Categories
Keislaman

Keteladanan Nabi Ibrahim dalam Mendidik Anak

Anak yang shaleh merupakan idaman dari seluruh keluarga. Sebab, keshalehan seorang anak merupakan  kunci menjadi orang sukses dunia-akhirat. Demikian diungkapkan Katib Syuriyah PCNU Jember, Dr. Kiai MN Harisudin, M. Fil. I saat menyampaikan khotbahnya dalam shalat Idul Adha di Masjid Al-Hikmah Universitas Jember, Kamis (24/9).

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember itu mengatakan, sejarah perjalanan Nabi Ibrahim dan Ismail  sesungguhnya telah memberikan teladan tentang bagaimana menjadikan anaknya sebagai anak shaleh. Menurut Haris, sapaan akrabnya, untuk mewujudkan anak yang shaleh, diantaranya adalah menjadikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang utama dan pertama.

“Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan istrinya, Siti Hajar terhadap Ismail. Jadi mereka sejak dini sudah memposisikan keluarga sebagai lembaga pendidikan bagi anaknya,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Haris, orang tua wajib memberi  uswah (teladan) kepada anak-anaknya. Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, maka akan mempengaruhi pembentukan pribadi anak.  Orang tua yang mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan, itu artinya telah melatih anak untuk menjadi orang jujur dan punya jiwa sosial.

Haris juga menyatakan, untuk menjadikan anak shaleh, maka anak tersebut perlu dikumpulkan dengan orang-orang yang shaleh. Sebab, dengan berkumpul dengan anak atau orang yang shaleh, maka si anak akan terbiasa berlaku shaleh.

“Saya teringat pesan almarhum KH. Muchit Muzadi, lebih baik anak kita disekolahkan di lembaga yang berakhlaqul karimah walaupun tidak bermutu, daripada bersekolah di lembaga yang bermutu tapi tidak berakhlaqul karimah,” tukas Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember. (Aryudi/Fathoni)

Categories
Madrasah Diniyah Awwaliyah

Ajarkan Santri Kitab untuk Mendebat “Musuh NU”

Ada yang menarik dalam kurikulum di Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember. Menghadapi berbagai kelompok yang menyerang amaliyah Nahdlatul Ulama, pada semester ganjil 2015 ini diajarkan Kitab al-Hujaj al-Qathiyyah fi Shihhat al-Mu’taqadat wa al-Amaliya an-Nahdliyyat karya KH. Muhyiddin Abdusshomad yang juga Rois Syuriyah PCNU Jember.  Kitab yang berisi hujah amaliyah Nahdlatul Ulama itu diajarkan di pesantren Darul Hikam yang diasuh oleh Dr. Kiai M.N. Harisudin, M. Fil. I tersebut. 

Menurut Kiai M.N. Harisudin, kitab ini sangat penting diajarkan di Pesantren Darul Hikam mengingat minimnya pemahaman dalil-dalil Islam Ahlussunah Wal Jama’ah di kalangan santri dan  juga mahasiswa. Karena itu, setelah memohon perkenan ijin penulis (KH. Muhyidin Abdusshomad), Kiai M.N. Harisudin yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember langsung mengajarkan kitab babon (induk) tentang dalil Ahlussunah wal Jama’ah. 

“Saya rasa, setelah melakukan evaluasi semester kemarin, menjadi sangat penting mengajarkan doktrin dan dalil-dalil amaliyah Nahdlatul Ulama seperti yasinan, tahlilan, maulid nabi, dan tradisi lain yang berkembang di masyarakat Nahdliyin. Selama ini, tema-tema ini yang menjadi objek serangan kaum wahabi, Syiah, HTI dan sebagainya. Kalau generasi muda NU tidak tahu kan lucu ”, tukas Kiai muda yang juga Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur tersebut. 

Harapannya agar para santri bisa memahami dan kemudian mereka bisa mendakwahkan dalil Islam Ahlusssunah Wal Jama’ah di tempat masing-masing. Sebagaimana maklum, mereka yang umumnya perempuan dan berjumlah hampir seratusan ini umumnya berasal dari berbagai kota di Jawa Timur seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Bondowoso, dan Bali. 

“Bahkan, saya berharap, para santri srikandi ini bisa menjadi trainer untuk pelatihan ASWAJA  di tempatnya masing-masing dan bahkan seluruh kota di Indonesia. Karena mereka nantinya juga akan dilatih secara khusus mendalami Kajian ASWAJA”, kata pengasuh Ponpes Darul Hikam, Dr. Kiai M.N. Harisudin, M. Fil. I yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember.  (Humas NU/Anwari).

Categories
Kolom Pengasuh

Selamat Jalan, Kiai Nyentrik Yang Inklusif

Oleh: M. Noor Harisudin

Kabar duka menyelimuti warga Nahdlatul Ulama khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. KH. Abd. Muchit Muzadi, seorang “kamus berjalan”, “laboratorium” atau bahkan “begawan” Nahdlatul Ulama meninggal dunia, pagi Ahad, 6 September 2015 di Malang. Meski meninggal di Malang, seperti wasiatnya ke keluarga, beliau ingin dimakamkan di Jember, bersebelahan dengan istri beliau, almarhumah Hj. Faridah, di pemakaman umum Jember. Kiai yang meninggal di usia hampir 90 tahun ini telah banyak memberikan andil baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta. Kiai Muchit sendiri termasuk santri terakhir Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan Nahdlatul Ulama.

Dalam tulisannya di Majalah Tempo, pada 5 April 1980, dulu Gus Dur pernah menggambarkan sosok unik kiai Muchit ini dengan sangat menarik. “Orangnya peramah, tapi lucu. Raut wajahnya sepenuhnya membayangkan ke-kiai-an yang sudah mengalami akulturasi dengan “dunia luar”. Pandangan matanya penuh selidik, tetapi kewaspadaan itu dilembutkan oleh senyum yang khas. Gaya hidupnya juga begitu. Walaupun sudah tinggal di kompleks universitas negeri, masih bernafaskan moralitas keagamaan…”. Gus Dur menyebut Kiai Muchit dengan Kiai Nyentrik karena beliau berani menyuarakan kebenaran, meskipun harus dicaci maki oleh kaumnya sendiri. Gus Dur juga menyebutnya ulama-intelektual karena selain alim agama, juga karena Kiai Muchit mengajar di beberapa perguruan tinggi umum.      

Kiai Muchit memang tidak pernah tampil di muka. Kiai Muchit selalu menjadi tokoh di balik layar berbagai peristiwa penting. Misalnya ketika Nahdaltul Ulama memutuskan untuk kembali ke Khittah 1984, beliau adalah aktor yang sangat berperan menyusun rumusan naskah Khittah NU. Tanpa urun-rembug naskah tersebut, dapat dibayangkan betapa sulitnya memberikan pemahaman pada muktamirin di Situbondo tersebut. Demikian juga dengan rumusan penerimaan Pancasila, beliau juga ikut terlibat aktif di Muktamar NU 1984 yang berujung pada terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Ahmad Shidiq sebagai Ketua Tanfidziyah dan Rois ‘Am Syuriyah PBNU masa bakti 1984-1989.

“Kiai”-nya Anak Muda           

Kiai Muchit termasuk tokoh idola anak muda NU. Ketika arus pembaruan terjadi besar-besaran di tahun 80-an, bersama Gus Dur Kiai Muchit adalah kiai yang ada di garda terdepan membela pikiran anak-anak muda NU. Pikiran liar dan nakal anak-anak muda NU seperti tercermin dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LKiS Yogyakarta, eLSAD Surabaya dan PP Lakpesdam NU di Jakarta ‘tetap diakomodasi’ oleh Kiai Muchit, meski kerapkali pikiran liberal anak-anak muda ini telah “memerahkan” telinga banyak para kiai NU. Kiai Muchit harus vis a vismenjelaskan pada para kiai bahwa anak-anak muda ini kelak juga akan “kembali baik” lagi.

Kiai Muchit juga menunjukkan perhatian yang lebih terhadap anak muda di atas rata-rata umumnya kiai. Tak heran jika di usia yang sudah 70-an lebih, beliau masih bersemangat memberi “arahan” dengan berbagai pelatihan, halaqah, workshop, sekolah atau apalah namanya terhadap anak-anak muda NU. Seperti tidak kenal lelah, kalau yang mengundang anak-anak muda NU, Kiai Muchit siap hadir kapan saja dan dimana saja. Di level paling rendah pun tingkat desa, Kiai Muchit selalu menyatakan siap hadir menemani anak-anak muda itu. Sekalipun hanya duduk sebentar, Kiai Muchit selalu menyempatkan untuk hadir sebagai bentuk support terhadap berbagai aktivitas anak muda ini.

Menjadi sebuah kewajaran jika kemudian, diantara tokoh yang sering disebut-sebut namanya oleh anak muda NU, adalah Kiai Muchit. Di berbagai pertemuan, nama Kiai Muchit masih sering menjadi main of reference anak muda. Anak-anak muda NU yang kadang hanya ingin bersilaturrahim juga sangat mudah bertemu beliau di kediamannya di Jember ataupun Malang menerima wejangan-wejangannya yang teduh dan menyejukkan. Tidak salah, jika darah anak muda terkena energi positif Kiai Muchit. Kendati sering diidolakan anak muda, Kiai Muchit juga dikenal mudah diterima oleh semua kalangan: bapak-bapak, ibu-ibu muslimat, dan sebagainya karena komunikasi Kiai Muchit yang mengalir dan mengucur deras sesuai dengan alam pikir mereka.  

“Melampaui” NU-Muhammadiyah

Lebih dari itu, Kiai Muchit adalah tokoh NU yang bisa diterima oleh kalangan apapun, termasuk Muhammadiyah. Demikian ini karena beliau memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang Muhammadiyah yang menyebabkan pemikiran beliau cenderung bersikap inklusif dan juga toleran. Dalam sebuah acara seminar dengan Prof. Amin Rais, MA di Surabaya, Kiai Muchit sembari gurau pernah berkelakar sedikit menantang Mantan Ketua MPR RI tersebut: “Pak Amien. Ayo, lebih banyak mana buku tentang Muhammadiyah yang saya miliki dengan buku tentang Nahdlatul Ulama yang bapak miliki”.  

Memang, sepengetahuan penulis, kiai NU yang memiliki banyak buku Muhammadiyah adalah Kiai Muchit. Hampir semua buku tentang Muhammadiyah, beliau punya dan beliau baca. Buku-buku yang lain seperti Persis, al-Irsyad, Perti dan sebagainya juga beliau baca. Bahkan, ketika ada seorang kiai memprotes beliau karena buku Syiah yang dibacanya, dengan mudahnya beliau menjawab: “Bahkan komik Jepang pun saya baca. Anda tahu kan, kalau orang Jepang beragama Shinto yang menyembah matahari”. Walhasil, hampir semua buku, beliau baca karena bagi beliau, dengan membaca, kita akan terbuka cakrawala berpikir, serta menjadi luas, luwes dan juga memiliki kepribadian yang inklusif.      

Jauh sebelum KH. Ahmad Shidiq (Rais ‘Am PBNU 1984-1991) mengusulkan Trilogi Ukhuwah: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah, Kiai Muchit sudah melaksanakan ‘ukhuwah Islamiyah’ itu sendiri. Tak pernah sedikit pun, Kiai Muchit secara ofensif menyerang paham keagamaan yang kebetulan berbeda aliran dengan Kiai Muchit. Bahkan, khusus tentang Muhammadiyah, Kiai Muchit lebih sangat hati-hati karena beliau juga tidak mau “menyakiti” perasaan istri beliau yang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Meskipun pada akhirnya, Ibu Hj. Faridah Muchit sendiri memilih menjadi bagian keluarga besar Nahdlatul Ulama dan bahkan pernah menjadi Pengurus Cabang Muslimat NU Jember.              

Kepergian Kiai Muchit adalah duka bagi bangsa ini. Bangsa ini kehilangan tokoh besar dan panutan yang kaya dengan keteladanan. Seorang kiai yang sangat berjasa dengan mempromosikan secara tidak langsung slogan “Menjadi NU, Menjadi Indonesia” ini. Di tengah-tengah koyakan NKRI dan Pancasila, NU hadir menjadi penguat dan juga pengokoh bagi Indonesia. Merobohkan Indonesia sama dengan menghancurkan NU. Nahdlatul Ulama, telah built in dalam diri dan kepribadian Kiai Muchit setara dengan Indonesia yang mendarah daging dalam tubuh beliau. NU dan Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari dan dalam kepribadian beliau yang hidup penuh sederhana.   

Selamat jalan orang tua, guru, kiai dan bapak bangsa kami. Kami hanya bisa berdoa. Semoga arwah kiai, diterima di sisi Allah Swt. Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’i ila raadliyatan mardliyatan. Fadkhuli fi ibaadi. Wadkhulii jannati. Semoga pula kami bisa meneruskan keteladanan-mu. Amien ya rabbal alamien**   *) Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Katib Syuriyah PCNU Jember, dan Penulis Buku “Kiai Nyentrik Menggugat Feminisme”.

Categories
Keislaman

Walimatul Aqiqah: Orang Tua Mulia Karena Anak Solehnya

“Orang tua mulia karena anaknya. Orang tua menjadi nista juga karena anaknya”, demikian taushiyah yang disampaikan Dr. Kiai MN. Harisudin, M.Fil. I dalam acara walimatul Aqiqah atas nama M. Adib Diyaul Haq El-Hadi. Acara aqiqah putra ke-3 Ust. Solikul Hadi, SH, MH berlangsung sangat meriah. Tak kurang 100 orang warga sekitar di Perumahan Kebonsari Jember tersebut menghadiri walimatul aqiqah yang dilangsungkan pada 15 Agutus 2015 jam 18.00 Wib.

Selanjutnya, Kiai M.N. Harisudin menjelaskan bahwa orang tua mulia karena anak solehnya. Sebaliknya, orang tua menjadi nista karena tidak ada kesalehan pada diri anaknya. Namun saleh tidaknya anak tergantung pada orang tua.

Kiai MN. Harisudin yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember menceritakan soal seorang anak yang durhaka pada orang tuanya di masa Kholifah Umar bin Khattab. Namanya Ju’lan yang berarti kumbang. Orang tuanya sudah angkat tangan tidak mau mengurusnya karena bandelnya. Orang tua ini melapor pada Umar bin Khattab agar Ju’lan ini diberi hukuman ta’zir. Akhirnya dipanggilah Ju’lan menghadap Umar bin Khattab. Singkat cerita, ditanya berbagai hal oleh Umar dan Khalifah ingin agar Ju’lan dihukum ta’zir.

Namun, Ju’lan ini protes. “Khalifah umar, saya ingin tanya. Hak apa saja yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya”.

“Pertama, mendapat calon ibu solehah. Kedua, diberi nama yang baik. Dan ketiga, diberi pengajaran al-Qur’an”, kata Khalifah Umar bin Khattab.

“Saya protes karena semuanya tidak ada di saya. Pertama, ibu saya orang yang paling cerewet di kampung saya. Kedua, nama saya Ju’lan artinya kumbang. Itu nama yang tidak baik. Dan ketiga, saya tidak diajari al-Qur’an satu huruf pun. Saya jadi begini ini karena orang tua saya. Oleh karena itu, saya tidak mau dihukum”, kata Ju’lan memprotes.  

“Kalau begitu, yang pantas dihukum itu orang tuamu”, kata Khalifah Umar bin Khattab. Akhirnya, besoknya orang tuanya dipanggil dan dijebolskan ke dalam penjara karena hukuman ta’zir.

Kisah nyata ini, kata MN. Harisudin, M.Fil. I, Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini, menunjukkan betapa pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Durhakanya anak bisa karena durhakanya orang tua. Karena itu, orang tua harus berusaha sekuat mungkin agar anaknya menjadi anak soleh dan solehah, berguna bagi agama nusa dan bangsa.

Acara walimatul aqiqah ini selesai jam 19.15 Wib setelah ditutup do’a oleh Ir. Moh. Hafidz.

(Humas PP Darul Hikam/Halim)       

Categories
Dunia Islam Madrasah Diniyah Awwaliyah

Dr. Kiai M.N. Harisudin, M. Fil.I: PKI itu Sudah Tutup Buku. Apanya yang Menarik?

Katib Syuriyah PCNU Jember, Dr.Kiai MN. Harisudin, M.Fil. I menyayangkan pihak-pihak yang sengaja memunculkan kembali ideologi komunisme di negeri ini seperti tercermin dalam karnaval Agustusan di Pamekasan,  coret-coret Palu Arit di Universitas Jember dan arena permainan skateboard TMII Jakarta Timur di bulan Agustus 2015 ini.

“PKI itu kan sudah tutup buku. Saya mempertanyakan: Mengapa dibuka lagi ? Apanya yang menarik dari PKI ?. Sebagai ideologi, komunisme telah gagal membawa asa manusia pada cita-cita tertinggi manusia.Apalagi, karena cita-cita tinggi ini digapai dengan cara yang bertentangan dengan Islam, yaitu kekerasan”, katanya di sela-sela acara Wasdalbin Kopertis Wilayah VII di Universitas Islam Jember (UIJ), kemarin 20/8/2015.

Bagi Dr. Kiai MN. Harisudin, M. Fil.I yang juga Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama yang menaungi UIJ, cita-cita keadilan sosial komunisme nampaknya menjanjikan, namun sesungguhnya kering dari spritualitas. “ Ini beda dengan Islam yang mencitakan keadilan sosial yang sarat spitualitas. Bagi Islam, keadilan sosial adalah tangga menuju kebahagiaan di akhirat. Karena itu, Islam sangat sempurna. Ada kebahagiaan di dunia di akhirat sekaligus”, kata M.N. Harisudin yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Selain itu, para bapak bangsa ini juga sudah sepakat untuk melakukan pembubaran terhadap organisasi massa yang telah menorehkan sejarah kelam di negeri ini dengan Ketetapan MPRS no. XXV tahun 1966. Sebelumnya, beberapa kali PKI telah melakukan pemberontakan seperti di Madiun tahun1948 dan di Jakarta tahun 1965, namun berakhir dengan kegagalan dengan korban jiwa yang mencapai ribuan orang rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, Kiai M.N. Harisudin itu meminta aparat negara untuk segera melakukan proses hukum yang sewajarnya terhadap pelaku karnaval PKI dan corat-coret gambar palu arit tersebut. “ Jangan sampai hal demikian ini terulang. Ini soal bagaimana konsistensi negeri ini dalam pembubaran PKI. Kalau soal hak asasi eks PKI itu kan sudah dilindungi undang-undang”, pungkas Kiai MN Harisudin yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember. (Anwari/Kontributor NU Online).

Categories
Dunia Islam

Katib Syuriyah NU Jember Serukan Gerakan “NU Sehat”

Jember, NU Online.

Maraknya berbagai organisasi yang  menyerang NU, menjadikan jam’iyyah diniyah ijtimaiyyah ini harus berbenah diri.  Serangan yang berasal dari mana-mana itu seperti  Wahabi, Syi’ah, HTI, dan sebagainya itu harus disikapi dengan arif dan bijaksana serta menjauhi sikap emosional. Demikian siaran pers Katib Syuriyah PCNU Jember, Dr. Kiai MN. Harisudin, M. Fil. I di kantor PCNU Jember, Jl. Imam Bonjol 41 A Jember, Rabu, 19/8/2015 menanggapi semakin maraknya gerakan-gerakan yang menyerang NU tersebut. Salah satu caranya adalah dengan gerakan NU sehat, seperi digagas M.N. Harisudin yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember tersebut.   

“Ya  itu. Cara melawannya adalah dengan gerakan “NU Sehat”. NU harus sehat secara ekonomi. Kalo ekonomi sudah sehat, tidak mungkin gerakan yang lain akan bisa masuk. NU juga harus sehat secara budaya. Kalo sdh sehat secara budaya, budaya lain pasti tidak bisa masuk. Demikian juga, NU harus sehat secara akidah. Kalo akidah tidak sehat, ya mudah orang NU dibujuki menjadi anggota ormas lain yang bertentangan dengan NU tersebut”, pungkas Kiai M.N. Harisudin yang juga pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Tersebut.

Namun jika NU sakit, misalnya karena banyaknya konflik antar pengurus, koordinasi yang lemah, program yang tidak jalan, tidak pernah silaturahim (turba) ke bawah, lailatul ijtima’ tidak ada, warga NU banyak yang miskin, pendidikan yang rendah, dan sebagainya, maka yang demikian ini akan menyebabkan NU mudah terserang banyak penyakit dari luar. Ibarat tubuh, dia tidak memiliki anti bodi untuk kekebalan tubuhnya. Akhirnya ia jatuh sakit. Tapi kalo tubuh sehat, dia punya kekebalan tubuh dan penyakit tidak bisa masuk. 

“Karena itu, kita jangan menyalahkan orang lain. Tapi, kita harus lihat dan evaluasi diri kita sendiri. Sudah sehat belum NU kita ini? Insya’allah, kalau sudah sehat, sampai kapanpun NU tetap jaya dan tidak mudah dimasuki orang lain”, kata kiai muda yang juga Ketua Puan Amal Hayati PP Nuris Jember.

Gerakan NU Sehat ini diharapkan masuk setiap desa di Jember. Pengurus NU di tiap ranting harus mengimplementasikan dalam kerja nyata di wilayahnya masing-masing. Pengurus NU juga  harus mengurus masjid dan musholla di sekitarnya. Demikian juga, lembaga pendidikan anak-anak NU terus menjadi perhatian utama.   (Anwari/Kontributor NU Online). 

Categories
Keislaman

Universitas Islam Jember Pagari Mahasiswa dengan Ajaran Islam Moderat

Sebagai Perguruan Tinggi Islam Unggulan di Jawa Timur, warga NU harus bangga dengan Universitas Islam Jember. Pasalnya, universitas ini telah berhasil memagari mahasiswanya dengan pendidikan Islam moderat. Di tengah-tengah cara beragama radikal yang dibawa oleh sejumlah kalangan, maka benteng Islam moderat adalah pagar paling aman untuk para pemuda-pemudi Islam. Demikian disampaikan Dr. Kiai MN. Harisudin, M. Fil. I, Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ulama Jember di kantor UIJ, Jl. Kiai Mojo 101 Po Box 170 Jember. 

“Orang NU khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya harus bangga dengan UIJ. Karena UIJ telah memagari mahasiswanya dengan pendidikan agama Islam moderat, yang dicirikan dalam Ahlussunah waljama’ah”, kata Dr. Kiai MN. Harisudin, M. Fil. I yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember.

“Oleh karena itu, kami berhadap agar warga NU dan juga masyarakat Indonesia memberi perhatian lebih pada anak-anaknya. Jangan sampai mereka keliru memilih perguruan tinggi yang justru menyemai bibit-bibit radikalisme dalam agama. Kalo di UIJ, dipastikan aman dan bahkan mahasiswanya bisa di garda depan mensosialisasikan Islam moderat ke masyarakat ”, kata Kiai muda yang juga menjadi Dosen Pasca Sarjana di sejumlah Perguruan Tinggi di Jawa Timur dan luar Jawa tersebut.

Apa yang disampaikan oleh Dr. Kiai M.N. Harisudin, M. Fil. I yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember ini, adalah relevan dengan situasi sekarang. Di saat negara Indonesia dalam ancaman gerakan Islam yang radikal dan bahkan gerakan tidak mengakui keberadaan Indonesia, maka kehadiran lembaga pendidikan tinggi turut berperan serta dengan keadaan tersebut. Dan Universitas Islam Jember yang didirikan oleh PCNU Jember itu telah memberikan kontribusi yang tidak bisa dianggap remeh dalam meneguhkan dan memperkokoh NKRI.

(Teguh/Humas UIJ).     

Categories
Dunia Islam

Fatayat NU Jember Adakan ToT Juru Dakwah Aswaja

Semakin merebaknya dakwah Islam yang menyimpang dari NU, menjadikan Fatayat NU ingin mencari bibik-bibit dai perempuan (daiyah) yang siap terjun di masyarakat. Dalam rangka ini, Fatayat NU Jember mengadakan ToT Juru Dakwah Aswaja bertema “ Sinergitas Islam Aswaja dan Islam Nusantara Mewujudkan Indonesia Beradab” yang diselenggarakn pada tanggal 15-16 Agustus 2015. Bertempat di kantor NU, Jl. Imam Bonjol 41 A, ToT Juru Dakwah Aswaja ini dihadiri 50 orang peserta yang berasal dari PAC Fatayat NU se-Kabupaten Jember.

Dalam pembukaan, Ketua Fatayat NU Jember, Rahmah Saidah, SP, MP, menyatakan bahwa Fatayat NU harus mengambil peran dalam kegiatan dakwah Islam di Jember. “Setidaknya, ada dua kepentingan. Pertama, agar dakwah Aswaja secara massif diberlakukan di Jember. Dakwah Aswaja yang sudah ada akan diperkuat oleh Fatayat NU.  Kedua, agar dakwah Aswaja menggunakan perspektif perempuan”, kata Ketua Fatayat NU Jember yang juga Guru di SMP Sunan Ampel Sukorambi Jember.

Sementara itu, nara sumber utama, Dr. Kiai MN. Harisudin, M. Fil. I yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember, menyatakan keprihatinannya dakwah yang cenderung jadi tontonan, tidak menjadi tuntunan. “Saya rasa, itu harus diubah. Bolehlah menarik dengan berbagai lelucon, tapi jangan itu yang utama. Selain itu, saya melihat dakwah Islam belum menunjukkan hasil karena orientasi para mubaligh yang umumnya bersifat materi”, pungkas Dosen Pasca sarjana IAIN Jember yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember tersebut.

Beberapa nara sumber lain juga dihadirkan seperti Dr. K.H. Abdullah, MHI, Ust. Dr. Abd. Hamid Pujiono, Kiai Idrus Romli, S.Ag, Ustadzah Hj. Mukniah Ashom, M.Pd.I dan  Ibu Linda, M.Si. Acara ToT Juru Dakwah Fatayat NU Jember ini diakhiri dengan Rencana Tindak Lanjut yang dipimpin oleh Sahabat Maziyatur Rofi’ah, M.Pd.I untuk membentuk juru dakwah tiap kecamatan yang harus aktif dalam berbagai kegiatan agama, terutama di masjid masing-masing. (Kontributor NU Online/Anwari)

Categories
Opini

Guruku, KH Afifuddin Muhajir

Oleh:  Abdul Moqsith Ghazali

Tubuhnya kecil, berkulit kuning langsat. Tatapan matanya tajam. Berpenampilan sederhana. Suaranya lembut dan timbrenya tipis. Terkesan hemat bicara. Intonasinya datar. Pembawaan dirinya tak mengecoh orang untuk segera memerhatikannya. Namun, ketika ia tampil sebagai pembicara di forum-forum seminar, audiens tak bisa mengabaikannya. Ia tampak powerfull. Di balik tubuhnya yang ringkih, tersimpan energi intelektual luar biasa. Itulah KH Afifuddin Muhajir, wakil pengasuh pesantren Sukorejo Asembagus Situbondo.

Saya berjumpa dengan banyak orang yang mengakui kedalaman ilmu dan keluasan wawasan Kiai Afif. Bahkan, jauh sebelum saya belajar kitab kuning kepada Kiai Afif (begitu ia biasa disapa sekarang), saya sudah mencium keharuman namanya dari alumni pesantren Sukorejo yang mengajar di pesantren kepunyaan orang tua saya. Mereka berkata bahwa Kiai Afif (saya dulu memanggilnya “Ustad Khofi”) mendapatkan ilmu ladunni, yaitu ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tak terkecuali ayah saya (KH Ghazali Ahmadi) dan paman saya (alm KH Qasdussabil Syukur) yang pernah mengajar Kiai Afif di pesantren Sukorejo mengakui kealiman Kiai Afif.

Karuan saja, ketika saya dikirim orang tua untuk belajar di pesantren Sukorejo, Kiai Afif adalah orang pertama yang saya “buru”. Saat itu ia sudah menjadi ustad dan belum menikah. Ia tinggal di sebuah kamar-asrama yang tak jauh dari kamar-asrama saya. Setiap hari saya bisa melihat sosoknya. Kiai Afif yang ketika berjalan selalu menunduk-menatap tanah itu mungkin tak menyadari bahwa ada banyak santri seperti saya yang selalu memerhatikannya. Sambil beradaptasi dengan lingkungan sosial baru di pesantren, saya coba mendengarkan presentasinya di forum bahtsul masa’il dan kemudian mengikuti pengajiannya.

Biasanya bahkan hingga sekarang Kiai Afif mengajar kitab secara bandongan di sebuah mushala depan kediaman KH As’ad Syamsul Arifin. Kitab yang dibacanya adalah kitab-kitab marhalah `ulya seperti al-Iqna`Fathul Mu`inFathul WahhabGhayatul Wushul, dan lain-lain. Saya yang sudah dibekali ilmu-ilmu dasar keislaman oleh orang tua tak merasa terlalu sulit untuk mengikuti pengajian Kiai Afif. Saya hanya terpukau dengan kefasihan dan kepiawaiannya dalam menerjemahkan dan mengulas kitab kuning. Kiai Afif coba mengartikan kitab kuning dengan bahasa-bahasa akademik-ilmiah. Sambil mengaji, saya kerap mendengar darinya istilah-istilah seperti “argumen”, “aksioma”, “tekstual”, “kontekstual”, dan lain-lain. Itu salah satu kelebihan Kiai Afif dibanding para ustad lain ketika itu.

Setelah Kiai Afif banyak beraktivitas di luar terutama sejak menjabat Katib Syuriyah PBNU, publik Islam mulai mengetahui kealiman Kiai Afif di bidang ushul fikih. Tak sedikit dari mereka yang bertanya, di mana Kiai Afif belajar ushul fikih? Saya tak segera menemukan jawabannya. Ini karena Sukorejo sendiri, tempat Kiai Afif belajar, tak dikenal sebagai pesantren ushul fikih. Sukorejo lebih banyak berkonsentrasi pada pengajian ilmu fikih dan nahwu-sharaf. Sekalipun ada pengajian ushul fikih, durasinya cukup kecil jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Sukorejo pun saat itu tak banyak mengoleksi buku-buku ushul fikih dari lintas madzhab. Dengan kondisi ini, agak susah membayangkan lahirnya seorang pakar ushul fikih dari Sukorejo.

Kiai Afif tak pernah belajar di luar, baik di timur apalagi di barat. Seluruh jenjang studinya, mulai dari Madrasah Ibtida’iyyah hingga strata satu, diselesaikan di Sukorejo. Ketika saya tanya, “Kepada siapa Kiai Afif belajar ushul fikih?” Ia menjawab, “Saya pernah mengaji kitab Lubbul Ushul pada KH Qasdussabil Syukur. Selebihnya saya belajar sendiri”. Ini menunjukkan bahwa kealimannya di bidang ushul fikih ditempuh melalui kerja keras dan ketekunan. Peran Kiai Qasdussabil adalah mengajarkan teks utama ushul fikih, Lubbul Ushul, kepada Kiai Afif. Tapi, pendalamannya dilakukan secara otodidak. Dengan perkataan lain, ia memperluas sendiri bacaan ushul fikihnya, dengan melahap ar-Risalah karya Imam Syafi’i, al-Mustashfa min `Ilmil Ushul karya al-Ghazali, al-Muwafaqat fi ushulis Syari’ah karya as-Syathibi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam karya al-Amidi. Namun, dalam amatan saya, kitab ushul fikih yang paling disukai sekaligus dikuasainya tampaknya adalah Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin as-Subki itu.

Baru pada perkembangan berikutnya Kiai Afif melengkapi diri dengan referensi ushul fikih modern. Kiai Afif membaca buku-buku ushul fikih mulai dari karya Abdul Wahhab Khallaf, Abu Zahrah, Muhammad Khudhori Bik, Wahbah az-Zuhaili hingga merambah pada buku-buku karya `Allal al-Fasi, Ahmad ar-Raysuni, dan Jasir Audah yang banyak mempercakapkan soal maqashid al-syari’ah dan fiqhul maqashid. Dengan penguasaan yang komprehensif atas literatur-literatur itu, Kiai Afif makin kukuh sebagai seorang faqih dan ushuli. Dan kedudukannya sebagai ahli fikih telah dibuktikan Kiai Afif dengan menulis buku fikih berbahasa Arab dengan judul Fathul Mujibil Qarib, syarah terhadap kitab at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani.

Di bidang ushul fikih, keahlian Kiai Afif memang tak terbantahkan. Puluhan makalah terkait metode istinbathul ahkam telah selesai ditulisnya. Ia menulis buku dengan judul as-Syari’ah al-Islamiyah baynats Tsabat wal Murunah. Menarik, Kiai Afif menjadikan ushul fikih sebagai sebuah perspektif untuk merespons persoalan-persoalan keislaman kontemporer. Ia berbicara tentang negara Pancasila, Islam Nusantara, dan lain-lain dari sudut pandang ushul fikih. Ia juga menjadikan ushul fikih sebagai perangkat metodologis untuk mendinamisasi fikih Islam. Untuk kepentingan dinamisasi pemikiran Islam itu Kiai Afif intens berdiskusi dengan para pemikir gaek lain di NU seperti KH Ahmad Malik Madani, KH Masdar Farid Mas’udi, KH Said Aqil Siroj, KH Husein Muhammad, dan lain-lain.

Di tangan orang-orang seperti Kiai Afif ini, ushul fikih adalah sumur yang airnya tak pernah kering untuk ditimba. Jika ada yang mengkhawatirkan bahwa sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz NU akan dilanda kelangkaan ahli ushul fikih, maka fenomena Kiai Afif ini akan menampik kekhawatiran itu. Tentu Kiai Afif tak sendirian. Ada banyak kiai dan intelektual muda NU lain yang memiliki penguasaan memadai tentang ushul fikih. Hanya yang kita “tagih” dari orang-orang seperti Kiai Afif adalah konsistensinya untuk terus menulis dan berkarya. Mengikuti sunnah Kiai Sahal Mahfudz yang banyak menulis buku seperti membuat syarah terhadap al-Luma’ dan Ghayatul Wushul, saya berharap Kiai Afif juga mau menulis banyak buku termasuk membuat syarah terhadap kitab-kitab ushul fikih lain seperti Jam’ul Jawami yang dikenal sangat susah dipahami itu.

Abdul Moqsith Ghazali, alumnus pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo

Categories
Keislaman

Pengajian Kitab Fiqh az-Zakat Diakhiri dengan Praktek Pemberian Zakat

Jember, NU Online
Ada yang unik dilakukan oleh Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember setelah hampir setengah bulan, mereka mengaji kitab Fiqh az-Zakat Li Taqwiyat Iqtishad al-Ummat karya MN. Harisudin, Katib Syuriyah PCNU Jember,. Yaitu pelaksanaan pemberian zakat mal pada 100 dluafa yang terdiri dari buruh tani, buruh pabrik, tukang becak, janda, dan kaum dluafa lainnya di sekitar Mangli Kaliwates Jember.

Pelaksanaan zakat ini dilakukan kemarin,  Jum’at, 10 Juli 2015 dihadiri sekitar 100 lebih orang ditambah panitia dan beberapa undangan lainnya. Bertempat di Perum Pesona Surya Milenia C.7 No.6 Mangli Jember, acara dimulai jam 15.30 Wib sampai dengan selesai. Dalam sambutannya, Pengasuh Ponpes Darul Hikam, Dr. M.Noor  Harisudin, M. Fil. I sangat berterima kasih pada kehadiran para mustahiq zakat yang datang dari berbagai tempat ini.

“Kami segenap pengasuh, ustadz dan santri Ponpes Darul Hikam mohon do’a agar zakat kami diterima Allah Swt. Karena ini adalah titipan dari Allah Swt. Dan mohon agar pesantren ini tambah berkah dan manfaat pada banyak orang. Semoga bisa bertambah banyak lagi di masa-masa yang akan datang”, kata pengasuh Ponpes Darul Hikam yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember tersebut.

Sementara itu, Humas Ponpes Darul Hikam, Ust. Anwari, S.Pd.I mengatakan bahwa pelaksanaan zakat ini adalah rangkaian khataman ngaji kitab Fiqh az-Zakat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa khataman kitab zakat  ini diselenggarakan Ponpes Darul Hikam bekerja sama dengan AZKA Al-Baitul Amien Jember.

“Sedang, pelaksanaan zakat ini murni dilakukan sendiri oleh Dr. MN. Harisudin, M. Fil. I selaku pengasuh ponpes Darul Hikam. Sekaligus juga pembelajaran pada para santri agar tahu bagaimana cara berzakat dengan sebenarnya”, kata Ust. Anwari yang juga alumni S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Jember tersebut.  

Tentu hal yang menarik dan dinspiratif disini bahwa, zakat tidak hanya dipelajari, namun juga terus dilanjutkan dengan prakteknya.  Ilmu zakat digandeng dengan amal zakat. Ilmu dan amal adalah satu, sebagaimana dipraktekkan di pondok pesantren yang concern pada ilmu nahwu-sharaf dan fiqh-ushul fiqh tersebut. 

(Humas PP Darul Hikam/Anwari)