Category: Uncategorised
Media Center Darul Hikam – Rabu, (14/04) Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M.Fil.I menjadi salah satu pembicara tamu dalam webinar Tadarus Ilmiah yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) IAIN Jember. Tidak sendiri, Prof Haris juga ditemani oleh A. Badrus Solihin, MA. selaku Sekretaris Rumah Moderasi Beragama IAIN Jember yang juga berkesempatan menjadi narasumber kedua dalam kegiatan tersebut. Acara ini mengangkat tema tentang “Islam, Radikalisme, dan Intoleransi di Era Milenial.”
Aksi terorisme di Indonesia belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi sasarannya adalah para pelajar/mahasiswa. Hal ini berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2016. Tidak hanya perguruan tinggi umum (sekuler) yang menjadi target penyebaran paham radikalisme dan terorisme, perguruan tinggi Islam pun menjadi sasaran.
“Beberapa kasus terorisme yang dilakukan oleh mahasiswa di antaranya, terjadi pada tiga orang mahasiswa UIN Jakarta (2009), tahun 2010 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), seorang alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan di awal tahun 2011 ada seorang pelajar yang ditangkap karena dugaan terorisme. Hal ini juga yang mengawali steorotipe kepada khalayak bahwa Islam adalah agama teroris,” ungkap Prof. Haris yang juga menjabat sebagai Ketua Umum ASPIRASI.
Prof. Haris juga berpesan kepada mahasiswa saat ini agar jangan hanya diam saat mengetahui ciri-ciri radikalisme. Apalagi di era seperti ini, penyebaran informasi tidak terbendung lagi. Sehingga, semakin mudah paham-paham radikalisme dapat ditanamkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, pendekatan secara personal dan forum diskusi juga menjadi pintu masuk bagi paham radikalisme.
Radikalisme dan terorisme memiliki hubungan yang erat, dikarenakan radikalisme merupakan cikal bakal dari aksi terorisme. Ciri-ciri yang biasanya ditampakkan oleh paham radikalisme biasanya mereka mengklaim kebenaran secara tunggal, menggunakan cara kekerasan, mudah menyesatkan orang lain, intoleran, dan berambisi untuk membangun Negera Khilafah.
“Ini beberapa kelompok yang harus kita waspadai. Dari kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), FPIS Surakarta. Sementara kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshar Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),” pungkasnya.
Di akhir penyampaiannya, Prof. Haris memaparkan langkah yang dapat kita lakukan untuk membentengi diri dari radikalisme dan terorisme. Tindakan ini dapat bersifat preventif (pencegahan) seperti ; memupuk jiwa nasionalisme, selalu berpikiran terbuka, waspada terhadap provokasi, dan bergabung dengan komunitas yang bermanfaat. Sedangkan tindakan kuratif yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman ilmu agama yang benar, menguatkan nilai-nilai nasionalisme, mencintai toleransi dan perdamaian.
Suasana diskusi berlangsung hangat meski dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting. Acara dimulai pukul 15.00-16.30 WIB. Diskusi ini diikuti oleh 43 peserta dari anggota UKPK IAIN Jember sendiri dan peserta umum.
Reporter: Arinal Haq
Editor: Izzah Qotrun Nada
Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Jember bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menyelenggarakan Kuliah Umum yang bertajuk “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi”. Kuliah Umum tersebut menghadirkan Dr. Wahiduddin Adams, S.H., M.A (Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia) dan Dr. Wiryanto, SHI, MH. ( Kabiro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK).
Kegiatan yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswa Hukum Tata Negara dan terbuka untuk umum itu diselenggarakan pada Kamis (21/11) di Gedung Kuliah Terpadu IAIN Jember. Acara tersebut dihadiri kurang lebih delapan ratus peserta terdiri dari Pimpinan, Dosen, Mahasiswa dan Tamu undangan.
Kuliah umum ini berlangsung dengan khidmat diawali dengan pembacaan laporan yang dibacakan langsung oleh Dr. Wiryanto, SHI, MH. selaku Kabiro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Rektor IAIN Jember Prof. Dr. Babun Soeharto S.E.,M.M. dalam sambutannya mengatakan, kuliah umum seperti ini cukup penting karena selain menambah wawasan mahasiswa, kegiatan ini juga dapat membuktikan pada universitas lain bahwa kampus IAIN Jember memang kampus yang berada di kota kecil namun wawasannya tidak kalah dengan kampus ternama lainnya.
Pada kesempatan tersebut, Dr. Wahiduddin Adams mengenalkan kepada seluruh peserta yang hadir bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi sejak 1945, ciri-ciri demokrasi yaitu adanya pemilu. Pemilu adalah sebagai sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpin nasional yang diadakan 5 tahun sekali yang diatur dalam UU no 7 tahun 2017 tentang UU Pemilu. Potensi masalah pemilu meliputi pelanggaran administratif, pelanggaran tindak pidana, masalah sengketa hasil perhitungan suara. Selain itu, beliau menyebutkan tugas-tugas dan wewenang MK, sengketa pemilihan kepala daerah dan pemilu serentak.
“Tempat itu dapat dikatakan berkah dilihat dari siapa saja yang pernah singgah dan fakultas syariah adalah salah satu tempat yang berkah karena disinggahi oleh hakim konstitusi RI. Dan perlu diingat bahwa hal apapun mengenai masyarakat kita harus tetap optimis”. Ujar Dr. Wahiduddin Adams diakhir acara sembari memberikan kesempatan mahasiswa IAIN Jember untuk PPL di Mahkamah Konstitusi Jakarta. Sebelumnya ditanda tangani nota kesepahaman antara IAIN Jember dan Mahkamah Konstitusi dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam beberapa tahun yang akan datang.
Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah Prof. Dr. M. Noor Harisuddin M.Fil.I yang turut hadir dalam acara tersebut menyampaikan bahwa kuliah umum ini adalah salah satu bentuk kerja sama yang dijalin Fakultas Syariah IAIN Jember dengan MK RI dalam mengembangkan intelektual hukum mahasiswa Fakultas Syariah khususnya mahasiswa Hukum Tata Negara. (media center/ nadawildan).
CIREBON, SC- Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon melaksanakan kegiatan Sabbatical Leave 2019 dengan narasumber guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azis Farurrozi MA dan guru besar IAIN Jember, Prof Dr M Noor Harisuddin MFilI di lantai 3 gedung rektorat kampus setempat, Senin (4/11/2019).
Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Dr H Sumanta Hasyim MAg menjelaskan, dengan adanya kegiatan yang akan dilaksanakan selama 2 pekan ini, pihaknya telah menginstruksikan semua lembaga di IAIN Cirebon, seperti LPPM, LPM, fakultas, dan pascasarjana untuk bisa memanfaatkan kehadiran dua profesor yang menjadi narasumber tersebut untuk kemajuan kampus ini.
“Saya minta untuk diambil ilmu dan pelajarannya demi pengembangan lembaga dan peningkatan kualitas akademik kampus ini. Dari lembaga tentu kami akan mengambil manfaat dan pelajaran dari keduanya,” kata Sumanta di ruang kerjanya usai membuka kegiatan tersebut.
Manfaat yang dapat diserap dari kegiatan ini, lanjut dia, ialah terkait inovasi untuk program pembelajaran, penelitian, pengelolaan lembaga, kajian keilmiahan, pendirian prodi, pendirian fakultas, dan pendirian lembaga. Pasalnya, ungkap Sumanta, kedua narasumber tersebut kaya akan pengalaman dan memiliki terobosan yang bisa diserap dan diimplementasikan demi kemajuan IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
“Prof Haris itu profesor muda, beliau mempunyai inovasi yang dapat kita serap. Sedangkan Prof Azis ini lebih senior, beliau mempunyai banyak pengalaman dan seorang asesor. Bahkan pendirian S3 di IAIN Cirebon ini juga asesornya beliau. Jadi dia juga punya kontribusi dalam pendirian S3 kita. Sehingga strata kita lengkap, tidak hanya strata 1 dan 2 saja, tapi juga sampai strata 3. Yaitu, program sarjana, magister, dan doktor,” ungkapnya.
Selain itu, kata Sumanta, kegiatan ini juga sebagai salahsatu persiapan untuk transformasi kampus tersebut dari IAIN menjadi UIN. Pasalnya, selain luas lahan dan jumlah mahasiswa, pengembangan prodi dan fakultas juga merupakan salahsatu persyaratan yang harus dipenuhi.
“Oh betul (salahsatu persiapan untuk bertransformasi dari IAIN menjadi UIN). Semua perangkat yang ada itu kan memang arahnya ke sana. Karena secara otomatis transformasi menjadi UIN kan ada pengembangan prodi, pengembangan fakultas, penunjang infrastruktur, peningkatan akses, jumlah mahasiswa. Itu semua kan jadi syarat-syarat semua,” ucapnya.
Untuk itu, kata Sumanta, titik tekan dari kegiatan ini adalah bagaimana narasumber ini bisa memberikan sentuhan akademik demi kemajuan pengembangan lembaga di perguruan tinggi, khususnya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini. Karena fokus dari kegiatan ini yang sudah dihadirkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Pendis) dan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama ke kampus ini dalam rangka peningkatan mutu akademik dan pengembangan lembaga.
“Karena dari kedua tokoh ini banyak pengalaman-pengalaman, keilmuan-keilmuan, keahlian yang kita dapatkan. Harapannya setelah kegiatan ini, atau outputnya pembelajaran, peningkatan akademik di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon semakin bergairah. Dosen-dosennya semakin terpacu untuk melakukan kegiatan akademik yang inovatif yang dapat berkompetisi. Sehingga apa yang menjadi garapan kita dapat terangkat,” pungkasnya. (Arif)
Menggugat Moral Mahasiswa Islam
Oleh: Umi Mu’arifah
“Mahasiswa Islam yang tidak tau Ber-Etika Islam”. Istilah inilah yang saat ini mungkin ada pada diri seorang mahasiswa Islam pada zaman sekarang ini. Ironis, para mahasiswa Islam yang belajar pada suatu lembaga pendidikan Islam, tetapi para mereka tak memiliki etika dan moral layaknya mahasiswa Islam. Di dalam dunia perguruan tinggi Islam pada zaman sekarang ini, banyak mahasiswa Islam yang kurang baik etikanya. Lebih – lebih mereka yang telah merasa dirinya telah memasuki dunia perkuliahan yang bukan lagi dunia anak – anak atau tidak dipantau orang tua lagi.
Umumnya, para mahasiswa seperti ini mengatakan “Kita ini mahasiswa, bukan orang Jadul (Jaman Dulu), jadi kita tiu sebagai mahasiswa, kita harus menjadi mahasiswa yang modern, tidak kolot”. Itulah bantahan para mahasiswa pada zaman sekarang ini, yang terpengaruh pada era- globalisasi, kususnya, pada mahasiswi putri pada perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, mereka tampak memakai jilbab rapi pada saat mengikuti semua kegiatan akademik, tetapi saat mereka telah selesai perkuliahan, tidak sedikit pula diluar sana para mahasiswi tidak berjilbab. Selain itu, mereka juga suka berbicara yang tidak sopan, yang tentunya tidak sesuai ajaran Islam.
Rasulullah Saw. melarang percakapan tidak sopan demikian, sebagaimana sabdanya:
“Abdullah bin Munir bercerita kepadaku Beliau mendengar Abu an-Nadhar, telah bercerita kepada kami Abdur Rahman bin Abdillah yaitu Ibn Dhinar dari Ayahnya dari Abu Sholih dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Bersabda : “ Sesungguhnya seseorang yang berbicara dengan perkataan yang diridhai Allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa akan tetapi allah akan mengangkat derajatnya. Dan barang siapa yang berbicara dengan perkataan yang dimurkai allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali akan jatuh ke neraka jahannam”
Merujuk pada hadist diatas, bahwa perkataan atau ucapan pun semestinya juga harus diperhatikan oleh kita. Apalagi sebagai mahasiswa Islam, yang seharusnya semua tingkah laku dan etikanya dijadikan acuan oleh masyarakat pada umumnya.
Memang, di Institut Agama Islam Negeri Jember, ilmu agama Islam telah diajarkan dan dikembangkan. Tetapi tetap ada mahasiswa yang tidak mengikuti ajaran – ajaran tersebut. Mereka lebih suka mengikuti pada perkembangan zaman sekarang ini, yang lebih mengajarkan pada budaya barat daripada etika dan moral yang telah diajarkan agama Islam.
Tidak bermoralnya mahasiswa juga kita bisa lihat di area kampus contohnya. Terkadang terjadi suatu aksi demonstrasi mahasiswa, namun mereka melakukan aksinya dengan anarkis, dan terkadang berbicara sangat tidak sopan kepada dosennya. Nah, disinilah keterangan hadist diatas tadi berlaku, tentang kesopanan dalam berbicara. Apalagi seorang mahasiswa yang berbicara langsung kepada dosennya, yang otomatis lebih tua daripada mahasiswa itu. Dan dosen tersebut seharusnya dihormati dan disegani, karena dosen merupakan seseorang yang memberi ilmu dan menuntun kita mengajak ke hal yang lebih baik. Serta sekali lagi, orang yang lebih tua daripada kita yang semestinya kita hormati.
Dalam hal ini, nabi Muhammad Sw bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Diatas merupakan hadist anjuran menghormati seseorang yang lebih tua dari kita. Termasuk guru atau dosen. Bukan malah dibentak – bentak seperti pada saat ada aksi demonstrasi seperti itu. Perilaku yang seperti itu mencerminkan seperti tidak adanya moral dan etika mahasiswa Islam. Rendahnya moral dan etika seorang mahasiswa Islam pada tingkat perguruan tinggi diakibatkan karena telah adanya perkembangan zaman modern pada saat seperti ini. Banyaknya media sosial yang banyak mempertontonkan tayangan yang tidak baik, dan banyak mempengaruhi kehidupan para mahasiswa yang mudah dipengaruhi oleh dunia maya tersebut. Karena seorang mahasiswa yang pada zaman sekarang ingin terlihat lebih modern, mereka mengikuti model kehidupan pada budaya barat.
Sebagai seorang mahasiswa Islam yang beretika, seharusnya pula mereka mampu memahami betul arti dari kebebasan dan tanggung jawab, karena pada saat demonstrasi banyak mahasiswa yang melakukan hal – hal yang dapat merusak fasilitas kampus, aksi demonstrasi memang dibebaskan dari pihak kampus, tetapi seharusnya mahasiswa tersebut harus dapat bertanggung jawab dengan aksinya. Jika seorang mahasiswa Islam tersebut memiliki sebuah etika dan moral yang baik, maka ia dapat mempergunakan etika dan moralnya sebagai alat kontrol emosi bagi dirinya, agar mahasiswa tersebut tidak bertindak anarkis.
Mungkin dari semua ini, bagi penulis sendiri, mewawarkan suatu jalan keluar yang bisa digunakan, agar mahasiswa memiliki etika dan moral yang baik. Pertama, mengadakan sosialisasi etika langsung kepada mahasiswa. Kedua, jika aksi tersebut dikarenakan karena adanya salah paham antara pihak kampus dengan mahasiswanya, maka dari pihak kampus harus memberi suatu pemberitahuan dan pemahaman agar para mahasiswa tidak salah paham kepada pihak kampus karena suatu masalah tersebut. Karena tidak semua mahasiswa akan mengerti apa masalah yang terjadi, dan apa yang telah terjadi didalam dunia perkuliahan. Itu yang terkadang dapat memicu kesalah pahaman antara mahasiswa dan para pihak kampus.
Wallahu’alam. **
Assalamu’alikum Wr. Wb .
Ustadz, saya mau tanya. Apakah orang yang berumur 40 tahun, sementara ia belum aqiqah: apakah ia masih dianjurkan untuk aqiqah? Terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Citra Putri Maharani
Sumbersari
Mbak Citra yang saya hormati. Pertanyaan mbak Citra, saya jumpai di banyak tempat dengan redaksi yang berbeda. Apakah orang yang sudah terlewat aqiqahnya, tetap dianjurkan aqiqah? Misalnya umur 40 tahun, ia belum aqiqah. Dan tentu saja, ia sudah melampaui umur baligh.
Mari kita bahas dulu sekilas tentang aqiqah. Secara istilah, aqiqah adalah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Mengapa dimasak gulai ? Ini adalah tafaulan, berharap akhlak si bayi kelak akan manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.
Aqiqah hukumnya sunah muakkad. Hukum akikah menjadi wajib jika dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, aqiqah dilakukan dengan menyembelih minimal dua ekor kambing. Sedangkan untuk bayi perempuan, dipotongkan satu ekor kambing. (Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir). Ketentuan hewan aqiqah sama dengan ketentuan hewan qurban.
Sementara itu, dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali atau bapaknya. Dengan demikian, pembelian hewan aqiqah itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena wali atau bapaknya inilah yang bertanggungjawab atas aqiqahnya.
Masa penyembelihan hewan itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Setelah hari ke tujuh, aqiqah itu merupakan ibadah sunah yang diqadla’. Karena itu boleh saja mengqadla aqiqah pada hari ke-40, pada tahun yang ke-2, pada tahun ke-7, hingga dia baligh. (Kifayatul Akhyar: 243)
Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah diatas umur baligh dan belum aqiqah? Apa masih dianjurkan melakukan aqiqah?
Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib menjelaskan sebagaimana berikut:
“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak baligh, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah baligh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusuli sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”
Walhasil, ketika seorang sudah baligh dan belum aqiqah, anjuran untuk aqiqah sudah ada di tangan orang baligh itu sendiri. Aqiqah tidak lagi ditanggung orang tuanya karena begitu seorang itu baligh, maka ia sudah terlepas dari orang tuanya. Orang yang baligh ini diberi pilihan: tetap melaksanakan aqiqah untuk dirinya atau tidak aqiqah. Namun, yang lebih baik adalah agar ia tetap melaksanan aqiqah untuk dirinya sendiri.
Demikian, jawaban dari saya mbak citra. Semoga jelas dan bermanfaat.
Satu Islam, Jember – Keperawanan sifatnya sangat privasi dan menyangkut martabat seorang wanita. Jika itu harus menjadi syarat kelulusan siswa dari sekolah, maka tentu banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Hal itu yang menjadi dasar penolakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember.
“Keperawanan itu sangat sensitif. Kalau seorang siswi tidak memenuhi syarat itu, terus dia pasti akan menjadi gunjingan atau cemoohan masyarakat. Okelah, misalnya itu disepakati, ngeceknya mungkin agak gampang. Tapi masak itu cuma diberlakukan untuk wanita, lelakinya bagaimana? Terus ngeceknya bagaimana kalau dia lelaki?” kata Katib Syuriyah PCNU Jember MN Harisuddin kepada NU Online di kantornya, Kamis 5 Februari 2015.
Menurutnya, dirinya sepakat bahwa akhlaq pelajar harus terus dibenahi apalagi dewasa ini moralitas remaja sudah mencapai titik nadir. Perkosaan, seks bebas sudah kerap terjadi di kalangan pelajar. Kendati demikian, keperawanan tidak perlu dijadikan syarat untuk kelulusan sekolah. “Kalau akhlaqnya, nilai agamanya, dan intensitas ibadahnya, kita jadikan syarat kelulusan, itu bagus,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) Jember meminta agar Komisi D meninjau ulang wacana raperda keperawanan sebagai syarat kelulusan. Jika perda itu diterapkan, bisa berdampak pada psikologis pada siswi.
“Saya harap usulan raperda terkait keperawanan sebagai syarat kelulusan ditinjau lagi. Kasihan pada siswa jika itu kemudian diterapkan,” kata Kepala Kemenag Rosadi Bahar, kepada detikcom, Jumat (6/2/2015).
Dampak yang akan terjadi jika raperda itu dilakukan, menurut Rosadi, bisa menyebabkan siswi tertekan, hingga mempengaruhi konsentrasi belajar.
Untuk itu, Bahar meminta agar reperda Akhlakul Karimah dikaji ulang. “Ayo bersama-sama membahas itu sebelum menjadi raperda,” pungkasnya.
Seperti diketahui, beberapa anggota Komisi D DPRD Jember menggulirkan wacana Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur akhlaq dan perilaku pelajar. wacana iini hadir menyusul sering terjadinya seks bebas di kalangan remaja usia sekolah.
Tujuan Perda itu untuk melindungi pelajar dari perbuatan yang melanggar norma. Tidak hanya itu, di salah satu item dalam Perda tersebut juga diwacanakan persyaratan kelulusan pelajar adalah keperawanan.
Jember, NU Online
Para Pengurus Cabang Nandlatul Ulama (PCNU) Jember periode 2014-2019, Senin malam (9/6) diperkenalkan kepada warga NU di sela-sela pengajian Aswaja di halaman kantor NU Jember, JL. Imam Bonjol, Kaliwates.
Mereka adalah hasil Konfercab NU awal Juni lalu yang menahbiskan kembali KH. Abdullah Syamsul Arifin dan KH. Muhyiddin Abdusshomad sebagai nahkoda NU Jember.
Dalam sambutannya, KH. Abdullah Syamsul Arifin menegaskan bahwa NU bukan parpol, tapi siapapun pengurus parpol bisa menjadi pengurus NU asalkan mau mengabdi untuk NU. “Saya pikir, mereka adalah kader-kader terbaik NU, yang bisa bekerja untuk kemajuan NU,” tukas Gus A’ab, sapaan akrabnya.
Dari rilis daftar nama PCNU terbaru di jajaran syuriyah masih didominasi wajah-wajah lama. Cuma ada rotasi posisi, misalnya di kursi katib ditampati oleh DR. MN. Harisuddin, M.Fil.I. Dosen STAIN sekaligus Wakil Sekretris Yayasan Pendidikan NU ini, menggantikan KH. Hamid Hidir.
Sedangkan di jajaran tanfidziyah lebih beragam latar belakangnya, misalnya beberapa tokoh parpol masuk. Ada Moch. Eksan, S.Ag (Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Jember) masuk di jajaran wakil sekretaris, H. Karimullah (Partai Golkar) menjadi wakil bendahara. Demikian juga H. Miftahul Ulum (Ketua DPC PKB Kabupaten Jember) masih bertahan di kursi wakil ketua.
Selain itu, ada dua profesional yang juga masuk di deretan pengurus baru. Yaitu DR. Widodo, MH. (Dekan Fakultas Hukum, Universitas Jember) dan dr. H. Abdur Rouf (Kepala Puskesmas Mayang). Keduanya didapuk menjadi wakil sekretaris dan bendahara. (aryudi a razaq/abdullah alawi)
Poligami (Bukan) Sunah Nabi!
Oleh: M. Noor Harisudin
Ada sesuatu yang salah-paham disebarluaskan dalam masyarakat. Pandangan ini berkembang luas seolah menjadi kebenaran yang tidak dapat dibantah. Bahwa poligami adalah sunnah nabi. Atau juga poligami itu Syari’at Islam (!). Dan sunah nabi atau Syari’at Islam ini –jika dilakukan akan mendapat banyak pahala dari Allah Swt, bahkan pelakunya akan mendapat surga. Sebaliknya, bagi perempuan yang menolak poligami, akan memperoleh neraka. Naudzubillah min dzalika.
Saya tidak tahu: bagaimana asal mulanya ini. Tapi, saya mencoba untuk melihat ini dalam kacamata fiqh-ushul fiqh. Dalam ilmu Ushul Fiqh, dikenal alur istinbat al-ahkam as-syar’iyyah (penggalian hukum syar’i) untuk memastikan benar tidaknya penalaran yang mengatakan bahwa poligami ini adalah sunah nabi atau syari’at Islam.
Pertama, kita bahas terlebih dahulu apa itu sunah Nabi. Dalam istilah Ushul Fiqh, sunah adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan atau penetapannya (taqrir). Dalam pengertian ini, sunah meliputi banyak hal dalam kehidupan, baik berupa perbuatan yang dilarang maupun yang diperintahkan. Dengan demikian, pada saat nabi Saw., sunah Nabi adalah imtitsaalu awaamirillah wajtinaaba nawaahiihi (melakukan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya).
Adalah benar mengatakan poligami sebagai sunah Nabi dalam definisi di atas karena poligami memang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw. Hanya saja, perlu diklarifikasi: apakah sunah Nabi dalam pengertian yang umum ini merupakan perintah ataukah larangan Allah Swt.? Dan perlu diingat, bahwa di tengah-tengah antara perintah dan larangan itu, ada perbuatan yang dihukumi boleh (ibahah).
Klarifikasi yang sama juga bisa kita ajukan bagi orang yang mengatakan bahwa poligami adalah Syari’at Islam. Pertanyaan yang bersifat klarifikatif adalah: syari’at Islam yang mana? Syari’at Islam yang diperintahkan ? Ataukah syari’at Islam yang dilarang ? Atau juga syari’at yang diperbolehkan ? Term syari’at sendiri bermakna umum yaitu menyangkut dimensi aqidah, ibadah-muamalah dan akhlak.
Dalam hemat saya, yang paling tepat adalah memotret poligami dalam pandangan hukum Islam yang lima, yaitu: hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Ketika kita menyebut sunah, maka yang dimaksud adalah sebuah perintah yang jika dilakukan kita akan dapat pahala, dan jika ditinggalkan kita tidak mendapatkan dosa. Dalam definisi ini, hukum dasar poligami jelas bukan sunah (mandub).
Kedua, secara fiqh, hukum poligami adalah boleh (mubah). Fiqh menyebutnya yajuzu (boleh). Kesimpulan mubah ini diambil dari dalil-dalil yang ada. Misalnya Nabi Saw. pernah mengatakan pada Ghailan ad-Dimasyqi untuk mencerai 6 orang istrinya dari 10 orang istri sehingga praktis ia hanya memiliki 4 orang istri saja. Al-Qur’an sendiri menyebut poligami sebagi perintah yang menuju makna kebolehan (ibahah) (QS. An-Nisa’: 3). Nabi sendiri menikah istri 9 orang yang dalam konteks fiqh disebut dengan khususiyah Nabi Saw. Artinya, ini merupakan kekhususan hukum yang hanya berlaku pada Nabi Muhammad Saw.
Walhasil, berdasarkan ini, maka kita tidak bisa menyimpulkan bahwa poligami adalah sunah Nabi atau syari’at Islam. Kita juga tidak bisa menyimpulkan bahwa orang yang berpoligami akan mendapat pahala dan perempuan yang menolaknya akan mendapat neraka. Yang benar adalah orang yang melakukan poligami tidak diberi pahala ataupun dosa sama dengan hukum mubah bagi orang yang makan, minum, berjalan atau perbuatan mubah yang lain.
Wallahu’alam. **
Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember
Ketua Yayasan Puan Amal Hayati PP NURIS Jember
Katib Syuriyah PCNU Jember
Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember