Categories
Kolom Pengasuh

Rekonsiliasi Pasca Idul Fitri 

Oleh: M. Noor Harisudin

Betapapun Pilpres ini telah berjalan dengan damai dan sukses, namun diakui atau tidak, Pilpres yang diselenggarakan pada Rabu, 9 Juli 2014 ini telah membawa dampak yang luar biasa. Umat menjadi terbelah. Fitnah pun  merebak luas. Aksi dukung mendukung capres-cawapres juga cenderung fanatis. Caci-maki menjadi tak terhindarkan. Sejumlah black campign pun digelar. Ketegangan antar pendukung menjadi “sangat liar” dan juga “vulgar”.

Dampak inipun terlihat hingga sekarang. Perbincangan masyarakat tentang capres-cawapres, masih juga “panas” terjadi. Padahal, Pilpres sudah usai. KPU juga sudah menetapkan capres-cawapres dengan suara terbanyak pada 22 Juli 2014 yang silam. Oleh karena itu, momen Idul Fitri ini seyogyanya menjadi media rekonsilasi. Yakni, rekonsiliasi antar berbagai pihak yang terbelah agar menjadi “satu” kembali. Inilah pelajaran penting yang kita peroleh dalam membangun demokrasi di negeri ini.

Dengan kata lain, kampanye Pilpres adalah “masa lalu” yang tak perlu diungkit kembali. Biarlah sesuatu yang buruk sewaktu Pilpres kita kubur dalam-dalam. Dan sekarang, mari kita bangun dan teguhkan kembali ukhuwah (persaudaraan) yang merekatkan antar sesama anak bangsa. Setidaknya, seperti yang dikatakan oleh KH. Achmad Shidiq, Ro’is Am PBNU masa khidmah (1984-1994), ada tiga macam ukhuwah yang perlu dirajut.

Pertamaukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan antar sesama orang Islam. Meski Islam sebagai agama adalah satu, namun keberislaman pemeluknya sungguh sangat beraneka ragam. Keberagamaan ini bisa dilihat dari aspek geografis berikut local wisdom misalnya: Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Mesir, al-Jazair dan sebagainya. Demikian juga bisa diamati dari ormas yang diikuti: apakah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Perti, al-Irsyad, dan sebagainya.

Keduaukhuwah Wathaniyah. Ukhuwah Wathaniyah merupakan persaudaraan yang dirajut berdasarkan satu kesamaan, yaitu sama-sama sebagai anak bangsa ini. Rifa’ah al-Tahtawi, Rektor Universitas al-Azhar di Mesir pada abad ke-19, mengatakan: Hubbul wathani minal iman. Cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Dalam konteks Indonesia, kita diikat dengan apa yang namanya “nasionalisme” sebagai bentuk pengejawentahan persaudaraan sesama sebagai anak bangsa tersebut.

Ketigaukhuwah Basyariyah. Ukhuwah Basyariyah adalah persaudaraan yang dirajut atas dasar kesamaan: sama-sama sebagai anak manusia di dunia. Ukhuwah basyariyah tidak lagi melihat agama, ras, warna kulit, dan letak geografis sebagai starting point. Dengan demikian, ukhuwah Basyariyah hanya melihat manusia sebagai manusia per se. Sebagai manusia, apapun kondisinya, ia haruslah dihormati sesama. Dasar inilah yang menjadi pilar atas persaudaraan universal.   

Walhasil, trilogi ukhuwah harus dikuatkan dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun atas dasar kebinekaan. Bagaimanapun, kebinekaan dan keanekaragaman adalah sunnatullah. Allah Swt. sengaja menciptakan manusia yang beraneka ragam agar mereka berlomba dalam mencari kebaikan. (QS. Al-Maidah: 48). Bahkan, justru dengan perbedaan, kita bisa melakukan tasamuh (toleransi). KH. Afifudin Muhajir, Rois Syuriyah PBNU sekarang, mengatakan: Laula mukhalafata lama musamahata. Seandainya tidak ada perbedaan, maka tidak ada toleransi. Pertanyaannya: kalau sudah sama semua, apanya yang mau ditoleransi?     

Perbedaan bagi Islam, oleh karena itu, adalah rahmatan lil alamin, bukan la’natan lil alamin. Rasulullah Saw. bersabda: ikhtilafu ummati rahmatun. (Kitab Jami’ul al-Ahadits, Juz II, hal 40). Perbedaan ummatku adalah kasih sayang (rahmat). Tak heran jika ada banyak madzhab dalam fiqh. Ada beberapa aliran dalam ilmu kalam. Ada berbagai pendapat tentang nahwu (ulama nahwu Bashrah dan Kufah). Ada berbagai kelompok dalam tasawuf. Demikian seterusnya. Semua ini menunjukkan betapa perbedaan merupakan suatu yang meniscaya dalam kehidupan.

Makanya, tak perlu takut dengan perbedaan. Karena perbedaan justru akan melahirkan sikap tasamuh. Selain itu, perbedaan juga pada akhirnya akan melahirkan ukhuwwah, sebagaimana saya sebut tadi.

Di hari yang masih dalam suasana yang fitri ini, mari kita saling memaafkan antar sesama. Mari kita gandeng tangan bersama dengan bersikap toleran antara satu dengan lainnya. Dan mari kita juga perkuat ukhuwah Islamiyah, wathaniyah dan basyariyah kita, demi untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia kita.

Akhiran, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H. Mohon maaf lahir dan batin. Wallahu’alam. **      

* M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah PCNU Jember       

Kantor: Jl. Jumat No. 94 Mangli Kaliwates Jember. Hp. 082331575640.

Categories
Kolom Pengasuh

Idealnya, Mubaligh Itu TaNpa  Amplop

Oleh: M. Noor Harisudin

Heboh di media massa beberapa saat yang lalu tentang tarif yang tinggi dalam “ceramah agama” sejumlah dai di Jakarta, menarik untuk dicermati. Tarif tinggi ini memang luar biasa tinggi karena mencapai angka nominal 150-an juta. Sang ustadz yang menjadi mubaligh itu sejak awal juga  mematok harga yang tinggi tersebut di muka. Artinya, dalam perjanjian disebutkan angka honor untuk ceramah agama tersebut. Pertanyaan fiqhnya adalah: bagaimana hukum penceramah agama mematok tarif ceramah agama dengan harga yang tinggi tersebut?

Dalam hal mematok tarif ceramah agama, para ulama sepakat untuk tidak boleh. Artinya haram hukumnya bagi penceramah agama mematok tarif dalam ceramah agama dengan harga berapapun, baik tinggi ataupun rendah. Larangan mematok harga ceramah agama adalah khusus untuk sang penceramah. Karena ceramah agama adalah sebentuk syi’ar agama yang tidak boleh “dikomersial-kan”. Dakwah Islam adalah bentuk perjuangan yang semestinya tidak ada imbalan.

Larangan ini didasarkan pada firman Allah Swt. yang berbunyi: “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku iniUpahku tidak lain hanyalah dari Allah Swt yang menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti ? (QS. Hud: 51). Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga berfirman: “Katakanlah aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan aku bukan termasuk orang yang mengada-adakan. (QS. Shad: 86). Artinya, upah atas dakwah Islamiyah merupakan tanggungan dari Allah Swt. Karena itu, mematok harga ceramah agama adalah bertentangan dengan subtansi dua ayat ini.

Yang diperbolehkan adalah honor ceramah agama yang tidak dipatok oleh sang penceramah. Dengan demikian, berapapun honor yang diberikan, jika tidak dipatok dari penceramah, ulama fiqh –dalam hal ini Madzhab Syafi’i dan Maliki–memperbolehkannya. Dengan kata lain, jika yang mematok atau menentukan bisyaroh untuk penceramah (misalnya) adalah panitia acara, maka hukumnya tidalahk haram.

 Dalam bahasa fiqh, ini disebut dengan al-ujroh ‘alat tha’ah. Seperti yang disebut Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunah dan Wahbah Az-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilaltuhual-ujrah ‘alat thaa’ati selama tidak ditentukan atau dipatok (lam tata’ayyan) diawal, hukumnya diperbolehkan karena merupakan hajat manusia (lijahatin nas). Bagaimanapun juga, seorang penceramah juga membutuhkan sandang, pangan, papan, dan kendaraan untuk mobilitas dakwah Islamiyahnya. Selain itu, ada hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan  mengambil upah dari mengajar al-Qur’an, dan sebagainya.      

Meski diperbolehkan, dalam pandangan saya, kondisi  ini merupakan kondisi yang tidak ideal. Saya menyebutnya kurang afdlol atau kurang ideal. Idealnya penceramah agama adalah para pejuang Islam yang tanpa pamrih, tanpa bisyaroh dan tanpa amplop. Para pejuang yang mengajarkan Islam dengan tanpa bisyarah. Ini adalah konsep ideal karena dengan tanpa pamrih, umat yang menjadi obyek ceramah agama akan mudah mendapatkan petunjuk. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Yasin ayat 21 : Ittabiu man la yasalukum ajran wahum muhtadun. Artinya: Ikutlah pada mereka yang tidak memintamu upah (atas dakwah mereka) sementara mereka adalah orang yang diberi petunjuk.    

Logikanya, bagaimana umat akan “terkesima” dan juga menerima ajaran kebaikan yang ditebar sang penceramah jika sejak awal sang penceramah minta upah atas ceramah agamanya? Karena itulah, Rasulullah Saw. tidak pernah meminta ujrah berapapun atas ceramah (dakwahnya) pada umatnya. Kebenaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. tidak pernah diganti upah yang sebanding. Rasulullah Saw. telah mencukupkan pahala dari Allah Swt atas seluruh dakwah Islam yang beliau sampaikan pada umatnya.

Karena niat tulus dan tanpa pamrih Rasulullah Saw. dalam bertabligh (dakwah Islamiyah), maka hasilnya pun jelas: umat secara faktual menerima dakwah yang telah diberikan Rasulullah Saw.  Dengan kata lain, tabligh tanpa amplop ini berbanding lurus dengan hidayah yang diterima umatnya.  Jika Rasulullah Saw. menarik upah atas dakwahnya pada umat, pastilah yang terjadi akan lain dan Islam tidak berkembang dahsyat seperti sekarang.

Saya sendiri mengapresiasi para penceramah yang mendarmakan dirinya untuk hidup bertabligh tanpa bisyaroh, tanpa amplop. Sebagian beberapa kawan di kota lain, bukan hanya ia tidak mau menerima bisyaroh dan amplop, ia malah mengeluarkan koceknya untuk membeli kebutuhan jama’ah majlis taklim. Subhanallah. Di Banyuwangi, ada kawan penceramah yang selalu membelikan sarung, baju takwa dan mukena untuk dua ribu jama’ah majlis taklim setiap tahunnya. Di kota lain, ada penceramah yang menyiapkan konsumsi untuk jama’ahnya setiap kali ceramah.

Lalu, bagaimana dengan kita ?

Wallahu’alam. **

M.N. Harisudin, adalah Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember, Katib Syuriyah PCNU Jember, Wakil Sekretaris YPNU Jember dan Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur. Selain itu, menjabat sebagai Deputi Salsabila Group Surabaya. 

Categories
Kolom Pengasuh

Negara Indonesia yang “belum” Final


oleh M. Noor Harisudin

Dosen IAIN Raden Paku Jember

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Belakangan marak gerakan yang ingin mengubah haluan negara Indonesia yang kita cintai ini. Mereka ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dengan sistem khilafah. Khilafah, dalam imaginasi mereka, adalah solusi atas semua problematika kehidupan. Sebagian yang lain mengusung perda syari’at Islam sebagai panacea atas pelbagai problematika hidup yang kian kompleks dan akut. Sebagian yang lain ingin menggantinya dengan kembali pada ideologi komunisme. Di sinilah, tulisan ini serasa menemukan momentumnya.

Memang, sebagian pemikir Islam memilih untuk tidak mengkaitkan agama (Islam) dengan negara. Agama dalam pandangan ini adalah adalah satu hal, sementara negara adalah hal lain yang berbeda. Seperti Nawal el Saadawi, seorang sastrawan besar di Mesir yang pernah melontarkan kritik keras terhadap apa yang disebut Negara Islam. Menurutnya, negara tidak punya jenis kelamin agama (baca: tidak beragama) karena yang beragama adalah manusia. Dalam hal ini, Nawal el Saadawi menyatakan: “ People who think that state is Islam have not studied Islam. The state is nothing to do with Islam”. (The Jakarta Post, November, 27, 2006).

Namun, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan Nawal El Saadawi karena secara de facto masyarakat Islam sudah bersinggungan dengan politik Islam sejak masa Rasulullah Saw. hingga masa sekarang. Tak mengherankan jika Montgomory Watt dalam buku Muhammad Prophet and Statesman mengatakan bahwa Muhammad bukan hanya seorang nabi, namun juga seorang kepala Negara (negarawan). (W. Montgomery Watt: 1961, 94-95). Di samping itu juga, jika kita tengok ke belakang, kala Muhammad menjadi kepala negara, semua unsur negara modern sudah terpenuhi seperti wilayah, penduduk, pemerintahan dan juga kedaulatan.

Di sinilah, makanya saya lebih senang menggunakan perspektif paradigma simbiotik (symbiotic paradigm). Dalam paradigma ini, posisi agama dan negara berhubungan secara simbiotik yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara karena dengan negara (daulah), agama dapat berkembang. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spritualnya. Sehingga, dalam paradigma ini, baik agama dan negara saling menguatkan dan mengukuhkan.

Paradigma ini senada dengan pandangan Gus Dur yang menyebut agama sebagai ruh atau spirit yang harus masuk ke dalam negara. Sementara, bagi mantan Presiden RI ke-4 tersebut, negara adalah badan atau raga yang mesti membutuhkan negara. Dalam konsep Gus Dur, keberadaan negara tidak bisa dilihat semata-mata hasil kontrak sosial (yang sekuler), namun, bahwa negara dipandang sebagai jasad yang membutuhkan idealisme ketuhanan. Agama, dalam konteks ini, lebih ditempatkan sebagai subtansi untuk menuju cita-cita keadilan semesta. (Masdar F. Mas’udi: 1993, xiv-xvi).

Pilihan paradigma di atas jelas menegasikan dua paradigma lain yang berada di kutub ekstrem. Pertama, paradigma integralistik yang memandang agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara selain lembaga politik juga lembaga keagamaan. Pandangan yang sering disebut dengan istilah al-Islam din wa daulah ini dipraktekkan oleh Syi’ah. Kedua, di ekstrem yang lain, paradigm sekuler yang mengajukan pemisahan agama dan negara. Paradigma yang dimotori oleh Ali Abd ar-Raziq ini (1887-1966 M) menolak pendasaran negara pada agama (Islam). Pemikiran paradigma ini didasarkan asumsi bahwa Muhammad murni sebagai pendakwah Islam dan sama sekali tidak pernah menjadi kepala Negara.

Bertolak dari paradigma yang saya ajukan di atas ini, maka jika ditanya: apakah cita-cita Politik Islam, saya mengatakan bahwa cita-cita politik Islam adalah sama dengan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Cita-cita Indonesia merdeka adalah, seperti kata Soekarno, menjadi “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita negara Indonesia. Adapun cita-cita negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia akan tercapai. Pada tahap selanjutnya, cita-cita tersebut diderivasikan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 45, seperti kesamaan di depan hukum, kebebasan berserikat dan berpolitik, serta mengenai kesejahteraan sosial seperti tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin, serta mengenai demokrasi ekonomi.

Secara normatif, cita-cita kemerdekaan ini sejalan dengan cita-cita politik Islam. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah misalnya menyebut tujuan sebuah negara adalah lihiraasatiddin wa siyasatid dunya. (Abu Hasan Al-Mawardi: tt, 6). Artinya, untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Secara derivatif, pandangan ini dikukuhkan oleh Imam Al-Ghazali yang dikutip Abu Zahro yang menyebut ad-dlariyatul khams sebagai pilar yang mesti diacu oleh sebuah Negara. Yakni., memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl) dan memelihara harta (hifdz al-mal). (Muhammad Abu Zahro: 1994, 548-553)

Kekuasaan negara, oleh karena itu, dikukuhkan untuk pemenuhan lima hal pokok yang dijaga dalam Islam ini. Sebut misalnya keberpihakan pada kaum miskin (mustadz’afin) dalam bentuk pelayanan kesehatan di negeri ini harus dilihat dalam perspektif hifdz an-nafs (memelihara jiwa). Demikian juga pengutamaan anak bangsa dalam urusan kesejahteraan dibanding negeri asing ketika menentukan mana yang lebih penting: perusahaan anak negeri atau perusahaan asing yang mesti mengelola, harus dilihat dalam konteks hifdz al-mal warga negara Indonesia.

Hanya saja, secara realitas, apa yang dicita-citakan masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menuju cita-cita kemerdekaan ini, kadang kala cita ini dibelokkan ke arah yang bertolak belakang dengan cita-cita kemerdekaan. Neo-liberalisme yang menggurita, korupsi yang meraja lela, pemenuhan hak orang miskin yang terabaikan, dan segudang masalah lain, adalah bentuk anti klimaks cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Sudah semestinya energi bangasa ini kita fokuskan untuk menggapai cita-cita itu, bukan malah mengganti ideologi NKRI dengan sistem khilafah dan atau komunisme.

Dengan kata lain, secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Di sinilah, kita bisa menengok prinsip dasar yang digunakan dalam mencapai cita-cita tersebut sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa, sebagaimana berikut:

Pertama, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil maslahah al-ammah. Kebijakan penguasa atas rakyat didasarkan pada kemaslahatan umum. Penguasa harus mengutamakan rakyat umum, bukan segelintir orang, golongan atau kelompok kepentingan tertentu. Rakyat adalah segalanya. Fox populi fox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan yang harus didengar dan diwujudkan dalam kehidupan keseharian. Mewujudkan cita-cita rakyat umum adalah sama dengan mewujudkan keinginan Tuhan dalam kehidupan.

Kedua, prinsip dar’ul mafasid ‘ala jalbil mashalih. Artinya, mendahulukan menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahatan. Penguasa mesti mengupayakan tindakan preventif menghindari bahaya terlebih dahulu dan baru kemudian melaksanakan program yang berbasis kemaslahatan. Prinsip ini bertalian dengan prinsip lain yang berbunyi idza ta’aradla mafsadataani ru’iya a’dlamuha dlararan birtikabi akhaffihima. Apabila terjadi dua bahaya, maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan melaksanakan yang paling ringan resikonya.

Dan Ketiga, prinsip mala yudraku kulluhu la yudraku kulluhu. Maksudnya, kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya. Kita harus menyadari bahwa upaya yang kita lakukan bisa diperoleh secara bertahap dan tidak sekaligus. Apa yang sudah kita capai harus kita syukuri sembari terus melakukan evaluasi untuk senantiasa melakukan perbaikan dan perbaikan. Saya tidak sepakat dengan pernyataan politik beberapa plotisi dan pengamat di beberapa media yang selalu menyudutkan dan (selalu) menyalahkan Indonesia.

Bagaimanapun, untuk mencapai cita-cita Indonesia, tidak mudah semudah membalik telapak tangan. Memperbaiki negeri ini tidak bisa dengan cara hanya mengkritik dan apalagi mencaci maki pengelola negeri ini. Kita harus memulai agenda besar mencapai cita-cita Indonesia ini dengan “bangga menjadi Indonesia”. Indonesia laksana rumah besar bersama kita. Kalau ada yang rusak dan bocor misalnya, mesti kita perbaiki bersama. Dan tentunya, kita tidak perlu merobohkan rumah Indonesia yang kita cintai ini. Selain itu, kita harus melakukan upaya cita-cita kemerdekaan ini secara massif dan progresif di tempat dimana kita berada dan lalu bersinergi satu dengan yang lain dengan tanpa mengabaikan kemajemukan bangsa ini. 

Semoga. ***

Categories
Kolom Pengasuh

Islam dan Transparansi Anggaran

Oleh: Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Wakil Sekretaris PCNU Jember 

Sedari awal, Islam menegaskan bahwa tujuan akhir sebuah negara adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah cita negara yang makmur, sejahtera dan senantiasa dalam limpahan ampunan Allah Swt. Dalam konteks inilah, maka berbagai literatur fiqh siyasah –misalnya al-Mawardi dalam kitab “al-Ahkam as-Sultaniyah”—menegaskan bahwa keberadaan khilafah atau imarah (penyelenggaraan pemerintahan negara)  adalah untuk mencapai dua kepentingan sekaligus: yaitu li hirasatin dini wa siyasatid dunya (memelihara agama dan mengatur dunia). Dengan menyeimbangkan dua kepentingan tersebut, maka akan dicapai cita-cita ideal Islam tersebut.

Memang tidak mudah untuk mencapai cita-cita ideal tersebut, harus ada upaya dan kerja keras untuk menuju ke sana. Kerja keras ini harus pula ditopang oleh panduan moralitas penyelenggara yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Dalam hal inilah, maka Islam memberikan garis berupa nilai-nilai luhur bagaimana sebuah pemerintahan itu dijalankan dengan baik. Sebuah pemerintahan yang on the right track, sesuai dengan relnya. Ibarat kereta api, pemerintah ini berjalan melalui jalur rel yang ada sehingga suatu saat sampai pada tujuan.         

Salah satu nilai yang dibangun dalam Islam ini adalah bahwa pemerintah harus mendasarkan seluruh kebijakannya pada kemaslahatan umum. Dalam sebuah kaidah fiqh disebutkan: thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah. Artinya: kebijakan seorang imam dalam pemerintahan terhadap rakyatnya harus digantungkan pada kemaslahatan. Dengan demikian, seorang imam tidak boleh sembarangan membuat kebijakan, melainkan kebijakan ini harus memiliki dampak positif, memiliki nilai guna dan bermanfaat serta mengandung maslahah pada masyarakat pada umumnya.

Sebagai bentuk implementasi kaidah thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah adalah dengan transparansi anggaran. Transparansi anggaran merupakan kewajiban agama yang mulia, sama dengan mulianya imam mengaplikasikan kaidah thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah tadiDalam kaidah yang lain dikatakan: ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun. Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajibankecuali dengan sesuatu ini, maka sesuatu ini juga menjadi wajib hukumnya.

Dalam bahasa ulama Ushul Fiqh, transparansi anggaran adalah sebentuk “fath adz-dzariah”, membuka pintu yang menuju pada kebaikan. Pintu kebaikan ini harus dibuka lebar-lebar. Dalam pandangan fiqh, jalan yang menuju pintu kebaikan itu hukumnya sama dengan hukum kebaikan itu sendiri. Lil wasaail hukmu al-maqaashid. Hukum perantara = hukum tujuan (maksud)-nya. Jika misalnya hukum membangun pemerintah yang makmur dan sehjahtera adalah wajib, maka hukum transparansi anggaran adalah juga wajib, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun.

Sebaliknya, dalam pandangan ulama Ushul Fiqh, semua jalan menuju keburukan harus ditutup. Ulama Ushul Fiqh juga sering membahasakan ini dengan sad adz-dzari’ahSad adz-dzari’ah menegaskan bahwa hukum jalan (wasilah) kepada tujuan (ghayah) haram adalah juga haram. Jika zina adalah barang haram, maka jalan menuju zina adalah juga diharamkan. Jalan menuju zina bisa pacaran, face book, dan lain sebagainya. Karena itu, jika sebuah pemerintahan yang korup adalah haram, maka jalan menuju kesana—misalnya pemerintah yang tidak ada transparansi anggaran juga haram. Dalam sebuah kaidah dinyatakan, ma adda ilal haram fahuwa haramun. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya keharaman, maka sesuatu tersebut hukumnya juga haram.          

Dalam konteks inilah, Islam telah meletakkan dasar-dasar normatif bagi adanya transparansi anggaran di pemerintahan. Misalnya berupa sifat-sifat Nabi Muhammad S.a.w antara lain: Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Sementara, dalam al-Qur’an dan Hadits juga disebutkan prinsip lain yang mensupport prinsip transparansi anggaran misalnya keadilan (al-‘adalah), pertanggung jawaban (‘mas’uliyah), akuntabilitas (hisab), istiqamah dan teguh pada kebenaran.     

Wallahua’lam bi shawab.**

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Teologi Entrepreneur dalam Islam

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Sekretaris PCNU Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Anggota Jember Entrepreneur Community (JECO)

Nabi Muhammad Saw. sejatinya adalah sosok entrepreneur sejati. Meski dalam beberapa doa yang dilantunkannya menghendaki beliau adalah seorang miskin, namun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa beliau menolak menjadi pengusaha. Bahkan, dalam riwayat hadits yang lain, justru menunjukkan komitmen beliau sebagai seorang entrepreneur sejati.

Selama ini, sosok agung Nabi Muhammad Saw. seringkali dilihat sebagai sosok religius per se. Nabi Muhammad hanya diangankan sebagai sosok religius yang tengah malam selalu tidak pernah absen sholat tahajud. Dalam sebuah hadits lain, Nabi Saw. digambarkan dahinya seringkali ada bekas karena sujud. Selain itu, Nabi Saw. juga dikenal sebagai orang yang rajin puasa dan melakukan ibadah mahdhah yang lain.

Personifikasi Nabi Saw. dengan sosok yang religius memang tidak salah. Yang tidak tepat adalah menggambarkan Nabi Saw. hanya dengan sosok religius semata dengan mengabaikan sisi atau aspek lainnya dari pribadi beliau. Misalnya, dengan sosoknya sebagai entrepreneur sejati. Diakui atau tidak, Nabi Saw. adalah seorang entrepreneur dan pekerja keras. Ketika berdagang di negeri Syam, digambarkan dalam hadits, sosok beliau yang tangan dan kakinya lecet-lecet karena mengangkut barang. Nabi Saw juga berpeluh-keringat kala berdagang di berbagai negeri.    

Adalah keliru menyederhanakan sosok atau pribadi beliau yang kompleks hanya dengan seorang yang religious saja. Karena beliau adalah pribadi agung yang multi talenta. Seorang negarawan, dan sekaligus politisi. Juga, seorang organisatoris dan seorang orator yang ulung. Beliau adalah juga seorang pengusaha yang luar biasa, namun sayangnya tidak banyak diungkap dalam berbagai event forum.    

Memunculkan spirit entrepreneur dengan merujuk pada Nabi Saw. adalah sebuah keniscayaan di tengah kemiskinan akut sebagian besar umat Islam di Indonesia. Jumlah mayoritas umat Islam di Indonesia secara de facto tidak diimbangi dengan mayoritas dalam kualitas ekonomi dan kesejahteraan warganya. Ini menjadi logis karena sebagian warga memiliki pandangan  teologis bahwa kaya dan miskin adalah sebentuk takdir Tuhan, yang oleh karenanya, jika sudah ditakdirkan menjadi miskin, maka tidak perlu untuk ditolak, melainkan harus diterima tanpa reserve.

Seharusnya, cita-cita entrepreneur Islam yang harus dikokohkan dalam bangunan keberagamaan umat Islam. Meminjam bahasa Yusuf Kalla, salah satu cawapres sekarang–ketika seminar ulama dan pesantren di Ponpes Al-Hikam Depok Jakarta tiga bulan yang silam–, maka siapa yang bisa membangun masjid, madrasah dan pesantren, jika tidak ada orang kaya dalam Islam. Siapa yang membantu orang-orang janda, anak-anak yatim dan anak-anak miskin, jika tidak ada pengusaha. Karena itu, keberadaan orang kaya adalah fardlu kifayah untuk kepentingan dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam.

Dalam catatan Yusuf Kalla, dari 40 orang kaya di Indonesia, hanya enam orang yang berasal dari agama Islam. Padahal, jumlah enam orang ini masih belum dihitung: berapa jumlah yang orang kaya Islam yang all out, memback up dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam ?. Berapa jumlah orang kaya Islam yang mau berbagi dengan anak yatim, anak miskin, janda, gelandangan dan sebagainya tersebut?.

Karena itu jawabnya jelas: kemiskinan harus dijawab dengan banyaknya jumlah pengusaha muslim, bukan dengan membuka lowongan pegawai negeri sipil atau yang lain. Jika ada banyak pengusaha muslim, maka akan banyak orang kaya muslim. Jika banyak orang kaya muslim, maka dakwah Islamiyah akan terbantu dan berjalan lancar sesuai harapan.

Walhasil, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja keras, membanting tulang, dan berusaha untuk menjadi orang kaya. Tapi, Islam tidak berhenti sampai menjadi orang kaya, melainkan harus diteruskan: bagaimana kekayaan itu dimanfaatkan oleh Islam untuk kepentingan dakwah Islam. Bagaimana agar kekayaan itu banyak bermanfaat pada yang lain, sebagaimana hadits: “khairukum anfaukum linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya pada manusia yang lain.

Wallahu’alam bi as-Shawab.**  

Categories
Kolom Pengasuh

Menggagas “Global Islam Moderat”

Catatan Konferensi Internasional 29 – 30 Maret 2014

Oleh: Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

International Conference of Islamic Scholar (ICIS) kembali menghelat acara bertaraf internasional pada tanggal 29-30 Maret 2014. Tidak seperti biasanya, acara kali ini diselenggarakan di daerah terpencil Situbondo. Karena memang Konferensi Internasional dengan tema “ Konsolidasi Jaringan Ulama’ Internasional Meneguhkan Kembali Nilai-Nilai Islam Moderat” ini diselenggarakan oleh ICIS bekerja sama dengan Pesantren Sukorejo yang sedang melakukan hajatan 1 Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Adalah unik hajatan bertaraf internasional ini diletakkan sebuah tempat yang sepi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian ibu kota. Tempatnya juga jauh karena harus menggunakan transportasi darat kurang lebih 6 jam (Surabaya-Situbondo). Namun, demikian ini tidak mempengaruhi peserta dan nara sumber yang datang dari berbagai negara. Misalnya Syaikh Wahbah az-Zuhaili (Syria), Syeikh Abdul Karim Dibaghi (Aljazair), Syeikh Mahdi bin Ahmad as-Shumaidai (Mufti Irak), Ammer Syaker Aljanabi (Qatar), Sadek bin Sadek (Duta Besar Libia), Bassam al-Khatib (Duta Besar Syiria), dan lain sebagainya.

Situbondo memang unik sehingga menjadi magnet berbagai peristiwa penting di negeri ini. Kita masih ingat, dulu pada tahun 1984, Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo adalah tempat para peserta muktamar NU memutuskan untuk menerima asas tunggal Pancasila. Pada Muktamar yang bersejarah itu, juga diputuskan bagaimana Khittah NU dijadikan landasan pemikiran dan sikap warga NU. Dalam rumusan Khittah NU tersebut, dinyatakan: NU tidak terikat dengan partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan yang lain. Pada tahun 2003, pesantren ini juga menjadi tuan rumah gawe besar “Muktamar Pemikiran NU”. Tokoh-tokoh intelektual NU, baik yang tua dan muda –misalnya KH. Masdar Farid Mas’udi, Prof. Dr. Nur Khalis Majid, MA, Prof. Dr. Mahasin, MA, Ulil Abshar Abdalla, Abd. Moqsith Ghazali, Ahmad Suaedy, Sumanto al-Qurtubi, dan lain sebagainya  hadir di acara cukup bergengsi tersebut.

Kalau kemarin ini, Situbondo menjadi tuan rumah acara akbar Konferensi Internasional ICIS, maka bukan hal yang aneh. Karena Situbondo dipandang sebagai persemaian bumi gerakan dan pemikiran Islam moderat perspektif ahlussunah wal Jama’ah. Yang jelas, Situbondo menjadi wadah persemaian atas semua hal tersebut.

Gagasan Islam Moderat (Al-Wasathiyah)

Al-Wasathiyah atau juga dikenal sebagai Islam Moderat adalah bentuk keberislaman yang tidak tatharuf dan tidak ghuluw. Islam moderat adalah Islam yang tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Sebaliknya, Islam moderat adalah Islam yang tengah dan i’tidal (lurus). Islam moderat adalah kebenaran (al-haq) di antara dua jalan kebatilan. Islam moderat adalah Islam yang tidak memudahkan mengkafirkan orang yang tidak kafir. Karena, Rasulullah Saw bersabda:  “Barang siapa menuduh orang Islam itu kafir atau termasuk musuh Allah Swt sementara tidak sesuai dengan kenyataan, maka sesungguhnya demikian itu akan kembali pada dirinya”. (An-Nawawi: Riyadus Shalihin, tt).   

Secara teologis, Islam moderat didukung oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Allah Swt berfirman: “Wa kadzalika ja’alnakum umatan wasathan litakunu syuhada ‘alan nasi wa yakunu rasuulu ‘alaikum syahida”.  Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143).

Dalam konteks hidup secara samhah (lapang dada) sebagai bagian dari sikap al-Washathiyah, Rasulullah juga bersabda: “Allah merahmati hamba yang lapang dada ketika menjual, ketika membeli, ketika membayar hutang”.(HR. Bukhori dan Ibnu Majah).   

Salah satu argument mengapa Islam bisa dan mudah diterima siapapun dan sepanjang zaman apapun, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Dr. Wahbah az-Zuhaily, adalah karena ciri dan sifat Islam yang moderat dalam segala aspeknya. Karena itu, Islam moderat adalah solusi di tengah berbagai problematika yang dihadapi oleh umat Islam sekarang ini dan masa yang akan datang.  

Global Islam Moderat: Solusi Dunia Islam

Gagasan Wasatiyah atau Islam moderat harus mendunia. Saya lebih senang menyebut istilah “Global Islam Moderat”. Yakni, upaya untuk menduniakan Islam moderat di se-antero dunia tanpa kecuali. Global Islam Moderat adalah sejenis dengan “Global Ethic”-nya Hans Kung, hanya beda pada aksentuasi gerakan. Global Ethicnya Hans Kung adalah penyelesaian berbagai masalah kemanusia dunia melalui etika global yang digali dari berbagai agama, maka Global Islam Moderat adalah kumandang etika Islam moderat sebagai solusi berbagai masalah dunia.       

Hemat saya, global Islam moderat merupakan panacea atas berbagai persoalan umat Islam yang terjadi dewasa ini. Setidaknya, ada satu persoalan mendasar umat Islam dewasa ini, yaitu: tidak adanya sikap moderasi, yang ada adalah sikap yang ekstrem (thatarruf) dan berlebihan (al-ghuluw). Thatharruf ini selanjutnya membawa akibat kekerasan demi kekerasan yang tiada henti.

Kekerasan inilah yang terjadi di dunia Islam sekarang. Negara-negara Timur Tengah seperti Tunisia, Lybia, dan Mesir tengah dihadapkan pada transisi demokrasi yang tidak berjalan mulus dan malah penuh kekerasan. Di Irak, gesekan politik antar kelompok Sunni dan Syi’ah juga masih terjadi hingga sekarang. Di Syria, konflik politik dan perang saudara sesama muslim juga terjadi. Di Asia, Muslim Rohingnya juga dibantai kelompok Radikal Hindu. Di Mindanau Philipina, muslim di sana juga masih belum mendapatkan keadilan.

Kekerasan ini juga terjadi di level internal umat Islam di dunia. Munculnya berbagai aliran Islam yang radikal dan eklusif merupakan tantangan sendiri yang harus diselesaikan. Mereka ini pada umumnya merasa sebagai kelompok Islam yang paling benar sendiri dan kelompok yang lain adalah salah. Tidak hanya itu, mereka juga membid’ahkan, menyesatkan dan bahkan mengkafirkan kelompok yang berbeda pemahamannya dengan mereka.    

Walhasil, Global Islam Moderat merupakan solusi atas berbagai permasalahan umat Islam dunia sekarang ini. Global Islam Moderat harus beranjak maju dengan kerja-kerja kongkrit ke depan. Gobal Islam Moderat untuk turut serta menguatkan peradaban dunia yang berbasis nilai-nilai agama dan kemanusiaan universal.  Wallahu’alam. **

Categories
Kolom Pengasuh

Sejarah ‘Hitam’ Kaum Wahabi

Oleh: M. Noor Harisudin (Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember & Katib Syuriyah PCNU Jember)

Kamis, 23/06/2011 11:49

Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma’ had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul  Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.

Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.    

Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)

Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt. 

Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.

Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau’idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.

Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.

Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam. 

Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.  

Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi  Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.   Wallahualam. **           

*Wakil Sekretaris PCNU Jember, Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdaltul Ulama Jember, PW Lajnah Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila Group.