Categories
Dunia Islam

Muktamar Tak Hanya Fokus Soal Ketum, Tapi Keumatan

Jember, NU Online
Muktamar ke-33, merupakan hajatan puncak  dalam organisasi NU. Seharusnya, pada kegitaan  tersebut tidak hanya fokus pada pemilihan calon ketua umum (Ketum). Namun yang penting adalah memperbincangkan program keumatan dalam kepemimpinan masa berikutnya.

Demikian dikemukakan Katib Syuriyah PCNU Jember Dr.  M.N. Harisudin, M.Fil.I di sela-sela sebuah acara di Kantor PCNU Jember, Kamis (28/5).

Menurut Haris, sapaan akrabnya, sesungguhnya masih cukup banyak isu yang perlu diangkat dan perlu menjadi prioritas di dalam muktamar tersebut, di antaranya adalah tentang pemberdayaan umat, pendidikan, dan juga kesehatan.

“Sejauh ini, pendidikan kita masih kurang menggeliat, bidang kesehatan juga begitu. Isu ini perlu direspon dan dicarikan jalan keluarnya,” ucapnya.

Dosen IAIN Jember itu menambahkan, dalam sekian kali muktamar, pemberdayaan dan isu sosial lainnya memang kerap jadi rekomendasi keputusan, namun action di lapangan masih kurang maksimal.

Di wilayah dan cabang, menurut dia, juga tidak jauh beda. Konsep-konsep yang berupa rekomendasi program, ternyata di tataran pelaksanaan tidak berkembang. “Itu memang tataran teknis, tapi perlu dipikirkan kemampuan penerapannya agar rekomendasi itu tidak mubadzir,” tukas pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember.

Haris berharap agar muktamar Agustus mendatang ini benar- benar melahirkan program yang membumi dan berdaya guna, dalam pengertian bisa diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. “Ini agar NU benar-benar menjadi rahmatal lil’alamin. Terserah siapa pun nanti ketunya,” ucapnya. (Aryudi A. Razaq/Abdullah Alawi)

Categories
Tanya jawab islam

Hukum Memakan Daging Aqiqah

Ass. Ustadz. Mohon dijelaskan tentang hukum memakan daging aqiqah bagi orang yang  menyelenggarakan aqiqah. Karena yang berkembang di masyarakat, orang yang menyelenggarakan aqiqah dilarang memakan daging aqiqah. Mohon penjelasannya. Wass.

Oji  Sukowono Jember

082336784xxx     

Masa Oji,  sebelum kita bahas hukum memakan daging aqiqah, saya akan jelaskan dulu hukum aqiqah. Secara bahasa, aqiqah berarti nama rambut yang terdapat di kepala anak yang baru dilahirkan. Dalam pandangan syara’, aqiqah adalah nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh (hari mencukur kepala anak yang baru dilahirkan).

Hukum aqiqah ini sendiri adalah sunah. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. Bersabda:

Artinya:  “Rasulullah Saw. Bersabda: “Anak yang baru lahir menjadi tergadaikan sampai disembelihkan baginya aqiqah pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya dan di hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama.”

Untuk anak laki-laki, disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan disembelih seekor kambing.  Ini didasarkan pada hadits Ummi Karaz bahwa Nabi Muhammad Saw., bersabda:

Artinya : “Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk perempuan seekor kambing”.

Lalu, bagaimana hukum memakan daging aqiqah ? Apakah haram sebagaimana yang banyak dipahami masyarakat Jember? 

Satu hal penting yang harus digarisbawahi bahwa hukum aqiqah itu sama dengan hukum kurban dalam berbagai hal. Misalnya, standard minimal kambing (binatang kurban) yang disembelih, mensedekahkan dagingnya pada fakir miskin, larangan menjualnya dan bolehnya memakan daging bagi orang yang beraqiqah.

Berkaitan dengan hokum memakan daging aqiqah bagi orang yang beraqiqah hukumnya sunah kecuali jika aqiqahnya adalah aqiqah yang wajib karena dinadzarkan. Dalam kitab Bajuri Juz II Hal 572, disebutkan:

Artinya: “(Kata-kata memakan daging aqiqah). Oleh karena itu, seseorang yang beraqiqah tidak boleh memakan daging aqiqah yang dinadzarkan dan orang yang beraqiqah boleh memakan daging aqiqah yang sunah”.       

Dengan demikian, apa yang berkembang di masyarakat Jember–jika itu aqiqah sunah—adalah tidak bisa dibenarkan. Karena jika aqiqah sunah, orang yang beraqiqah tetap boleh memakan daging aqiqah sebagaimana boleh memakan daging kurban. Semoga menjadi jelas. **

Categories
Fatwa Ulama

Hukum Operasi Cesar

Ass. Saya sering mengikuti konsultasi agama di rubrik ini. Sekarang saya mau tanya, ustadz. Bagaimana hukum perempuan yang melahirkan dengan operasi cesar? Apakah ia tetap diwajibkan mandi karena alasan melahirkan (wiladah)? Demikian pertanyaan saya. Trima kasih. Wass

Sofiyah, Maesan Bondowoso

082456311xxx

Mas Andi yang dirahmati Allah Swt. Semoga kepedulian mas Andi dalam agama terus diistiqomahkan dalam kehidupan sehari-hari. Amien ya rabbal alamien.

Pertanyaan pertama, tentang hukum operasi Cesar. Pada mulanya, sesuatu yang melukai tubuh manusia itu dilarang oleh Allah Swt. Karena ini termasuk tulqu ilat tahlukah, masuk dalam kerusakan diri sendiri. Melukai tubuh dengan senjata tajam merupakan upaya merusak tubuh diri sendiri yang dilarang oleh Allah Swt.

Hanya saja, melukai diri sendiri –dalam bentuk operasi cesar ini—diperbolehkan karena termasuk apa yang disebut dengan ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun.  Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan melakukan sesuatu ini, maka hukum sesuatu ini adalah juga wajib. Operasi Cesar adalah wajib karena melahirkan bagi perempuan adalah wajib. Sementara, melahirkan (wiladah) tidak akan terjadi  tanpa operasi ini. Dengan demikian, hukum operasi  Cesar adalah juga wajib. 

Pertanyaan kedua, tentang perempuan yang operasi cesar: apakah ia tetap mandi. Sebagaimana diketahui, ada enam hal yang menyebabkan seseorang wajib mandi.  Tiga hal bagi seorang laki-laki dan perempuan, sementara tiga hal lain khusus untuk perempuan. Tiga hal yang untuk laki-laki dan perempuan adalah mati, hubungan suami istri dan keluar mani. Sementara, tiga hal yang khusus bagi perempuan adalah haid, nifas dan wiladah (melahirkan).

Semua orang yang melahirkan (wiladah) hukumnya wajib mandi. Syari’at tidak melihat bagaimana cara ia melahirkan. Pokoknya, semua jenis melahirkan baik dengan cara yang biasa atau dengan cara tidak biasa, hukumnya tetap wajib mandi. Dengan cara tidak biasa di sini, adalah termasuk dengan cara operasi Cesar.

Dalam kitab al-Bajuri Juz I hal 143 dijelaskan:

ان ولدت من غير  الطريق المعتاد فالذي يظهر وجوب الغسل اخذا لما بحثه الرملي فيما لو قال ان ولدت فانت طالق فولدت من غير  الطريق المعتاد

“ Jika seorang perempuan itu melahirkan dengan cara yang tidak biasa, maka menurut qaul yang adhar dia wajib mandi berdasarkan pendapat Imam Romli yang mengatakan bahwa jika seorang laki-laki berkata: engkau saya talak jika melahirkan, kemudian dia melahirkan dengan cara biasa, maka perempuan ini dihukumi jadi talaknya”.    

Demikian jawaban saya. Semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam. **

Categories
Dunia Islam

Kajian Kitab Ihya Ulumuddin di PP Darul Hikam Jember Cara Wushul pada Allah: Ta’alluq  Billah

Jember, NU Online.

Keluarga Alumni Ma’had Aly Ponpes Ma’had Aly Situbondo Jawa Timur kembali menggelar kajian Kitab Ihya Ulumuddin dua bulanan. Kali ini bertempat di PP Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, ahad, 5 Maret 2015 mulai jam 10.00 Wib sd selesai. Diskusi kitab karya Imam Ghazali yang berlangsung di pondok pesantren milik Katib Syuriyah PCNU Jember, Dr. MN. Harisudin, M. Fil. I, berjalan dengan gayeng. Kurang lebih 40-an alumni yang datang dari berbagai daerah tersebut.

“Hati itu ibarat cermin (al-mir’ah). Jika suatu benda dihadapkan pada cermin, maka akan ada tiga hal: cermin, benda yang hakiki dan bayangannya”, kata Ust. Fakhur Rozi, alumni Ma’ah Aly angkatan keempat tersebut. Ust. Fakhrurrazi membaca kitab ini mulai Jilid III, hal 12 “Bayanu mitslil qalibi bil idzafati ila ulumi khassatan”.

Sama dengan hati, jika ada benda yang hakiki, maka akan ditangkap oleh hati. Dengan demikian ada tiga hal berkaitan hati: al-qalbu/hati (al-alim), haqa’iqul asyya’ (ma’lum) dan hushulu nafsil asya’ (al-ilmu). Jika misalnya seorang melihat api, maka hati orang tersebut adalah alim, apinya adalah ma’lum  dan gambaran api dalam hati disebut dengan  al-ilm.

Dengan berbagai aktivitas manusia yang padat, apakah ada jalan wushul pada Allah Swt? Bukankah hati akan disibukkan dengan aktivitas tersebut ?.

Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I menyatakan bahwa berbagai aktivitas tetap akan bisa menyampaikan pada Allah Swt. Misalnya profesi dosen, pengacara, politisi, pedagang, petani, buruh, tukang becak dan lain sebagainya, tetap bisa wushul pada Allah Swt. Hanya saja, ada syaratnya, lanjut penulis buku berjudul “Bersedekahlah Engkau  Akan Kaya dan Hidup Berkah”.

“Syaratnya dua: Pertama, menjadi muhsinin (artinya orang yang mengamalkan semua ilmunya). Kedua, ia harus menjaga ta’alluq pada Allah Swt (ta’alluq billah) secara terus menerus”, kata kiai muda yang juga dosen Pasca Sarjana IAIN Jember dan Pasca Sarjana di sejumlah PTAI se-Jawa Timur tersebut.Wallahu’alam. (Anwari/Kontributor NU Online)

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Tidak Tahu Kalau Zina Itu Haram (?)

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

Salah satu hal yang diacu dalam fiqh, adalah bahwa seseorang tidak boleh beralasan melakukan larangan Allah Swt. atau ia meninggalkan perintah-Nya dengan alasan tidak tahu. Misalnya, seorang yang melakukan perzinahan tidak boleh mengatakan “ Saya tidak tahu kalau melakukan zina itu dilarang”.  Orang yang melakukan korupsi tidak boleh berkata: “Saya tidak tahu kalau korupsi itu dilarang”. Demikian juga, tidak diperhitungkan orang yang mengatakan:” Saya tidak tahu kalau sholat lima waktu itu diwajibkan”.  Atau seseorang yang tidak membayar zakat tidak bisa berkata “Maaf, saya tidak tahu kalau zakat itu wajib hukumnya”. Dan demikian seterusnya.   

Semua alasan yang dikemukakan di atas, dalam pandangan syara’,  tidak berlaku. Artinya, alasan itu tidak menggugurkan dosa seseorang yang melakukan larangan Allah Swt. atau meninggalkan perintah-Nya. Dengan kata lain, ia tetap berdosa. Demikian ini karena hukum Islam  berlaku umum. Siapapun seorang muslim yang mukallaf (baligh dan berakal), maka wajib baginya untuk melakukan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Begitu hukum Islam diundangkan, maka hukum Islam berlaku secara universal tanpa kecuali.

Berkaitan  dengan ketidaktahuan ini, Allah Swt. berfirman: “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.” (QS. An Nisa: 165). Dalam hadits, Rasulullah Saw. juga bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya!! Tidaklah seorang dari umat ini, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian ia tidak beriman dengan syariat yang aku bawa kecuali pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim: 153).

Prof. Abdul Wahab Khalaf, Guru Besar Syari’ah di Universitas al-Azhar Mesir, dalam Kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, mengatakan: Wa yulahadzu annal muraada bi’ilmil mukallafi bima kullifa bihi imkaanu ‘ilmihi bihi la ilmuhu bihi fi’lan. Fa mata balaghal insanu ‘aqilan qaadiran ‘ala an ya’rifal ahkam as-syar’iyyata binafsihi au bisuali ahlidzikri ‘anha, u’tubira ‘aliman bima kullifa bihi wa nafadzat alaihi al-ahkaamu wa ulzima bi atsaariha wala yuqbalu minhu al-I’tidzaaru bijahliha. (Abdul Wahab Khalaf: 1948, 129).

Artinya: Dan perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan “mengetahuinya mukallaf” dengan sesuatu yang dibebankan (taklif) padanya adalah “potensi mengetahuinya mukallaf” (imkanufi’lihi) dan bukan “mengetahuinya mukallaf secara faktual” (la ilmuhu bihi fi’lan). Oleh karena itu, ketika seorang sudah baligh, berakal dan mampu mengetahui hukum syar’i baik dengan dirinya atau bertanya pada orang yang tahu, maka ia dianggap sebagai orang yang tahu terhadap apa yang ditaklifkan padanya, berlakulah hukum padanya dan ditetapkan dampak hukum padanya. Selanjutnya, ketidaktahuan dia terhadap hukum tidak dapat diterima.

Walhasil, kata kuncinya disini adalah bahwa hukum Islam berkaitan dengan potensi mengetahuinya seseorang. Seorang yang sudah baligh dan berakal—dalam pandangan syar’i—adalah dipandang sebagai orang yang mengetahui hukum syar’i. Tidak peduli: apakah ia benar-benar tahu terhadap hukum Allah Swt. atau tidak mengetahuinya. Potensi inilah yang diperhitungkan dalam hukum Islam. Karena itu, orang yang memiliki potensi ini, sudah dikenai beban hukum-hukum Allah Swt.

Sesungguhnya, berlaku hal yang sama dalam hukum positif yang berlaku di negara ini. Seorang pengendara mobil yang ditangkap polisi tidak bisa berdalih bahwa ia tidak tahu kalau mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman itu dilarang. Ia tidak bisa berkata:”Maaf pak polisi. Saya tidak tahu kalau harus menggunakan sabuk pengaman ketika menegendarai mobil ”. Dalih ini tidak bisa diterima. Pelanggar mobil ini tetap kena denda. Karena begitu undang-undang Satlantas disahkan dalam lembaran negara, maka berlakukah hukum lalu lintas. Semua orang di negara ini dianggap tahu tentang undang-undang ini, meskipun secara de facto, dia belum pernah membaca undang-undang satlantas ini.

Hanya saja, soal ketidaktahuan seorang mukallaf ini, ada beberapa pengecualian yang dalam fiqh disebut dengan jahil ma’dzur (Ketidaktahuan yang ditoleransi). Dalam pandangan fiqh, ada dua orang yang dikatakan jahil ma’dzur, yaitu: Pertama, seorang yang hidup jauh dari ulama. Kedua, orang yang baru masuk Islam. (Bughyatul Murtasyidin: 89). Kedua orang ini dimaafkan jika melanggar aturan hukum Islam. Sebaliknya, selain yang dua ini, tidak dapat dikategorikan sebagai jahil ma’dzur alias tidak diperhitungkan ketidaktahuannya.   

Wallahu’alam.*

Categories
Dunia Islam

Sambut Muktamar NU, Ponpes Darul Hikam Jember Membuat Lukisan 99 Kiai Kharismatik NU

Ada sesuatu yang unik di Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember kaitannya dengan Muktamar NU di Jombang Jawa Timur. Seperti yang dikatakan oleh pengasuhnya, Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I, bahwa dalam rangka menyambut Muktamar NU Jombang, Pesantren Darul Hikam membuat 99 lukisan Kiai Kharismatik NU.

Diantara para kiai ini adalah para pendiri dan pejuang Nahdlatul Ulama seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hayim, KH. Bisri Syamsuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Maksum, KH. Ahmad Shidiq, KH. Abdurrahman Wahid dan sebagainya.

Lukisan para kiai ini tidak digambar dengan warna, melainkan digambar dengan hitam putih sehingga tampak alami. Kesan natural yang klasik akan membuat orang yang melihat akan terkesima dan berdecak kagum. Aura kharismatisnya juga akan muncul dalam pandangan orang yang melihatnya karena kerut wajah nyaris hampir sama dengan aslinya.

“Setidaknya ada dua tujuan lukisan Kiai Kharismatik NU. Pertama, mengenalkan dan mensosialisasikan para kiai kharismatik NU pada warga Nahdliyin. Kedua, mengenang pemikiran dan langkah perjuangannya untuk diteruskan di masa sekarang. Saya ingin di kantor PCNU dan PWNU seluruh Indonesia, dipasang lukisan ini”, pungkas Dr. MN. Harisudin, M. Fil. I yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember ini.

Hingga sekarang, sudah ada beberapa lukisan yang selesai. Dan terus akan dibuat hingga pelaksanaan Muktamar NU pada 1-5 Agustus nanti.

(Kontributor NU Online: Anwari)

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Menyentuh Kucing dan Air Liurnya, Najiskah?

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Konsultan AZKA Al-Baitul Amien Jember

Assalamu’alaikum Wr.  Wb.

Ustadz, mau tanya. Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kucing menjadi bagian dari hidup kita. Ketika kita makan, minum, dan lain-lain, kita seringkali dikelilingi kucing yang kadangkala membuat jijik kita. Saya ingin bertanya: apakah hokum kita menyentuh kucing ? Juga bagaimana air liur kucing yang kadang kala makan-makanan kita, apakah ia termasuk najis? Terima kasih atas jawabannya, ustadz.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Sundari, Kaliwates Jember

082345876xxx

Jawaban:

Islam adalah agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Dan aturan yang dibuat oleh Allah Swt. semua digunakan untuk kemaslahatan manusia. Sebaliknya, aturan Islam yang juga disebut Syari’at itu tidak untuk kepentingan Allah Swt. Allah Swt. tidak memiliki kepentingan apapun teradap syari’at, hanya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.  

Dalam konteks air liur kucing, apakah termasuk najis atau bukan, maka Islam sudah mengatur dalam barang yang najis dan suci. Dalam fiqh madzhab Syafi’i misalnya menyebut barang yang najis antara lain seperti bangkai, darah, air kencing, kotoran manusia, kotoran hewan, anjing, babi dan lain sebagainya.

Memang madzhab yang lain seperti Maliki memiliki pandangan sedikit berbeda tentang benda najis. Misalnya kotoran binatang (rauts) bagi madzhab Maliki adalah benda suci. Demikian juga madzhab Maliki juga berpendapata bahwa babi tidak termasuk benda najis (thahiharah). Karena tidak ada dalil kuat yang menunjukkan kenajisan babi.

Meski beda pendapat, semua ulama sepakat bahwa air liur kucing adalah suci. Demikian ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:    

عن كَبْشَةَ بنت كعب بن مالك قال : وكانت تحت ابن أبي قتادة – أن أبا قتادة دخَلَ عليها ، فسكبتْ له وَضُوءاً ، فجاءتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ منه ، فأصْغَى لها الإناءُ حتى شربت . قالت كبْشة : فرآني أَنْظُرُ إليه ، قال أتعجبين يا ابنة أخي ، فقلت : نعم فقال : إنَّ رَسولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَليهِ وَسَلمَ قَالَ : إنَّها ليست بِنَجَسٍ ، إنَّها من الطَّوَّافين عليكم والطَّوافات . أخرجه الأربعة والترمذي وصححه

Artinya: Dari Kabsyah anak perempuan Ka’b bin Malik, ia berkata: Kabsyah binti Ka’b sendiri ada dalam pangkuan anak laki-laki Abu Qatadah. Suatu saat, Abu Qatadah masuk ke rumahnya dan Kabsyah menyiapkan air untuk wudlu untuk Abu Qatadah. Tak berselang lama, datang seekor kucing yang lalu meminum air wudlu tersebut.  Kemudian oleh Abu Qatadah, wadah air itu dijulurkan pada kucing tersebut sehingga memudahkannya minum. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihat heran pada saya. Abu Qatadah berkata: Wahai anak perempuan saudaraku, apa kamu heran? Aku berkata: ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata: sesungguhnya kucing itu bukan benda najis. Kucing termasuk hewan yang senang mengelilingi kalian. (Diriwayatkan Imam empat dan Tirmidzi). 

Berangkat dari sana, maka kucing termasuk benda suci. Demikian juga air liur kucing termasuk juga benda suci. Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan kucing yang saban hari mengelilingi kita. Kita juga tidak perlu khawatir dengan air liur kucing karena hukumnya yang suci.

Malah, kita harus bersikap bersikap kasih sayang pada kucing. Karena kucing adalah makhluk Allah Swt. yang sama dengan kita. Rezeki yang kita terima sudah seyogyanya juga kita bagi dan berikan pada kucing. Tidak dibenarkan kita misalnya menendang kucing, memukulnya dan sebagainya karena kucing adalah juga makhluk Allah Swt. yang harus kita kasihi sama dengan hewan-hewan yang lain.   Demikian jawaban saya, mas Sundari.  Semoga bermanfaat.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Anak Yatim di Bulan Muharram, Siapa itu ?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, di bulan Muharram, kita dianjurkan untuk  menyantuni anak yatim. Pertanyaan saya: apakah orang yang ditinggal pergi ayahnya termasuk  anak yatim ? Siapa yang disebut anak yatim itu? Maturnuwun jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Haris Irsyadi Demak Jawa Tengah

Jawaban:

Mas Haris yang budiman, untuk menjawab pertanyaan jenengan, kita harus kembali pada definisi anak yatim. Dalam literatur fiqh (al-Fiqh al-Manhaji ala madzhab al-Imam as-Syafi’i, II, hal 10) disebutkan begini:

يتيما: هو من مات أبوه وهو دون البلوغ.

Artinya: “Anak yatim adalah orang yang ditinggal mati bapaknya sementara dia belum baligh”.

Bertolak dari definisi ini, maka anak yang ditinggal pergi ayahnya tidak termasuk kategori anak yatim.

Bagaimana dengan orang yang ditinggal mati ibunya? Apa juga disebut yatim yang berhak mendapat santunan? Dalam fiqh-fiqh, orang yang ditinggal mati ibunya tidak disebut yatim karena ia masih memiliiki penyangga ekonomi, yaitu ayahnya. Artinya, anak tersebut masih dalam perlindungan dan ayoman ayahnya. Karena itu, wajar jika Islam tidak menggolongkannya pada orang yang berhak diberi santunan.     

Namun demikian, meski bukan anak yatim, kalau keadaannya memang miskin dan dari keluarga miskin, kita juga dianjurkan bersedekah pada mereka. Pertimbangannya karena keluarga miskin yang membutuhkan, bukan pertimbangan lainnya.

Demikian, terima kasih.                

Wallahu’alam

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Adzan untuk Sholat Sunah

Assalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya mau tanya. Bagaimana hukum adzan yang dikumandangkan untuk sholat sunah. Misalnya Idul Fitri, Istisqa’ dan sebagainya ? Trima kasih jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Mauludin

Jawab:

Mas Mauludin, sebagaimana disebut dalam literatur fiqh, adzan adalah dzikir khusus yang digunakan sebagai petanda masuk sholat fardlu. Dzikir khusus ini sudah masyhur di kalangan kita, karena itu, saya tidak perlu membahas dzikir tersebut.

Tetapi, catatan khusus di sini adalah bahwa adzan disyari’atkan untuk sholat fardlu, sebagaimana disebut dalam kitab Fathul Qarib.

وإنما يُشرَع كل من الأذان والإقامة للمكتوبة، وأما غيرها فينادى لها «الصلاةُ جَامِعة».

Artinya: “Adzan dan iqamat itu disyari’atkan untuk sholat maktubah. Untuk sholat yang tidak maktubah, tidak disyari’atkan adzan, tetapi ucapan as-Shalatu jami’ah”. 

Jelaslah di sini, bahwa untuk sholat sunnah, disyari’atkan kata-kata as-shalatu jami’ah. Dengan demikian, mengucapkan adzan untuk sholat sunah merupakan bid’ah ghairu masy’ruah (bid’ah yang tidak disyari’atkan).

Demikian, semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam Uncategorised

Aqiqah Bagi Orang Yang Sudah Baligh

Assalamu’alikum  Wr.  Wb .

Ustadz, saya mau tanya. Apakah orang yang berumur 40 tahun, sementara ia belum aqiqah: apakah ia masih dianjurkan untuk aqiqah? Terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Citra Putri Maharani

Sumbersari

Mbak Citra yang saya hormati. Pertanyaan mbak Citra, saya jumpai di banyak tempat dengan redaksi yang berbeda. Apakah orang yang sudah terlewat aqiqahnya, tetap dianjurkan aqiqah? Misalnya umur 40 tahun, ia belum aqiqah. Dan tentu saja, ia sudah melampaui umur baligh.

Mari kita bahas dulu sekilas tentang aqiqah. Secara istilah, aqiqah adalah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Mengapa dimasak gulai ? Ini adalah tafaulan, berharap akhlak si bayi kelak akan manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.

Aqiqah hukumnya sunah muakkad. Hukum akikah menjadi wajib jika dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, aqiqah dilakukan dengan menyembelih minimal dua ekor kambing. Sedangkan untuk bayi perempuan, dipotongkan satu ekor kambing. (Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir). Ketentuan hewan aqiqah sama dengan ketentuan hewan qurban.

Sementara itu, dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali atau bapaknya. Dengan demikian, pembelian hewan aqiqah itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena wali atau bapaknya inilah yang bertanggungjawab atas aqiqahnya.

Masa penyembelihan hewan  itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Setelah hari ke tujuh, aqiqah itu merupakan ibadah sunah yang diqadla’. Karena itu boleh saja mengqadla aqiqah pada hari ke-40, pada tahun yang ke-2, pada tahun ke-7, hingga dia baligh. (Kifayatul Akhyar: 243)

Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah diatas umur baligh dan belum aqiqah? Apa masih dianjurkan melakukan aqiqah?

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib  menjelaskan sebagaimana berikut:

 “Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak baligh, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah baligh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusuli sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”

Walhasil, ketika seorang sudah baligh dan belum aqiqah, anjuran untuk aqiqah sudah ada di tangan orang baligh itu sendiri. Aqiqah tidak lagi ditanggung orang tuanya karena begitu seorang itu baligh, maka ia sudah terlepas dari orang tuanya. Orang yang baligh ini diberi pilihan: tetap melaksanakan aqiqah untuk dirinya atau tidak aqiqah. Namun, yang lebih baik adalah agar ia tetap melaksanan aqiqah untuk dirinya sendiri.    

Demikian, jawaban dari saya mbak citra. Semoga jelas dan bermanfaat.