun, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjaga diri kita dengan sempurna? Sesempurna Islam menjaga kehormatan kita. 

Berbicara masalah menutup aurat, kita tahu sekarang kita hidup dizaman akhir, yang mana menurut ulama’ zaman yang tidak sebaik zaman-zaman terdahulu, juga bisa diartikan wanita terdahulu tentunya lebih baik dari wanita zaman sekarang dari menutup auratnya sampai  memelihara kehormatannya serta akhlaqnya yang mulia.

Ukhti, sebelum globalisasi dunia barat masuk pada agama Islam,  muslimah yang menutup auratnya sangat anggun sekali, mereka menutup auratnya dari atas kepala hingga ujung kakinya tanpa ada lekuk tubuhnya yang terlihat sedikitpun. Mereka sangat menjaga kehormatan mereka sebagaimana Islam menjaga kehormatan mereka, mereka taat pada perintah Allah, menjauhi apa yang telah dilarang oleh Allah, dan mereka juga mempunyai akhlaq yang amat sangat mulia, seakan mereka adalah mawar yang ada didalam kaca, indah dipandang namun sukar untuk dipegang.

Ukhti, mari kita lihat wanita-wanita muslimah zaman sekarang!. Amat sangat jauh sekali bukan? Apabila kita mencari kriteria wanita yang sebanding dengan yang sudah dikatakan diatas, mungkin kita hanya menemukan satu diantara seribu. Wanita zaman sekarang memang sudah menutup anggota tubuhnya, tapi mereka tidak dikatakan menutup aurat. Mengapa demikian? Bukankah mereka sudah berjilbab? Mereka sudah memakai pakaian yang sudah menutup dari ujung kaki sampai ujung kepala bukan?.

Memang, mereka telah menutup auratnya,  tapi mereka menampakkan seluruh lekuk tubuhnya sehingga terlihat sesak untuk bernafas. Mereka tidak bisa dikatakan menutup aurat dengan sempurna, mereka juga tidak bisa dikatakan menjaga kehormataannya, karena yang mereka kenakan menimbulkan syahwat kaum adam. Mereka bagaikan pasir di pesisir pantai, yang boleh dipijak dan dimiliki siapa saja.

Ukhti, jauh pada saat sang Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Masih hidup, beliau pernah bersabda yang artinya “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya, mereka ialah: 1)Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip dengan ekor sapi untuk memukuli orang lain, 2) Wanita yang berpakaian tapi telanjang dan berlenggak-lenggok, kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta, mereka itu tidak masuk syurga, dan tidak pula mencium baunya, padahal sesungguhnya bau syurga itu bisa tercium dari jarak sekian-sekian (HR. Muslim).

Hadits diatas sudah terbukti di zaman sekarang. Dan bahasa saat ini terkenal dengan nama “Jilbob”. Yang mana jilbob ini tertuju pada wanita yang menutup auratnya tidak sesuai dengan syari’at Islam yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. di atas. Demikian ini merupakan suatu hinaan bagi Jilbobers, sedangkan mereka tidak sadar dengan itu semua. Mereka hanya tahu bahwa yang mereka lakukan itu merupakan suatu hal yang lumrah dalam perkembangan zaman. Namun ada juga yang sadar tapi tetap tidak ingin melakukan jilbob, karena lebih mengedepankan nafsunya untuk bergaya di depan para pria.

Ukhti, menjadi wanita yang dijaga kehormatannya oleh Tuhannya merupakan suatu hal yang sangat  istimewa. Mari kita berusaha untuk menjaga kehormatan kita sebagaimana Allah telah menjaga kita dengan firmannya. Kita berusaha menjadi wanita yang dirindukan oleh syurga beserta isinya.

Ingatlah pesan dari Sayyidah A’isya RA. “Sebaik-baik wanita adalah yang tidak memandang, dan tidak dipandang. Jangan kau merasa bangga dengan kecantikanmu, sehingga kamu dikejar sejuta laki-laki, itu bukan suatu kemuliaan bagimu. Jika kau merasa bangga, kau menyamakan dirimu dengan pepasir dipesisir pantai, yang boleh dipijak dan dimiliki siapa saja. Muliakanlah dirimu dengan taqwa, setanding mutiara zabarjad yang hanya mampu dimiliki penghuni syurga.” Wallahu’alam.**

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Menggagas Fikih Nusantara

Oleh: Dr. M.N. Harisudin M. Fil. I

Dosen Pascasarjana IAIN Jember

Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

17 mei

Secara derivatif, terma Fikih Nusantara yang saya ajukan adalah bagian dari gagasan besar Islam Nusantara. Islam Nusantara, meski baru digemakan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur, namun secara subtansi sesungguhnya sudah didiskusikan sejak lama. Bahkan, sebagai praksis umat, Islam Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama juga menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam di Indonesia ratusan tahun yang silam. Islam Nusantara telah menjadi casing umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat. Islam Nusantara ini pula yang menjadi magnet bagi umat Islam di seluruh dunia.

Saya ingin mengajak pembaca pada dunia yang lebih kecil dalam Islam Nusantara, dengan apa yang saya sebut sebagai “Fikih Nusantara”. Fikih Nusantara adalah fikih yang dipraktekkan di nusantara, sesuai dengan keadaan realitas nusantara. Adalah Prof Hasbi as-Shidiqi, Guru Besar Hukum Islam IAIN Yogyakarta (sekarang bernama UIN Yogyakarta) yang menyebut pertama kali dengan Fikih Indonesia. Gagasan Hasbi as-Shidiqi dilatari oleh kejumudan fiqh di tahun 1940 yang dirasa tidak bisa memberikan solusi-solusi atas berbagai problematika umat. Meski tidak direspon dengan baik, namun gagasan Hasbi inilah yang dicatat sejarah sebagai tonggak permulaan tentang fikih Nusantara.

Gagasan Hasbi sendiri, dari aspek content, hemat saya, sebetulnya, tidak luar biasa karena pembaruan fiqh Indonesia yang ia tawarkan, sejatinya hanya dalam ruang lingkup mu’amalah. Hasbi tidak berani secara progresif melakukan pembaruan terhadap bidang “ibadah mahdlah” seperti haji, sholat, besaran zakat, puasa dan sebagainya. Pada tahun 1961, Hasbi kembali mengungkapkan gagasan tentang Fikih Indonesia dan  baru mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Tentu, yang luar biasa adalah keberanian Hasbi menyodorkan gagasan Fiqh Indonesia yang dipandang tabu saat itu.  

Pada etape selanjutnya, pengaruh pikiran Hasbi sungguh luar biasa. Hukum Islam yang sudah lama “dipinggirkan” mulai untuk ditempatkan ditempat yang terhormat. Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam berada menjadi bagian dari hukum adat, namun setelah ada pikiran Hasbi dan lalu diteruskan oleh pembaharu selanjutnya, Hazairin, menjadikan hukum Islam menjadi elemen yang mandiri dalam hukum nasional. Hukum nasional menjadi terpola dengan tiga elemen penting: hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Pada masa orde reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menajdi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (1991), UU tentang zakat (1999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari’ah (2008) dan lain sebagainya.

Saya ingin menggaris bawahi bahwa Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanapun juga, gagasan Hasbi as-Shidiqi telah menjadi batu bata pertama fikih Nusantara di negeri ini. Hasbi memang membayangkan Fiqh Nusantara seperti Fikih Hijazi, Fikih Hindi dan Fikih Mishri. Dan kini, tejadi percepatan luar biasa atas fikih Nusantara di negeri ini. Fikih Nusantara  setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus: living laws (hukum yang hidup) dan positif laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah fikih Nusantara.

Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara itu, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.  

Fikih Nusantara ini secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan karena ditopang minimal oleh tiga dalil utama, yaitu istihsanmaslahah mursalah dan ‘urf. Jika istihsan adalah menganggap baik apa yang dianggap baik oleh mayoritas muslim, dan maslahah mursalah merupakan maslahah yang tidak diperintah maupun dilarang langsung oleh syara’, namun mengandung dimensi kemanfaatan yang nyata dan bersifat luas, sementara ‘urf adalah tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat luas. Ketiga dalil ini, memperkokoh basis epistemologis Fikih Nusantara, menjadi fiqh yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Dari aspek produk, ulama Nusantara juga telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi “ukuran aurat” dengan tidak menggunakan hijab ‘ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy’ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri alm. KH. Abdurrahman Wajid, Presiden RI yang keempat.

Produk lain Fikih Nusantara yang bahkan telah ditetapkan sebagai qanun dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harta gono-gini. Harta gono -gini merupakan harta bersama suami-istri setelah menikah. Dalam KHI disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta, maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono-gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan Fikih Konvensional yang ada dan dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama Timur Tengah.

 Walhasil, Fikih Nusantara adalah fiqh yang telah built-in dan mengakar dalam kehidupan Muslim nusantara. Fikih ini akan terus tanpa henti melakukan “perubahan” sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana kaidah Fikih: Taghayyurul  ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada  selain “ibadah mahdlah”. Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini, sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.     

Wallahu’alam. **                  

Categories
Opini

Guruku, KH Afifuddin Muhajir

Oleh:  Abdul Moqsith Ghazali

Tubuhnya kecil, berkulit kuning langsat. Tatapan matanya tajam. Berpenampilan sederhana. Suaranya lembut dan timbrenya tipis. Terkesan hemat bicara. Intonasinya datar. Pembawaan dirinya tak mengecoh orang untuk segera memerhatikannya. Namun, ketika ia tampil sebagai pembicara di forum-forum seminar, audiens tak bisa mengabaikannya. Ia tampak powerfull. Di balik tubuhnya yang ringkih, tersimpan energi intelektual luar biasa. Itulah KH Afifuddin Muhajir, wakil pengasuh pesantren Sukorejo Asembagus Situbondo.

Saya berjumpa dengan banyak orang yang mengakui kedalaman ilmu dan keluasan wawasan Kiai Afif. Bahkan, jauh sebelum saya belajar kitab kuning kepada Kiai Afif (begitu ia biasa disapa sekarang), saya sudah mencium keharuman namanya dari alumni pesantren Sukorejo yang mengajar di pesantren kepunyaan orang tua saya. Mereka berkata bahwa Kiai Afif (saya dulu memanggilnya “Ustad Khofi”) mendapatkan ilmu ladunni, yaitu ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tak terkecuali ayah saya (KH Ghazali Ahmadi) dan paman saya (alm KH Qasdussabil Syukur) yang pernah mengajar Kiai Afif di pesantren Sukorejo mengakui kealiman Kiai Afif.

Karuan saja, ketika saya dikirim orang tua untuk belajar di pesantren Sukorejo, Kiai Afif adalah orang pertama yang saya “buru”. Saat itu ia sudah menjadi ustad dan belum menikah. Ia tinggal di sebuah kamar-asrama yang tak jauh dari kamar-asrama saya. Setiap hari saya bisa melihat sosoknya. Kiai Afif yang ketika berjalan selalu menunduk-menatap tanah itu mungkin tak menyadari bahwa ada banyak santri seperti saya yang selalu memerhatikannya. Sambil beradaptasi dengan lingkungan sosial baru di pesantren, saya coba mendengarkan presentasinya di forum bahtsul masa’il dan kemudian mengikuti pengajiannya.

Biasanya bahkan hingga sekarang Kiai Afif mengajar kitab secara bandongan di sebuah mushala depan kediaman KH As’ad Syamsul Arifin. Kitab yang dibacanya adalah kitab-kitab marhalah `ulya seperti al-Iqna`Fathul Mu`inFathul WahhabGhayatul Wushul, dan lain-lain. Saya yang sudah dibekali ilmu-ilmu dasar keislaman oleh orang tua tak merasa terlalu sulit untuk mengikuti pengajian Kiai Afif. Saya hanya terpukau dengan kefasihan dan kepiawaiannya dalam menerjemahkan dan mengulas kitab kuning. Kiai Afif coba mengartikan kitab kuning dengan bahasa-bahasa akademik-ilmiah. Sambil mengaji, saya kerap mendengar darinya istilah-istilah seperti “argumen”, “aksioma”, “tekstual”, “kontekstual”, dan lain-lain. Itu salah satu kelebihan Kiai Afif dibanding para ustad lain ketika itu.

Setelah Kiai Afif banyak beraktivitas di luar terutama sejak menjabat Katib Syuriyah PBNU, publik Islam mulai mengetahui kealiman Kiai Afif di bidang ushul fikih. Tak sedikit dari mereka yang bertanya, di mana Kiai Afif belajar ushul fikih? Saya tak segera menemukan jawabannya. Ini karena Sukorejo sendiri, tempat Kiai Afif belajar, tak dikenal sebagai pesantren ushul fikih. Sukorejo lebih banyak berkonsentrasi pada pengajian ilmu fikih dan nahwu-sharaf. Sekalipun ada pengajian ushul fikih, durasinya cukup kecil jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Sukorejo pun saat itu tak banyak mengoleksi buku-buku ushul fikih dari lintas madzhab. Dengan kondisi ini, agak susah membayangkan lahirnya seorang pakar ushul fikih dari Sukorejo.

Kiai Afif tak pernah belajar di luar, baik di timur apalagi di barat. Seluruh jenjang studinya, mulai dari Madrasah Ibtida’iyyah hingga strata satu, diselesaikan di Sukorejo. Ketika saya tanya, “Kepada siapa Kiai Afif belajar ushul fikih?” Ia menjawab, “Saya pernah mengaji kitab Lubbul Ushul pada KH Qasdussabil Syukur. Selebihnya saya belajar sendiri”. Ini menunjukkan bahwa kealimannya di bidang ushul fikih ditempuh melalui kerja keras dan ketekunan. Peran Kiai Qasdussabil adalah mengajarkan teks utama ushul fikih, Lubbul Ushul, kepada Kiai Afif. Tapi, pendalamannya dilakukan secara otodidak. Dengan perkataan lain, ia memperluas sendiri bacaan ushul fikihnya, dengan melahap ar-Risalah karya Imam Syafi’i, al-Mustashfa min `Ilmil Ushul karya al-Ghazali, al-Muwafaqat fi ushulis Syari’ah karya as-Syathibi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam karya al-Amidi. Namun, dalam amatan saya, kitab ushul fikih yang paling disukai sekaligus dikuasainya tampaknya adalah Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin as-Subki itu.

Baru pada perkembangan berikutnya Kiai Afif melengkapi diri dengan referensi ushul fikih modern. Kiai Afif membaca buku-buku ushul fikih mulai dari karya Abdul Wahhab Khallaf, Abu Zahrah, Muhammad Khudhori Bik, Wahbah az-Zuhaili hingga merambah pada buku-buku karya `Allal al-Fasi, Ahmad ar-Raysuni, dan Jasir Audah yang banyak mempercakapkan soal maqashid al-syari’ah dan fiqhul maqashid. Dengan penguasaan yang komprehensif atas literatur-literatur itu, Kiai Afif makin kukuh sebagai seorang faqih dan ushuli. Dan kedudukannya sebagai ahli fikih telah dibuktikan Kiai Afif dengan menulis buku fikih berbahasa Arab dengan judul Fathul Mujibil Qarib, syarah terhadap kitab at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani.

Di bidang ushul fikih, keahlian Kiai Afif memang tak terbantahkan. Puluhan makalah terkait metode istinbathul ahkam telah selesai ditulisnya. Ia menulis buku dengan judul as-Syari’ah al-Islamiyah baynats Tsabat wal Murunah. Menarik, Kiai Afif menjadikan ushul fikih sebagai sebuah perspektif untuk merespons persoalan-persoalan keislaman kontemporer. Ia berbicara tentang negara Pancasila, Islam Nusantara, dan lain-lain dari sudut pandang ushul fikih. Ia juga menjadikan ushul fikih sebagai perangkat metodologis untuk mendinamisasi fikih Islam. Untuk kepentingan dinamisasi pemikiran Islam itu Kiai Afif intens berdiskusi dengan para pemikir gaek lain di NU seperti KH Ahmad Malik Madani, KH Masdar Farid Mas’udi, KH Said Aqil Siroj, KH Husein Muhammad, dan lain-lain.

Di tangan orang-orang seperti Kiai Afif ini, ushul fikih adalah sumur yang airnya tak pernah kering untuk ditimba. Jika ada yang mengkhawatirkan bahwa sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz NU akan dilanda kelangkaan ahli ushul fikih, maka fenomena Kiai Afif ini akan menampik kekhawatiran itu. Tentu Kiai Afif tak sendirian. Ada banyak kiai dan intelektual muda NU lain yang memiliki penguasaan memadai tentang ushul fikih. Hanya yang kita “tagih” dari orang-orang seperti Kiai Afif adalah konsistensinya untuk terus menulis dan berkarya. Mengikuti sunnah Kiai Sahal Mahfudz yang banyak menulis buku seperti membuat syarah terhadap al-Luma’ dan Ghayatul Wushul, saya berharap Kiai Afif juga mau menulis banyak buku termasuk membuat syarah terhadap kitab-kitab ushul fikih lain seperti Jam’ul Jawami yang dikenal sangat susah dipahami itu.

Abdul Moqsith Ghazali, alumnus pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Teologi Entrepreneur dalam Islam

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Sekretaris PCNU Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Anggota Jember Entrepreneur Community (JECO)

Nabi Muhammad Saw. sejatinya adalah sosok entrepreneur sejati. Meski dalam beberapa doa yang dilantunkannya menghendaki beliau adalah seorang miskin, namun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa beliau menolak menjadi pengusaha. Bahkan, dalam riwayat hadits yang lain, justru menunjukkan komitmen beliau sebagai seorang entrepreneur sejati.

Selama ini, sosok agung Nabi Muhammad Saw. seringkali dilihat sebagai sosok religius per se. Nabi Muhammad hanya diangankan sebagai sosok religius yang tengah malam selalu tidak pernah absen sholat tahajud. Dalam sebuah hadits lain, Nabi Saw. digambarkan dahinya seringkali ada bekas karena sujud. Selain itu, Nabi Saw. juga dikenal sebagai orang yang rajin puasa dan melakukan ibadah mahdhah yang lain.

Personifikasi Nabi Saw. dengan sosok yang religius memang tidak salah. Yang tidak tepat adalah menggambarkan Nabi Saw. hanya dengan sosok religius semata dengan mengabaikan sisi atau aspek lainnya dari pribadi beliau. Misalnya, dengan sosoknya sebagai entrepreneur sejati. Diakui atau tidak, Nabi Saw. adalah seorang entrepreneur dan pekerja keras. Ketika berdagang di negeri Syam, digambarkan dalam hadits, sosok beliau yang tangan dan kakinya lecet-lecet karena mengangkut barang. Nabi Saw juga berpeluh-keringat kala berdagang di berbagai negeri.    

Adalah keliru menyederhanakan sosok atau pribadi beliau yang kompleks hanya dengan seorang yang religious saja. Karena beliau adalah pribadi agung yang multi talenta. Seorang negarawan, dan sekaligus politisi. Juga, seorang organisatoris dan seorang orator yang ulung. Beliau adalah juga seorang pengusaha yang luar biasa, namun sayangnya tidak banyak diungkap dalam berbagai event forum.    

Memunculkan spirit entrepreneur dengan merujuk pada Nabi Saw. adalah sebuah keniscayaan di tengah kemiskinan akut sebagian besar umat Islam di Indonesia. Jumlah mayoritas umat Islam di Indonesia secara de facto tidak diimbangi dengan mayoritas dalam kualitas ekonomi dan kesejahteraan warganya. Ini menjadi logis karena sebagian warga memiliki pandangan  teologis bahwa kaya dan miskin adalah sebentuk takdir Tuhan, yang oleh karenanya, jika sudah ditakdirkan menjadi miskin, maka tidak perlu untuk ditolak, melainkan harus diterima tanpa reserve.

Seharusnya, cita-cita entrepreneur Islam yang harus dikokohkan dalam bangunan keberagamaan umat Islam. Meminjam bahasa Yusuf Kalla, salah satu cawapres sekarang–ketika seminar ulama dan pesantren di Ponpes Al-Hikam Depok Jakarta tiga bulan yang silam–, maka siapa yang bisa membangun masjid, madrasah dan pesantren, jika tidak ada orang kaya dalam Islam. Siapa yang membantu orang-orang janda, anak-anak yatim dan anak-anak miskin, jika tidak ada pengusaha. Karena itu, keberadaan orang kaya adalah fardlu kifayah untuk kepentingan dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam.

Dalam catatan Yusuf Kalla, dari 40 orang kaya di Indonesia, hanya enam orang yang berasal dari agama Islam. Padahal, jumlah enam orang ini masih belum dihitung: berapa jumlah yang orang kaya Islam yang all out, memback up dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam ?. Berapa jumlah orang kaya Islam yang mau berbagi dengan anak yatim, anak miskin, janda, gelandangan dan sebagainya tersebut?.

Karena itu jawabnya jelas: kemiskinan harus dijawab dengan banyaknya jumlah pengusaha muslim, bukan dengan membuka lowongan pegawai negeri sipil atau yang lain. Jika ada banyak pengusaha muslim, maka akan banyak orang kaya muslim. Jika banyak orang kaya muslim, maka dakwah Islamiyah akan terbantu dan berjalan lancar sesuai harapan.

Walhasil, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja keras, membanting tulang, dan berusaha untuk menjadi orang kaya. Tapi, Islam tidak berhenti sampai menjadi orang kaya, melainkan harus diteruskan: bagaimana kekayaan itu dimanfaatkan oleh Islam untuk kepentingan dakwah Islam. Bagaimana agar kekayaan itu banyak bermanfaat pada yang lain, sebagaimana hadits: “khairukum anfaukum linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya pada manusia yang lain.

Wallahu’alam bi as-Shawab.**  

Categories
Opini

Kompilasi Hukum Islam Edisi Revisi?

Oleh: M. Noor Harisudin (Katib Syuriah PC NU Jember)

GUGATAN terhadap Kompilasi Hukum Islam -selanjutnya disingkat KHI- terus digulirkan. Salah satunya diselenggarakan oleh Kelompok Kajian KHI Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI. Gugatan ini sesungguhnya masuk akal, mengingat KHI yang disusun pada saat rezim Orba berkuasa, mengundang sejumlah masalah.

Masalah ini misalnya bertaut-erat dengan selain eksistensi KHI, juga pada subtansi hukum-nya yang dipandang tidak lagi memadai dalam menyelesaikan pelbagai problematika umat yang sangat kompleks dewasa ini. Alih-alih KHI dapat menyelesaikan pelbagai masalah umat Islam, kalau tidak justru menjadi sumber masalah itu sendiri.

Jika ditelisik lebih dalam, aura visi dan misi KHI -di mana di dalamnya terkandung pasal-pasal mengenai perkawinan, warisan dan perwakafan- memang terdapat beberapa kelemahan pokok. Terlihat, pasal demi pasal dalam KHI yang secara prinsipil bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam yang universal, seperti prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-‘ikha), dan keadilan (al-‘adl). Di samping itu, KHI juga tampak berseberangan vis a vis dengan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berkeadaban (civil society) seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme, yang menjadi raison d’etre masyarakat Indonesia.

Kelemahan lain yang juga dianggap vital, sebagaimana dinsinyalir oleh sejumlah pakar hukum, adalah KHI memuat ketentuan-ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan hukum-hukum nasional dan konvensi internasional yang disepakati bersama. Belum lagi, jika ditelaah dari sudut pandang metodologi, corak hukum yang ditawarkan KHI tampak masih mengesankan replika hukum dari produk fikih jerih payah ulama di masa lampau.

Konstruksi hukum KHI, oleh karenanya, belum dikerangkakan sepenuhnya dalam sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, melainkan lebih mencerminkan penyesuaian pada fikih Timur Tengah dan dunia Arab lainnya.

Lihat, misalnya, pada bidang hukum perkawinan. Harus fair diakui bahwa dalam bidang hukum perkawinan KHI, terdapat beberapa pasal problematis dari sudut pandang keadilan relasi laki-laki dan perempuan, seperti batas usia minimal pernikahan (pasal 15 ayat 1). Pasal ini dianggap tidak adil karena telah mematok usia minimal perempuan boleh menikah lebih rendah dari usia laki-laki.

Dengan demikian, pasal ini jelas memperlakukan secara diskriminatif, karena semata-mata didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan laki-laki. Dengan kata lain, kandungan pasal ini sangat berideologi patriarkhis dan sama sekali menanggalkan keadilan gender.

Soal Hak Kewalian

Pasal lain yang juga problematik adalah pasal 19-23 KHI. Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut, hak kewalian hanya dimiliki oleh orang yang berjenis kelamin laki-laki.

Sementara, jika sang ayah misalnya berhalangan, ibu tetap tidak diperkenankan menjadi wali nikah atas anak perempuannya. Begitu pula sekiranya sang ayah tidak memungkinkan menjadi wali, maka hak kewalian jatuh pada kakek.

Jika kakek uzur, maka hak kewalian tidak secara otomatis berpindah ke tangan ibu, tetapi turun pada anak laki-laki atau saudara laki-laki sekandung. Hirarki kewalian yang diatur dalam KHI setegasnya menutup sama sekali peluang perempuan untuk menjadi wali, setara dengan larangan terhadap kaum hawa untuk menjadi saksi dalam pernikahan (pasal 24, 25 dan 26 KHI).

Selain itu, soal posisi kepala rumah tangga yang terdapat dalam pasal 79 KHI juga layak direvisi. Dalam pasal ini disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Tampak sekali di sini, jabatan kepala keluarga secara gratis dan otomatis telah diberikan kepada suami tanpa mempertimbangkan kapabilitas dan kredibilitasnya. Dus, para istri hanya diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang dipersiapkan hanya mengurusi soal-soal domestik dan tidak memiliki peluang untuk menjadi kepala rumah tangga.

Ketentuan ini tidak saja diskriminatif, tetapi juga tidak sesuai dengan kenyataan sosial yang berkembang di negeri ini, di mana banyak istri yang secara fungsional telah ber-peran sebagai kepala rumah tangga.

Demikian halnya, ikhwal pengaturan nusyuz yang terdapat dalam pasal 84 ayat (1) KHI yang harus pula diperhatikan, menimbang bahwa persoalan ini hanya bertautan dengan perempuan. Oleh sebab itu, pasal ini juga dianggap tidak menunjukkan visi keadilan sosial karena nusyuz yang berlaku bagi dan diperuntukkan kaum perempuan saja.

Sementara, laki-laki atau suami yang mangkir dari tanggungjawab dan kewajibannya tidak dianggap nusyuz dan juga tidak terkena akibat nusyuz. Tidak imbang kiranya, jika mangkirnya suami tidak juga dipandang sebagai nusyuz layaknya kasus perempuan. Tampak di sini, betapa pasal ini terlihat mengekang kebebasan hak-hak perempuan dan tidak mendudukkan hubungan suami-istri secara lebih setara.

Belum lagi dengan ketidakadilan yang terdapat pada hukum kewarisan KHI, seperti dalam pasal 172. Dalam pasal ini, di antaranya disebutkan bahwa bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, harus beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal ini seterangnya menyatakan bahwa agama ibu tidak bernilai sama sekali pada anaknya, baik dalam pandangan masyarakat maupun dalam pandangan Tuhan. Padahal, posisi ibu dalam keluarga sangat penting sebagai pendidik dan perambah masa depan anak-anaknya.

Nuansa ketidakadilan dalam hukum kewarisan dapat dijumpai pada pasal 186 tentang status saling mewarisi (dalam kasus anak lahir di luar perkawinan dam kawin sirri) serta pasal 192 dan 193 KHI mengenai radd dan ‘awl.

Edisi Revisi

Melihat berbagai ketidakadilan pasal demi pasalnya, maka sudah selayaknya diajukan KHI edisi revisi yang menggantikan posisi KHI edisi lama. Agenda utama dan pertama dalam pengupayaan KHI edisi revisi ini adalah misalnya dengan memajukan visi yang lebih berkesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyyah). Relasi antara laki-laki dan pe-rempuan mesti diletakkan dalam konteks kesetaraan dan keadilan. Ketidakadilan gender, selain bertentangan dengan spirit Islam, juga hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasikan perempuan. Padahal, Islam dengan sangat tegas telah memproklamirkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Yang membedakan hanya soal ketakwaannya saja.

Visi lain yang harus diutamakan dalam KHI edisi revisi adalah penegakan hak asasi manusia (iqamat al-huquuq al-insaniyyah). Dalam Islam, terdapat sejumlah hak asasi manusia yang harus diusahakan pemenuhannya, baik oleh sendiri maupun negara. Hak tersebut antara lain: hak hidup (hifdz an-nafs), hak kebebasan beragama (hifdz ad-din), hak kebebasan berfikir (hifdz al-aql), hak properti (hifdz al-mal), hak untuk mempertahankan nama (hifdz al-‘irdh) dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz an-nasl). Sebagaimana disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitab ushul fikihnya “al-Mustashfa”, bahwa pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan di atas inilah, seluruh ketentuan hukum Islam diacukan.

Prinsip lain yang juga semestinya menjadi acuan visi KHI adalah pluralisme (al-ta’addudiyah). Demikian ini penting karena Indonesia adalah negara yang plural. Pluralitas terjadi bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya dan bahasa, melainkan juga agama. Karena itu, pluralitas di negeri ini tidak mengkin bisa dihindari meski juga harus menimbang satu prinsip lain, yakni nasionalitas (al-muwathanah). Makanya, dalam konteks KHI, bukanlah soal pada bagaimana menjauhkan diri dari kenyataan pluralisme tersebut, melainkan pada bagaimana cara dan mekanisme yang diambil dalam menyikapi pluralitas tersebut. Di samping juga, merujuk pada prinsip nasionalitas, tidak lagi ada warga kelas dua, seperti tampak dalam fikih klasik yang mendikotomikan antara muslim dan non-muslim.

Walhasil, senyampang pasal demi pasal KHI bersesuaian dengan prinsip di atas, maka ia tetap layak untuk diteguhkan. Dan sebaliknya, pasal yang berseberangan dengan prinsip di atas, harus dirombak. Wallahu’alam.

Categories
Opini

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Sebagai Ajang Gerakan Penjunjung Hak Wanita

Islam merupakan Agama Rahmatan Lil’alamin yang mana Islam hadir di tengah masyarakat mampu mewujudkan perdamaian dan kasih sayang bagi manusia juga alam raya. Agama yang terkenal cinta kedamaian dan tidak mempersulit bagi kaum yang memeluknya seperti dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang artinya: “Allah menghendaki kalian kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan”.

Begitupun dalam ranah kebudayaan patriarki, Buya Husein dalam bukunya Islam Agama Ramah Perempuan mengatakan bahwa budaya patriarki pada satu sisi telah menempatkan kaum perempuan pada wilayah marginal, pada sisi yang lain juga melahirkan suatu pandangan bahwa kaum perempuan merupakan sumber fitnah, yang menurut makna asalnya adalah cobaan atau ujian, di mana fitnah yang pada umumya diartikan sebagai sumber kekacauan dan kerusakan sosial juga sebagai sumber kegalauan hati atau keberingasan nafsu laki-laki atau makhluk yang di justifikasi dengan teks-teks keagamaan.

Dalam banyak kasus, di mana perempuan menjadi subjek yang dinilai memicu terjadinya pelecehan seksual. Hal ini dengan adanya sebagian orang yang berkata:  “Salah siapa membuka aurat?, salah siapa dandan menor?”

Lantas, siapa yang salah? Buktinya saja masih banyak perempuan yang berjilbab, namun masih mendapatkan pelecehan seksual, yakni dengan menggodanya melalui cuitan dan semacamnya.

Masyarakat umum mungkin saja masih awam dengan istilah KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Gerakan ini bukan dikhususkan hanya perempuan ulama, namun juga ulama perempuan, artinya tidak hanya perempuan saja yang ada dalam gerakan ini, namun juga laki laki yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, salah satunya seperti Kiai Faqih Abdul kodir, KH. Husein Muhammad dan masih banyak lagi. Sedangkan para perempuan ulama seperti Dr. Hj. Nur Rofiah, Bil Uzm dan masih banyak lagi para nyai dan para putri kiai se-Indonesia.

KUPI pertama di laksanakan pada tahun 2017 di Cirebon dan KUPI II baru selesai di laksanakan di jawa tengah tepatnya di Jepara dan Semarang pada tanggal 23-26 November 2022 . Pada Kongres ke dua KUPI lebih banyak yang antusias mengikutinya. juga banyak sekali event- event menulis tentang ulama perempuan dan jurnalis lainnya. Hal itu semata mata untuk syiar bahwa ada Kongres Ulama Perempuan Ke II pada tahun ini, juga meluaskan Kabar tentang adanya gerakan Ulama Perempuan di Indonesia.

Ada banyak hal yang dibahas dalam KUPI, seperti penyetaraan gender, termasuk juga hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak-hak yang perlu didapatkan seperti laki-laki, karena dalam asalnya perempuan ialah manusia yang juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk hidup di dunia ini.

Dalam KUPI II yang barusan diselenggarakan, ada beberapa sub tema yang dibahas, sebagaimana dalam postingan instagram @Indonesia_kupi, yaitu:

  1. Peminggiran Perempuan Dalam Menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama Agama.
  2. Pengelolaan Sampah Untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
  3. Perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
  4. Perlindungan jiwa Perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.
  5. Perlindungan perempuan dari bahaya P2GP tanpa alasan medis.

Sejauh ini dalam pembahasan di KUPI masih masuk dalam tentang bagaimana cara wanita/perempuan dapat menjadi seorang yang merdeka dalam kalangannya, di mana hal-hal yang dulunya mengekang kalangan wanita menjadi yang harus di rumah saja, dan tidak boleh keluar tanpa seizin suami/walinya. Itu adalah hal yang baik, namun jikalau perempuan bisa lebih produktif dalam kemaslahatan masyarakat tidak bisa di benarkan jikalau wanita harus di rumah saja.

Menurut saya gerakan ini baik bagi para perempuan, khususnya perempuan di Indonesia, karena dapat menjunjung tinggi martabat seorang perempuan yang dulunya ditindas hanya sebagai boneka sexuality oleh suami dan bagi laki-laki yang ingin menikmatinya.

Namun, wahai para wanita yang budiman, kita juga sebagai wanita yang pastinya ingin yang terbaik di mata Tuhan dan suami kita, jangan tinggalkan apa – apa yang menjadikan kita masuk surga bersama suami kita. Jangan lalai dengan keangkuhan semangat memperjuangkan hak-hak wanita dalam Islam, sampai melupakan menggapai pahala menjadi seorang istri/anak perempuan.

Di sisi lain para laki-laki yang budiman, jangan tindas kami kaum wanita yang menurut kalian kami lemah, justru dengan kalian mengetahui kelemahan wanita, kalian sebagai laki-laki yang gentle harus menghormati dan menghargai wanita tersebut. Ingat bahwa kalian semua terlahir dari rahim, wanita, dan sebagian dari kalian memiliki saudara perempuan, pastinya kalian tidak mau saudara-saudara perempuan kalian mengalami hal- hal yang tidak di inginkan oleh kalian.

*Penulis adalah mahasantri Ponpes Darul Hikam, Mahasiswi Semester 7 FUAH UIN KHAS Jember dan peraih juara 3 lomba artikel Darul Hikam Tahun 2022.

Categories
Opini

Tiga Janji Allah Kepada Tiga Golongan Hamba Terpilih

Media Center Darul Hikam- Sebagai seorang hamba yang sudah menyatakan beriman, maka wajib bagi dirinya untuk menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah. Hamba pilihan Allah adalah seseorang yang hidup di jalan kebenaran secara sungguh-sungguh demi mengharapkan keridhoan Allah Swt.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dalam Kajian Tafsir Kitab Marah Labid pada Senin, (3/4) mengutip QS. Ali Imran ayat 195 tentang tiga janji Allah kepada hamba yang mau berhijrah demi menjaga ketaatan agamanya. Allah Swt berfirman:

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. QS:Ali Imran Ayat: 195.

Adapun yang termasuk ke dalam tiga golongan hamba tersebut yaitu pertama, orang yang berhijrah menuju jalan Allah. Kedua, orang yang berperang memerangi hawa nafsu dan menghindar dari maksiat, dan ketiga adalah orang yang diusir dan disakiti karena taat kepada Allah. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan tiga kemuliaan pahala oleh Allah.

Tiga pahala yang dimaksud diantaranya adalah pertama, akan dihapuskan dosa kecil dan diampuni segala dosa besar.

“Sesuai dengan ayat yang sebelumnya dengan lafadz doa اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا yang artinya Ampunilah segala dosa besar dan lafadz َكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا artinya tutuplah segala dosa-dosa kecil, ” tutur Kiai Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli-Jember.

Janji Allah yang kedua adalah mendapatkan pahala agung yaitu masuk ke dalam surga, Ketiga, mendapatkan pahala sekaligus dengan kemuliaan yang ditempatkan Allah bersama dengan para hamba-Nya yang taat.

Bukti ketaaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, salah satunya adalah memperbanyak berdoa dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dari ikhtiar yang telah dilakukan. Dengan itu, Kiai Haris memberikan maqolah yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shodiq.

“Barang siapa seorang hamba yang dikenai masalah lalu ia  mengatakan رَبَّنَا sebanyak lima kali, maka Allah akan menyelamatkan apa yang ia khawatirkan dan akan memberikan apa saja yang dikehendaki,”pungkas Kiai Haris yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Wallahu A’lam

Penulis: Siti JunitaEditor: Erni Fitriani