Categories
Dunia Islam Keislaman Opini

Inilah Tiga Keutamaan Bulan Rajab

Oleh: Vicky Hermawan*

Bulan Rajab telah datang, salah satu bulan yang secara langsung disebut oleh Allah sebagai bulan mulia. Jamak diketahui bahwa bulan-bulan mulia itu ada empat; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dalam firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya 4 bulan haram. (Q.S. At-Taubah [9]: 35)

Tatkala Nabi Muhammad memasuki bulan suci Rajab, ada satu doa yang tidak pernah beliau lewatkan. Doa tersebut biasa diucapkan setiap kali bulan Rajab datang. Diriwayatkan dari sahabat Anas, beliau berkata:

Artinya: Nabi Muhammad setiap kali memasuki bulan Rajab, maka belaiu berdoa, “Ya-Allah! Berkailah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Juga, sampaikan kami kepada bulan Ramadan (untuk senantiasa bisa beribadah kepada-Mu)”. (HR. Ahmad bin Hanbal) 

Adapun penamaan bulan Rajab berdasarkan dari Sahabat Anas bin Malik yang meriwayatkan satu keterangan dari Nabi Muhammad mengenai asal-usul dibalik penamaan bulan Rajab. Sahabat Anas berkata:

Artinya: Dikatakan kepada Nabi Muhammad: Wahai utusan Allah! Kenapa disebut sebagai bulan Rajab?, lalu Nabi Muhammad menjawab: Karena pada bulan tersebut terdapat banyak kebaikan yang diagungkan untuk bulan Syaban dan Ramadan. (HR. Imam Bukhari).

Keutamaan Bulan Rajab
Berbicara seputar bulan Rajab, akan lebih baik juga memahami beberapa keutamaan yang ada di bulan tersebut. Ada beberapa keutamaan yang akan penulis sampaikan pada kesempatan kali ini.

Pertama, orang yang berpuasa di bulan Rajab akan mendapatkan pahala yang besar. Salah satu pahala tersebut adalah mendapat kenikmatan berupa aliran air sungai nanti di surga. Diriwayatkan dari sahabat Anas beliau berkata:

Artinya: Sesungguhnya ada satu sungai di surga bernama Rajab. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka Allah akan memberikan aliran dari sungai tersebut. (HR. Imam Baihaqi).

Kedua, Nabi Muhammad tidak pernah berpuasa lengkap selama satu bulan setelah bulan Ramadan kecuali bulan Rajab. Sebagaimana informasi dari sahabat Abu Hurairah berikut:

Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad tidak menyempurnakan puasa satu bulan setelah Ramadan kecuali Rajab dan Syaban. (HR. Imam Tabrani)

Dari riwayat di atas, setidaknya dengan kita berpuasa secara lengkap di bulan Rajab, kita bisa menjadi umat yang senantiasa mengikuti perilaku Nabi Muhammad. Dari situ pula, kita bisa menumbuhkan dan meningkaatkan rasa cinta kepada beliau. 

Ketiga, orang yang menghidupkan malam-malam di bulan Rajab, maka Allah akan memberikan keistimewaan nanti di surga. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Ali bin Husain bahwa Nabi Muhammad berkata:

Artinya: Barang siapa menghidupkan malam bulan Rajab, berpuasa di siang hari bulan tersebut, maka Allah akan memberikan makanan berupa buah-buahan surga, memberikan pakaian hijau di surga, dan memberikan wewangian yang sempurna. (HR. Imam ibn al-Jauzi).

Demikianlah sekelumit keutamaan yang ada di bulan Rajab. Sebagai umat Islam, hendaknya kita memperbanyak amalan di bulan ini. Seraya mengharap kebaikan dari Allah untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

*Mahasantri Ma’had Aly Annur II, Malang

Sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/inilah-tiga-keutamaan-bulan-rajab-N8qSq

Categories
Dunia Islam

Maulid, Momentum Hadirkan Nabi di Tengah Kehidupan

Cirebon, NU Online 

Guru Besar IAIN Jember, KH M Noor Harisudin mengatakan Maulid Nabi adalah momentum bagi umat Islam untuk terus menghadirkan Nabi. Dengan selalu menghadirkan Nabi Saw, umat Islam akan dijauhkan dari azab.   

“Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an QS  Al Anfal ayat 33, ada dua hal yang menjadikan diurungkannya azab; yaitu karena  kehadiran Nabi Saw dan orang- orang yang meminta ampun pada Allah Swt. Keduanya menjadikan azab menjadi jauh dari umat,” kata kiai yang juga Wakil Ketua LDNU Jawa Timur ini.

Dalam Khutbah Jumat di Masjid IAIN Shekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, Jumat (8/11), selain menghadirkan Nabi Saw, Maulid juga hendaknya dapat dijadikan inspirasi meneladani Nabi.

“Ketika Nabi Saw wafat, Abu Bakar langsung datang ke Aisyah. Abu Bakar bertanya, ‘Apa ada sunah Nabi yang belum saya lakukan?” ia mengisahkan.

Akhirnya, Siti Aisyah bercerita tentang kebiasaan Nabi Muhammad yang setiap hari memberi makan orang Yahudi yang buta di pasar Madinah. Abu Bakar lalu mempraktikkannya, memberi makan Yahudi miskin dan buta seperti disebutkan dalam Sirah Nabawiyah.

“Pertanyaan Sahabat Abu Bakar ini yang mesti kita tanyakan pada diri kita: Apakah ada sunah Nabi yang belum kita praktikkan di bulan maulid Nabi ini,” ujar Director of World Moslem Studies Center yang berkedudukan di Bekasi tersebut.

Pada sisi lain, Maulid Nabi Saw juga menjadi momentum untuk mencapai keberislaman yang mendarah daging (being) seperti penggambaran Aisyah tentang akhlak Nabi yang seperti Al-Qur’an.

“Seperti kita tahu, Islam baru diajarkan sebatas knowing (pengetahuan). Islam  belum diteruskan pada doing bahkan being. Karena itu, maulid Nabi adalah momentum untuk men-carger Islam kita agar menjadi being,” tegas Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Ia mencontohkan, misalnya umat Islam membaca hadits yang menyatakan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Banyak dari umat Islam yang belum mempraktikkan, apalagi sampai mendarah daging dalam kehidupan.   

Kontributor: Sohibul Ulum 
Editor: Kendi Setiawan

Categories
Dunia Islam Sains

Strategi Santri Raih Kesuksesan 

Cirebon, NU Online 

Guru Besar IAIN Jember, KH M Noor Harisudin mengatakan jika ingin sukses, seorang santri harus berani melakukan hal-hal di luar yang biasa dilakukan orang pada umumnya.

Kiai Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur itu mengutip perkataan Ibnu Athailah Al Iskandari, “Kaifa takhruqu laka Al awaidu wa anta lam tukhriq min nafsika Al awaaida. Bagaimana mungkin kau bisa menjadi luar biasa, sementara yang kau lakukan biasa-biasa saja.”

Berbicara di depan sekitar 400 mahasantri putri Ma’had Al Jami’ah Syeikh Nurjati IAIN Cirebon, Jawa Barat, Jumat (1/11), Kiai MN Harisudin menegaskan para santri Syeikh Nurjati IAIN Cirebon harus memulai itu.

“Lakukan yang luar biasa dalam hidup. Dalam belajar, berinteraksi sosial, berdoa, dan sebagainya,” tukas Guru Besar yang sering diundang berceramah ke luar negeri tersebut.

Selain itu, santri juga harus berkhidmah kepada guru dan kiai. Kiai Haris mencontohkan teori suhbah, yaitu teori orang sukses karena mendampingi dan berkhidmat kepada kiai atau guru. Seorang bernama Ibnu Abbas mendapatkan doa mustajab dari Nabi Muhammad Saw. Allahumma faqihhu fiddin wa allimhut ta’wil. Karena Ibnu Abas mendampingi dan menyiapkan urusan Nabi.     

“Berkat doa ini, akhirnya, Ibnu Abas menjadi ahli tafsir hebat. Meskipun usianya masih muda, sahabat Abu Bakar, Umar, dan sebagainya kalau bertanya tafsir, ya kepada anak muda Ibnu Abas ini,” kata Kiai Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Kiai Haris optimis dengan masa depan santri sekarang. Dalam bidang keilmuan, ia mengatakan akan ada banyak guru besar yang lahir dari latar pesantren.  

“Apalagi sudah  terbit UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 yang menjadi peluang pada utamanya santri, untuk belajar dan bekerja dengan akses yang sama dengan warga yang lain,” ujarnya.        

Hadir pada kesempatan Warek I IAIN Syekh Nurjati Cirebon Syaifudin Zuhri dan Direktur Ma’had Al Jami’ah IAIN Syeikh Nurjati Cirebon, Kiai Amir.                                                               

Kontributor: Sohibul Ulum 

Editor: Kendi Setiawan

Categories
Dunia Islam

Sabbatical Leave di Syekh Nurjati, Kiai Harisudin: Dosen IAIN Harus Moderat 

Cirebon, NU Online 

Guru Besar IAIN Jember, KH M Noor Harisudin menegaskan para dosen di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) termasuk IAIN Syekh Nurjati Cirebon harus moderat. Sikap moderat harus dipraktikkan sebagai aplikasi Islam washatiyah atau Islam moderat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.   

“Pandangan washatiyah ini didukung oleh wawasan keislaman yang luas, bukan yang monoperspektif,” ujat​​​​​r Kiai M Noor Harisudin, ketika mengisi Short Course Studi Keislaman di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Senin (4/11) di Aula Senat.

Menjadi salah satu narasumber pada rangkaian Sabbatical Leave yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Kiai MN Harisudin mengungkapkan para dosen IAIN juga harus luas wawasan keislamannya.

“Meskipun ia berasal dari perguruan tinggi umum dan mengampu mata kuliah umum, kalau sudah masuk IAIN, harus belajar tentang Islam yang kaya perspektif tersebut,” ujar kiai muda yang juga Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur ini.

Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia ini juga menekankan pentingnya kemampuan dosen IAIN Syeikh Nurjati melakukan integrasi keilmuan.

“Kalau meminjam Al-Ghazali, perguruan tinggi itu levelnya imanul mutakallimin. Imannya ahli kalam dan para filosof yang perlu dijelaskan secara sains dan ilmu pengetahuan. Caranya dengan integrasi keilmuan,” katanya.

Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKI Seluruh Indonesia itu memberikan contoh, misalnya pemahaman Allahu Akbar yang tidak dilihat dari sisi ilmu gramatikal Arab, namun juga dari astronomi.

“Karena dengan ilmu astronomi, akan dapat kita lihat kemahabesaran Allah Swt yang sesungguhnya. Kalau lafadz ‘Allahu Akbar’ dilihat secara linguistik, belum terlihat kebesaran Allah yang komprehensif,” ujar Kiai Haris sambil menunjukkan secara astronomi jumlah bintang jutaan miliar di angkasa yang itu masih belum seberapa dengan kebesaran Allah Swt.

“Demikian juga keilmuan Islam yang lain yang diintegrasikan dengan ilmu Psikologi, Sosiologi, Biologi, dan sebagainya sehingga utuh dan komprehensif,” ujar Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.

Kegiatan Sabbatical Leave di Universitas Syekh Nurjati, berlangsung selama dua pekan. Selain Kiai MN Harisudin, narasumber lainnya adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azis Farurrozi.   Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, H Sumanta Hasyim menjelaskan, dengan adanya Sabbatical Leave, pihaknya telah menginstruksikan semua lembaga di IAIN Cirebon, seperti LPPM, LPM, fakultas, dan paskasarjana untuk bisa memanfaatkan kehadiran dua profesor yang menjadi narasumber tersebut untuk kemajuan kampus ini.

Sabbatical Leve 2019 adalah upaya Kemenag melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk memberikan afirmasi bantuan dari Ditjen Pendis kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang masih mengalami kelangkaaan akan guru besar.

Lokasi yang dituju adalah sejumlah PTKIN, baik IAIN maupun STAIN, yang masih langka akan guru besar. Program berlangsung selama dua hingga empat pekan pada Oktober hingga November 2019. Peserta yang dilibatkan dalam program Sabbatical Leave adalah para guru besar yang memiliki sejumah keahlian tertentu seperti di bidang pengelolaan jurnal dan publikasi ilmiah, penelitian, manajemen tata kelola PTKI, dan boarang akreditasi, serta pengembangan akademik.  Diharapkan, melalui Sabbatical Leave ini, sejumlah PTKI yang menjadi lokasi sasaran program akan meningkat kualitasnya baik secara akademik maupun tata kelolanya. Selain itu, juga mengalami peningkatan pada kuantitas jurnal yang terakreditasi dan hasil-hasil riset yang berdampak dan terpublikasi dengan baik.     

Kontributor: Sohibul Ulum
Editor: Kendi Setiawan

Categories
Dunia Islam

NKRI dan Pancasila Jadi Perbincangan Hangat di Canberra

Canberra, NU Online

Negara Kesaatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila merupakan jembatan menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Yakni negeri yang indah dengan mendapat kurnia dari Tuhan.

Demikian disampaikan Kiai M Noor Harisudin dalam pada acara NGOPI (Ngaji on Particular Issue) dengan tema Konsep Nasionalisme dalam Islam di Canberra, Australia, Sabtu (17/8).

Acara yang dihelat oleh pengajian khataman Canberra yang diketuai Ustadz Katiman itu berlangsung gayeng dan seru. Peserta membludak memenuhi aula rumah Fuad Fanani, Hartadi dan Ale di Canberra.                                

Konsep Nasionalisme dalam pandangan guru besar ushul fiqih di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Jatim tersebut, setara dengan NKRI dan Pancasila. Ketiganya adalah jembatan menuju cita-cita tersebut. 

“Dalam ilmu ushul fiqih, ini namanya fathu dzariah. Jalan menuju sesuatu yang baik yang itu dibuka selebar-lebarnya dalam Islam. NKRI, Pancasila, dan nasionalisme adalah jalan menuju cita-cita baik, yaitu baldatun thayyibatun warabbun ghafur,” urai Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.    

Ormas arus utama di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah  menguatkan posisi NKRI dan Pancasila. Sebaliknya, pengusung wacana khilafah dan komunisme telah  melemahkan NKRI.  

“Misalnya NU menetapkan NKRI dengan darul Islam dalam arti wilayah Islam dimana orang-orang Islam dapat menjalankan agamanya dengan baik. Muhammadiyah menyebut NKRI dengan darul ahdi was syahadah,” terangnya.

Sebagian ulama Indonesia mengatakan NKRI dengan darul mitsaq atau negara konsesus. Juga tentang Pancasila, ulama Indonesia mengatakan bukan hanya sesuai syariat, tapi bahkan syariat Islam itu sendiri. 

“Karena semua sila-silanya ada dasar Al-Qur’an haditsnya”, ungkap Sekjen PP Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo tersebut.                                  

Demikian juga konsep nasioalisme karena termasuk sesuatu yang tidak memiliki nash atau ma la nassha fihi, maka harus dilihat sisi maslahah dan mafsadahnya. 

“Jika dilihat dari perspektif maqashidus syariah, maka nasionalisme  mengandung maslahah. Karena mengikat bangsa Indonesia untuk fokus pada NKRI dan bersama-sama membangun Indonesia menjadi negara yang berkeadilan dan sejahtera dalam ridla Allah SWT,” jelas Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia (ABPTSI) ini.

Kalau hari ini ada sebagian kecil anak muda Indonesia yang cenderung  pro khilafah, maka menurut Prof Haris, adalah tugas kita semua untuk berdialog dan mengajak mereka kembali pada NKRI selain edukasi sejak dini. 

“Kita harus melakukan edukasi sejak dini bagaimana umat Islam bisa menjadi warga negara yang baik pada satu sisi. Dan pada sisi yang lain, dia juga seorang Muslim sejati,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara tersebut.                                  

Sementara itu, Dani Muhtada yang juga dosen Unes Semarang menyebut asal muasal nasionalisme. 

“Benedict Anderson menyebut imagined communities. Kita sesama anak bangsa tidak pernah ketemu, tapi kita sepakat dengan Indonesia. Inilah konsep nasionalisme yang dibangun di negeri ini,” kata alumni Ph.D Northern Illinois University Amerika Serikat tersebut. 

Acara yang dimoderatori Mas Bas berlangsung hingga malam hari diselingi humor. Hal tersebut  yang juga membuat peserta diskusi merasa tidak jenuh. (Sohibul Ulum/Ibnu Nawawi).   

Sumber: www.nu.or.id

Categories
Dunia Islam

Fikih Kontekstual untuk Kaum Milenial

Canberra, NU Online

Fikih pada dasarnya sangat dinamis. Karena itu, fikih paling cepat merespon perkembangan zaman, termasuk masyarakat milenial.

Demikian disampaikan Guru Besar Ushul Fikih IAIN Jember, Kiai MN Harisudin dalam acara seminar bertema Fikih Kontekstual di Era Milenial di musholla kampus Australian National University Canberra, Australia, Ahad, (18/8).

Menurutnya, perubahan dalam fikih itu merespon laju IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang berkembang sangat cepat.

“Perubahan fatwa hukum, terutama yang berkaitan dengan mu’amalah dan bukan ibadah mahdlah merupakan hal yang wajar. Karena syariat dalam mu’amalah sifatnyamutammim (penyempurna). Sehingga aturan dibuat global, tidak rigid (kaku) dan selalu kontekstual,” jelasnya sebagaimana rilis yang diterima NU Online , Selasa (20/8).

Hal tersebut, katanya, berbeda dengan fikih ibadah yangrigid dan detail karena digunakan untuk sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karenanya, fikih ibadah tidak bisa diotak-atik. Contohnya, ibadah haji, sejak dulu sampai kapanpun tetap di Makkah, puasa di bulan Ramadhan, shalat lima waktu waktunya juga tetap, dan sebagainya. Namun, perubahan dalam fikih muamalah itu juga tidak seketika berubah, tapi harus melihat: apakah ada perubahan illat apa tidak.

“Dulu di tahun 1930, NU memutuskan bahwa menyalakan mercon di Ramadlan sebagai syiar agama, dianjurkan. Tapi tahun 1999, fatwa hukum berubah menjadi haram karena sudah tidak ada lagi syiar pakai mercon, malah mercon dibuat gede , yang bisa membahayakan dan mematikan manusia”, ujarnya.

Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut menambahkan, hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalah di era milenial, maka juga melihat apakah syarat perubahan itu terjadi.

“Jadi kita cek, apakah syarat perubahan hukum tersebut telah terjadi. Nah, kalau kita lihat era sekarang, ada go food, go send, gojek, go car , dan sebagainya, maka selama syarat rukun terpenuhi, hukumnya sah”, pungkas Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara tersebut.

Acara tersebut yang diselenggarakan oleh PCI NU Australia-New Zealand bekerja sama dengan Pengajian Khataman pimpinan Ustadz Katiman tersebut dihadiri puluhan mahasiswa dan warga Indonesia di Canberra.

Pewarta : Aryudi AR

Sumber: www.nu.or.id

Categories
Dunia Islam

Melihat Praktik Islam Rahmatan Lil Alamin di Australia

Melbourne, NU Online

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Peruntukannya untuk seluruh masyarakat dunia dan bukan hanya untuk orang di kawasan Arab saja. Termasuk masyarakat Australia.

Demikian disampaikan Kiai M Noor Harisudin dalam pengajian bertema Islam rahmatan lil alamin di Masjid Westall Melbourne Australia, Ahad (18/8)

Acara yang digelar oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand bekerja sama dengan Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV) itu dihadiri oleh banyak jamaah dengan berbagai latar belakang.

IMCV sendiri merupakan organisasi masyarakat Islam di Victoria, salah satu provinsi di Australia. Hadir pada kesempatan itu Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI yakni Kiai Arskal Salim, Presiden IMCV yakni Teguh Iskanto S dan perwakilan PCINU Australia-New Zealand yaitu Ustadz M Nazil Iqdam yang juga mahasiswa Ph.D Monash University.

Dalam pandangan Kiai M Noor Harisudin yang juga guru besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember ini ada tiga arti Islam rahmatan lil alamin. Yaitu cakupan, konten dan cara.

Dari arti cakupan, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember ini menyebut QS Al Anbiyaa 107 yakni wama arsalnaaka illa rahmatan lil alamiin .

“Bahwa Islam memberikan kasih sayang mencakup pada semua makhluk baik manusia, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan, sungai, gunung, dan sebagainya,” jelasnya.

Yang kedua, Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia tersebut menyebut ad-dlaruriyatul khmas sebagai konten Islam rahmatan Lil alamin.

“Artinya, Islam rahmatan lil alamin kontennya adalah ad-dlaruriyatul khams yaitu lima hal pokok yang dipelihara dalam Islam,” jelasnya.

Lima hal tersebut memelihara agama melalui melakukan shalat, menjaga jiwa yakni larangan membunuh, hukuman qishas, memelihara akal berupa perintah berpikir dan larangan minuman keras, memelihara harta dengan larangan mencuri, dan memelihara keturunan dengan perintah nikah dan larangan zina, lanjutnya.

Dalam pengamatannya konten Islam rahmatan lil alamin sudah dipraktikkan di Australia. “Kita lihat perlindungan pada binatang, peraturan lalu lintas yang ketat, perlindungan pada perempuan, iuran pajak yang tepat sasaran dan masih banyak lagi,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Dari arti cara, maka Islam rahmatan lil alamin harus disebarkan dengan cara-cara yang rahmah atau kasih sayang.

“Ma buitstu lannan wainnama buitstu rahmatan artinya saya tidak diutus menjadi pelaknat, namun saya diutus dengan memberi rahmah atau kasih sayang,” tegas Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia tersebut mengutip serbuah hadits.

Profesor Haris memberikan contoh bagaimana Nabi SAW memberikan makan orang Yahudi yang buta, meski terus dibenci dan dicaci oleh yang bersangkutan.

“Hasan al-Bashri seorang tabi’in juga memberikan teladan pada kita. Ketika sakit dan dijenguk tetangga yang Nasrani tetap baik. Padahal, air kotoran rumah orang Nasrani itu masuk ke kamarnya selama 20 tahun. Justru gara-gara itu, sang Nasrani tetangga Hasan an-Bashri lalu masuk Islam,” terang Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Oleh karena itu, dakwah di Australia harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf agar orang menjadi tertarik dengan Islam. “Bukan dengan cara-cara yang tidak ma’ruf yang justru menjadikan orang Australia jauh dari Islam,” pungkasnya. (Sohibul Ulum/Ibnu Nawawi )

Sumber. www.nu.or.id

Categories
Dunia Islam

Gema Islam Nusantara di Universitas Flinders Kota Adelaide Australia

Adelaide, NU Online

Model keberagamaan Islam di satu kawasan harus melihat kondisi masyarakat setempat, termasuk di Australia. Tidak serta merta sama persis dengan Islam di Indonesia atau Arab Saudi. 

Demikian disampaikan Kiai M Noor Harisudin saat menjadi narasumber pada seminar Membincang Islam Nusantara. Kegiatan dipusatkan di auditorium Oasis Filnders University Adelaide, Australia, Sabtu (10/8).

Kegiatan diselenggarakan Pengurus Cabang Istemewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand (ANZ) bekerja sama dengan Kajian Islam Adelaide (KIA) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA).

Seminar yang dihadiri ratusan warga dan pelajar Indonesia di kawasan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber. Di samping M Noor Harisudin, ada Tufel N Musyadad sebagai Ketua PCINU ANZ, Sabilil Muttaqin selaku Katib PCINU ANZ dan Ustadz Rahman al-Makassari (Ketua KIA). 

“Kalau saya ditanya bagaimana hukum fikihnya sesuatu di Adelaide, maka saya akan jawab setelah tahu keadaan dan adat istiadat di Adelaide,” kata M Noor Harisuddin.  

Urf atau tradisi setempat dalam pandangan  guru besar ushul fiqih di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Jawa Timur tersebut sangatlah penting sehingga dijadikan acuan dalam penetapan hukum. 

“Kalau tidak, maka seperti kata Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi, fatwa hukum akan tercerabut dari akar kemaslahatan dan malah bisa membawa kemadlaratan,“ kata kiai muda yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.

Sebelumnya, Kiai M Noor Harisudin yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara membeberkan pentingnya Islam Nusantara dengan empat argumentasi: 

Pertama, bahwa irsalu rasulillah rahmatan lil alamin sesuai dengan QS. Al-Anbiya: 107). “Aspek rahmatan lil alamin menegaskan bahwa Islam adalah agama paripurna yang disebar ke seluruh dunia,” ungkapnya.

Sedangkan yang kedua, shalahiyatus syari’ah li kulli zaman wa makan. “Bahwa syariah hendaknya selalucompatable dengan waktu kapan pun dan tempat manapun. Termasuk sesuai dengan Indonesia dan Australia,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini. 

Ketiga adalah ijtihaad lihuduutsi al-waqaa’i. “Maksudnya, ijtihad untuk menghadapi berbagai problematika kontemporer,” ungkapnya. 

Demikian ini karena seperti kata Ibnu Rusyd yang mengemukakan bahwa an-nushuus mutanaahiyatun wal waqaai’u ghairu mutanaahiyatin. Sehingga setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka keberadaan nash berhenti. Sementara problematika kehidupan terus berjalan dengan dinamis. 

“Dalam keadaan ini, ijtihad harus dilakukan. Namun demikian yang berijitihad tidak boleh sembarang orang,” tukas Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tersebut.   

Untuk aspek keempat adalah ad-dakwah bil hikmah wal mauidlatil hasanah wal mujaadalah bil husna. Yakni dakwah Islam yang mengajak dengan hikmah, pelajaran yang baik dan adu argumentasi sebagaimana pesan QS. An-Nahl: 25. 

“Hal ini berbeda dengan hukum yang rigid dan kaku. Kalau dakwah lebih mengutamakan mengajak untuk kebaikan dengan senantiasa memahami keadaan objek dakwah,” urainya.         

Bagaimana dengan praktik Islam Australia? Menurut Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia ini, bahwa secara subtansi, Islam Australia yang dipraktikkan tidak berbeda dengan Islam Nusantara. 

Untuk ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah mahdlah lainnya sama. “Hanya karena adanya kesulitan dalam praktik ibadah di sini, maka kita bisa menggunakan pendapat madzhab. Sementara, dalam hal ihwal muamalah, maka hukum Islam sangat fleksibel dan berpotensi menerima perubahan,” pungkasnya. 

Filnders University merupakan tiga universitas terbesar di state (propinsi) South Australia selain UniSA (University of  South Australia) dan University of Adelaide. Adelaide sendiri adalah ibu kota state (propinsi) South Australia. (Ibnu Nawawi)

Categories
Dunia Islam

IKAPMII Latih Kader Konselor Untuk Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Bidang Gerakan Perempuan dan keadilan sosial IKAPMII Jember menyelenggarakan pelatihan Teknik Dasar Konseling sebagai bagian dari penanganan korban Kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kegiatan yang diadakan di Sekretariat IKAPMII Jember ini diikuti peserta yang berasal dari unsur perempuan PMII dan IKAPMII se-kabupaten Jember.

“Banyak kasus kekerasan yang menimpa anak danperempuan, namun belum seluruhnya mendapatkan penanganan dan pendampingan. Lebih parah lagi kasus-kasus seperti ini terus berulang. Untuk itu kami ingin berkontribusi dalam pencegahan dan membantukorban,”ditegaskan oleh Dr. Agustina Dewi SS, M.Hum, ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keadilan Sosial IKAPMII Jember.

“Konseling ini arahnya adalah fokus kepada korban, menguatkan korban danbertujuan untuk mendorong korban agar mampu mengambil keputusan yang terbaik denganmemahami konsekwensinya,” demikian diuraikan oleh Fatchul MUnir, S.Psi., M.PSDM, psikolog yang menjadi pemateri dalam pelatihan ini.

Forum pelatihan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan kepengurusan Rumah Teduh, semacam lembaga advokasi danperlindungan perempuan dan anak yang ada di bawah naungan yayasan IKAPMII Jember.“Lembaga ini memiliki posisi yang strategis, dan diharapkan nanti semua korban bisa memanfaatkan Rumah Teduh IKAPMII sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat yang humanis,” Ungkap Dr Akhmad Taufik, SS, M.Pd, KetuaUmum IKAPMII Jember.

(Sohibul Ulum/Humas NU)

Categories
Dunia Islam

Memotret Praktik Fiqih Minoritas di Taiwan

Taipe, NU Online

Bertempat di Mushalla National Taiwan University of Science and Technology Taipe puluhan mahasiswa Islam berkumpul. Rata-rata mereka kuliah S2 dan S3 di kampus ternama di Taiwan tersebut. Setelah pembacaan surat yasin, acara dilanjutkan dengan diskusi tentang fiqh minoritas di Taiwan.

Hadir dalam kesempatan itu, Kiai MN Harisudin, utusan Pondok Pesantren Kota Alif Lam Mim Surabaya. Acara diskusi yang berlangsung Jumat (4/1) itu dipandu oleh Ust. Didik Purwanto, sekretaris Tanfidziyah PCINU Taiwan.

Kiai MN. Harisudin menegaskan bahwa fiqh minoritas yang dalam bahasa Arab disebut dengan fiqh al-aqalliyyat adalah fiqih untuk orang-orang muslim minoritas yang tinggal di sebuah negara. “Misalnya, di Taiwan ini jumlah penduduknya 22 juta orang lebih. Jumlah orang Muslim, menurut H. Robert, Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipe, sekitar 260 ribu orang. Nah, praktik syariah umat Islam posisinya yang berapa persennya itu itu disebut dengan fiqh al-aqalliyyat. Karena jumlah muslim yang sedikit tersebut, ” papar kiai muda yang juga dosen Pascasarjana IAIN Jember tersebut. 

Dalam sejarahnya, fiqh al-aqalliyyat dikenalkan oleh dua tokoh utama. Mereka adalah Thaha Jabir al-Alwani dan Syeikh Yusuf Qardlawi. “Thaha Jabir al-Alwani pada tahun 1994 menulis buku berjudul Toward A Fiqh for Minorities: Some Basic Reflection. Sementara, Syeikh Yusuf Qardlawi menulis buku berjudul: Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimat: Hayatul Muslimin wasathal Mujtama’at al-Ukhra. Keduanya disebut sebagai penggagas fiqih minoritas,” ujarnya 

Dalam fiqh al-aqalliyyat, beberapa masalah fiqh akan muncul karena menyangkut keterbatasan fasilitas beribadah dan adat istiadat setempat. “Di beberapa daerah seperti Amerika dan Inggris, berlaku fiqh al-aqalliyyat karena Muslim di sana minoritas. Dalam fatwa ulama Eropa, tentang orang Islam: apakah ia akan mendapat warisan dari keluarga yang non-muslim. Mereka mengatakan bahwa orang Islam tetap mendapatkan waris dari saudara yang non-muslim.  Sehingga hadits bahwa orang Islam dan non Islam tidak saling mewarisi dikhususkan hanya pada non muslim yang harbi (kafir harbi). Sementara, mereka adalah kafir dzimmi. Jadi, menurut ulama Eropa, orang Islam bisa mewarisi kafir dzimmi,” pungkas Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur tersebut. 

Perbedaan hukum di daerah mayoritas dan minoritas muslim ini menjadi wajar. Karena, lanjut Katib Syuriyah PCNU Jember ini, dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa perubahan hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat dan keadaan. 

“Kalau ada hukum-hukum yang berbeda, itu adalah karena adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan. Dulu, pada tahun 1930-an, Nahdlatul Ulama dalam Muktamarnya pernah menetapkan menyulut petasan pada waktu Ramadlan sebagai syiar diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Tapi, tahun 1999, dalam Muktamar di Taipe, NU Online

Bertempat di Mushalla National Taiwan University of Science and Technology Taipe puluhan mahasiswa Islam berkumpul. Rata-rata mereka kuliah S2 dan S3 di kampus ternama di Taiwan tersebut. Setelah pembacaan surat yasin, acara dilanjutkan dengan diskusi tentang fiqh minoritas di Taiwan.

Hadir dalam kesempatan itu, Kiai MN Harisudin, utusan Pondok Pesantren Kota Alif Lam Mim Surabaya. Acara diskusi yang berlangsung Jumat (4/1) itu dipandu oleh Ust. Didik Purwanto, sekretaris Tanfidziyah PCINU Taiwan.

Kiai MN. Harisudin menegaskan bahwa fiqh minoritas yang dalam bahasa Arab disebut dengan fiqh al-aqalliyyat adalah fiqih untuk orang-orang muslim minoritas yang tinggal di sebuah negara. “Misalnya, di Taiwan ini jumlah penduduknya 22 juta orang lebih. Jumlah orang Muslim, menurut H. Robert, Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipe, sekitar 260 ribu orang. Nah, praktik syariah umat Islam posisinya yang berapa persennya itu itu disebut dengan fiqh al-aqalliyyat. Karena jumlah muslim yang sedikit tersebut, ” papar kiai muda yang juga dosen Pascasarjana IAIN Jember tersebut. 

Dalam sejarahnya, fiqh al-aqalliyyat dikenalkan oleh dua tokoh utama. Mereka adalah Thaha Jabir al-Alwani dan Syeikh Yusuf Qardlawi. “Thaha Jabir al-Alwani pada tahun 1994 menulis buku berjudul Toward A Fiqh for Minorities: Some Basic Reflection. Sementara, Syeikh Yusuf Qardlawi menulis buku berjudul: Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimat: Hayatul Muslimin wasathal Mujtama’at al-Ukhra. Keduanya disebut sebagai penggagas fiqih minoritas,” ujarnya 

Dalam fiqh al-aqalliyyat, beberapa masalah fiqh akan muncul karena menyangkut keterbatasan fasilitas beribadah dan adat istiadat setempat. “Di beberapa daerah seperti Amerika dan Inggris, berlaku fiqh al-aqalliyyat karena Muslim di sana minoritas. Dalam fatwa ulama Eropa, tentang orang Islam: apakah ia akan mendapat warisan dari keluarga yang non-muslim. Mereka mengatakan bahwa orang Islam tetap mendapatkan waris dari saudara yang non-muslim.  Sehingga hadits bahwa orang Islam dan non Islam tidak saling mewarisi dikhususkan hanya pada non muslim yang harbi (kafir harbi). Sementara, mereka adalah kafir dzimmi. Jadi, menurut ulama Eropa, orang Islam bisa mewarisi kafir dzimmi,” pungkas Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur tersebut. 

Perbedaan hukum di daerah mayoritas dan minoritas muslim ini menjadi wajar. Karena, lanjut Katib Syuriyah PCNU Jember ini, dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa perubahan hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat dan keadaan. 

“Kalau ada hukum-hukum yang berbeda, itu adalah karena adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan. Dulu, pada tahun 1930-an, Nahdlatul Ulama dalam Muktamarnya pernah menetapkan menyulut petasan pada waktu Ramadlan sebagai syiar diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Tapi, tahun 1999, dalam Muktamar di Lirboyo Kediri ditetapkan bahwa menyulut petasan itu haram. Ini karena kondisi yang berubah.”

“Ini perbedaan waktu dan kondisi. Kalau perbedaan tempat, qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i contohnya. Mesir dan Baghdad sama-sama mayoritas Muslim saja ada perbedaan. Kalau Taiwan dan Indonesia yang jelas beda (minoritas dan mayoritas), hukumnya jelas bisa sangat berbeda,” pungkas kiai MN. Harisudin yang juga pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember. 

Oleh karena itu, fiqh al-aqalliyyat juga berlaku di Taiwan. Karena dengan segala keterbatasannya, muncul berbagai problem fiqih di negeri Formosa tersebut. Misalnya pernikahan dengan non-muslim, tempat shalat yang terbatas, soal makanan halal, bekerja di peternakan babi, mengucapkan selamat natal, najis anjing, dan lain-lain. “Nah, yang demikian ini harus dipertimbangkan agar fiqh al-aqalliyyat di sini tetap mengandung kemaslahatan bagi umat Islam, tidak memberatkan bagi mereka. Meskipun kita juga tidak boleh sembarangan membolehkan semuanya karena yang seperti ini  namanya menggampangkan hukum Allah,” tukas Kiai MN Harisudin yang juga Sekjen Pengurus Pusat Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo. (Sohibul Ulum/Mahbib)