Categories
Kolom Pengasuh Tokoh

Persiapkan Beasiswa Sejak Dini, IKA PMII Launching Kelas Beasiswa

Media Center Darul Hikam – Memiliki keterbatasan biaya bukanlah sebuah penghalang untuk mewujudkan mimpi sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, kini pemerintah dan berbagai lembaga swasta sangat mendukung pendidikan di Indonesia yakni dengan memberikan berbagai macam beasiswa menarik kepada seluruh pemuda di Indonesia. Meraih beasiswa adalah dambaan setiap orang. Namun, persiapannya untuk mendapatkan beasiswa tidak dengan waktu sebentar dan membutuhkan kerja keras.

Bincang mengenai beasiswa Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Jember menggelar talkshow beasiswa dan launching kelas beasiswa PMII Jember dengan tema “Prepare Yourself To Get A Scholarship” bertempat di Aula Ikatan Keluarga Alumni (IKA) PMII Jember, minggu (5/12). Tujuan diadakan acara ini ialah untuk memberikan wadah kepada kader PMII Jember untuk bisa mendapatkan beasiswa sesuai yang diminatinya.

Acara tersebut turut mengundang pemateri hebat dari IKA PMII diantaranya H. Muhammad Nur Purnamasidi, Satya Hangga Yudha W P, B.A. (Hons), Msc, Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M.Fil.I, dan Imam Malik Riduan.

Satya Hangga Yudha W P, B.A. (Hons), Msc, sebagai pemateri pertama yang merupakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penerimaan beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) menyampaikan bahwa bicara beasiswa tentu banyak sekali peluang beasiswa baik ke luar negeri maupun dalam negeri, “Kepada temen-temen tetap semangat, termotivasi dan impelementasi untuk mengeksekusi apa yang sudah disampaikan,” tuturnya pada saat closing statement materi pertama.

 Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M.Fil.I. sangat mengapresiasi acara ini karena merupakan acara keren yang bisa membawa kader-kader PMII mendapatkan beasiswa sesuai yang dimpi-impikannya. Sebagai pemateri kedua Prof Haris menyampaikan mengenai beberapa kualifikasi atau trik-trik untuk bisa mendapatkan beasiswa diantaranya ialah: Pertama, mempunyai intelektual tinggi sebagai modal dasar. Kedua, sejak awal sudah mempersiapkan diri untuk menguasai bahasa Arab, Inggris maupun Cina. Ketiga, menyiapkan bukti bahwa memiliki kompeten dalam bidang yang ingin digeluti dengan IPK yang standar minimal 3 atau 3,5. Keempat, mencari dan membaca website-website informasi terkait beasiswa-beasiswa.

“Adapun trik secara khusus yakni persiapkan diri dan baca peluang,” tambah Ketua Harian ADP PB IKA PMII 2021-2026 tersebut.

Selanjutnya, menyambung dari materi mengenai trik atau kualifikasi dalam mendapatkan beasiswa Imam Malik Riduan sebagai pemateri ketiga pada acara talkshow kali ini menyampaikan mengenai, “Kemana beasiswa membawa anda?” Riduan mengakui bahwa pengalamannya dengan sebagai penerima beasiswa 5000 doctor membawanya menemukan banyak pengalaman baru.

“Pertama, eksposur dari internasional untuk bertemu dengan para ahli. Kedua, menyelami kebudayaan global dan menyuarakan apa yang kita miliki di Indonesia. Selanjutnya yang ketiga, beasiswa membawa kita untuk bersenang-bersenang,” jelasnya.

“Beasiswa ini sesuatu yang susah tapi bisa dijangkau, beasiswa perkara yang sangat menantang tapi bisa diselesaikan tergantung pada upaya serta kemauan keras kita untuk mengejarnya,” tambah Imam Malik Riduan Ph. D Candidat of western Sydney University, Australia.

Kemudian H. Muhammad Nur Purnamasidi sebagai pemateri terakhir menyampaikan mengenai pengelolaan anggaran pendidikan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar 20%.

“Beasiswa bisa diraih bukan oleh mereka yang memiliki power tetapi oleh mereka yang sadar akan perubahan,” tutur Anggota DPR RI Komisi x tersebut.

Khotijah, S.T. selaku moderator juga menyampaikan harapannya untuk para kader PMII Jember agar serius dalam mengikuti pengawalan kelas beasiswa ini yakni dengan berlari dan berinovasi mengejar ketertinggalan dalam aspek akademik sehingga kader PMII kedepan dapat mendapatkan beasiswa sesuai apa yang sudah menjadi cita-cita dan keinginan para kader-kader PMII Jember.

Reporter: Wartik Murtisari 

Editor : Arinal Haq

Categories
Tokoh Ulama Nusantara

Innalillahi Pakar Fikih Perempuan Hj Huzaemah T Yanggo Tutup Usia

Jakarta, NU Online

Pakar fikih perempuan perbandingan mazhab asal Indonesia Prof Hj Huzaemah Tahido Yanggo berpulang ke rahmatullah pada Jumat (23/7) pukul 06.10 WIB di RSUD Banten. Pakar perempuan yang juga Dewan Pakar Pimpinan Pusat Muslimat NU itu meninggal dunia pada usia 75 tahun.

Prof Hj Huzaemah merupakan sosok perempuan yang aktif di pelbagai macam organisasi dan aktif menulis tentang fikih perempuan kontemporer.

Semasa hidupnya, Prof Hj Huzaemah juga menjabat sebagai rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau UIN Jakarta pada jurusan Magister Pengkajian Islam, Ia juga tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI sejak tahun 1987, Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2000, dewan pakar Muslimat NU, dan A’wan PBNU.

Prof Hj Huzaemah juga tercatat sebagai perempuan pertama yang berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1981.

Tidak hanya itu, Prof Hj Huzaemah kerap menyikapi soal perempuan yang dipandangnya harus kuat terhadap dua hal, yakni modern dan tradisional. Ia mengartikan bahwa perempuan dalam llingkup modernitas harus mampu merespons perkembangan zaman, namun tetap berpijak pada tradisi. 

Kabar duka wafatnya Prof Hj Huzaemah ini juga disampaikan oleh tokoh NU Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir melalui akun Twitter pribadinya.

“Kabar duka: Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo wafat dalam usia 74 th karena Covid. Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta,” tulis Gus Nadir.

Kepala Asrama Pesantren IIQ Ustadz Abdur Rosyid menyampaikan, jenazah sedang diurus di rumah sakit. Jenazah akan dishalatkan terlebih dahulu di masjid, asrama Pesantren IIQ, Pamulang, Tangerang Selatan.

“Insya Allah nanti dishalatkan dulu di masjid IIQ sini. Sekarang jenazah sedang diurus,” kata Ustadz Rosyid.

Kontributor: Anty Husnawati

Editor: Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/130308/innalillahi-pakar-fikih-perempuan-hj-huzaemah-t-yanggo-tutup-usia

Categories
Tokoh Ulama Nusantara Uncategorised

Arahan Wakil Presiden RI pada Acara Penguatan Peran Ulama/Habaib/Kyai dalam Penanggulangan COVID-19

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Kiai M. Noor Harisudin: Negara Tidak Berlakukan Hukum Salah Satu Agama 

Rabu 16/09 Fakultas Syariah IAIN Kudus mempersembahkan Seminar Nasional Online bertajuk “Dinamika Hukum Islam di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Acara berlangsung dari pukul 09.00-12.00 WIB yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai penjuru kota di Indonesia.

Narasumber pada acara tersebut, Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Guru Besar IAIN Jember, Dr. H. Mundakir, M. Ag., selaku rektor IAIN Kudus, dan Narasumber terakhir, Dr. H. Amran Suadi, SH, M.Hum., selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Acara tersebut dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan ke acara inti yakni Seminar Nasional yang dimoderatori oleh Dr. Any Ismayawati, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

Sesuai dengan tema, jika berbicara mengenai dinamika hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa hal yang wajib yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah mengenai posisi hukum Islam itu sendiri, dalam arti syariah (fiqh). Kemudian posisi kedua adalah kita hidup di Indonesia. Di Indonesia Islam punya kekhususan tersendiri, punya khittah tersendiri yakni ”sulhu Hudaibiyah” atau biasa disebut dengan perjanjian damai Hudaibiyah antara umat Islam dengan kafir di masa Nabi Muhammad. Artinya, Indonesia bukanlah negara Islam, bukan negara khilafah, yang bukan berazazkan hukum Islam tertentu, tapi inilah negara yang disebut dengan “darul ahdi”, atau “darul mitsaq”, yaitu  negara konsensus yang bersama-sama membangun bangsa, di mana Pancasila menjadi dasarnya dan  yang penting adalah umat Islam bisa menjalankan syariat agamanya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Jadi, tidak bisa jika semua hukum Islam dari luar negeri diambil dan diterapkan di Indonesia.

“Karena itu saya sepakat dengan Prof. Mahfud yang mengatakan bahwa negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Berbicara mengenai skema hukum Islam, hukum Islam ternyata dibagi menjadi dua bagian, yakni ibadah mahdlah dan Non-ibadah mahdlah. Yang termasuk dalam ibadah mahdlah adalah sholat, puasa, haji. Sedangkan Non-ibadah mahdlah adalah muamalah, ahwalus syakhsiyah, jinayah, siyasah, dan Qadla atau penyelesaian pengadilan.

Lain halnya dengan skema hukum Islam dan perubahan sosial, dimulai dari fakta-fakta, konsep, ‘illat hukum dan diktum hukum/fatwa. Jadi, jika ada fakta-fakta yang berubah maka nanti hukum di atasnya juga akan berubah. Misalnya saja Nahdlatul Ulama (NU) dulu pada tahun 30-an pernah menetapkan bahwa sunnah hukumnya menyalakan petasan di malam ramadhan sebagai juga bentuk syiar yang dianjurkan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 1999 hukum itu menjadi berubah status yakni “haram” karena menimbulkan mudharat yang besar yakni dapat membuat seseorang terluka dengan petasan yang ukurannya besar. Dari sini dapat diketahui bahwa ada hukum Islam yang berubah dan ada hukum Islam yang tidak berubah.

Perubahan-perubahan dalam hukum Islam tadi, dapat diperoleh dengan cara ijtihad. Ijtihad adalah metode agar hukum Islam dapat selalu hidup dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seseorang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Ijtihad yang sesuai untuk zaman saat ini adalah ijtihad jama’I,  yakni ijtihad yang disepakati oleh mujtahid dalam satu masalah. Ijtihad ini juga berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bentuk dinamika  hukum Islam  dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya dari kelembagaan, Rechtvinding dalam putusan Hakim pengadilan agama, regulasi dan Undang-Undang, perdebatan wacana pemikiran pembaharuan Hukum Islam, penelitian dan kajian hukum Islam yang selalu update.

“Untuk menjadi tokoh penegak hukum yang baik, harus ditata dulu akidahnya. Karena jika akidahnya baik, maka ibadah dan akhlaqnya juga akan baik,” ujar Dr. H. Mundakir, M. Ag., saat ini menjabat sebagai rektor di IAIN Kudus. Karena sesungguhnya saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana orang-orang yang taat hukum bisa menjalani syariat dengan baik. Maka insyaalah akan lahir orang-orang islam  yang teguh menjalankan hukum sesuai syariat Islam.

Dialektika hukum Islam diwujudkan dalam dua hal; living laws dan positif laws. Living laws adalah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat, diajarkan di perguruan tinggi, pesantren, juga madrasah dan didiskusikan oleh lembaga ijtihad masing-masing organisasi masyarakat. Sedangkan   positif laws adalah hukum Islam yang telah ditetapkan menjadi hukum positif di Indonesia. Misalnya kompilasi hukum Islam, kompilasi hukum ekonomi syariah, dan lain-lain. Bentuk lain positif laws dapat dilihat dari undang-undang yang sesuai dengan Maqashidus Syariah. Misalnya undang-undang lalu lintas, undang-undang pemilu, dan sebagainya.

Jadi, bisa saja keputusan antara organisasi masyarakat satu dengan organisasi masyarakat lain bisa saling berbeda. Misalnya saja kemarin saat bulan Ramadan, untuk pelaksanaan salat Id bisa tidak bersamaan. Jadi jangan heran dengan perbedaan pendapat. Contoh lain jika ada perbedaan madzab yang dianut seseorang. Demikian tidak bersifat mengikat.

Terdapat empat faktor penyebab dinamika hukum Islam, yakni bergantungnya bandul politik hukum penguasa, pergerakan pembaharu dan pemikirannya di Indonesia, berdirinya lembaga-lembaga baru, dan perubahan sosial yang demikian cepat.

Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat ketika pengadilan agama mempunyai kewenangan yang lebih luas, yang semula hanya mewakili permasalahan cerai, kemudian sudah mulai meluas ke masalah wakaf, waris, bisnis syariah, dan sudah sangat luas.

“Gambaran dinamika hukum Islam di Indonesia sudah semakin membaik, tinggal bagaimana para alumni PTKIN membuat perkembangan dirinya,” pungkas Dr. H. Amran Suadi selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Karena sasaran sangat banyak sekali bagi alumni Fakultas Syariah, hakim dilingkungan peradilan agama  sekarang masih terbatas. ini dapat menjadi peluang emas bagi mahasiswa hukum Fakultas Syariah.

“Saya harap kita semua bisa menjadi pionir untuk membumikan hukum Islam, permasalahan hidup selalu ada dan tidak bisa kita abaikan, dan hukum yang adil itu ketika memang sesuai  norma-norma kehidupan,” ungkap Dr. Any yang juga sebagai Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

“Closing statement dari saya, ingatlah bahwa tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau belajar. Tetap semangat untuk adik-adik Fakultas Syariah,” ujar Prof. Kiai Haris yang juga pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember dan Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : Moh. Abd. Rauf

Categories
Tokoh

Kisah Profesor Muda Meraih Mimpi

Usianya masih muda, berumur 40 tahun. Namun semangat mencari ilmu dan mengabdi lebih panjang dari usianya. Sebab, Ia mampu menjadi profesor termuda di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). 

Sekarang, M Noor Harisudin, pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli itu sudah menjadi guru besar di bidang ushul fiqh. Pria kelahiran Demak itu ditetapkan menjadi profesor ketika masih berumur 39 tahun. Tentu saja, butuh perjalanan panjang bagi Haris untuk mencapainya. 

Ini semua berkah mengabdi di NU dan pesantren,”katanya. Baginya, mengabdi menjadi panggilan jiwa yang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan walau harus mengorbankan materi dan non materi. Pengabdiannya itu terinspirasi dari para kiai yang telah berhasil mendidiknya. 

Prof Haris merupakan putra ketiga dari enam bersaudara pasangan HM Asrori dan Hj. Sudarni. Kedua orang tuanya mendidik Haris dengan ilmu agama. Kemudian dilanjutkan dengan mencari ilmu pada para kiai Demak. Mulai dari Kiai Hamdan, Kiai Umar, Kiai Fadlol, dan lainnya. 

Saat itu, dia menempuh pendidikan di MI Sultan Fatah  tahun 1984-1990. Lalu di bangku MTs NU Demak tahun 1990-1993. Semangatnya mencari ilmu terus membara, dia menjadi santri di Pondok Salafiyah Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah  pada 1993-1996.

Di pondok itu saya juga sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah Kajen,” ujarnya. Disana, Haris menimba ilmu pada kiai alim, seperti Kiai Sahal Mahfudz, Mbah Dullah Salam, Kiai Muhibbi,  Kiai Faqihudin, Mbah Wahab, Kiai Asmui, Kiai Masrukin.

Tak selesai disitu, haris terus merasa haus dengan ilmu. Dia melanjutkan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Disana, dia melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah pada tahun 1996-2000 sekaligus  kuliah di Ma’had Aly Situbondo. 

Disana, dia belajar banyak hal pada para kiai sepuh seperti alm KH. Muchith Muzadi, KH. Afifudin Muhajir, alm KH. Hasan Abdulwafi, alm KH. Wahid Zaini, Prof. Sjehul Hadi Permono SH, MA,  KH. Hariri Abdul Adzim, Prof. KH. Said Agil Siraj, MA, Prof.  KH. Said Agil Munawar, MA, KH. Dailami, KH. Maksum, KH. Muhyidin Khotib, Ust. Imam Nakhoi, MA dan lainnya.

Haris belajar tentang keragaman ilmu dari masing-masing kiai tersohor di pesantren. Dari KH Maimun Zubair  belajar Ushul Fiqh, dari alm KH Muchit Muzadi belajar cara bermasyarakat,. “Semua kiai punya spesifikasi sendiri,” ujarnya. 

Setelah itu, Haris melanjutkan S2 dan S3 pada tahun UIN Sunan Ampel Surabaya. Di kampus inilah, dia dilatih menjadi akademisi yang tidak pernah berhenti menulis. Dia belajar  pada  Prof. Ridwan Nasir, MA,  Prof. Masdar Hilmi, Ph.D, Dr. KH. Ahmad Imam Mawardi, MA, Prof Toha Hamim, Ph.D, Prof. Nur Syam, M.Si, Prof Bisri Efendi, MA, Prof. Ahmad Zahro, MA dan sebagainya.

Meskipun memiliki kesibukan yang cukup padat, suami dari Robiatul Adawiyah ini selalu mengabdikan dirinya untuk umat. Dia menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember. Sebagai  Katib Syuriyah PCNU Jember (2014-2019), Sekretaris YPNU Jember yang menaungi Universitas Islam Jember (2015-2020). 

Kemudian, Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur (2013-2018), Wakil Ketua Lembaga Dakwah NU Jawa Timur (2018-2023), dan Wasekjen Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (2017-2021).

Selain itu, dia juga merupakan penulis produktif. Sampai sekarang sudah mengarang sekitar 20 buku, dua jurnal internasional terindeks bereputasi, sepuluh jurnal terakreditasi dan tiga puluh lebih jurnal berskala nasional.

Pencapaian menjadi guru besar itu bukan titik akhir. Namun tahap awal untuk terus mengabdikan diri pada masyarakat yang lebih luas. Tak hanya di tingkat nasional, namun juga internasional. 

Sebarkan Fiqh Nusantara ke Dunia Internasional

Disela mengajar mahasiswa dan para santrinya, Prof Haris juga kerap mengisi pengajian di berbagai majelis taklim hingga mengisi di luar negeri, seperti Taiwan. Materi yang disampaikan tentang fiqh nusantara.

Awal Januari 2018 lalu, dia berangkat ke Taiwan memenuhi undangan para PC Istimewa NU Taiwan. Disana, dia berdakwah pada para TKI dan menerangkan tentang fiqh nusantara. Cara mengatasi persoalan yang dialami oleh para buruh migran.

Hari ini, Haris dikukuhkan sebagai guru besar ilmu ushul fiqh di Gedung Kuliah Terpadu (GKT) IAIN Jember. Dia menyampaikan makalah berjudul fikih nusantara: metodologi dan kontribusinya pada penguatan NKRI dan pembangunan sistem hukum di Indonesia.

Haris mengatakan Fiqh nusantara itu merupakan fiqh Indonesia. Term kembali menguat dalam Muktamar Nahdlatul Ulama  ke-33 di Jombang Jawa Timur. Tema yang diangkat tentang Islam Nusantara yang di dalamnya terdapat Fikih Nusantara.

Namun secara faktual saya belum menjumpai diskusi yang serius tentang Islam Nusantara, apalagi Fikih Nusantara. Aroma politik yang demikian kuat pada saat Muktamar mengakibatkan wacana Islam dan Fikih Nusantara menjadi terpinggirkan,” paparnya.

Pasca  Muktamar, terma ini menjadi perbincangan yang menarik secara akademik,  di dalam dan luar negeri. Prof Haris sebagai ahli ushul fiqh juga menjadikan fiqh nusantara sebagai kajian. Dia membawanya dalam berbagai kajian di dalam hingga luar negeri.

Bahkan ketika diminta menjadi pemateri seminar nasional hingga internasional. Haris menyampaikan materi tentang Fiqih Nusantara pada para peserta. Memperkenalkan bahwa Islam Nusantara merupakan contoh Islam Rahmatan lil alamien.

(Ditulis oleh Bagus Supriyadi, Wartawan Jawa Pos Radar Jember, 18 Nopember 2018)

Categories
Ulama Nusantara

Persiapkan Lailatul Qadar Lebih Dini, Dr. Kiai Harisudin Ajak Sucikan Hati

Jember, NU Online

Katib Syuriyah PCNU Jember Kiai MN. Harisudin mengajak warga Jember untuk mensucikan hati dalam rangka menyambut Lailatul Qadar. Karena, menurut Kiai Harisudin hanya mereka yang berhati bening dan suci yang mampu mendapatkannya. 

Demikian disampaikan Kiai MN Harisudin yang juga dosen pascasarjana IAIN Jember di hadapan kurang lebih 600 jama’ah Masjid Raudlatul Mukhlisin Kaliwates Jember. Pengajian menjelang buka puasa, Senin (29/5) yang dimulai jam 16.30 WIB sampai menjelang berbuka puasa.  

Masjid Raudaltul Mukhlisin yang diresmikan oleh Rais ‘Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin pada Senin, 15 Mei 2017 ini sendiri menjadi destinasi wisata religi yang menjadi ikon kota Jember. Banyak pengunjung dari berbagai luar kota yang menyempatkan diri untuk datang ke masjid dengan desain mirip Masjid Nabawi kota Madinah tersebut. 

Di masjid ini, Kiai Harisudin mengajak jama’ah untuk biasa-biasa saja puasa, yaitu agar tidak seperti yang dikritik Nabi Muhammad Saw. “Rubba shaimin laisa lahu minshiyamihi illal ju’a wal athas. Banyak sekali orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.  

Menurut Kiai Pengasuh Program Bengkel Kalbu Ponpes Darul Hikam Jember ini, puasa yang tidak biasa-biasa adalah dengan puasa hati. 

Setidaknya ada dua puasa hati yang dilakukan. Pertama, puasa hati dari membenci. Dengan puasa ini, Kiai Harisudin menganjurkan jama’ah agar tidak membenci orang lain. “Orang yang baik adalah orang yang cepat melupakan kesalahan orang lain. Demikian juga, orang yang baik adalah orang yang selalu ingat kesalahan dirinya. Dengan cara ini, kita meminimalisir kebencian sesama. Karena tidak ada satupun orang yang sempurna dan tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kesalahan,” tukas Wakil Ketua PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut seraya mencontohkan Abu Bakar yang menghilangkan kebencian terhadap Mitstah bin Utsatsah (saudaranya) karena ikut memprovokasi warga Madinah menuduh Siti Aisyah berzina dengan Shofwan bin Mu’atthal. 

Kedua, puasa dengan mengendalikan amarah. Kiai Harisudin menyebut hadits yang menceritakan teguran keras Rasulullah Saw. pada seorang sahabat yang marah-marah pada seorang budaknya. “Batalkan puasa kamu,” pinta Rasulullah Saw. Bagi Kiai yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jember ini, hadits ini menjadi inspirasi untuk mengendalikan emosi di saat puasa Ramadhan. Apalah artinya puasa kalau emosi tetap membelenggunya.  

Categories
Kolom Pengasuh

Ironi “Pesta-Pora” Dalam Puasa

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Setiap kali memasuki sepuluh hari kedua puasa, kita dipertontonkan dengan ironi pesta-pora puasa. Puasa yang semestinya untuk mengendalikan, justru malah meningkatkan libido nafsu konsumerisme. Lihatlah dengan seksama, pesta pora yang mewujud dalam jubel ramainya orang melakukan buka bersama di rumah makan dan restoran. Mall dan pusat perbelanjaan yang menjadi jujugan banyak umat Islam dalam menghabiskan milyaran bahkan triliunan rupiah. Antrian panjang berbagai makanan menjelang buka puasa menjadi pemandangan yang tidak luput dari pengamatan keseharian kita.   

Puasa yang sejatinya menjadi media untuk mengendalikan nafsu, tiba-tiba menjadi pembiakan nafsu sehingga alih-alih terkendali, justru nafsu malah menjadi liar tak terkendali. Puasa yang semestinya berjalan dalam suasana hening menjadi hiruk pikuk konsumerisme manusia. Ritus konsumerisme ini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari puasa. Ada tontonan kemewahan, kesenangan, kepuasan diri, gengsi dan citra diri dalam ritus konsumerisme. Apalagi, demikian ini juga terkait dengan kesuksesan manusia mencapai “pangkat, jabatan dan kedudukan terhormat”, ketika pulang kampung dengan membawa oleh-oleh hasil olah konsumerisme yang sangat melimpah-ruah tersebut.

Konsumerisme sebagai gaya hidup yang boros ini secara faktualditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka. Lihatlah, takaran makan orang yang tiba-tiba dua kali lipat atau bisa jadi lebih daripada hari biasa di malam hari Ramadlan. Pada ghalibnya, sikap ini merupakan aksi “balas dendam” terhadap penderitaan puasa di siang hari dengan keadaan berlapar-lapar yang sangat.    

Mengabaikan Subtansi Puasa  

Banyak sekali orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Demikian bunyi hadits Nabi Saw. yang sering diceramahkan para kiai, ustdaz, dan ustadzah di bulan Ramadlan. Namun sayangnya, hadits ini malah dipakai sebagai justifikasi bahwa realitas masyarakat yang berpuasa dengan gaya hidup konsumerisme ini sebagai sunnatullah yang wajar-wajar saja. Artinya, perilaku ini dianggap bukan suatu masalah yang serius untuk dicarikan solusinya. Padahal, hadits ini sesungguhnya berbicara tentang banyak orang berpuasa, namun sesungguhnya ia meninggalkan subtansi puasa.

Subtansi puasa, adalah pengendalian diri. Me-refer pada Yusuf Qardlawi (1991 M), subtansi puasa adalah penghancuran nafsu syahwat manusia (kasru syahawt an-nas). Yusuf Qardlawi juga menyebut subtansi puasa yang lain, yaitu mengubah  “nafsu amarah” menjadi “nafsu mutmainnah”. Ulama salaf menyebut subtansi puasa sebagai pensucian terhadap jiwa dan anggota tubuh manusia dari melakukan berbagai kemaksiatan serta  dosa.

Ulama salaf lebih memilih berkonsentrasi pada subtansi puasa. Mereka berlomba untuk melakukan puasa yang tidak hanya sekedar tidak makan, minum dan bersenggama. Mereka melakukan ritual “puasa tarekat” dengan meninggalkan berbagai kesenangan duniawi. Orang-orang saleh ini melakukan puasa tarekat dengan menutup anggota tubuh dari berbuat dosa. Mulut, telinga, hidung, pikiran, hati dan semua anggota tubuhnya disucikan dari melakukan berbuat maksiat pada Allah Swt. Sebaliknya, semua anggota tubuhnya didedikasikan pada Allah Swt. sehingga tidak cukup waktu untuk memikirkan konsumerisme.

Kritik Imam Ghazali (t.t) dalam kitab Bidayah untuk tidak memperbanyak konsumsi makan di malam hari harus dilihat sebagai upaya untuk konsentrasi pada subtansi dalam puasa. Bagaimana mungkin, kita makan malam hari puasa dengan takaran yang sama dengan hari tidak puasa atau bahkan bisa lebih. Demikian al-Ghazali mengkritik jamaknya umat Islam yang berpuasa hanya sekedar balas dendam atas siang hari puasa. Jika kritik Ghazali ditarik pada spektrum yang lebih luas, maka muncul gugatan: bagaimana mungkin konsumerisme bisa sangat berlipat-lipat justru di bulan puasa yang mestinya gaya hidup  konsumerisme dilipat di sudut pojok kehidupan? Tapi, mengapa justru konsumerisme menguat dan subtansi puasa hilang dalam peredaran kehidupan umat.            

Menuju Nilai Kesederhanaan         

Nabi Saw. sendiri mencontohkan dengan sempurna kesederhanaan, baik di bulan puasa ataupun luar bulan puasa. Lihatlah kehidupan Rasulullah Saw. ketika berbuka puasa hanya dengan seteguk air putih dan beberapa buah kurma. Dalam beberapa riwayat, juga diceritakan seringkali Nabi Saw. berbuka puasa dengan tidak ada makanan yang cukup. Nabi Saw. juga acapkali puasa sunah ketika Aisyah mengatakan bahwa tidak ada persediaan makanan pada hari itu. Ini semua menunjukkan betapa sederhananya cara Nabi Saw. berpuasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Saw. juga sangat sederhana. Beliau berpakaian sangat sederhana. Tidak ada kemewahan fashion ala Rasulullah Saw. Demikian juga dengan rumah Nabi Saw. Apalagi, tempat tidur beliau yang sangat jauh dari kemewahan alias sangat sederhana. Ketika seorang perempuan Anshor masuk ke kamar Nabi Saw. bersama Siti Aisyah, betapa kagetnya tempat tidur seorang pemimpin agung Islam tersebut. Air matanya bercucuran melihat tempat tidur Nabi Saw. seraya meminta ijin pada Aisyah untuk mengambil selimutnya yang baru dan mewah untuk diberikan pada baginda Rasul. Namun, anehnya baginda Rasulullah memilih menolak pemberian wanita Ansor ini karena beliau memang ingin hidup sederhana.

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Saw. ingin mempertontonkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupan. Kesederhanaan yang bahkan beliau sebut sama dengan kemiskinan. Nabi Saw. seringkali berdoa lirih untuk selamanya menjadi orang miskin. ” Allahuma ahyina miskinan. Wa amitna miskinan. Wahsyurna fi zumratil masakin. Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Matikan aku dalam keadaan miskian. Dan kumpulkan kami bersama orang-orang miskin”. Betapa sangat sederhana atau miskinnya beliau, sang pemimpin agung kita. Adakah pemimpin-pemimpin kita yang berani berdoa demikian ?

Inilah yang semestinya kita tuju sebagai umat Muhammad dalam berpuasa. Yaitu dengan menerapkan nilai-nilai kesederhanaan yang kini nyaris hilang dalam gemerlap kemewahan hotel berbintang, mobil mewah, dan hiruk pikuk kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan kita dengan Tuhan.  

Wallahu’alam. **       

Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Alamat:  Ponpes Darul Hikam

Perum Pesona Surya Milenia C.7 No. 6 Mangli Kaliwates Jember Jawa Timur.

Telp: 082331575640. 081249995403. Email: mnharisudinstainjember@gmail.com

Norek. 0243453809 BCA KCU Jember atas nama M. Noor Harisudin.

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Menggagas Fikih Nusantara

Oleh: Dr. M.N. Harisudin M. Fil. I

Dosen Pascasarjana IAIN Jember

Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

17 mei

Secara derivatif, terma Fikih Nusantara yang saya ajukan adalah bagian dari gagasan besar Islam Nusantara. Islam Nusantara, meski baru digemakan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur, namun secara subtansi sesungguhnya sudah didiskusikan sejak lama. Bahkan, sebagai praksis umat, Islam Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama juga menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam di Indonesia ratusan tahun yang silam. Islam Nusantara telah menjadi casing umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat. Islam Nusantara ini pula yang menjadi magnet bagi umat Islam di seluruh dunia.

Saya ingin mengajak pembaca pada dunia yang lebih kecil dalam Islam Nusantara, dengan apa yang saya sebut sebagai “Fikih Nusantara”. Fikih Nusantara adalah fikih yang dipraktekkan di nusantara, sesuai dengan keadaan realitas nusantara. Adalah Prof Hasbi as-Shidiqi, Guru Besar Hukum Islam IAIN Yogyakarta (sekarang bernama UIN Yogyakarta) yang menyebut pertama kali dengan Fikih Indonesia. Gagasan Hasbi as-Shidiqi dilatari oleh kejumudan fiqh di tahun 1940 yang dirasa tidak bisa memberikan solusi-solusi atas berbagai problematika umat. Meski tidak direspon dengan baik, namun gagasan Hasbi inilah yang dicatat sejarah sebagai tonggak permulaan tentang fikih Nusantara.

Gagasan Hasbi sendiri, dari aspek content, hemat saya, sebetulnya, tidak luar biasa karena pembaruan fiqh Indonesia yang ia tawarkan, sejatinya hanya dalam ruang lingkup mu’amalah. Hasbi tidak berani secara progresif melakukan pembaruan terhadap bidang “ibadah mahdlah” seperti haji, sholat, besaran zakat, puasa dan sebagainya. Pada tahun 1961, Hasbi kembali mengungkapkan gagasan tentang Fikih Indonesia dan  baru mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Tentu, yang luar biasa adalah keberanian Hasbi menyodorkan gagasan Fiqh Indonesia yang dipandang tabu saat itu.  

Pada etape selanjutnya, pengaruh pikiran Hasbi sungguh luar biasa. Hukum Islam yang sudah lama “dipinggirkan” mulai untuk ditempatkan ditempat yang terhormat. Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam berada menjadi bagian dari hukum adat, namun setelah ada pikiran Hasbi dan lalu diteruskan oleh pembaharu selanjutnya, Hazairin, menjadikan hukum Islam menjadi elemen yang mandiri dalam hukum nasional. Hukum nasional menjadi terpola dengan tiga elemen penting: hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Pada masa orde reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menajdi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (1991), UU tentang zakat (1999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari’ah (2008) dan lain sebagainya.

Saya ingin menggaris bawahi bahwa Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanapun juga, gagasan Hasbi as-Shidiqi telah menjadi batu bata pertama fikih Nusantara di negeri ini. Hasbi memang membayangkan Fiqh Nusantara seperti Fikih Hijazi, Fikih Hindi dan Fikih Mishri. Dan kini, tejadi percepatan luar biasa atas fikih Nusantara di negeri ini. Fikih Nusantara  setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus: living laws (hukum yang hidup) dan positif laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah fikih Nusantara.

Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara itu, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.  

Fikih Nusantara ini secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan karena ditopang minimal oleh tiga dalil utama, yaitu istihsanmaslahah mursalah dan ‘urf. Jika istihsan adalah menganggap baik apa yang dianggap baik oleh mayoritas muslim, dan maslahah mursalah merupakan maslahah yang tidak diperintah maupun dilarang langsung oleh syara’, namun mengandung dimensi kemanfaatan yang nyata dan bersifat luas, sementara ‘urf adalah tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat luas. Ketiga dalil ini, memperkokoh basis epistemologis Fikih Nusantara, menjadi fiqh yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Dari aspek produk, ulama Nusantara juga telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi “ukuran aurat” dengan tidak menggunakan hijab ‘ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy’ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri alm. KH. Abdurrahman Wajid, Presiden RI yang keempat.

Produk lain Fikih Nusantara yang bahkan telah ditetapkan sebagai qanun dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harta gono-gini. Harta gono -gini merupakan harta bersama suami-istri setelah menikah. Dalam KHI disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta, maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono-gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan Fikih Konvensional yang ada dan dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama Timur Tengah.

 Walhasil, Fikih Nusantara adalah fiqh yang telah built-in dan mengakar dalam kehidupan Muslim nusantara. Fikih ini akan terus tanpa henti melakukan “perubahan” sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana kaidah Fikih: Taghayyurul  ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada  selain “ibadah mahdlah”. Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini, sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.     

Wallahu’alam. **                  

Categories
Kolom Pengasuh

Selamat Jalan, Kiai Nyentrik Yang Inklusif

Oleh: M. Noor Harisudin

Kabar duka menyelimuti warga Nahdlatul Ulama khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. KH. Abd. Muchit Muzadi, seorang “kamus berjalan”, “laboratorium” atau bahkan “begawan” Nahdlatul Ulama meninggal dunia, pagi Ahad, 6 September 2015 di Malang. Meski meninggal di Malang, seperti wasiatnya ke keluarga, beliau ingin dimakamkan di Jember, bersebelahan dengan istri beliau, almarhumah Hj. Faridah, di pemakaman umum Jember. Kiai yang meninggal di usia hampir 90 tahun ini telah banyak memberikan andil baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta. Kiai Muchit sendiri termasuk santri terakhir Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan Nahdlatul Ulama.

Dalam tulisannya di Majalah Tempo, pada 5 April 1980, dulu Gus Dur pernah menggambarkan sosok unik kiai Muchit ini dengan sangat menarik. “Orangnya peramah, tapi lucu. Raut wajahnya sepenuhnya membayangkan ke-kiai-an yang sudah mengalami akulturasi dengan “dunia luar”. Pandangan matanya penuh selidik, tetapi kewaspadaan itu dilembutkan oleh senyum yang khas. Gaya hidupnya juga begitu. Walaupun sudah tinggal di kompleks universitas negeri, masih bernafaskan moralitas keagamaan…”. Gus Dur menyebut Kiai Muchit dengan Kiai Nyentrik karena beliau berani menyuarakan kebenaran, meskipun harus dicaci maki oleh kaumnya sendiri. Gus Dur juga menyebutnya ulama-intelektual karena selain alim agama, juga karena Kiai Muchit mengajar di beberapa perguruan tinggi umum.      

Kiai Muchit memang tidak pernah tampil di muka. Kiai Muchit selalu menjadi tokoh di balik layar berbagai peristiwa penting. Misalnya ketika Nahdaltul Ulama memutuskan untuk kembali ke Khittah 1984, beliau adalah aktor yang sangat berperan menyusun rumusan naskah Khittah NU. Tanpa urun-rembug naskah tersebut, dapat dibayangkan betapa sulitnya memberikan pemahaman pada muktamirin di Situbondo tersebut. Demikian juga dengan rumusan penerimaan Pancasila, beliau juga ikut terlibat aktif di Muktamar NU 1984 yang berujung pada terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Ahmad Shidiq sebagai Ketua Tanfidziyah dan Rois ‘Am Syuriyah PBNU masa bakti 1984-1989.

“Kiai”-nya Anak Muda           

Kiai Muchit termasuk tokoh idola anak muda NU. Ketika arus pembaruan terjadi besar-besaran di tahun 80-an, bersama Gus Dur Kiai Muchit adalah kiai yang ada di garda terdepan membela pikiran anak-anak muda NU. Pikiran liar dan nakal anak-anak muda NU seperti tercermin dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LKiS Yogyakarta, eLSAD Surabaya dan PP Lakpesdam NU di Jakarta ‘tetap diakomodasi’ oleh Kiai Muchit, meski kerapkali pikiran liberal anak-anak muda ini telah “memerahkan” telinga banyak para kiai NU. Kiai Muchit harus vis a vismenjelaskan pada para kiai bahwa anak-anak muda ini kelak juga akan “kembali baik” lagi.

Kiai Muchit juga menunjukkan perhatian yang lebih terhadap anak muda di atas rata-rata umumnya kiai. Tak heran jika di usia yang sudah 70-an lebih, beliau masih bersemangat memberi “arahan” dengan berbagai pelatihan, halaqah, workshop, sekolah atau apalah namanya terhadap anak-anak muda NU. Seperti tidak kenal lelah, kalau yang mengundang anak-anak muda NU, Kiai Muchit siap hadir kapan saja dan dimana saja. Di level paling rendah pun tingkat desa, Kiai Muchit selalu menyatakan siap hadir menemani anak-anak muda itu. Sekalipun hanya duduk sebentar, Kiai Muchit selalu menyempatkan untuk hadir sebagai bentuk support terhadap berbagai aktivitas anak muda ini.

Menjadi sebuah kewajaran jika kemudian, diantara tokoh yang sering disebut-sebut namanya oleh anak muda NU, adalah Kiai Muchit. Di berbagai pertemuan, nama Kiai Muchit masih sering menjadi main of reference anak muda. Anak-anak muda NU yang kadang hanya ingin bersilaturrahim juga sangat mudah bertemu beliau di kediamannya di Jember ataupun Malang menerima wejangan-wejangannya yang teduh dan menyejukkan. Tidak salah, jika darah anak muda terkena energi positif Kiai Muchit. Kendati sering diidolakan anak muda, Kiai Muchit juga dikenal mudah diterima oleh semua kalangan: bapak-bapak, ibu-ibu muslimat, dan sebagainya karena komunikasi Kiai Muchit yang mengalir dan mengucur deras sesuai dengan alam pikir mereka.  

“Melampaui” NU-Muhammadiyah

Lebih dari itu, Kiai Muchit adalah tokoh NU yang bisa diterima oleh kalangan apapun, termasuk Muhammadiyah. Demikian ini karena beliau memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang Muhammadiyah yang menyebabkan pemikiran beliau cenderung bersikap inklusif dan juga toleran. Dalam sebuah acara seminar dengan Prof. Amin Rais, MA di Surabaya, Kiai Muchit sembari gurau pernah berkelakar sedikit menantang Mantan Ketua MPR RI tersebut: “Pak Amien. Ayo, lebih banyak mana buku tentang Muhammadiyah yang saya miliki dengan buku tentang Nahdlatul Ulama yang bapak miliki”.  

Memang, sepengetahuan penulis, kiai NU yang memiliki banyak buku Muhammadiyah adalah Kiai Muchit. Hampir semua buku tentang Muhammadiyah, beliau punya dan beliau baca. Buku-buku yang lain seperti Persis, al-Irsyad, Perti dan sebagainya juga beliau baca. Bahkan, ketika ada seorang kiai memprotes beliau karena buku Syiah yang dibacanya, dengan mudahnya beliau menjawab: “Bahkan komik Jepang pun saya baca. Anda tahu kan, kalau orang Jepang beragama Shinto yang menyembah matahari”. Walhasil, hampir semua buku, beliau baca karena bagi beliau, dengan membaca, kita akan terbuka cakrawala berpikir, serta menjadi luas, luwes dan juga memiliki kepribadian yang inklusif.      

Jauh sebelum KH. Ahmad Shidiq (Rais ‘Am PBNU 1984-1991) mengusulkan Trilogi Ukhuwah: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah, Kiai Muchit sudah melaksanakan ‘ukhuwah Islamiyah’ itu sendiri. Tak pernah sedikit pun, Kiai Muchit secara ofensif menyerang paham keagamaan yang kebetulan berbeda aliran dengan Kiai Muchit. Bahkan, khusus tentang Muhammadiyah, Kiai Muchit lebih sangat hati-hati karena beliau juga tidak mau “menyakiti” perasaan istri beliau yang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Meskipun pada akhirnya, Ibu Hj. Faridah Muchit sendiri memilih menjadi bagian keluarga besar Nahdlatul Ulama dan bahkan pernah menjadi Pengurus Cabang Muslimat NU Jember.              

Kepergian Kiai Muchit adalah duka bagi bangsa ini. Bangsa ini kehilangan tokoh besar dan panutan yang kaya dengan keteladanan. Seorang kiai yang sangat berjasa dengan mempromosikan secara tidak langsung slogan “Menjadi NU, Menjadi Indonesia” ini. Di tengah-tengah koyakan NKRI dan Pancasila, NU hadir menjadi penguat dan juga pengokoh bagi Indonesia. Merobohkan Indonesia sama dengan menghancurkan NU. Nahdlatul Ulama, telah built in dalam diri dan kepribadian Kiai Muchit setara dengan Indonesia yang mendarah daging dalam tubuh beliau. NU dan Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari dan dalam kepribadian beliau yang hidup penuh sederhana.   

Selamat jalan orang tua, guru, kiai dan bapak bangsa kami. Kami hanya bisa berdoa. Semoga arwah kiai, diterima di sisi Allah Swt. Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’i ila raadliyatan mardliyatan. Fadkhuli fi ibaadi. Wadkhulii jannati. Semoga pula kami bisa meneruskan keteladanan-mu. Amien ya rabbal alamien**   *) Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Katib Syuriyah PCNU Jember, dan Penulis Buku “Kiai Nyentrik Menggugat Feminisme”.

Categories
Kolom Pengasuh

Kolam Renang “Syari’ah”?

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

Istilah ini muncul ketika saya berdiskusi ringan dengan pemilik Taman Botani, Bapak Kahar saat ngopi bersama siang hari di restoran Botani Sukorambi beberapa hari yang lalu. Pak Kahar yang luar biasa ini menyebutnya dengan Kolam Renang Muslimah. Serambi bercanda, beliau mengatakan pada saya: ”Bahkan setanpun tidak bisa masuk ke dalam kolam renang muslimah tersebut”, katanya penuh provokatif mengomentari kolam renang muslimah miliknya yang didesign dalam ruangan sangat tertutup. Hanya saja, menurut Pak Kahar, peminatnya masih belum banyak diminati. Salah satunya sebabnya, kata saya pada beliau, adalah mungkin karena kurangnya sosialisasi.

Padahal, apa yang ditawarkan Pak Kahar, dalam pandangan saya, merupakan hal yang luar biasa. Luar biasa karena itu adalah salah satu solusi. Setidaknya, bagi muslim dan muslimah yang ingin hidupnya sesuai dengan tuntunan syari’ah. Kolam renang syari’ah adalah solusi bagi muslim dan muslimah. Pertanyaan yang muncul: apakah kolam renang yang juga sering disebut dengan pemandian ini seperti terlihat dewasa ini dikatakan tidak sesuai dengan syari’ah ?  Tidak mudah menjawabnya, tapi mari kita membahas hukum mandi atau berenang di kolam renang seperti ini.

Kolam renang adalah produk masyarakat modern. Dalam hal ini, adalah produk orang-orang Barat. Karena itu, tidak mengherankan jika bangunan nilai dalam kolam renang syari’ah ini disesuaikan dengan nilai-nilai orang Barat: bebas, eksploitasi terhadap aurat, individualis, dan lain sebagainya. Pakaian renang dan bentuk kolam didesign seperti ini. Hal demikian ini menjadi kontras (bertolak belakang) ketika seorang muslim atau muslimah masuk ke dalam kolam renang jenis ini. Karena, bagi seorang muslim, hukum berenang dalam kolam renang sebagaimana tersebut adalah tidak diperkenankan alias haram.  

Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan keharaman berenang di tempat ini. Pertama, karena di kolam renang ini ada ikhtilat (percampuran) laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, padahal ikhtilath ini dilarang dalam agama. Demikian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Ketahuillah ! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah atau ada muhrimnya “. (HR. Muslim)  

Kedua, karena pada ghalibnya, orang yang berenang di kolam renang harus membuka auratnya. Membuka aurat ini, dalam sistem kolam renang seperti ini,  hukumnya seperti wajib. Padahal, dalam Islam, membuka aurat adalah dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:  “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian”. (HR. Muslim No. 2128).

Sebagian ulama memperbolehkan masuk dan mandi dalam kolam renang seperti ini. Hanya saja, ia harus menutup rapat matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan dan juga tidak membuka auratnya di depan publik.

Dalam kitab Fathul Alam Juz I Halaman 351 disebutkan: “Yubahu lirrajuli dukhulul hamami wa yajibu ala dakhilihi ghaddul bashari ‘amma la yahillu an-nadlaru ilahi wa shaunu auratihi ‘anil kasyfi bihadlratiman la yahillu an-nadlaru ilahi wa ‘adamu massihil aurata ghairahu liannahu haramun. Wayajibu ‘alaihi anyanhiya man irtakaba syaian min dzalika wain ‘ulima ‘adamumtitsaalihi. Wa yukrahu dukhuluhu linnisa’ ma’al muhaafadzati ‘ala satril’aurati fain lamyakun ma’al muhafadzati ‘ala dzalika, kana haraaman”. Artinya: “Bagi laki-laki diperbolehkan masuk dalam pemandian dan baginya wajib menutup mata dari hal yang diharamkan, memelihara auratnya di hadapan orang yang haram melihatnya dan tidak menyentuh auratnya orang lain karena hal yang demikian adalah haram. Selain itu, dia wajib mencegah orang lain untuk melakukan hal yang dilarang tersebut, meski orang lain tidak melakukannya. Sementara itu, hukum memasuki pemandian bagi perempuan adalah makruh jika ia dapat menutupi auratnya. Jika ia tidak dapat menutupi auratnya, maka hukumnya adalah haram”.

Walhasil, keharaman memasuki kolam renang bagi laki-laki dikaitkan dengan: melihat barang yang haram, membuka aurat dan menyentuh aurat orang lain. Sementara keharaman bagi bagi perempuan karena ia membuka auratnya di depan umum. Dan semua ini, pastinya tidak ditemukan dalam kolam renang syari’ah. Sebuah kolam renang yang tertutup rapat, seperti kata Pak Kahar, dan tidak dijumpai hal-hal yang diharamkan tersebut. Karena itu, seperti yang saya katakan di depan tadi, bahwa Kolam Renang Syari’ah adalah sebuah solusi !.

Wallahu’alam. **