Categories
Kolom Pengasuh

Menggagas “Global Islam Moderat”

Catatan Konferensi Internasional 29 – 30 Maret 2014

Oleh: Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

International Conference of Islamic Scholar (ICIS) kembali menghelat acara bertaraf internasional pada tanggal 29-30 Maret 2014. Tidak seperti biasanya, acara kali ini diselenggarakan di daerah terpencil Situbondo. Karena memang Konferensi Internasional dengan tema “ Konsolidasi Jaringan Ulama’ Internasional Meneguhkan Kembali Nilai-Nilai Islam Moderat” ini diselenggarakan oleh ICIS bekerja sama dengan Pesantren Sukorejo yang sedang melakukan hajatan 1 Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Adalah unik hajatan bertaraf internasional ini diletakkan sebuah tempat yang sepi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian ibu kota. Tempatnya juga jauh karena harus menggunakan transportasi darat kurang lebih 6 jam (Surabaya-Situbondo). Namun, demikian ini tidak mempengaruhi peserta dan nara sumber yang datang dari berbagai negara. Misalnya Syaikh Wahbah az-Zuhaili (Syria), Syeikh Abdul Karim Dibaghi (Aljazair), Syeikh Mahdi bin Ahmad as-Shumaidai (Mufti Irak), Ammer Syaker Aljanabi (Qatar), Sadek bin Sadek (Duta Besar Libia), Bassam al-Khatib (Duta Besar Syiria), dan lain sebagainya.

Situbondo memang unik sehingga menjadi magnet berbagai peristiwa penting di negeri ini. Kita masih ingat, dulu pada tahun 1984, Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo adalah tempat para peserta muktamar NU memutuskan untuk menerima asas tunggal Pancasila. Pada Muktamar yang bersejarah itu, juga diputuskan bagaimana Khittah NU dijadikan landasan pemikiran dan sikap warga NU. Dalam rumusan Khittah NU tersebut, dinyatakan: NU tidak terikat dengan partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan yang lain. Pada tahun 2003, pesantren ini juga menjadi tuan rumah gawe besar “Muktamar Pemikiran NU”. Tokoh-tokoh intelektual NU, baik yang tua dan muda –misalnya KH. Masdar Farid Mas’udi, Prof. Dr. Nur Khalis Majid, MA, Prof. Dr. Mahasin, MA, Ulil Abshar Abdalla, Abd. Moqsith Ghazali, Ahmad Suaedy, Sumanto al-Qurtubi, dan lain sebagainya  hadir di acara cukup bergengsi tersebut.

Kalau kemarin ini, Situbondo menjadi tuan rumah acara akbar Konferensi Internasional ICIS, maka bukan hal yang aneh. Karena Situbondo dipandang sebagai persemaian bumi gerakan dan pemikiran Islam moderat perspektif ahlussunah wal Jama’ah. Yang jelas, Situbondo menjadi wadah persemaian atas semua hal tersebut.

Gagasan Islam Moderat (Al-Wasathiyah)

Al-Wasathiyah atau juga dikenal sebagai Islam Moderat adalah bentuk keberislaman yang tidak tatharuf dan tidak ghuluw. Islam moderat adalah Islam yang tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Sebaliknya, Islam moderat adalah Islam yang tengah dan i’tidal (lurus). Islam moderat adalah kebenaran (al-haq) di antara dua jalan kebatilan. Islam moderat adalah Islam yang tidak memudahkan mengkafirkan orang yang tidak kafir. Karena, Rasulullah Saw bersabda:  “Barang siapa menuduh orang Islam itu kafir atau termasuk musuh Allah Swt sementara tidak sesuai dengan kenyataan, maka sesungguhnya demikian itu akan kembali pada dirinya”. (An-Nawawi: Riyadus Shalihin, tt).   

Secara teologis, Islam moderat didukung oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Allah Swt berfirman: “Wa kadzalika ja’alnakum umatan wasathan litakunu syuhada ‘alan nasi wa yakunu rasuulu ‘alaikum syahida”.  Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143).

Dalam konteks hidup secara samhah (lapang dada) sebagai bagian dari sikap al-Washathiyah, Rasulullah juga bersabda: “Allah merahmati hamba yang lapang dada ketika menjual, ketika membeli, ketika membayar hutang”.(HR. Bukhori dan Ibnu Majah).   

Salah satu argument mengapa Islam bisa dan mudah diterima siapapun dan sepanjang zaman apapun, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Dr. Wahbah az-Zuhaily, adalah karena ciri dan sifat Islam yang moderat dalam segala aspeknya. Karena itu, Islam moderat adalah solusi di tengah berbagai problematika yang dihadapi oleh umat Islam sekarang ini dan masa yang akan datang.  

Global Islam Moderat: Solusi Dunia Islam

Gagasan Wasatiyah atau Islam moderat harus mendunia. Saya lebih senang menyebut istilah “Global Islam Moderat”. Yakni, upaya untuk menduniakan Islam moderat di se-antero dunia tanpa kecuali. Global Islam Moderat adalah sejenis dengan “Global Ethic”-nya Hans Kung, hanya beda pada aksentuasi gerakan. Global Ethicnya Hans Kung adalah penyelesaian berbagai masalah kemanusia dunia melalui etika global yang digali dari berbagai agama, maka Global Islam Moderat adalah kumandang etika Islam moderat sebagai solusi berbagai masalah dunia.       

Hemat saya, global Islam moderat merupakan panacea atas berbagai persoalan umat Islam yang terjadi dewasa ini. Setidaknya, ada satu persoalan mendasar umat Islam dewasa ini, yaitu: tidak adanya sikap moderasi, yang ada adalah sikap yang ekstrem (thatarruf) dan berlebihan (al-ghuluw). Thatharruf ini selanjutnya membawa akibat kekerasan demi kekerasan yang tiada henti.

Kekerasan inilah yang terjadi di dunia Islam sekarang. Negara-negara Timur Tengah seperti Tunisia, Lybia, dan Mesir tengah dihadapkan pada transisi demokrasi yang tidak berjalan mulus dan malah penuh kekerasan. Di Irak, gesekan politik antar kelompok Sunni dan Syi’ah juga masih terjadi hingga sekarang. Di Syria, konflik politik dan perang saudara sesama muslim juga terjadi. Di Asia, Muslim Rohingnya juga dibantai kelompok Radikal Hindu. Di Mindanau Philipina, muslim di sana juga masih belum mendapatkan keadilan.

Kekerasan ini juga terjadi di level internal umat Islam di dunia. Munculnya berbagai aliran Islam yang radikal dan eklusif merupakan tantangan sendiri yang harus diselesaikan. Mereka ini pada umumnya merasa sebagai kelompok Islam yang paling benar sendiri dan kelompok yang lain adalah salah. Tidak hanya itu, mereka juga membid’ahkan, menyesatkan dan bahkan mengkafirkan kelompok yang berbeda pemahamannya dengan mereka.    

Walhasil, Global Islam Moderat merupakan solusi atas berbagai permasalahan umat Islam dunia sekarang ini. Global Islam Moderat harus beranjak maju dengan kerja-kerja kongkrit ke depan. Gobal Islam Moderat untuk turut serta menguatkan peradaban dunia yang berbasis nilai-nilai agama dan kemanusiaan universal.  Wallahu’alam. **

Categories
Kolom Pengasuh

Sejarah ‘Hitam’ Kaum Wahabi

Oleh: M. Noor Harisudin (Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember & Katib Syuriyah PCNU Jember)

Kamis, 23/06/2011 11:49

Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma’ had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul  Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.

Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.    

Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)

Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt. 

Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.

Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau’idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.

Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.

Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam. 

Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.  

Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi  Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.   Wallahualam. **           

*Wakil Sekretaris PCNU Jember, Wakil Sekretaris Yayasan Pendidikan Nahdaltul Ulama Jember, PW Lajnah Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila Group.