Categories
Keislaman Tokoh Ulama Nusantara

Sambung Sanad Ilmu Dan Jaringan Internasional, PP Darul Hikam Hadirkan Rais Syuriah PCI NU Australia

Media Center Darul Hikam – Ciri khas Pesantren sebagai center of civilize diwujudkan dalam bentuk khazanah intelektual. Sebagai pesantren yang berbasis literasi dan scholarship, PP Darul Hikam Jember menggelar acara Tadarus Ilmiah bertajuk “NU, Santri dan Masa Depan Indonesia”. Acara ini mendatangkan narasumber internasional, Prof. KH. Nadirsyah Hosen, LLM, MA, Ph. D sebagai Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand pada Kamis (22/9) di Pondok Cabang Putra Ajung Jember.

Acara tersebut dihadiri oleh Pengasuh PP Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.H.I., M.H., para asatidz, anggota fatayat Jember serta seluruh mahasantri PP Darul Hikam. Rangkaian acara dimulai dari buka bersama, shalat maghrib berjamaah, khataman Al-Qur’an yang dilanjutkan dengan tadarus ilmiah.

Pengasuh PP Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menuturkan acara ini sebagai bentuk sambung sanad keilmuan dari ayah Prof Nadhirsyah Husen, yaitu Prof. KH. Ibrahim Husen, seorang ahli fiqih Mazhab Syafii kenamaan tanah air.

“Sanad keilmuan sangat penting pada kiprah NU, ini membuktikan bahwa keislaman NU adalah keislaman yg dapat dipertanggungjawabkan. Selain sanad, kita bisa nyambung jaringan sehingga mahasantri bisa mengambil peluang scholarship baik di dalam maupun luar negeri,” tutur Prof Haris yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama (PW LDNU) Jawa Timur.

Prof Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir menafsirkan wahyu pertama yang Allah turunkan yaitu surah Al-Alaq tentang perintah membaca. Menurutnya, pangkal masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa adalah kurangnya literasi masyarakat sehingga mudah tertipu atas informasi yang tersebar.

“Visi Islam yang pertama kali turun adalah membangun masyarakat cerdas melalui membaca. Penyebutan iqra dalam Al-Qur’an memiliki dua makna, pertama dalam lafadz  Iqra bismirarabbikalladzi khalq adalah membaca secara tekstual, dan makna iqra yang kedua dalam lafadz Iqra warabbukal akram  adalah membaca makna tersirat dari suatu bacaan atau kejadian, inlah yang dinamakan critical reading ”jelas Dosen Fakultas Hukum Monash University Australia itu.

Menurutnya, critical reading telah diterapkan oleh para ulama terdahulu dengan menginternalisasikan makna iqra melalui pembangunan pesantren. Menurut Gus Nadir, kejayaan Islam ada karena sistem khilafah adalah anggapan yang salah, karena dari pembangunan pendidikan lah masa depan sumber daya manusia mulai maju.

“Berkaca dari sejarah, Khalifah Al-Ma’mun sebagai khalifah ke-7 dari Dinasti Abbasiyah, mampu mengantarkan dunia Islam pada puncak peradaban. Bahkan, pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, sebuah perpustakaan besar bernama Bait Al-Hikmah dikembangkan menjadi universitas yang melahirkan para cendikiawan Islam,” jelas Gus Nadir yang juga Peraih Associate Professor Universitas Wollongong Australia.

Pada kesempatan itu pula, Gus Nadir membagikan kebiasaannya selama menuntut ilmu dari didikan langsung oleh ayahnya, Prof Ibrahim Hosen, untuk senantiasa membaca.

“Ayah saya selalu mengatakan bahwa wiridnya pelajar adalah membaca buku dan mengkaji ilmu. Setiap hari saya selalu menargetkan membaca 150 halaman dan pernah satu hari sampai khatam 4 buku ilmiah. Namun tidak sekedar membaca, tapi juga memahami makna yang tersirat, artinya setiap bacaan yang dibaca selalu dikaitkan dengan bacaan yang pernah kita baca untuk melahirkan konsep baru. Inilah esensi dari critical reading,” ujar Gus Nadir.

Acara yang dimoderatori oleh Erni Fitriani berjalan secara interaktif yang diakhiri dengan doa dan foto bersama.

Reporter : Siti Junita

Editor:  M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Tokoh Ulama Nusantara

Innalillahi Pakar Fikih Perempuan Hj Huzaemah T Yanggo Tutup Usia

Jakarta, NU Online

Pakar fikih perempuan perbandingan mazhab asal Indonesia Prof Hj Huzaemah Tahido Yanggo berpulang ke rahmatullah pada Jumat (23/7) pukul 06.10 WIB di RSUD Banten. Pakar perempuan yang juga Dewan Pakar Pimpinan Pusat Muslimat NU itu meninggal dunia pada usia 75 tahun.

Prof Hj Huzaemah merupakan sosok perempuan yang aktif di pelbagai macam organisasi dan aktif menulis tentang fikih perempuan kontemporer.

Semasa hidupnya, Prof Hj Huzaemah juga menjabat sebagai rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau UIN Jakarta pada jurusan Magister Pengkajian Islam, Ia juga tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI sejak tahun 1987, Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2000, dewan pakar Muslimat NU, dan A’wan PBNU.

Prof Hj Huzaemah juga tercatat sebagai perempuan pertama yang berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1981.

Tidak hanya itu, Prof Hj Huzaemah kerap menyikapi soal perempuan yang dipandangnya harus kuat terhadap dua hal, yakni modern dan tradisional. Ia mengartikan bahwa perempuan dalam llingkup modernitas harus mampu merespons perkembangan zaman, namun tetap berpijak pada tradisi. 

Kabar duka wafatnya Prof Hj Huzaemah ini juga disampaikan oleh tokoh NU Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir melalui akun Twitter pribadinya.

“Kabar duka: Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo wafat dalam usia 74 th karena Covid. Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta,” tulis Gus Nadir.

Kepala Asrama Pesantren IIQ Ustadz Abdur Rosyid menyampaikan, jenazah sedang diurus di rumah sakit. Jenazah akan dishalatkan terlebih dahulu di masjid, asrama Pesantren IIQ, Pamulang, Tangerang Selatan.

“Insya Allah nanti dishalatkan dulu di masjid IIQ sini. Sekarang jenazah sedang diurus,” kata Ustadz Rosyid.

Kontributor: Anty Husnawati

Editor: Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/130308/innalillahi-pakar-fikih-perempuan-hj-huzaemah-t-yanggo-tutup-usia

Categories
Tokoh Ulama Nusantara Uncategorised

Arahan Wakil Presiden RI pada Acara Penguatan Peran Ulama/Habaib/Kyai dalam Penanggulangan COVID-19

Categories
Ulama Nusantara

Persiapkan Lailatul Qadar Lebih Dini, Dr. Kiai Harisudin Ajak Sucikan Hati

Jember, NU Online

Katib Syuriyah PCNU Jember Kiai MN. Harisudin mengajak warga Jember untuk mensucikan hati dalam rangka menyambut Lailatul Qadar. Karena, menurut Kiai Harisudin hanya mereka yang berhati bening dan suci yang mampu mendapatkannya. 

Demikian disampaikan Kiai MN Harisudin yang juga dosen pascasarjana IAIN Jember di hadapan kurang lebih 600 jama’ah Masjid Raudlatul Mukhlisin Kaliwates Jember. Pengajian menjelang buka puasa, Senin (29/5) yang dimulai jam 16.30 WIB sampai menjelang berbuka puasa.  

Masjid Raudaltul Mukhlisin yang diresmikan oleh Rais ‘Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin pada Senin, 15 Mei 2017 ini sendiri menjadi destinasi wisata religi yang menjadi ikon kota Jember. Banyak pengunjung dari berbagai luar kota yang menyempatkan diri untuk datang ke masjid dengan desain mirip Masjid Nabawi kota Madinah tersebut. 

Di masjid ini, Kiai Harisudin mengajak jama’ah untuk biasa-biasa saja puasa, yaitu agar tidak seperti yang dikritik Nabi Muhammad Saw. “Rubba shaimin laisa lahu minshiyamihi illal ju’a wal athas. Banyak sekali orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.  

Menurut Kiai Pengasuh Program Bengkel Kalbu Ponpes Darul Hikam Jember ini, puasa yang tidak biasa-biasa adalah dengan puasa hati. 

Setidaknya ada dua puasa hati yang dilakukan. Pertama, puasa hati dari membenci. Dengan puasa ini, Kiai Harisudin menganjurkan jama’ah agar tidak membenci orang lain. “Orang yang baik adalah orang yang cepat melupakan kesalahan orang lain. Demikian juga, orang yang baik adalah orang yang selalu ingat kesalahan dirinya. Dengan cara ini, kita meminimalisir kebencian sesama. Karena tidak ada satupun orang yang sempurna dan tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kesalahan,” tukas Wakil Ketua PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut seraya mencontohkan Abu Bakar yang menghilangkan kebencian terhadap Mitstah bin Utsatsah (saudaranya) karena ikut memprovokasi warga Madinah menuduh Siti Aisyah berzina dengan Shofwan bin Mu’atthal. 

Kedua, puasa dengan mengendalikan amarah. Kiai Harisudin menyebut hadits yang menceritakan teguran keras Rasulullah Saw. pada seorang sahabat yang marah-marah pada seorang budaknya. “Batalkan puasa kamu,” pinta Rasulullah Saw. Bagi Kiai yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jember ini, hadits ini menjadi inspirasi untuk mengendalikan emosi di saat puasa Ramadhan. Apalah artinya puasa kalau emosi tetap membelenggunya.