Categories
Tanya jawab islam

Hukum Memakan Daging Aqiqah

Ass. Ustadz. Mohon dijelaskan tentang hukum memakan daging aqiqah bagi orang yang  menyelenggarakan aqiqah. Karena yang berkembang di masyarakat, orang yang menyelenggarakan aqiqah dilarang memakan daging aqiqah. Mohon penjelasannya. Wass.

Oji  Sukowono Jember

082336784xxx     

Masa Oji,  sebelum kita bahas hukum memakan daging aqiqah, saya akan jelaskan dulu hukum aqiqah. Secara bahasa, aqiqah berarti nama rambut yang terdapat di kepala anak yang baru dilahirkan. Dalam pandangan syara’, aqiqah adalah nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh (hari mencukur kepala anak yang baru dilahirkan).

Hukum aqiqah ini sendiri adalah sunah. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. Bersabda:

Artinya:  “Rasulullah Saw. Bersabda: “Anak yang baru lahir menjadi tergadaikan sampai disembelihkan baginya aqiqah pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya dan di hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama.”

Untuk anak laki-laki, disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan disembelih seekor kambing.  Ini didasarkan pada hadits Ummi Karaz bahwa Nabi Muhammad Saw., bersabda:

Artinya : “Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk perempuan seekor kambing”.

Lalu, bagaimana hukum memakan daging aqiqah ? Apakah haram sebagaimana yang banyak dipahami masyarakat Jember? 

Satu hal penting yang harus digarisbawahi bahwa hukum aqiqah itu sama dengan hukum kurban dalam berbagai hal. Misalnya, standard minimal kambing (binatang kurban) yang disembelih, mensedekahkan dagingnya pada fakir miskin, larangan menjualnya dan bolehnya memakan daging bagi orang yang beraqiqah.

Berkaitan dengan hokum memakan daging aqiqah bagi orang yang beraqiqah hukumnya sunah kecuali jika aqiqahnya adalah aqiqah yang wajib karena dinadzarkan. Dalam kitab Bajuri Juz II Hal 572, disebutkan:

Artinya: “(Kata-kata memakan daging aqiqah). Oleh karena itu, seseorang yang beraqiqah tidak boleh memakan daging aqiqah yang dinadzarkan dan orang yang beraqiqah boleh memakan daging aqiqah yang sunah”.       

Dengan demikian, apa yang berkembang di masyarakat Jember–jika itu aqiqah sunah—adalah tidak bisa dibenarkan. Karena jika aqiqah sunah, orang yang beraqiqah tetap boleh memakan daging aqiqah sebagaimana boleh memakan daging kurban. Semoga menjadi jelas. **

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Tidak Tahu Kalau Zina Itu Haram (?)

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

Salah satu hal yang diacu dalam fiqh, adalah bahwa seseorang tidak boleh beralasan melakukan larangan Allah Swt. atau ia meninggalkan perintah-Nya dengan alasan tidak tahu. Misalnya, seorang yang melakukan perzinahan tidak boleh mengatakan “ Saya tidak tahu kalau melakukan zina itu dilarang”.  Orang yang melakukan korupsi tidak boleh berkata: “Saya tidak tahu kalau korupsi itu dilarang”. Demikian juga, tidak diperhitungkan orang yang mengatakan:” Saya tidak tahu kalau sholat lima waktu itu diwajibkan”.  Atau seseorang yang tidak membayar zakat tidak bisa berkata “Maaf, saya tidak tahu kalau zakat itu wajib hukumnya”. Dan demikian seterusnya.   

Semua alasan yang dikemukakan di atas, dalam pandangan syara’,  tidak berlaku. Artinya, alasan itu tidak menggugurkan dosa seseorang yang melakukan larangan Allah Swt. atau meninggalkan perintah-Nya. Dengan kata lain, ia tetap berdosa. Demikian ini karena hukum Islam  berlaku umum. Siapapun seorang muslim yang mukallaf (baligh dan berakal), maka wajib baginya untuk melakukan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Begitu hukum Islam diundangkan, maka hukum Islam berlaku secara universal tanpa kecuali.

Berkaitan  dengan ketidaktahuan ini, Allah Swt. berfirman: “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.” (QS. An Nisa: 165). Dalam hadits, Rasulullah Saw. juga bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya!! Tidaklah seorang dari umat ini, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian ia tidak beriman dengan syariat yang aku bawa kecuali pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim: 153).

Prof. Abdul Wahab Khalaf, Guru Besar Syari’ah di Universitas al-Azhar Mesir, dalam Kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, mengatakan: Wa yulahadzu annal muraada bi’ilmil mukallafi bima kullifa bihi imkaanu ‘ilmihi bihi la ilmuhu bihi fi’lan. Fa mata balaghal insanu ‘aqilan qaadiran ‘ala an ya’rifal ahkam as-syar’iyyata binafsihi au bisuali ahlidzikri ‘anha, u’tubira ‘aliman bima kullifa bihi wa nafadzat alaihi al-ahkaamu wa ulzima bi atsaariha wala yuqbalu minhu al-I’tidzaaru bijahliha. (Abdul Wahab Khalaf: 1948, 129).

Artinya: Dan perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan “mengetahuinya mukallaf” dengan sesuatu yang dibebankan (taklif) padanya adalah “potensi mengetahuinya mukallaf” (imkanufi’lihi) dan bukan “mengetahuinya mukallaf secara faktual” (la ilmuhu bihi fi’lan). Oleh karena itu, ketika seorang sudah baligh, berakal dan mampu mengetahui hukum syar’i baik dengan dirinya atau bertanya pada orang yang tahu, maka ia dianggap sebagai orang yang tahu terhadap apa yang ditaklifkan padanya, berlakulah hukum padanya dan ditetapkan dampak hukum padanya. Selanjutnya, ketidaktahuan dia terhadap hukum tidak dapat diterima.

Walhasil, kata kuncinya disini adalah bahwa hukum Islam berkaitan dengan potensi mengetahuinya seseorang. Seorang yang sudah baligh dan berakal—dalam pandangan syar’i—adalah dipandang sebagai orang yang mengetahui hukum syar’i. Tidak peduli: apakah ia benar-benar tahu terhadap hukum Allah Swt. atau tidak mengetahuinya. Potensi inilah yang diperhitungkan dalam hukum Islam. Karena itu, orang yang memiliki potensi ini, sudah dikenai beban hukum-hukum Allah Swt.

Sesungguhnya, berlaku hal yang sama dalam hukum positif yang berlaku di negara ini. Seorang pengendara mobil yang ditangkap polisi tidak bisa berdalih bahwa ia tidak tahu kalau mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman itu dilarang. Ia tidak bisa berkata:”Maaf pak polisi. Saya tidak tahu kalau harus menggunakan sabuk pengaman ketika menegendarai mobil ”. Dalih ini tidak bisa diterima. Pelanggar mobil ini tetap kena denda. Karena begitu undang-undang Satlantas disahkan dalam lembaran negara, maka berlakukah hukum lalu lintas. Semua orang di negara ini dianggap tahu tentang undang-undang ini, meskipun secara de facto, dia belum pernah membaca undang-undang satlantas ini.

Hanya saja, soal ketidaktahuan seorang mukallaf ini, ada beberapa pengecualian yang dalam fiqh disebut dengan jahil ma’dzur (Ketidaktahuan yang ditoleransi). Dalam pandangan fiqh, ada dua orang yang dikatakan jahil ma’dzur, yaitu: Pertama, seorang yang hidup jauh dari ulama. Kedua, orang yang baru masuk Islam. (Bughyatul Murtasyidin: 89). Kedua orang ini dimaafkan jika melanggar aturan hukum Islam. Sebaliknya, selain yang dua ini, tidak dapat dikategorikan sebagai jahil ma’dzur alias tidak diperhitungkan ketidaktahuannya.   

Wallahu’alam.*

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Menyentuh Kucing dan Air Liurnya, Najiskah?

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Konsultan AZKA Al-Baitul Amien Jember

Assalamu’alaikum Wr.  Wb.

Ustadz, mau tanya. Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kucing menjadi bagian dari hidup kita. Ketika kita makan, minum, dan lain-lain, kita seringkali dikelilingi kucing yang kadangkala membuat jijik kita. Saya ingin bertanya: apakah hokum kita menyentuh kucing ? Juga bagaimana air liur kucing yang kadang kala makan-makanan kita, apakah ia termasuk najis? Terima kasih atas jawabannya, ustadz.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Sundari, Kaliwates Jember

082345876xxx

Jawaban:

Islam adalah agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Dan aturan yang dibuat oleh Allah Swt. semua digunakan untuk kemaslahatan manusia. Sebaliknya, aturan Islam yang juga disebut Syari’at itu tidak untuk kepentingan Allah Swt. Allah Swt. tidak memiliki kepentingan apapun teradap syari’at, hanya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.  

Dalam konteks air liur kucing, apakah termasuk najis atau bukan, maka Islam sudah mengatur dalam barang yang najis dan suci. Dalam fiqh madzhab Syafi’i misalnya menyebut barang yang najis antara lain seperti bangkai, darah, air kencing, kotoran manusia, kotoran hewan, anjing, babi dan lain sebagainya.

Memang madzhab yang lain seperti Maliki memiliki pandangan sedikit berbeda tentang benda najis. Misalnya kotoran binatang (rauts) bagi madzhab Maliki adalah benda suci. Demikian juga madzhab Maliki juga berpendapata bahwa babi tidak termasuk benda najis (thahiharah). Karena tidak ada dalil kuat yang menunjukkan kenajisan babi.

Meski beda pendapat, semua ulama sepakat bahwa air liur kucing adalah suci. Demikian ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:    

عن كَبْشَةَ بنت كعب بن مالك قال : وكانت تحت ابن أبي قتادة – أن أبا قتادة دخَلَ عليها ، فسكبتْ له وَضُوءاً ، فجاءتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ منه ، فأصْغَى لها الإناءُ حتى شربت . قالت كبْشة : فرآني أَنْظُرُ إليه ، قال أتعجبين يا ابنة أخي ، فقلت : نعم فقال : إنَّ رَسولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَليهِ وَسَلمَ قَالَ : إنَّها ليست بِنَجَسٍ ، إنَّها من الطَّوَّافين عليكم والطَّوافات . أخرجه الأربعة والترمذي وصححه

Artinya: Dari Kabsyah anak perempuan Ka’b bin Malik, ia berkata: Kabsyah binti Ka’b sendiri ada dalam pangkuan anak laki-laki Abu Qatadah. Suatu saat, Abu Qatadah masuk ke rumahnya dan Kabsyah menyiapkan air untuk wudlu untuk Abu Qatadah. Tak berselang lama, datang seekor kucing yang lalu meminum air wudlu tersebut.  Kemudian oleh Abu Qatadah, wadah air itu dijulurkan pada kucing tersebut sehingga memudahkannya minum. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihat heran pada saya. Abu Qatadah berkata: Wahai anak perempuan saudaraku, apa kamu heran? Aku berkata: ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata: sesungguhnya kucing itu bukan benda najis. Kucing termasuk hewan yang senang mengelilingi kalian. (Diriwayatkan Imam empat dan Tirmidzi). 

Berangkat dari sana, maka kucing termasuk benda suci. Demikian juga air liur kucing termasuk juga benda suci. Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan kucing yang saban hari mengelilingi kita. Kita juga tidak perlu khawatir dengan air liur kucing karena hukumnya yang suci.

Malah, kita harus bersikap bersikap kasih sayang pada kucing. Karena kucing adalah makhluk Allah Swt. yang sama dengan kita. Rezeki yang kita terima sudah seyogyanya juga kita bagi dan berikan pada kucing. Tidak dibenarkan kita misalnya menendang kucing, memukulnya dan sebagainya karena kucing adalah juga makhluk Allah Swt. yang harus kita kasihi sama dengan hewan-hewan yang lain.   Demikian jawaban saya, mas Sundari.  Semoga bermanfaat.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Anak Yatim di Bulan Muharram, Siapa itu ?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, di bulan Muharram, kita dianjurkan untuk  menyantuni anak yatim. Pertanyaan saya: apakah orang yang ditinggal pergi ayahnya termasuk  anak yatim ? Siapa yang disebut anak yatim itu? Maturnuwun jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Haris Irsyadi Demak Jawa Tengah

Jawaban:

Mas Haris yang budiman, untuk menjawab pertanyaan jenengan, kita harus kembali pada definisi anak yatim. Dalam literatur fiqh (al-Fiqh al-Manhaji ala madzhab al-Imam as-Syafi’i, II, hal 10) disebutkan begini:

يتيما: هو من مات أبوه وهو دون البلوغ.

Artinya: “Anak yatim adalah orang yang ditinggal mati bapaknya sementara dia belum baligh”.

Bertolak dari definisi ini, maka anak yang ditinggal pergi ayahnya tidak termasuk kategori anak yatim.

Bagaimana dengan orang yang ditinggal mati ibunya? Apa juga disebut yatim yang berhak mendapat santunan? Dalam fiqh-fiqh, orang yang ditinggal mati ibunya tidak disebut yatim karena ia masih memiliiki penyangga ekonomi, yaitu ayahnya. Artinya, anak tersebut masih dalam perlindungan dan ayoman ayahnya. Karena itu, wajar jika Islam tidak menggolongkannya pada orang yang berhak diberi santunan.     

Namun demikian, meski bukan anak yatim, kalau keadaannya memang miskin dan dari keluarga miskin, kita juga dianjurkan bersedekah pada mereka. Pertimbangannya karena keluarga miskin yang membutuhkan, bukan pertimbangan lainnya.

Demikian, terima kasih.                

Wallahu’alam

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Adzan untuk Sholat Sunah

Assalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya mau tanya. Bagaimana hukum adzan yang dikumandangkan untuk sholat sunah. Misalnya Idul Fitri, Istisqa’ dan sebagainya ? Trima kasih jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Mauludin

Jawab:

Mas Mauludin, sebagaimana disebut dalam literatur fiqh, adzan adalah dzikir khusus yang digunakan sebagai petanda masuk sholat fardlu. Dzikir khusus ini sudah masyhur di kalangan kita, karena itu, saya tidak perlu membahas dzikir tersebut.

Tetapi, catatan khusus di sini adalah bahwa adzan disyari’atkan untuk sholat fardlu, sebagaimana disebut dalam kitab Fathul Qarib.

وإنما يُشرَع كل من الأذان والإقامة للمكتوبة، وأما غيرها فينادى لها «الصلاةُ جَامِعة».

Artinya: “Adzan dan iqamat itu disyari’atkan untuk sholat maktubah. Untuk sholat yang tidak maktubah, tidak disyari’atkan adzan, tetapi ucapan as-Shalatu jami’ah”. 

Jelaslah di sini, bahwa untuk sholat sunnah, disyari’atkan kata-kata as-shalatu jami’ah. Dengan demikian, mengucapkan adzan untuk sholat sunah merupakan bid’ah ghairu masy’ruah (bid’ah yang tidak disyari’atkan).

Demikian, semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam Uncategorised

Aqiqah Bagi Orang Yang Sudah Baligh

Assalamu’alikum  Wr.  Wb .

Ustadz, saya mau tanya. Apakah orang yang berumur 40 tahun, sementara ia belum aqiqah: apakah ia masih dianjurkan untuk aqiqah? Terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Citra Putri Maharani

Sumbersari

Mbak Citra yang saya hormati. Pertanyaan mbak Citra, saya jumpai di banyak tempat dengan redaksi yang berbeda. Apakah orang yang sudah terlewat aqiqahnya, tetap dianjurkan aqiqah? Misalnya umur 40 tahun, ia belum aqiqah. Dan tentu saja, ia sudah melampaui umur baligh.

Mari kita bahas dulu sekilas tentang aqiqah. Secara istilah, aqiqah adalah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Mengapa dimasak gulai ? Ini adalah tafaulan, berharap akhlak si bayi kelak akan manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.

Aqiqah hukumnya sunah muakkad. Hukum akikah menjadi wajib jika dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, aqiqah dilakukan dengan menyembelih minimal dua ekor kambing. Sedangkan untuk bayi perempuan, dipotongkan satu ekor kambing. (Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir). Ketentuan hewan aqiqah sama dengan ketentuan hewan qurban.

Sementara itu, dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali atau bapaknya. Dengan demikian, pembelian hewan aqiqah itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena wali atau bapaknya inilah yang bertanggungjawab atas aqiqahnya.

Masa penyembelihan hewan  itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Setelah hari ke tujuh, aqiqah itu merupakan ibadah sunah yang diqadla’. Karena itu boleh saja mengqadla aqiqah pada hari ke-40, pada tahun yang ke-2, pada tahun ke-7, hingga dia baligh. (Kifayatul Akhyar: 243)

Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah diatas umur baligh dan belum aqiqah? Apa masih dianjurkan melakukan aqiqah?

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib  menjelaskan sebagaimana berikut:

 “Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak baligh, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah baligh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusuli sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”

Walhasil, ketika seorang sudah baligh dan belum aqiqah, anjuran untuk aqiqah sudah ada di tangan orang baligh itu sendiri. Aqiqah tidak lagi ditanggung orang tuanya karena begitu seorang itu baligh, maka ia sudah terlepas dari orang tuanya. Orang yang baligh ini diberi pilihan: tetap melaksanakan aqiqah untuk dirinya atau tidak aqiqah. Namun, yang lebih baik adalah agar ia tetap melaksanan aqiqah untuk dirinya sendiri.    

Demikian, jawaban dari saya mbak citra. Semoga jelas dan bermanfaat.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Sholat Qabliyah Duduk

Pertanyaan:

Assalamu’ alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya pernah melihat orang sholat sunah qabliyah atau ba’dliyah di masjid dalam keadaan duduk. Bagaimana hukumnya, ustadz ? Mohon penjelasannya. Trima kasih.

Wassalamu’aikum Wr Wb.

Dzulkifli Kaliwates

082334567xxx

Mas Dzulkifli yang saya dirahmati Allah Swt.

Pertanyaan mas Dzulkifli di atas berkaitan dengan hukum sholat sunah dalam keadaan duduk. Untuk mengetahui hukumnya, mari kita lihat syarat rukun sholat.

Dalam pembahasan sholat dijelaskan bahwa berdiri bagi orang yang mampu merupakan rukun sholat fardlu. Artinya, dalam sholat fardlu, seseorang harus sholat dalam keadaan berdiri. Kecuali orang yang sholat dalam keadaan sakit, maka orang tersebut diperbolehkan melakukan sholat fardlu dalam keadaan duduk. Sholat fardlunya orang yang sakit dalam keadaan duduk itu sah dan sudah menggugurkan kewajiban sholat. Ini aturan dalam sholat fardlu.

Berbeda dengan sholat fardlu, dalam sholat sunah, aturan ini tidak berlaku. Artinya berdiri bagi orang mampu bukan merupakan rukun dalam sholat sunnah. Karena bukan rukun, maka ia boleh menjalankan ibadah sunah dalam keadaan duduk, meskipun tidak ada udzur (sakit dan lain sebagainya). (Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, 39). Bahkan dalam keadaan sehatpun, ia boleh melakukan sholat sunah dalam keadaan duduk.

Ketentuan kebolehan melakukan sholat sunah dengan duduk ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

َمنْ صَلَّي قَائِمٍا فَهُوَ اَفْضَلُ وَ مَنْ صَلَّي قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاِئمِ وَ مَنْ صَلَّي نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاعِدِ  ) رواه البخاري)

 Artinya: Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan berdiri, maka yang demikian itu lebih utama. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan duduk, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan berdiri. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan tidur, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan duduk (HR. Imam Bukhari).

Dengan demikian, jelaslah bahwa sholat sunah seperti sholat tahiyatul masjidqabliyahba’dliyahdluha dan sebagainya diperbolehkan untuk dilakukan dengan cara duduk. Meski demikian, harus diingat: pahala orang yang duduk adalah separo pahala orang yang berdiri. Pahala orang yang sholat dalam keadaan tidur miring adalah separo pahala orang yang duduk, sebagaimana bunyi sabda Rasulullah di atas.

Saya kira, demikian ini penjelasannya, mas Dzulkifli. Semoga berkah dan manfaat.

Wallahu’alam bi as-Shawab.    

Categories
Tanya jawab islam

Kambing Betina untuk Kurban

Assalamualaikum  Wr.  Wb.

Ustadz Harisudin, saya mau tanya. Bagaimana hukum berkurban  dengan kambing betina? Apakah sah kurbannya ? Mohon penjelasannya.  Trimakasih.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Restu, Mahasiswa IAIN Jember  

081342675xxx

Jawaban:

Mas Restu yang saya hormati.  Semoga Allah Swt. memberkahi anda dan kita semua. Amien ya rabbal alamien.

Islam tidak melarang hewan kurban betina. Artinya, dalam Islam tidak ada persyaratan hewan harus jantan. Dengan demikian, tidak dibedakan antara kurban betina dan kurban jantan. Keduanya sama-sama diperbolehkan untuk disembelih menjadi hewan kurban. Hanya saja, hewan kurban yang jantan lebih diutamakan. Meskipun, hewan kurban betina harganya lebih murah dan juga lebih banyak dagingnya.

بين الانثي و الذكر اذا وجد السن المعتبرنعم الذكر افضل علي الراجح  واعلم انه لافرق في الاجزاء

Artinya: Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada perbedaan antara hewan betina dan hewan jantan dalam berkurban ketika ditemukan umur yang diperhitungkan. Benar bahwa hewan jantan lebih utama karena lebih wangi dagingnya. (Kifayatul Akhyar: II, 236).

Yang utama dan perlu diperhatikan dalam hewan kurban –juga aqiqah—adalah persyaratan umur yang sudah waktunya.  Umur yang diperhitungkan dalam berkurban adalah umur dimana salah satu hewan tersebut telah tanggal (copot).  Untuk kambing domba, yang telah tanggal satu giginya (1-2 tahun). Untuk kambing biasa, yang telah tanggal dua giginya (1-3 tahun), untuk  unta umur 5-6 tahun dan untuk lembu umur 2-3 tahun. 

Selain itu, hewan kurban harus memenuhi syarat tidak cacat, antara lain: Pertama, tidak rusak matanya. Kedua, tidak jelas pincangnya. Ketiga, tidak hewan yang benar-benar punya penyakit. Dan keempat, tida hewan yang kurus hingga karena kekurusannya hilang sumsumnya.  

Jika persyaratan ini dipenuhi, maka sahlah kurban tersebut. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi, maka tidaklah sah kurban tersebut. Dengan demikian, sah tidaknya tidak berkaitan dengan hewan jantan maupun betina.

Demikian, semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam.