Categories
Fatwa Ulama

Hukum Operasi Cesar

Ass. Saya sering mengikuti konsultasi agama di rubrik ini. Sekarang saya mau tanya, ustadz. Bagaimana hukum perempuan yang melahirkan dengan operasi cesar? Apakah ia tetap diwajibkan mandi karena alasan melahirkan (wiladah)? Demikian pertanyaan saya. Trima kasih. Wass

Sofiyah, Maesan Bondowoso

082456311xxx

Mas Andi yang dirahmati Allah Swt. Semoga kepedulian mas Andi dalam agama terus diistiqomahkan dalam kehidupan sehari-hari. Amien ya rabbal alamien.

Pertanyaan pertama, tentang hukum operasi Cesar. Pada mulanya, sesuatu yang melukai tubuh manusia itu dilarang oleh Allah Swt. Karena ini termasuk tulqu ilat tahlukah, masuk dalam kerusakan diri sendiri. Melukai tubuh dengan senjata tajam merupakan upaya merusak tubuh diri sendiri yang dilarang oleh Allah Swt.

Hanya saja, melukai diri sendiri –dalam bentuk operasi cesar ini—diperbolehkan karena termasuk apa yang disebut dengan ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun.  Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan melakukan sesuatu ini, maka hukum sesuatu ini adalah juga wajib. Operasi Cesar adalah wajib karena melahirkan bagi perempuan adalah wajib. Sementara, melahirkan (wiladah) tidak akan terjadi  tanpa operasi ini. Dengan demikian, hukum operasi  Cesar adalah juga wajib. 

Pertanyaan kedua, tentang perempuan yang operasi cesar: apakah ia tetap mandi. Sebagaimana diketahui, ada enam hal yang menyebabkan seseorang wajib mandi.  Tiga hal bagi seorang laki-laki dan perempuan, sementara tiga hal lain khusus untuk perempuan. Tiga hal yang untuk laki-laki dan perempuan adalah mati, hubungan suami istri dan keluar mani. Sementara, tiga hal yang khusus bagi perempuan adalah haid, nifas dan wiladah (melahirkan).

Semua orang yang melahirkan (wiladah) hukumnya wajib mandi. Syari’at tidak melihat bagaimana cara ia melahirkan. Pokoknya, semua jenis melahirkan baik dengan cara yang biasa atau dengan cara tidak biasa, hukumnya tetap wajib mandi. Dengan cara tidak biasa di sini, adalah termasuk dengan cara operasi Cesar.

Dalam kitab al-Bajuri Juz I hal 143 dijelaskan:

ان ولدت من غير  الطريق المعتاد فالذي يظهر وجوب الغسل اخذا لما بحثه الرملي فيما لو قال ان ولدت فانت طالق فولدت من غير  الطريق المعتاد

“ Jika seorang perempuan itu melahirkan dengan cara yang tidak biasa, maka menurut qaul yang adhar dia wajib mandi berdasarkan pendapat Imam Romli yang mengatakan bahwa jika seorang laki-laki berkata: engkau saya talak jika melahirkan, kemudian dia melahirkan dengan cara biasa, maka perempuan ini dihukumi jadi talaknya”.    

Demikian jawaban saya. Semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam. **

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Tidak Tahu Kalau Zina Itu Haram (?)

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

Salah satu hal yang diacu dalam fiqh, adalah bahwa seseorang tidak boleh beralasan melakukan larangan Allah Swt. atau ia meninggalkan perintah-Nya dengan alasan tidak tahu. Misalnya, seorang yang melakukan perzinahan tidak boleh mengatakan “ Saya tidak tahu kalau melakukan zina itu dilarang”.  Orang yang melakukan korupsi tidak boleh berkata: “Saya tidak tahu kalau korupsi itu dilarang”. Demikian juga, tidak diperhitungkan orang yang mengatakan:” Saya tidak tahu kalau sholat lima waktu itu diwajibkan”.  Atau seseorang yang tidak membayar zakat tidak bisa berkata “Maaf, saya tidak tahu kalau zakat itu wajib hukumnya”. Dan demikian seterusnya.   

Semua alasan yang dikemukakan di atas, dalam pandangan syara’,  tidak berlaku. Artinya, alasan itu tidak menggugurkan dosa seseorang yang melakukan larangan Allah Swt. atau meninggalkan perintah-Nya. Dengan kata lain, ia tetap berdosa. Demikian ini karena hukum Islam  berlaku umum. Siapapun seorang muslim yang mukallaf (baligh dan berakal), maka wajib baginya untuk melakukan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Begitu hukum Islam diundangkan, maka hukum Islam berlaku secara universal tanpa kecuali.

Berkaitan  dengan ketidaktahuan ini, Allah Swt. berfirman: “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.” (QS. An Nisa: 165). Dalam hadits, Rasulullah Saw. juga bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya!! Tidaklah seorang dari umat ini, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian ia tidak beriman dengan syariat yang aku bawa kecuali pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim: 153).

Prof. Abdul Wahab Khalaf, Guru Besar Syari’ah di Universitas al-Azhar Mesir, dalam Kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, mengatakan: Wa yulahadzu annal muraada bi’ilmil mukallafi bima kullifa bihi imkaanu ‘ilmihi bihi la ilmuhu bihi fi’lan. Fa mata balaghal insanu ‘aqilan qaadiran ‘ala an ya’rifal ahkam as-syar’iyyata binafsihi au bisuali ahlidzikri ‘anha, u’tubira ‘aliman bima kullifa bihi wa nafadzat alaihi al-ahkaamu wa ulzima bi atsaariha wala yuqbalu minhu al-I’tidzaaru bijahliha. (Abdul Wahab Khalaf: 1948, 129).

Artinya: Dan perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan “mengetahuinya mukallaf” dengan sesuatu yang dibebankan (taklif) padanya adalah “potensi mengetahuinya mukallaf” (imkanufi’lihi) dan bukan “mengetahuinya mukallaf secara faktual” (la ilmuhu bihi fi’lan). Oleh karena itu, ketika seorang sudah baligh, berakal dan mampu mengetahui hukum syar’i baik dengan dirinya atau bertanya pada orang yang tahu, maka ia dianggap sebagai orang yang tahu terhadap apa yang ditaklifkan padanya, berlakulah hukum padanya dan ditetapkan dampak hukum padanya. Selanjutnya, ketidaktahuan dia terhadap hukum tidak dapat diterima.

Walhasil, kata kuncinya disini adalah bahwa hukum Islam berkaitan dengan potensi mengetahuinya seseorang. Seorang yang sudah baligh dan berakal—dalam pandangan syar’i—adalah dipandang sebagai orang yang mengetahui hukum syar’i. Tidak peduli: apakah ia benar-benar tahu terhadap hukum Allah Swt. atau tidak mengetahuinya. Potensi inilah yang diperhitungkan dalam hukum Islam. Karena itu, orang yang memiliki potensi ini, sudah dikenai beban hukum-hukum Allah Swt.

Sesungguhnya, berlaku hal yang sama dalam hukum positif yang berlaku di negara ini. Seorang pengendara mobil yang ditangkap polisi tidak bisa berdalih bahwa ia tidak tahu kalau mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman itu dilarang. Ia tidak bisa berkata:”Maaf pak polisi. Saya tidak tahu kalau harus menggunakan sabuk pengaman ketika menegendarai mobil ”. Dalih ini tidak bisa diterima. Pelanggar mobil ini tetap kena denda. Karena begitu undang-undang Satlantas disahkan dalam lembaran negara, maka berlakukah hukum lalu lintas. Semua orang di negara ini dianggap tahu tentang undang-undang ini, meskipun secara de facto, dia belum pernah membaca undang-undang satlantas ini.

Hanya saja, soal ketidaktahuan seorang mukallaf ini, ada beberapa pengecualian yang dalam fiqh disebut dengan jahil ma’dzur (Ketidaktahuan yang ditoleransi). Dalam pandangan fiqh, ada dua orang yang dikatakan jahil ma’dzur, yaitu: Pertama, seorang yang hidup jauh dari ulama. Kedua, orang yang baru masuk Islam. (Bughyatul Murtasyidin: 89). Kedua orang ini dimaafkan jika melanggar aturan hukum Islam. Sebaliknya, selain yang dua ini, tidak dapat dikategorikan sebagai jahil ma’dzur alias tidak diperhitungkan ketidaktahuannya.   

Wallahu’alam.*

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Menyentuh Kucing dan Air Liurnya, Najiskah?

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Konsultan AZKA Al-Baitul Amien Jember

Assalamu’alaikum Wr.  Wb.

Ustadz, mau tanya. Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kucing menjadi bagian dari hidup kita. Ketika kita makan, minum, dan lain-lain, kita seringkali dikelilingi kucing yang kadangkala membuat jijik kita. Saya ingin bertanya: apakah hokum kita menyentuh kucing ? Juga bagaimana air liur kucing yang kadang kala makan-makanan kita, apakah ia termasuk najis? Terima kasih atas jawabannya, ustadz.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Sundari, Kaliwates Jember

082345876xxx

Jawaban:

Islam adalah agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Dan aturan yang dibuat oleh Allah Swt. semua digunakan untuk kemaslahatan manusia. Sebaliknya, aturan Islam yang juga disebut Syari’at itu tidak untuk kepentingan Allah Swt. Allah Swt. tidak memiliki kepentingan apapun teradap syari’at, hanya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.  

Dalam konteks air liur kucing, apakah termasuk najis atau bukan, maka Islam sudah mengatur dalam barang yang najis dan suci. Dalam fiqh madzhab Syafi’i misalnya menyebut barang yang najis antara lain seperti bangkai, darah, air kencing, kotoran manusia, kotoran hewan, anjing, babi dan lain sebagainya.

Memang madzhab yang lain seperti Maliki memiliki pandangan sedikit berbeda tentang benda najis. Misalnya kotoran binatang (rauts) bagi madzhab Maliki adalah benda suci. Demikian juga madzhab Maliki juga berpendapata bahwa babi tidak termasuk benda najis (thahiharah). Karena tidak ada dalil kuat yang menunjukkan kenajisan babi.

Meski beda pendapat, semua ulama sepakat bahwa air liur kucing adalah suci. Demikian ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:    

عن كَبْشَةَ بنت كعب بن مالك قال : وكانت تحت ابن أبي قتادة – أن أبا قتادة دخَلَ عليها ، فسكبتْ له وَضُوءاً ، فجاءتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ منه ، فأصْغَى لها الإناءُ حتى شربت . قالت كبْشة : فرآني أَنْظُرُ إليه ، قال أتعجبين يا ابنة أخي ، فقلت : نعم فقال : إنَّ رَسولَ اللهِ صَلَى اللهُ عَليهِ وَسَلمَ قَالَ : إنَّها ليست بِنَجَسٍ ، إنَّها من الطَّوَّافين عليكم والطَّوافات . أخرجه الأربعة والترمذي وصححه

Artinya: Dari Kabsyah anak perempuan Ka’b bin Malik, ia berkata: Kabsyah binti Ka’b sendiri ada dalam pangkuan anak laki-laki Abu Qatadah. Suatu saat, Abu Qatadah masuk ke rumahnya dan Kabsyah menyiapkan air untuk wudlu untuk Abu Qatadah. Tak berselang lama, datang seekor kucing yang lalu meminum air wudlu tersebut.  Kemudian oleh Abu Qatadah, wadah air itu dijulurkan pada kucing tersebut sehingga memudahkannya minum. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihat heran pada saya. Abu Qatadah berkata: Wahai anak perempuan saudaraku, apa kamu heran? Aku berkata: ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata: sesungguhnya kucing itu bukan benda najis. Kucing termasuk hewan yang senang mengelilingi kalian. (Diriwayatkan Imam empat dan Tirmidzi). 

Berangkat dari sana, maka kucing termasuk benda suci. Demikian juga air liur kucing termasuk juga benda suci. Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan kucing yang saban hari mengelilingi kita. Kita juga tidak perlu khawatir dengan air liur kucing karena hukumnya yang suci.

Malah, kita harus bersikap bersikap kasih sayang pada kucing. Karena kucing adalah makhluk Allah Swt. yang sama dengan kita. Rezeki yang kita terima sudah seyogyanya juga kita bagi dan berikan pada kucing. Tidak dibenarkan kita misalnya menendang kucing, memukulnya dan sebagainya karena kucing adalah juga makhluk Allah Swt. yang harus kita kasihi sama dengan hewan-hewan yang lain.   Demikian jawaban saya, mas Sundari.  Semoga bermanfaat.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Anak Yatim di Bulan Muharram, Siapa itu ?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, di bulan Muharram, kita dianjurkan untuk  menyantuni anak yatim. Pertanyaan saya: apakah orang yang ditinggal pergi ayahnya termasuk  anak yatim ? Siapa yang disebut anak yatim itu? Maturnuwun jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Haris Irsyadi Demak Jawa Tengah

Jawaban:

Mas Haris yang budiman, untuk menjawab pertanyaan jenengan, kita harus kembali pada definisi anak yatim. Dalam literatur fiqh (al-Fiqh al-Manhaji ala madzhab al-Imam as-Syafi’i, II, hal 10) disebutkan begini:

يتيما: هو من مات أبوه وهو دون البلوغ.

Artinya: “Anak yatim adalah orang yang ditinggal mati bapaknya sementara dia belum baligh”.

Bertolak dari definisi ini, maka anak yang ditinggal pergi ayahnya tidak termasuk kategori anak yatim.

Bagaimana dengan orang yang ditinggal mati ibunya? Apa juga disebut yatim yang berhak mendapat santunan? Dalam fiqh-fiqh, orang yang ditinggal mati ibunya tidak disebut yatim karena ia masih memiliiki penyangga ekonomi, yaitu ayahnya. Artinya, anak tersebut masih dalam perlindungan dan ayoman ayahnya. Karena itu, wajar jika Islam tidak menggolongkannya pada orang yang berhak diberi santunan.     

Namun demikian, meski bukan anak yatim, kalau keadaannya memang miskin dan dari keluarga miskin, kita juga dianjurkan bersedekah pada mereka. Pertimbangannya karena keluarga miskin yang membutuhkan, bukan pertimbangan lainnya.

Demikian, terima kasih.                

Wallahu’alam

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Hukum Adzan untuk Sholat Sunah

Assalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya mau tanya. Bagaimana hukum adzan yang dikumandangkan untuk sholat sunah. Misalnya Idul Fitri, Istisqa’ dan sebagainya ? Trima kasih jawabannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Mauludin

Jawab:

Mas Mauludin, sebagaimana disebut dalam literatur fiqh, adzan adalah dzikir khusus yang digunakan sebagai petanda masuk sholat fardlu. Dzikir khusus ini sudah masyhur di kalangan kita, karena itu, saya tidak perlu membahas dzikir tersebut.

Tetapi, catatan khusus di sini adalah bahwa adzan disyari’atkan untuk sholat fardlu, sebagaimana disebut dalam kitab Fathul Qarib.

وإنما يُشرَع كل من الأذان والإقامة للمكتوبة، وأما غيرها فينادى لها «الصلاةُ جَامِعة».

Artinya: “Adzan dan iqamat itu disyari’atkan untuk sholat maktubah. Untuk sholat yang tidak maktubah, tidak disyari’atkan adzan, tetapi ucapan as-Shalatu jami’ah”. 

Jelaslah di sini, bahwa untuk sholat sunnah, disyari’atkan kata-kata as-shalatu jami’ah. Dengan demikian, mengucapkan adzan untuk sholat sunah merupakan bid’ah ghairu masy’ruah (bid’ah yang tidak disyari’atkan).

Demikian, semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam Uncategorised

Aqiqah Bagi Orang Yang Sudah Baligh

Assalamu’alikum  Wr.  Wb .

Ustadz, saya mau tanya. Apakah orang yang berumur 40 tahun, sementara ia belum aqiqah: apakah ia masih dianjurkan untuk aqiqah? Terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Citra Putri Maharani

Sumbersari

Mbak Citra yang saya hormati. Pertanyaan mbak Citra, saya jumpai di banyak tempat dengan redaksi yang berbeda. Apakah orang yang sudah terlewat aqiqahnya, tetap dianjurkan aqiqah? Misalnya umur 40 tahun, ia belum aqiqah. Dan tentu saja, ia sudah melampaui umur baligh.

Mari kita bahas dulu sekilas tentang aqiqah. Secara istilah, aqiqah adalah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Mengapa dimasak gulai ? Ini adalah tafaulan, berharap akhlak si bayi kelak akan manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.

Aqiqah hukumnya sunah muakkad. Hukum akikah menjadi wajib jika dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, aqiqah dilakukan dengan menyembelih minimal dua ekor kambing. Sedangkan untuk bayi perempuan, dipotongkan satu ekor kambing. (Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir). Ketentuan hewan aqiqah sama dengan ketentuan hewan qurban.

Sementara itu, dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali atau bapaknya. Dengan demikian, pembelian hewan aqiqah itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena wali atau bapaknya inilah yang bertanggungjawab atas aqiqahnya.

Masa penyembelihan hewan  itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Setelah hari ke tujuh, aqiqah itu merupakan ibadah sunah yang diqadla’. Karena itu boleh saja mengqadla aqiqah pada hari ke-40, pada tahun yang ke-2, pada tahun ke-7, hingga dia baligh. (Kifayatul Akhyar: 243)

Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah diatas umur baligh dan belum aqiqah? Apa masih dianjurkan melakukan aqiqah?

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib  menjelaskan sebagaimana berikut:

 “Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak baligh, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah baligh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusuli sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”

Walhasil, ketika seorang sudah baligh dan belum aqiqah, anjuran untuk aqiqah sudah ada di tangan orang baligh itu sendiri. Aqiqah tidak lagi ditanggung orang tuanya karena begitu seorang itu baligh, maka ia sudah terlepas dari orang tuanya. Orang yang baligh ini diberi pilihan: tetap melaksanakan aqiqah untuk dirinya atau tidak aqiqah. Namun, yang lebih baik adalah agar ia tetap melaksanan aqiqah untuk dirinya sendiri.    

Demikian, jawaban dari saya mbak citra. Semoga jelas dan bermanfaat.

Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Sholat Qabliyah Duduk

Pertanyaan:

Assalamu’ alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya pernah melihat orang sholat sunah qabliyah atau ba’dliyah di masjid dalam keadaan duduk. Bagaimana hukumnya, ustadz ? Mohon penjelasannya. Trima kasih.

Wassalamu’aikum Wr Wb.

Dzulkifli Kaliwates

082334567xxx

Mas Dzulkifli yang saya dirahmati Allah Swt.

Pertanyaan mas Dzulkifli di atas berkaitan dengan hukum sholat sunah dalam keadaan duduk. Untuk mengetahui hukumnya, mari kita lihat syarat rukun sholat.

Dalam pembahasan sholat dijelaskan bahwa berdiri bagi orang yang mampu merupakan rukun sholat fardlu. Artinya, dalam sholat fardlu, seseorang harus sholat dalam keadaan berdiri. Kecuali orang yang sholat dalam keadaan sakit, maka orang tersebut diperbolehkan melakukan sholat fardlu dalam keadaan duduk. Sholat fardlunya orang yang sakit dalam keadaan duduk itu sah dan sudah menggugurkan kewajiban sholat. Ini aturan dalam sholat fardlu.

Berbeda dengan sholat fardlu, dalam sholat sunah, aturan ini tidak berlaku. Artinya berdiri bagi orang mampu bukan merupakan rukun dalam sholat sunnah. Karena bukan rukun, maka ia boleh menjalankan ibadah sunah dalam keadaan duduk, meskipun tidak ada udzur (sakit dan lain sebagainya). (Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, 39). Bahkan dalam keadaan sehatpun, ia boleh melakukan sholat sunah dalam keadaan duduk.

Ketentuan kebolehan melakukan sholat sunah dengan duduk ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

َمنْ صَلَّي قَائِمٍا فَهُوَ اَفْضَلُ وَ مَنْ صَلَّي قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاِئمِ وَ مَنْ صَلَّي نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاعِدِ  ) رواه البخاري)

 Artinya: Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan berdiri, maka yang demikian itu lebih utama. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan duduk, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan berdiri. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan tidur, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan duduk (HR. Imam Bukhari).

Dengan demikian, jelaslah bahwa sholat sunah seperti sholat tahiyatul masjidqabliyahba’dliyahdluha dan sebagainya diperbolehkan untuk dilakukan dengan cara duduk. Meski demikian, harus diingat: pahala orang yang duduk adalah separo pahala orang yang berdiri. Pahala orang yang sholat dalam keadaan tidur miring adalah separo pahala orang yang duduk, sebagaimana bunyi sabda Rasulullah di atas.

Saya kira, demikian ini penjelasannya, mas Dzulkifli. Semoga berkah dan manfaat.

Wallahu’alam bi as-Shawab.    

Categories
Fatwa Ulama

Kiai Haris Sebut Tahajud sebagai Amalan Penting di Bulan Ramadhan

Media Center Darul Hikam- Bulan suci Ramadhan merupakan bulan mulia yang kedatangannya sangat dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Pada bulan ini, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan segala amal ibadah dilipat gandakan.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I dalam kultumnya di Masjid Baitul Amien Jember menyampaikan perihal amalan penting yang utama di bulan Ramadhan.

“Salah satu amalan mujarab yang dianjurkan untuk menghidupkan malam di bulan suci Ramadhan ialah shalat tahajud,” tutur Kiai Haris dalam Kultumnya pada Senin, (10/4/23).

Hal itu berdasarkan pada perintah mendirikan shalat tahajud tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:

وَمِنَالَّيْلِفَتَهَجَّدْبِهٖ نَافِلَةًلَّكَۖعَسٰٓىاَنْيَّبْعَثَكَرَبُّكَمَقَامًامَّحْمُوْدًا

Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.

Inti dari surah Al-Isra di atas menyebutkan perintah untuk mendirikan shalat tahajud di malam hari sebagai tambahan shalat Sunnah. Shalat Tahajud dalam kitab Ushul fikih dihukumi sunnah muakkad (sunah yang dianjurkan), yaitu dikutip dari kata “Nāfilatan” pada ayat tersebut.

“Shalat tahajud berasal dari kata “hujud” yang berarti tidur. Maka dari itu, sebagian para ulama mendefinisikan shalat tahajud ialah shalat yang dilakukan di malam hari setelah tidur,” imbuh Kiai Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jatim.

Sebagian ulama lain mengatakan bahwa shalat tahajud merupakan “shalatu laili”, yakni shalat yang didirikan pada malam hari, baik dilaksanakan sebelum atau sesudah tidur. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa tahajud ialah shalat yang didirikan pada malam hari sesudah tidur, karena Rasulullah ketika hendak mendirikan shalat tahajud beliau tidur terlebih dahulu.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang yang istiqamah dalam melaksanakan shalat tahajud, niscaya Allah akan menempatkannya di tempat yang mulia, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Meskipun pada ayat di atas yang dipakai berupa lafadz عسىٰ yang ghalib-nya bermakna tidak pasti (mungkin), akan tetapi ketika didampingkan dengan lafadz ربك maka yang awalnya bermakna tidak pasti menjadi pasti, yang awalnya bermakna tidak mungkin menjadi mungkin. Sedangkan lafadz مَقَامًامَّحْمُوْدًا dikutip dari beberapa tafsir, diartikan sebagai tempat yang terpuji. Dan sebagian ahli tafsir lain memaknai sebagai kebangkitan yang terpuji.

Maksud kebangkitan yang terpuji disini ialah kelak ketika di Padang Mahsyar orang-orang yang istiqamah melaksanakan shalat tahajud akan dibangkitkan dengan kebangkitan yang terpuji, karena mereka-mereka mendapat “Syafaatul Kubro”, yakni syafaat yang agung dari Rasulullah Saw.

“Semoga kita semua kelak mendapatkan Syafaatul Qubra dari Nabi besar Muhammad Saw,” pungkas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Penulis: Miftahul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Fatwa Ulama

Kultum Tarawih, Kiai Haris Ceritakan Kisah Seorang Yang Keliru dalam bersedekah

Media Center Darul Hikam- Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. tentang keutamaan sedekah, harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dalam Al-Qur’an pun tertulis bahwa orang yang bersedekah akan dijanjikan oleh Allah balasan berupa 10 kali dari jumlah sedekah mereka. Demikian yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I dalam Kultum Tarawih pada hari selasa, (11/4) bertempat di Masjid Jami’ Baitul Al Amien Jember.

Kiai Haris (sapaan akrabnya) menyampaikan dalam Kitab Shahih Muslim Juz 1 disebutkan bahwa ada ahli sedekah yang salah sasaran dalam cerita Rasulullah. Dalam memberikan sedekah tentu beberapa kriteria seperti harus diberikan kepada fakir miskin.

Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang hendak ingin bersedekah namun dengan cara sembunyi-sembunyi sehingga ia melakukannya pada tengah malam. Hal ini ia lakukan agar bisa mendapatkan ridho Allah dengan cara yang sempurna yaitu tidak mendatangkan riya’.

Sedekah itu ia lakukan selama 3 malam berturut-turut. Singkat cerita di malam pertama, ternyata sedekahnya jatuh di tangan pencuri yang dalam dugaannya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya di pasar ramai orang membincangkan hal itu. Orang tersebut merasa bersalah karena sedekahnya diberikan kepada orang yang keliru. Kemudian ia mengungkapkan kesedihannya seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Sedekahku jatuh di tangan pencuri.”

Laki-laki itupun kembali bertekad ingin bersedekah di malam berikutnya. Sebab ia mengira sedekahnya sia-sia dan tidak “sampai” karena jatuh bukan di tangan yang tepat.

Malam kedua pun tiba. Ia kembali menyelinap keluar rumah di tengah malam. Kemudian ia memberikan sedekahnya kepada wanita yang dalam prasangkanya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya kembali ramai di pasar bahwa ada seorang yang memberikan sedekahnya kepada wanita pezina. Ia kembali merasa sedih dan menyesal, dan seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Kali ini sedekahku jatuh di tangan pezina.”

Kemudian di malam selanjutnya ia kembali bertekad untuk bersedekah. Namun apa dikata, sedekahnya kembali salah sasaran. Ia memberikan sedekah kepada orang yang kaya raya. Hatinya sangat sedih dan ia kembali mengadu kepada Tuhannya dan berucap, “Ya Allah, hanya milik-Mu segala kebaikan. Kini sedekahku jatuh di tangan orang kaya.”

“Singkat cerita datanglah kabar gembira kepadanya melalui mimpi bahwa Allah telah menerima sedekahnya meski jatuh kepada orang yang salah. Ini semua karena ketulusan hati laki-laki itu dalam bersedekah,”ungkap Kiai Haris yang juga Ketua KP3 MUI Jawa Timur.

Dalam cerita tersebut menyimpan hikmah agung yang bisa diambil dari kesalahan laki-laki itu dalam bersedekah. Harapannya seorang pencuri itu bertobat dan berhenti mencuri, wanita pezina itu bertobat dan keluar dari dunia malamnya, dan orang yang kaya yang kikir bisa berubah menjadi dermawan dan menginfakkan hartanya untuk zakat mal. Akhir cerita, ketiga orang penerima sedekah itu menyesal dan berubah menjadi orang yang lebih baik dalam hidupnya.

“Orang yang bermaksiat kemudian ia merasa hina dan bertobat, itu jauh lebih baik dari pada  orang  yang melakukan ketaatan seperti ke masjid atau bersedekah, namun muncul dalam hatinya kesombongan,” pungkasnya yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember.

Penulis: Siti Faiqotul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Fatwa Ulama

Tafaqquh Fiddin, Ponpes Darul Hikam Gelar Penutupan Ta’lim Dengan Fiqih Ubudiyah, Dan Perawatan Jenazah

Media Center Darul Hikam– Pondok Pesantren memiliki misi guna meningkatkan dakwah Islam, sehingga perlu adanya pemahaman fiqih bagi santri sebagai bekal hidup di masyarakat. Menjelang libur bulan Syawal 1444 H, Pondok Pesantrem Darul Hikam menggelar penutupan ta’lim dengan pembelajaran fiqih ubudiyah dan perawatan jenazah. Acara tersebut bertempat di Pondok Cabang Putri Jalan Jumat pada Kamis (13/4).

Acara yang dihadiri langsung oleh pengasuh, Prof Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dan Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. diikuti oleh seluruh mahasantri, baik dari pusat, cabang putrid an cabang putra.

Acara diawali dengan khatmil Al-Qur’an dan tahlil yang dipimpin oleh Ibu Nyai Rabiatul Adawiyah dan diikuti oleh seluruh mahasantri. Dilanjutkan dengan buka bersama dan sholat maghrib berjamaah.

Penyampaian materi fiqih ubudiyah disampaikan oleh Kiai Harisudin mengenai hukum kutek yang biasanya dipakai oleh mahasantri putri. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa fiqih ubudiyah wajib diketahui oleh santri sebagai materi prasyarat agar ibadah yang dilakukan dihukumi sah dan diterima oleh Allah.

“Menyandang gelar mahasantri, tentu ada tuntutan agar memiliki ilmu agama yang lebih luas. Salah satunya dalam pembahasan hukum kutek yang tidak jarang telah dibahas dalam kitab fiqih yang sudah kita kaji bersama, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in tentang thoharoh,” jelas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Kiai Haris (sapaan akrabnya) juga menjelaskan salah satu syarat sahnya wudhu dalam kitab Fathul Qorib adalah tidak ada penghalang air di kulit.

“Maka ulama kita sepakat bahwa kutek termasuk benda yang bisa menghalangi air masuk ke dalam kulit. Beda lagi dengan henna yang jika dipakai di kulit, air tetap bisa meresap di kulit, ” tambahnya yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.

Setelah penyampaian fiqih, acara dilanjutkan dengan praktik perawatan jenazah oleh mahasantri putra, hal ini dibimbing oleh Ibu Nyai Robiatul Adawiyah.

“Penting kami sampaikan dan dipraktikkan bagi seluruh mahasantri, baik laki-laki dan perempuan. Secara tata cara dan urutannya, mulai dari adab saat mendengar berita orang meninggal, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan itu hampir sama dengan mayit perempuan. Hanya saja perbedaannya adalah kain kafan yang digunakan oleh mayit laki-laki sebanyak 3 helai dan perempuan sebanyak 5 helai yang terdiri dari 3 helai kain, baju, celana dalam, sarung dan kerudung, ” ungkap Ibu Nyai Robiatul Adawiyah yang juga Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Acara berlangsung khidmat dan lancar dengan diakhiri sholat tarawih berjamaah dan doa bersama.

Penulis: Siti Junita

Editor: Erni Fitriani