Categories
Kolom Pengasuh

Ironi “Pesta-Pora” Dalam Puasa

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Setiap kali memasuki sepuluh hari kedua puasa, kita dipertontonkan dengan ironi pesta-pora puasa. Puasa yang semestinya untuk mengendalikan, justru malah meningkatkan libido nafsu konsumerisme. Lihatlah dengan seksama, pesta pora yang mewujud dalam jubel ramainya orang melakukan buka bersama di rumah makan dan restoran. Mall dan pusat perbelanjaan yang menjadi jujugan banyak umat Islam dalam menghabiskan milyaran bahkan triliunan rupiah. Antrian panjang berbagai makanan menjelang buka puasa menjadi pemandangan yang tidak luput dari pengamatan keseharian kita.   

Puasa yang sejatinya menjadi media untuk mengendalikan nafsu, tiba-tiba menjadi pembiakan nafsu sehingga alih-alih terkendali, justru nafsu malah menjadi liar tak terkendali. Puasa yang semestinya berjalan dalam suasana hening menjadi hiruk pikuk konsumerisme manusia. Ritus konsumerisme ini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari puasa. Ada tontonan kemewahan, kesenangan, kepuasan diri, gengsi dan citra diri dalam ritus konsumerisme. Apalagi, demikian ini juga terkait dengan kesuksesan manusia mencapai “pangkat, jabatan dan kedudukan terhormat”, ketika pulang kampung dengan membawa oleh-oleh hasil olah konsumerisme yang sangat melimpah-ruah tersebut.

Konsumerisme sebagai gaya hidup yang boros ini secara faktualditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka. Lihatlah, takaran makan orang yang tiba-tiba dua kali lipat atau bisa jadi lebih daripada hari biasa di malam hari Ramadlan. Pada ghalibnya, sikap ini merupakan aksi “balas dendam” terhadap penderitaan puasa di siang hari dengan keadaan berlapar-lapar yang sangat.    

Mengabaikan Subtansi Puasa  

Banyak sekali orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Demikian bunyi hadits Nabi Saw. yang sering diceramahkan para kiai, ustdaz, dan ustadzah di bulan Ramadlan. Namun sayangnya, hadits ini malah dipakai sebagai justifikasi bahwa realitas masyarakat yang berpuasa dengan gaya hidup konsumerisme ini sebagai sunnatullah yang wajar-wajar saja. Artinya, perilaku ini dianggap bukan suatu masalah yang serius untuk dicarikan solusinya. Padahal, hadits ini sesungguhnya berbicara tentang banyak orang berpuasa, namun sesungguhnya ia meninggalkan subtansi puasa.

Subtansi puasa, adalah pengendalian diri. Me-refer pada Yusuf Qardlawi (1991 M), subtansi puasa adalah penghancuran nafsu syahwat manusia (kasru syahawt an-nas). Yusuf Qardlawi juga menyebut subtansi puasa yang lain, yaitu mengubah  “nafsu amarah” menjadi “nafsu mutmainnah”. Ulama salaf menyebut subtansi puasa sebagai pensucian terhadap jiwa dan anggota tubuh manusia dari melakukan berbagai kemaksiatan serta  dosa.

Ulama salaf lebih memilih berkonsentrasi pada subtansi puasa. Mereka berlomba untuk melakukan puasa yang tidak hanya sekedar tidak makan, minum dan bersenggama. Mereka melakukan ritual “puasa tarekat” dengan meninggalkan berbagai kesenangan duniawi. Orang-orang saleh ini melakukan puasa tarekat dengan menutup anggota tubuh dari berbuat dosa. Mulut, telinga, hidung, pikiran, hati dan semua anggota tubuhnya disucikan dari melakukan berbuat maksiat pada Allah Swt. Sebaliknya, semua anggota tubuhnya didedikasikan pada Allah Swt. sehingga tidak cukup waktu untuk memikirkan konsumerisme.

Kritik Imam Ghazali (t.t) dalam kitab Bidayah untuk tidak memperbanyak konsumsi makan di malam hari harus dilihat sebagai upaya untuk konsentrasi pada subtansi dalam puasa. Bagaimana mungkin, kita makan malam hari puasa dengan takaran yang sama dengan hari tidak puasa atau bahkan bisa lebih. Demikian al-Ghazali mengkritik jamaknya umat Islam yang berpuasa hanya sekedar balas dendam atas siang hari puasa. Jika kritik Ghazali ditarik pada spektrum yang lebih luas, maka muncul gugatan: bagaimana mungkin konsumerisme bisa sangat berlipat-lipat justru di bulan puasa yang mestinya gaya hidup  konsumerisme dilipat di sudut pojok kehidupan? Tapi, mengapa justru konsumerisme menguat dan subtansi puasa hilang dalam peredaran kehidupan umat.            

Menuju Nilai Kesederhanaan         

Nabi Saw. sendiri mencontohkan dengan sempurna kesederhanaan, baik di bulan puasa ataupun luar bulan puasa. Lihatlah kehidupan Rasulullah Saw. ketika berbuka puasa hanya dengan seteguk air putih dan beberapa buah kurma. Dalam beberapa riwayat, juga diceritakan seringkali Nabi Saw. berbuka puasa dengan tidak ada makanan yang cukup. Nabi Saw. juga acapkali puasa sunah ketika Aisyah mengatakan bahwa tidak ada persediaan makanan pada hari itu. Ini semua menunjukkan betapa sederhananya cara Nabi Saw. berpuasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Saw. juga sangat sederhana. Beliau berpakaian sangat sederhana. Tidak ada kemewahan fashion ala Rasulullah Saw. Demikian juga dengan rumah Nabi Saw. Apalagi, tempat tidur beliau yang sangat jauh dari kemewahan alias sangat sederhana. Ketika seorang perempuan Anshor masuk ke kamar Nabi Saw. bersama Siti Aisyah, betapa kagetnya tempat tidur seorang pemimpin agung Islam tersebut. Air matanya bercucuran melihat tempat tidur Nabi Saw. seraya meminta ijin pada Aisyah untuk mengambil selimutnya yang baru dan mewah untuk diberikan pada baginda Rasul. Namun, anehnya baginda Rasulullah memilih menolak pemberian wanita Ansor ini karena beliau memang ingin hidup sederhana.

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Saw. ingin mempertontonkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupan. Kesederhanaan yang bahkan beliau sebut sama dengan kemiskinan. Nabi Saw. seringkali berdoa lirih untuk selamanya menjadi orang miskin. ” Allahuma ahyina miskinan. Wa amitna miskinan. Wahsyurna fi zumratil masakin. Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Matikan aku dalam keadaan miskian. Dan kumpulkan kami bersama orang-orang miskin”. Betapa sangat sederhana atau miskinnya beliau, sang pemimpin agung kita. Adakah pemimpin-pemimpin kita yang berani berdoa demikian ?

Inilah yang semestinya kita tuju sebagai umat Muhammad dalam berpuasa. Yaitu dengan menerapkan nilai-nilai kesederhanaan yang kini nyaris hilang dalam gemerlap kemewahan hotel berbintang, mobil mewah, dan hiruk pikuk kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan kita dengan Tuhan.  

Wallahu’alam. **       

Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah NU Jember

Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember.

Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember

Alamat:  Ponpes Darul Hikam

Perum Pesona Surya Milenia C.7 No. 6 Mangli Kaliwates Jember Jawa Timur.

Telp: 082331575640. 081249995403. Email: mnharisudinstainjember@gmail.com

Norek. 0243453809 BCA KCU Jember atas nama M. Noor Harisudin.

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Menggagas Fikih Nusantara

Oleh: Dr. M.N. Harisudin M. Fil. I

Dosen Pascasarjana IAIN Jember

Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

17 mei

Secara derivatif, terma Fikih Nusantara yang saya ajukan adalah bagian dari gagasan besar Islam Nusantara. Islam Nusantara, meski baru digemakan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur, namun secara subtansi sesungguhnya sudah didiskusikan sejak lama. Bahkan, sebagai praksis umat, Islam Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama juga menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam di Indonesia ratusan tahun yang silam. Islam Nusantara telah menjadi casing umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat. Islam Nusantara ini pula yang menjadi magnet bagi umat Islam di seluruh dunia.

Saya ingin mengajak pembaca pada dunia yang lebih kecil dalam Islam Nusantara, dengan apa yang saya sebut sebagai “Fikih Nusantara”. Fikih Nusantara adalah fikih yang dipraktekkan di nusantara, sesuai dengan keadaan realitas nusantara. Adalah Prof Hasbi as-Shidiqi, Guru Besar Hukum Islam IAIN Yogyakarta (sekarang bernama UIN Yogyakarta) yang menyebut pertama kali dengan Fikih Indonesia. Gagasan Hasbi as-Shidiqi dilatari oleh kejumudan fiqh di tahun 1940 yang dirasa tidak bisa memberikan solusi-solusi atas berbagai problematika umat. Meski tidak direspon dengan baik, namun gagasan Hasbi inilah yang dicatat sejarah sebagai tonggak permulaan tentang fikih Nusantara.

Gagasan Hasbi sendiri, dari aspek content, hemat saya, sebetulnya, tidak luar biasa karena pembaruan fiqh Indonesia yang ia tawarkan, sejatinya hanya dalam ruang lingkup mu’amalah. Hasbi tidak berani secara progresif melakukan pembaruan terhadap bidang “ibadah mahdlah” seperti haji, sholat, besaran zakat, puasa dan sebagainya. Pada tahun 1961, Hasbi kembali mengungkapkan gagasan tentang Fikih Indonesia dan  baru mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Tentu, yang luar biasa adalah keberanian Hasbi menyodorkan gagasan Fiqh Indonesia yang dipandang tabu saat itu.  

Pada etape selanjutnya, pengaruh pikiran Hasbi sungguh luar biasa. Hukum Islam yang sudah lama “dipinggirkan” mulai untuk ditempatkan ditempat yang terhormat. Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam berada menjadi bagian dari hukum adat, namun setelah ada pikiran Hasbi dan lalu diteruskan oleh pembaharu selanjutnya, Hazairin, menjadikan hukum Islam menjadi elemen yang mandiri dalam hukum nasional. Hukum nasional menjadi terpola dengan tiga elemen penting: hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Pada masa orde reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menajdi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (1991), UU tentang zakat (1999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari’ah (2008) dan lain sebagainya.

Saya ingin menggaris bawahi bahwa Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanapun juga, gagasan Hasbi as-Shidiqi telah menjadi batu bata pertama fikih Nusantara di negeri ini. Hasbi memang membayangkan Fiqh Nusantara seperti Fikih Hijazi, Fikih Hindi dan Fikih Mishri. Dan kini, tejadi percepatan luar biasa atas fikih Nusantara di negeri ini. Fikih Nusantara  setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus: living laws (hukum yang hidup) dan positif laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah fikih Nusantara.

Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara itu, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.  

Fikih Nusantara ini secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan karena ditopang minimal oleh tiga dalil utama, yaitu istihsanmaslahah mursalah dan ‘urf. Jika istihsan adalah menganggap baik apa yang dianggap baik oleh mayoritas muslim, dan maslahah mursalah merupakan maslahah yang tidak diperintah maupun dilarang langsung oleh syara’, namun mengandung dimensi kemanfaatan yang nyata dan bersifat luas, sementara ‘urf adalah tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat luas. Ketiga dalil ini, memperkokoh basis epistemologis Fikih Nusantara, menjadi fiqh yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Dari aspek produk, ulama Nusantara juga telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi “ukuran aurat” dengan tidak menggunakan hijab ‘ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy’ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri alm. KH. Abdurrahman Wajid, Presiden RI yang keempat.

Produk lain Fikih Nusantara yang bahkan telah ditetapkan sebagai qanun dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harta gono-gini. Harta gono -gini merupakan harta bersama suami-istri setelah menikah. Dalam KHI disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta, maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono-gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan Fikih Konvensional yang ada dan dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama Timur Tengah.

 Walhasil, Fikih Nusantara adalah fiqh yang telah built-in dan mengakar dalam kehidupan Muslim nusantara. Fikih ini akan terus tanpa henti melakukan “perubahan” sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana kaidah Fikih: Taghayyurul  ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada  selain “ibadah mahdlah”. Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini, sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.     

Wallahu’alam. **                  

Categories
Kolom Pengasuh

Selamat Jalan, Kiai Nyentrik Yang Inklusif

Oleh: M. Noor Harisudin

Kabar duka menyelimuti warga Nahdlatul Ulama khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. KH. Abd. Muchit Muzadi, seorang “kamus berjalan”, “laboratorium” atau bahkan “begawan” Nahdlatul Ulama meninggal dunia, pagi Ahad, 6 September 2015 di Malang. Meski meninggal di Malang, seperti wasiatnya ke keluarga, beliau ingin dimakamkan di Jember, bersebelahan dengan istri beliau, almarhumah Hj. Faridah, di pemakaman umum Jember. Kiai yang meninggal di usia hampir 90 tahun ini telah banyak memberikan andil baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta. Kiai Muchit sendiri termasuk santri terakhir Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan Nahdlatul Ulama.

Dalam tulisannya di Majalah Tempo, pada 5 April 1980, dulu Gus Dur pernah menggambarkan sosok unik kiai Muchit ini dengan sangat menarik. “Orangnya peramah, tapi lucu. Raut wajahnya sepenuhnya membayangkan ke-kiai-an yang sudah mengalami akulturasi dengan “dunia luar”. Pandangan matanya penuh selidik, tetapi kewaspadaan itu dilembutkan oleh senyum yang khas. Gaya hidupnya juga begitu. Walaupun sudah tinggal di kompleks universitas negeri, masih bernafaskan moralitas keagamaan…”. Gus Dur menyebut Kiai Muchit dengan Kiai Nyentrik karena beliau berani menyuarakan kebenaran, meskipun harus dicaci maki oleh kaumnya sendiri. Gus Dur juga menyebutnya ulama-intelektual karena selain alim agama, juga karena Kiai Muchit mengajar di beberapa perguruan tinggi umum.      

Kiai Muchit memang tidak pernah tampil di muka. Kiai Muchit selalu menjadi tokoh di balik layar berbagai peristiwa penting. Misalnya ketika Nahdaltul Ulama memutuskan untuk kembali ke Khittah 1984, beliau adalah aktor yang sangat berperan menyusun rumusan naskah Khittah NU. Tanpa urun-rembug naskah tersebut, dapat dibayangkan betapa sulitnya memberikan pemahaman pada muktamirin di Situbondo tersebut. Demikian juga dengan rumusan penerimaan Pancasila, beliau juga ikut terlibat aktif di Muktamar NU 1984 yang berujung pada terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Ahmad Shidiq sebagai Ketua Tanfidziyah dan Rois ‘Am Syuriyah PBNU masa bakti 1984-1989.

“Kiai”-nya Anak Muda           

Kiai Muchit termasuk tokoh idola anak muda NU. Ketika arus pembaruan terjadi besar-besaran di tahun 80-an, bersama Gus Dur Kiai Muchit adalah kiai yang ada di garda terdepan membela pikiran anak-anak muda NU. Pikiran liar dan nakal anak-anak muda NU seperti tercermin dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LKiS Yogyakarta, eLSAD Surabaya dan PP Lakpesdam NU di Jakarta ‘tetap diakomodasi’ oleh Kiai Muchit, meski kerapkali pikiran liberal anak-anak muda ini telah “memerahkan” telinga banyak para kiai NU. Kiai Muchit harus vis a vismenjelaskan pada para kiai bahwa anak-anak muda ini kelak juga akan “kembali baik” lagi.

Kiai Muchit juga menunjukkan perhatian yang lebih terhadap anak muda di atas rata-rata umumnya kiai. Tak heran jika di usia yang sudah 70-an lebih, beliau masih bersemangat memberi “arahan” dengan berbagai pelatihan, halaqah, workshop, sekolah atau apalah namanya terhadap anak-anak muda NU. Seperti tidak kenal lelah, kalau yang mengundang anak-anak muda NU, Kiai Muchit siap hadir kapan saja dan dimana saja. Di level paling rendah pun tingkat desa, Kiai Muchit selalu menyatakan siap hadir menemani anak-anak muda itu. Sekalipun hanya duduk sebentar, Kiai Muchit selalu menyempatkan untuk hadir sebagai bentuk support terhadap berbagai aktivitas anak muda ini.

Menjadi sebuah kewajaran jika kemudian, diantara tokoh yang sering disebut-sebut namanya oleh anak muda NU, adalah Kiai Muchit. Di berbagai pertemuan, nama Kiai Muchit masih sering menjadi main of reference anak muda. Anak-anak muda NU yang kadang hanya ingin bersilaturrahim juga sangat mudah bertemu beliau di kediamannya di Jember ataupun Malang menerima wejangan-wejangannya yang teduh dan menyejukkan. Tidak salah, jika darah anak muda terkena energi positif Kiai Muchit. Kendati sering diidolakan anak muda, Kiai Muchit juga dikenal mudah diterima oleh semua kalangan: bapak-bapak, ibu-ibu muslimat, dan sebagainya karena komunikasi Kiai Muchit yang mengalir dan mengucur deras sesuai dengan alam pikir mereka.  

“Melampaui” NU-Muhammadiyah

Lebih dari itu, Kiai Muchit adalah tokoh NU yang bisa diterima oleh kalangan apapun, termasuk Muhammadiyah. Demikian ini karena beliau memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang Muhammadiyah yang menyebabkan pemikiran beliau cenderung bersikap inklusif dan juga toleran. Dalam sebuah acara seminar dengan Prof. Amin Rais, MA di Surabaya, Kiai Muchit sembari gurau pernah berkelakar sedikit menantang Mantan Ketua MPR RI tersebut: “Pak Amien. Ayo, lebih banyak mana buku tentang Muhammadiyah yang saya miliki dengan buku tentang Nahdlatul Ulama yang bapak miliki”.  

Memang, sepengetahuan penulis, kiai NU yang memiliki banyak buku Muhammadiyah adalah Kiai Muchit. Hampir semua buku tentang Muhammadiyah, beliau punya dan beliau baca. Buku-buku yang lain seperti Persis, al-Irsyad, Perti dan sebagainya juga beliau baca. Bahkan, ketika ada seorang kiai memprotes beliau karena buku Syiah yang dibacanya, dengan mudahnya beliau menjawab: “Bahkan komik Jepang pun saya baca. Anda tahu kan, kalau orang Jepang beragama Shinto yang menyembah matahari”. Walhasil, hampir semua buku, beliau baca karena bagi beliau, dengan membaca, kita akan terbuka cakrawala berpikir, serta menjadi luas, luwes dan juga memiliki kepribadian yang inklusif.      

Jauh sebelum KH. Ahmad Shidiq (Rais ‘Am PBNU 1984-1991) mengusulkan Trilogi Ukhuwah: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah, Kiai Muchit sudah melaksanakan ‘ukhuwah Islamiyah’ itu sendiri. Tak pernah sedikit pun, Kiai Muchit secara ofensif menyerang paham keagamaan yang kebetulan berbeda aliran dengan Kiai Muchit. Bahkan, khusus tentang Muhammadiyah, Kiai Muchit lebih sangat hati-hati karena beliau juga tidak mau “menyakiti” perasaan istri beliau yang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Meskipun pada akhirnya, Ibu Hj. Faridah Muchit sendiri memilih menjadi bagian keluarga besar Nahdlatul Ulama dan bahkan pernah menjadi Pengurus Cabang Muslimat NU Jember.              

Kepergian Kiai Muchit adalah duka bagi bangsa ini. Bangsa ini kehilangan tokoh besar dan panutan yang kaya dengan keteladanan. Seorang kiai yang sangat berjasa dengan mempromosikan secara tidak langsung slogan “Menjadi NU, Menjadi Indonesia” ini. Di tengah-tengah koyakan NKRI dan Pancasila, NU hadir menjadi penguat dan juga pengokoh bagi Indonesia. Merobohkan Indonesia sama dengan menghancurkan NU. Nahdlatul Ulama, telah built in dalam diri dan kepribadian Kiai Muchit setara dengan Indonesia yang mendarah daging dalam tubuh beliau. NU dan Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari dan dalam kepribadian beliau yang hidup penuh sederhana.   

Selamat jalan orang tua, guru, kiai dan bapak bangsa kami. Kami hanya bisa berdoa. Semoga arwah kiai, diterima di sisi Allah Swt. Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’i ila raadliyatan mardliyatan. Fadkhuli fi ibaadi. Wadkhulii jannati. Semoga pula kami bisa meneruskan keteladanan-mu. Amien ya rabbal alamien**   *) Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Katib Syuriyah PCNU Jember, dan Penulis Buku “Kiai Nyentrik Menggugat Feminisme”.

Categories
Kolom Pengasuh

Kolam Renang “Syari’ah”?

Oleh: M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

Istilah ini muncul ketika saya berdiskusi ringan dengan pemilik Taman Botani, Bapak Kahar saat ngopi bersama siang hari di restoran Botani Sukorambi beberapa hari yang lalu. Pak Kahar yang luar biasa ini menyebutnya dengan Kolam Renang Muslimah. Serambi bercanda, beliau mengatakan pada saya: ”Bahkan setanpun tidak bisa masuk ke dalam kolam renang muslimah tersebut”, katanya penuh provokatif mengomentari kolam renang muslimah miliknya yang didesign dalam ruangan sangat tertutup. Hanya saja, menurut Pak Kahar, peminatnya masih belum banyak diminati. Salah satunya sebabnya, kata saya pada beliau, adalah mungkin karena kurangnya sosialisasi.

Padahal, apa yang ditawarkan Pak Kahar, dalam pandangan saya, merupakan hal yang luar biasa. Luar biasa karena itu adalah salah satu solusi. Setidaknya, bagi muslim dan muslimah yang ingin hidupnya sesuai dengan tuntunan syari’ah. Kolam renang syari’ah adalah solusi bagi muslim dan muslimah. Pertanyaan yang muncul: apakah kolam renang yang juga sering disebut dengan pemandian ini seperti terlihat dewasa ini dikatakan tidak sesuai dengan syari’ah ?  Tidak mudah menjawabnya, tapi mari kita membahas hukum mandi atau berenang di kolam renang seperti ini.

Kolam renang adalah produk masyarakat modern. Dalam hal ini, adalah produk orang-orang Barat. Karena itu, tidak mengherankan jika bangunan nilai dalam kolam renang syari’ah ini disesuaikan dengan nilai-nilai orang Barat: bebas, eksploitasi terhadap aurat, individualis, dan lain sebagainya. Pakaian renang dan bentuk kolam didesign seperti ini. Hal demikian ini menjadi kontras (bertolak belakang) ketika seorang muslim atau muslimah masuk ke dalam kolam renang jenis ini. Karena, bagi seorang muslim, hukum berenang dalam kolam renang sebagaimana tersebut adalah tidak diperkenankan alias haram.  

Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan keharaman berenang di tempat ini. Pertama, karena di kolam renang ini ada ikhtilat (percampuran) laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, padahal ikhtilath ini dilarang dalam agama. Demikian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Ketahuillah ! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah atau ada muhrimnya “. (HR. Muslim)  

Kedua, karena pada ghalibnya, orang yang berenang di kolam renang harus membuka auratnya. Membuka aurat ini, dalam sistem kolam renang seperti ini,  hukumnya seperti wajib. Padahal, dalam Islam, membuka aurat adalah dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:  “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian”. (HR. Muslim No. 2128).

Sebagian ulama memperbolehkan masuk dan mandi dalam kolam renang seperti ini. Hanya saja, ia harus menutup rapat matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan dan juga tidak membuka auratnya di depan publik.

Dalam kitab Fathul Alam Juz I Halaman 351 disebutkan: “Yubahu lirrajuli dukhulul hamami wa yajibu ala dakhilihi ghaddul bashari ‘amma la yahillu an-nadlaru ilahi wa shaunu auratihi ‘anil kasyfi bihadlratiman la yahillu an-nadlaru ilahi wa ‘adamu massihil aurata ghairahu liannahu haramun. Wayajibu ‘alaihi anyanhiya man irtakaba syaian min dzalika wain ‘ulima ‘adamumtitsaalihi. Wa yukrahu dukhuluhu linnisa’ ma’al muhaafadzati ‘ala satril’aurati fain lamyakun ma’al muhafadzati ‘ala dzalika, kana haraaman”. Artinya: “Bagi laki-laki diperbolehkan masuk dalam pemandian dan baginya wajib menutup mata dari hal yang diharamkan, memelihara auratnya di hadapan orang yang haram melihatnya dan tidak menyentuh auratnya orang lain karena hal yang demikian adalah haram. Selain itu, dia wajib mencegah orang lain untuk melakukan hal yang dilarang tersebut, meski orang lain tidak melakukannya. Sementara itu, hukum memasuki pemandian bagi perempuan adalah makruh jika ia dapat menutupi auratnya. Jika ia tidak dapat menutupi auratnya, maka hukumnya adalah haram”.

Walhasil, keharaman memasuki kolam renang bagi laki-laki dikaitkan dengan: melihat barang yang haram, membuka aurat dan menyentuh aurat orang lain. Sementara keharaman bagi bagi perempuan karena ia membuka auratnya di depan umum. Dan semua ini, pastinya tidak ditemukan dalam kolam renang syari’ah. Sebuah kolam renang yang tertutup rapat, seperti kata Pak Kahar, dan tidak dijumpai hal-hal yang diharamkan tersebut. Karena itu, seperti yang saya katakan di depan tadi, bahwa Kolam Renang Syari’ah adalah sebuah solusi !.

Wallahu’alam. **   

Categories
Kolom Pengasuh

Rasulullah Saw: “Pemimpin itu Menderita”

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Katib Syuriyah Pengurus Cabang NU Jember

Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Hari Rabu, tanggal 9 Juli 2014 merupakan hari yang sangat bersejarah. Pemilu Presiden 2014. Pada hari ini, kita memilih pemimpin untuk bangsa dan negara ini. Karena itu, pilihlah pemimpin yang siap menderita. Jangan memilih pemimpin yang siap sejahtera. Jangan memilih pemimpin yang suka berpesta pora. Jangan memilih pemimpin yang berlumurkan kemewahan. Jangan memilih pemimpin yang menilai ukuran sukses hanya dengan gelimang materi.   

Rasulullah Saw. sebagai pemimpin agung memberikan contoh pada kita. Laqad kana lakum fi rasulillah uswatun hasanah. (Qs. Al-Ahzab: 21). Rasulullah Saw. adalah teladan agung bagi kita karena itu dalam pribadi Rasulullah terdapat uswatun hasanah (keteladanan yang baik). Salah satu teladan yang baik beliau adalah kepemimpinan yang menderita.

Sebagai seorang pemimpinan, Rasulullah tidak hidup dalam gelimang materi. Tidak memiliki kendaraan, hanya berumahkan sederhana. Bahkan, hanya untuk sekedar makan sehari-hari, Rasulullah sangat kekurangan. Diriwayatkan bahwa suatu waktu, Fatimah memberi sekerat roti gandum pada Rasulullah. Setelah memakannya, Rasulullah Saw bersabda: “Ini adalah makanan pertama yang dimakan ayahmu sejak tiga hari yang lalu”. Hadits ini menunjukkan bahwa tiga hari sebelumnya Rasulullah Saw. tidak pernah makan dan tentunya beliau sangat kelaparan. (HR. Ahmad)

Dalam hadits yang lain diriwayatkan: “Rasulullah Saw. tidak pernah kenyang perutnya selama tiga hari berturut-turut, seandainya Rasulullah Saw berkenan, tentu kami akan memberi keperluan makan sehari-hari. Tetapi Rasulullah Saw tidak mau. Beliau lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya”. (HR. Baihaqi).

Kesederhanaan, keprihatinan dan tentunya penderitaan. Itulah Rasulullah Saw sang pemimpin agung kita. Dalam hadits yang lain, diriwayatkan kesederhanaan hidup beliau yang tidur beralaskan tikar di atas tanah dan berbantalkan serabut kelapa yang kasar. Kalau bangun tidur, terlihat dengan jelas bekas-bekas guratan tikar yang menempel dalam tubuh beliau. Ini berbeda dengan kebanyakan “pemimpin” kita yang lebih senang tidur diatas spring bed yang empuk dan mewah di hotel berbintang. 

Ketika suatu saat, seorang wanita Anshar mendatangi rumah Rasulullah Saw dan lalu ditemui Siti Aisyah RA. Wanita Anshar inipun minta diajak masuk ke kamar tidur Rasulullah Saw. Betapa kagetnya dia, melihat kamar Rasulullah, sang pemimpin agung hanya beralaskan tikar, berbantalkan serabut kepala, dan selimut apa adanya. Betapa trenyuh dan menangis hati wanita Anshar. Iapun bergegas ke rumahnya bermaksud memberikan perlengkapan tidur yang layak pada Rasulullah Saw.    

Wanita Anshor ini lalu kembali ke rumah Rasulullah Saw. dan ditemui Aisyah lagi. Ia membawa selimut yang bagus, bantal yang mewah, alas tidur yang lebih layak dan lain-lain yang bisa membuat nyaman dan nikmat tidur Rasulullah Saw. Ia tidak ingin, pemimpin agungnya hidup dalam penderitaan yang sangat. Ia ingin merombak kamar tidur Rasulullah Saw agar lebih layak dan patut untuk kekasih Allah Swt.

Ketika Rasulullah datang, betapa kagetnya beliau. Beliau melihat banyak yang berubah dari kamar tidurnya. Lebih rapi, lebih tertata dan lebih mewah tentunya. Beliau lalu bertanya kepada Aisyah: “Wahai Aisyah, siapa yang merubah kamar ini?. Aisyah menjawab: “Seorang perempuan Anshor kesini, masuk ke kamar Rasulullah Saw dan lalu membawa barang-barang ini”. Rasulullah Saw bersabda: “Kembalikan barang ini”. Aisyah beragumen bahwa barang-barang ini diberikan karena kasihan pada Rasulullah. Karena Aisyah tidak bergeming sampai tiga kali, akhirnya dengan marah Rasulullah Saw bersabda: “ Wahai Aisyah, seandainya saya mau, saya akan diberi satu gunung emas oleh Allah Swt.  Tapi saya tidak mau. Jadi, kembalikan barang itu padanya”. Akhirnya Aisyah pun mengembalikan barang tersebut.    

Apa yang bisa kami ambil hikmahnya dari hadits tersebut? Bahwa Rasulullah Saw sebagai pemimpin dalam hidupnya justru berlumurkan penderitaan. Tidak ada kecukupan. Tidak ada kemewahan. Tidak ada kekuasaan. Inilah yang ditiru para pemimpin kita di masa dulu.

Sebagai misalnya, Jenderal Sudirman panglima besar yang legendaris itu pernah mengatakan:” Jangan biarkan rakyat yang menderita. Cukuplah kita (para pemimpin) yang menderita”. H. Agus Salim, tokoh pejuang kemerdekaan yang bisa sembilan bahasa asing dan disegani dunia itu hingga akhir hayatnya tidak punya rumah. Tan Malaka, pejuang kemerdekaan itu harus rela hidup dari penjara ke penjara. Presiden Sukarno dan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari harus rela juga dipenjara kala melawan orang-orang Belanda dan juga Jepang. Wakil Presiden RI pertama, Moh. Hatta, harus mengumpulkan gaji hanya untuk sekedar membeli sepatu. Karena bagi mereka, pemimpin itu harus menderita.

Wallahu’alam. **

Categories
Kolom Pengasuh

Rekonsiliasi Pasca Idul Fitri 

Oleh: M. Noor Harisudin

Betapapun Pilpres ini telah berjalan dengan damai dan sukses, namun diakui atau tidak, Pilpres yang diselenggarakan pada Rabu, 9 Juli 2014 ini telah membawa dampak yang luar biasa. Umat menjadi terbelah. Fitnah pun  merebak luas. Aksi dukung mendukung capres-cawapres juga cenderung fanatis. Caci-maki menjadi tak terhindarkan. Sejumlah black campign pun digelar. Ketegangan antar pendukung menjadi “sangat liar” dan juga “vulgar”.

Dampak inipun terlihat hingga sekarang. Perbincangan masyarakat tentang capres-cawapres, masih juga “panas” terjadi. Padahal, Pilpres sudah usai. KPU juga sudah menetapkan capres-cawapres dengan suara terbanyak pada 22 Juli 2014 yang silam. Oleh karena itu, momen Idul Fitri ini seyogyanya menjadi media rekonsilasi. Yakni, rekonsiliasi antar berbagai pihak yang terbelah agar menjadi “satu” kembali. Inilah pelajaran penting yang kita peroleh dalam membangun demokrasi di negeri ini.

Dengan kata lain, kampanye Pilpres adalah “masa lalu” yang tak perlu diungkit kembali. Biarlah sesuatu yang buruk sewaktu Pilpres kita kubur dalam-dalam. Dan sekarang, mari kita bangun dan teguhkan kembali ukhuwah (persaudaraan) yang merekatkan antar sesama anak bangsa. Setidaknya, seperti yang dikatakan oleh KH. Achmad Shidiq, Ro’is Am PBNU masa khidmah (1984-1994), ada tiga macam ukhuwah yang perlu dirajut.

Pertamaukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan antar sesama orang Islam. Meski Islam sebagai agama adalah satu, namun keberislaman pemeluknya sungguh sangat beraneka ragam. Keberagamaan ini bisa dilihat dari aspek geografis berikut local wisdom misalnya: Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Mesir, al-Jazair dan sebagainya. Demikian juga bisa diamati dari ormas yang diikuti: apakah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Perti, al-Irsyad, dan sebagainya.

Keduaukhuwah Wathaniyah. Ukhuwah Wathaniyah merupakan persaudaraan yang dirajut berdasarkan satu kesamaan, yaitu sama-sama sebagai anak bangsa ini. Rifa’ah al-Tahtawi, Rektor Universitas al-Azhar di Mesir pada abad ke-19, mengatakan: Hubbul wathani minal iman. Cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Dalam konteks Indonesia, kita diikat dengan apa yang namanya “nasionalisme” sebagai bentuk pengejawentahan persaudaraan sesama sebagai anak bangsa tersebut.

Ketigaukhuwah Basyariyah. Ukhuwah Basyariyah adalah persaudaraan yang dirajut atas dasar kesamaan: sama-sama sebagai anak manusia di dunia. Ukhuwah basyariyah tidak lagi melihat agama, ras, warna kulit, dan letak geografis sebagai starting point. Dengan demikian, ukhuwah Basyariyah hanya melihat manusia sebagai manusia per se. Sebagai manusia, apapun kondisinya, ia haruslah dihormati sesama. Dasar inilah yang menjadi pilar atas persaudaraan universal.   

Walhasil, trilogi ukhuwah harus dikuatkan dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun atas dasar kebinekaan. Bagaimanapun, kebinekaan dan keanekaragaman adalah sunnatullah. Allah Swt. sengaja menciptakan manusia yang beraneka ragam agar mereka berlomba dalam mencari kebaikan. (QS. Al-Maidah: 48). Bahkan, justru dengan perbedaan, kita bisa melakukan tasamuh (toleransi). KH. Afifudin Muhajir, Rois Syuriyah PBNU sekarang, mengatakan: Laula mukhalafata lama musamahata. Seandainya tidak ada perbedaan, maka tidak ada toleransi. Pertanyaannya: kalau sudah sama semua, apanya yang mau ditoleransi?     

Perbedaan bagi Islam, oleh karena itu, adalah rahmatan lil alamin, bukan la’natan lil alamin. Rasulullah Saw. bersabda: ikhtilafu ummati rahmatun. (Kitab Jami’ul al-Ahadits, Juz II, hal 40). Perbedaan ummatku adalah kasih sayang (rahmat). Tak heran jika ada banyak madzhab dalam fiqh. Ada beberapa aliran dalam ilmu kalam. Ada berbagai pendapat tentang nahwu (ulama nahwu Bashrah dan Kufah). Ada berbagai kelompok dalam tasawuf. Demikian seterusnya. Semua ini menunjukkan betapa perbedaan merupakan suatu yang meniscaya dalam kehidupan.

Makanya, tak perlu takut dengan perbedaan. Karena perbedaan justru akan melahirkan sikap tasamuh. Selain itu, perbedaan juga pada akhirnya akan melahirkan ukhuwwah, sebagaimana saya sebut tadi.

Di hari yang masih dalam suasana yang fitri ini, mari kita saling memaafkan antar sesama. Mari kita gandeng tangan bersama dengan bersikap toleran antara satu dengan lainnya. Dan mari kita juga perkuat ukhuwah Islamiyah, wathaniyah dan basyariyah kita, demi untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia kita.

Akhiran, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H. Mohon maaf lahir dan batin. Wallahu’alam. **      

* M.N. Harisudin

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Katib Syuriyah PCNU Jember       

Kantor: Jl. Jumat No. 94 Mangli Kaliwates Jember. Hp. 082331575640.

Categories
Kolom Pengasuh

Idealnya, Mubaligh Itu TaNpa  Amplop

Oleh: M. Noor Harisudin

Heboh di media massa beberapa saat yang lalu tentang tarif yang tinggi dalam “ceramah agama” sejumlah dai di Jakarta, menarik untuk dicermati. Tarif tinggi ini memang luar biasa tinggi karena mencapai angka nominal 150-an juta. Sang ustadz yang menjadi mubaligh itu sejak awal juga  mematok harga yang tinggi tersebut di muka. Artinya, dalam perjanjian disebutkan angka honor untuk ceramah agama tersebut. Pertanyaan fiqhnya adalah: bagaimana hukum penceramah agama mematok tarif ceramah agama dengan harga yang tinggi tersebut?

Dalam hal mematok tarif ceramah agama, para ulama sepakat untuk tidak boleh. Artinya haram hukumnya bagi penceramah agama mematok tarif dalam ceramah agama dengan harga berapapun, baik tinggi ataupun rendah. Larangan mematok harga ceramah agama adalah khusus untuk sang penceramah. Karena ceramah agama adalah sebentuk syi’ar agama yang tidak boleh “dikomersial-kan”. Dakwah Islam adalah bentuk perjuangan yang semestinya tidak ada imbalan.

Larangan ini didasarkan pada firman Allah Swt. yang berbunyi: “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku iniUpahku tidak lain hanyalah dari Allah Swt yang menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti ? (QS. Hud: 51). Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga berfirman: “Katakanlah aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan aku bukan termasuk orang yang mengada-adakan. (QS. Shad: 86). Artinya, upah atas dakwah Islamiyah merupakan tanggungan dari Allah Swt. Karena itu, mematok harga ceramah agama adalah bertentangan dengan subtansi dua ayat ini.

Yang diperbolehkan adalah honor ceramah agama yang tidak dipatok oleh sang penceramah. Dengan demikian, berapapun honor yang diberikan, jika tidak dipatok dari penceramah, ulama fiqh –dalam hal ini Madzhab Syafi’i dan Maliki–memperbolehkannya. Dengan kata lain, jika yang mematok atau menentukan bisyaroh untuk penceramah (misalnya) adalah panitia acara, maka hukumnya tidalahk haram.

 Dalam bahasa fiqh, ini disebut dengan al-ujroh ‘alat tha’ah. Seperti yang disebut Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunah dan Wahbah Az-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilaltuhual-ujrah ‘alat thaa’ati selama tidak ditentukan atau dipatok (lam tata’ayyan) diawal, hukumnya diperbolehkan karena merupakan hajat manusia (lijahatin nas). Bagaimanapun juga, seorang penceramah juga membutuhkan sandang, pangan, papan, dan kendaraan untuk mobilitas dakwah Islamiyahnya. Selain itu, ada hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan  mengambil upah dari mengajar al-Qur’an, dan sebagainya.      

Meski diperbolehkan, dalam pandangan saya, kondisi  ini merupakan kondisi yang tidak ideal. Saya menyebutnya kurang afdlol atau kurang ideal. Idealnya penceramah agama adalah para pejuang Islam yang tanpa pamrih, tanpa bisyaroh dan tanpa amplop. Para pejuang yang mengajarkan Islam dengan tanpa bisyarah. Ini adalah konsep ideal karena dengan tanpa pamrih, umat yang menjadi obyek ceramah agama akan mudah mendapatkan petunjuk. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Yasin ayat 21 : Ittabiu man la yasalukum ajran wahum muhtadun. Artinya: Ikutlah pada mereka yang tidak memintamu upah (atas dakwah mereka) sementara mereka adalah orang yang diberi petunjuk.    

Logikanya, bagaimana umat akan “terkesima” dan juga menerima ajaran kebaikan yang ditebar sang penceramah jika sejak awal sang penceramah minta upah atas ceramah agamanya? Karena itulah, Rasulullah Saw. tidak pernah meminta ujrah berapapun atas ceramah (dakwahnya) pada umatnya. Kebenaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. tidak pernah diganti upah yang sebanding. Rasulullah Saw. telah mencukupkan pahala dari Allah Swt atas seluruh dakwah Islam yang beliau sampaikan pada umatnya.

Karena niat tulus dan tanpa pamrih Rasulullah Saw. dalam bertabligh (dakwah Islamiyah), maka hasilnya pun jelas: umat secara faktual menerima dakwah yang telah diberikan Rasulullah Saw.  Dengan kata lain, tabligh tanpa amplop ini berbanding lurus dengan hidayah yang diterima umatnya.  Jika Rasulullah Saw. menarik upah atas dakwahnya pada umat, pastilah yang terjadi akan lain dan Islam tidak berkembang dahsyat seperti sekarang.

Saya sendiri mengapresiasi para penceramah yang mendarmakan dirinya untuk hidup bertabligh tanpa bisyaroh, tanpa amplop. Sebagian beberapa kawan di kota lain, bukan hanya ia tidak mau menerima bisyaroh dan amplop, ia malah mengeluarkan koceknya untuk membeli kebutuhan jama’ah majlis taklim. Subhanallah. Di Banyuwangi, ada kawan penceramah yang selalu membelikan sarung, baju takwa dan mukena untuk dua ribu jama’ah majlis taklim setiap tahunnya. Di kota lain, ada penceramah yang menyiapkan konsumsi untuk jama’ahnya setiap kali ceramah.

Lalu, bagaimana dengan kita ?

Wallahu’alam. **

M.N. Harisudin, adalah Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember, Katib Syuriyah PCNU Jember, Wakil Sekretaris YPNU Jember dan Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur. Selain itu, menjabat sebagai Deputi Salsabila Group Surabaya. 

Categories
Kolom Pengasuh

Negara Indonesia yang “belum” Final


oleh M. Noor Harisudin

Dosen IAIN Raden Paku Jember

Pengasuh Ponpes Ar-Riayah Mangli Kaliwates Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Belakangan marak gerakan yang ingin mengubah haluan negara Indonesia yang kita cintai ini. Mereka ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dengan sistem khilafah. Khilafah, dalam imaginasi mereka, adalah solusi atas semua problematika kehidupan. Sebagian yang lain mengusung perda syari’at Islam sebagai panacea atas pelbagai problematika hidup yang kian kompleks dan akut. Sebagian yang lain ingin menggantinya dengan kembali pada ideologi komunisme. Di sinilah, tulisan ini serasa menemukan momentumnya.

Memang, sebagian pemikir Islam memilih untuk tidak mengkaitkan agama (Islam) dengan negara. Agama dalam pandangan ini adalah adalah satu hal, sementara negara adalah hal lain yang berbeda. Seperti Nawal el Saadawi, seorang sastrawan besar di Mesir yang pernah melontarkan kritik keras terhadap apa yang disebut Negara Islam. Menurutnya, negara tidak punya jenis kelamin agama (baca: tidak beragama) karena yang beragama adalah manusia. Dalam hal ini, Nawal el Saadawi menyatakan: “ People who think that state is Islam have not studied Islam. The state is nothing to do with Islam”. (The Jakarta Post, November, 27, 2006).

Namun, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan Nawal El Saadawi karena secara de facto masyarakat Islam sudah bersinggungan dengan politik Islam sejak masa Rasulullah Saw. hingga masa sekarang. Tak mengherankan jika Montgomory Watt dalam buku Muhammad Prophet and Statesman mengatakan bahwa Muhammad bukan hanya seorang nabi, namun juga seorang kepala Negara (negarawan). (W. Montgomery Watt: 1961, 94-95). Di samping itu juga, jika kita tengok ke belakang, kala Muhammad menjadi kepala negara, semua unsur negara modern sudah terpenuhi seperti wilayah, penduduk, pemerintahan dan juga kedaulatan.

Di sinilah, makanya saya lebih senang menggunakan perspektif paradigma simbiotik (symbiotic paradigm). Dalam paradigma ini, posisi agama dan negara berhubungan secara simbiotik yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara karena dengan negara (daulah), agama dapat berkembang. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spritualnya. Sehingga, dalam paradigma ini, baik agama dan negara saling menguatkan dan mengukuhkan.

Paradigma ini senada dengan pandangan Gus Dur yang menyebut agama sebagai ruh atau spirit yang harus masuk ke dalam negara. Sementara, bagi mantan Presiden RI ke-4 tersebut, negara adalah badan atau raga yang mesti membutuhkan negara. Dalam konsep Gus Dur, keberadaan negara tidak bisa dilihat semata-mata hasil kontrak sosial (yang sekuler), namun, bahwa negara dipandang sebagai jasad yang membutuhkan idealisme ketuhanan. Agama, dalam konteks ini, lebih ditempatkan sebagai subtansi untuk menuju cita-cita keadilan semesta. (Masdar F. Mas’udi: 1993, xiv-xvi).

Pilihan paradigma di atas jelas menegasikan dua paradigma lain yang berada di kutub ekstrem. Pertama, paradigma integralistik yang memandang agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara selain lembaga politik juga lembaga keagamaan. Pandangan yang sering disebut dengan istilah al-Islam din wa daulah ini dipraktekkan oleh Syi’ah. Kedua, di ekstrem yang lain, paradigm sekuler yang mengajukan pemisahan agama dan negara. Paradigma yang dimotori oleh Ali Abd ar-Raziq ini (1887-1966 M) menolak pendasaran negara pada agama (Islam). Pemikiran paradigma ini didasarkan asumsi bahwa Muhammad murni sebagai pendakwah Islam dan sama sekali tidak pernah menjadi kepala Negara.

Bertolak dari paradigma yang saya ajukan di atas ini, maka jika ditanya: apakah cita-cita Politik Islam, saya mengatakan bahwa cita-cita politik Islam adalah sama dengan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Cita-cita Indonesia merdeka adalah, seperti kata Soekarno, menjadi “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita negara Indonesia. Adapun cita-cita negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia akan tercapai. Pada tahap selanjutnya, cita-cita tersebut diderivasikan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 45, seperti kesamaan di depan hukum, kebebasan berserikat dan berpolitik, serta mengenai kesejahteraan sosial seperti tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin, serta mengenai demokrasi ekonomi.

Secara normatif, cita-cita kemerdekaan ini sejalan dengan cita-cita politik Islam. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah misalnya menyebut tujuan sebuah negara adalah lihiraasatiddin wa siyasatid dunya. (Abu Hasan Al-Mawardi: tt, 6). Artinya, untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Secara derivatif, pandangan ini dikukuhkan oleh Imam Al-Ghazali yang dikutip Abu Zahro yang menyebut ad-dlariyatul khams sebagai pilar yang mesti diacu oleh sebuah Negara. Yakni., memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasl) dan memelihara harta (hifdz al-mal). (Muhammad Abu Zahro: 1994, 548-553)

Kekuasaan negara, oleh karena itu, dikukuhkan untuk pemenuhan lima hal pokok yang dijaga dalam Islam ini. Sebut misalnya keberpihakan pada kaum miskin (mustadz’afin) dalam bentuk pelayanan kesehatan di negeri ini harus dilihat dalam perspektif hifdz an-nafs (memelihara jiwa). Demikian juga pengutamaan anak bangsa dalam urusan kesejahteraan dibanding negeri asing ketika menentukan mana yang lebih penting: perusahaan anak negeri atau perusahaan asing yang mesti mengelola, harus dilihat dalam konteks hifdz al-mal warga negara Indonesia.

Hanya saja, secara realitas, apa yang dicita-citakan masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menuju cita-cita kemerdekaan ini, kadang kala cita ini dibelokkan ke arah yang bertolak belakang dengan cita-cita kemerdekaan. Neo-liberalisme yang menggurita, korupsi yang meraja lela, pemenuhan hak orang miskin yang terabaikan, dan segudang masalah lain, adalah bentuk anti klimaks cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Sudah semestinya energi bangasa ini kita fokuskan untuk menggapai cita-cita itu, bukan malah mengganti ideologi NKRI dengan sistem khilafah dan atau komunisme.

Dengan kata lain, secara konsep, Indonesia sudah final. Namun, secara praktek, Indonesia masih belum (dan jauh dari) final. Dalam proses pencapaian cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang final, aral dan hambatan senantiasa melintang. Cita-cita juga tidak bisa seratus persen digapai. Last but not least, cita-cita ini memang suatu saat nanti akan terwujud, kendati yang kita lihat baru berapa persennya saja. Yang kita lakukan secara kolektif tanpa melihat ras, agama dan aliran adalah melakukan ikhtiar sekuat mungkin dan yang terbaik untuk mencapai cita-cita tersebut.

Di sinilah, kita bisa menengok prinsip dasar yang digunakan dalam mencapai cita-cita tersebut sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa, sebagaimana berikut:

Pertama, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil maslahah al-ammah. Kebijakan penguasa atas rakyat didasarkan pada kemaslahatan umum. Penguasa harus mengutamakan rakyat umum, bukan segelintir orang, golongan atau kelompok kepentingan tertentu. Rakyat adalah segalanya. Fox populi fox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan yang harus didengar dan diwujudkan dalam kehidupan keseharian. Mewujudkan cita-cita rakyat umum adalah sama dengan mewujudkan keinginan Tuhan dalam kehidupan.

Kedua, prinsip dar’ul mafasid ‘ala jalbil mashalih. Artinya, mendahulukan menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahatan. Penguasa mesti mengupayakan tindakan preventif menghindari bahaya terlebih dahulu dan baru kemudian melaksanakan program yang berbasis kemaslahatan. Prinsip ini bertalian dengan prinsip lain yang berbunyi idza ta’aradla mafsadataani ru’iya a’dlamuha dlararan birtikabi akhaffihima. Apabila terjadi dua bahaya, maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan melaksanakan yang paling ringan resikonya.

Dan Ketiga, prinsip mala yudraku kulluhu la yudraku kulluhu. Maksudnya, kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya. Kita harus menyadari bahwa upaya yang kita lakukan bisa diperoleh secara bertahap dan tidak sekaligus. Apa yang sudah kita capai harus kita syukuri sembari terus melakukan evaluasi untuk senantiasa melakukan perbaikan dan perbaikan. Saya tidak sepakat dengan pernyataan politik beberapa plotisi dan pengamat di beberapa media yang selalu menyudutkan dan (selalu) menyalahkan Indonesia.

Bagaimanapun, untuk mencapai cita-cita Indonesia, tidak mudah semudah membalik telapak tangan. Memperbaiki negeri ini tidak bisa dengan cara hanya mengkritik dan apalagi mencaci maki pengelola negeri ini. Kita harus memulai agenda besar mencapai cita-cita Indonesia ini dengan “bangga menjadi Indonesia”. Indonesia laksana rumah besar bersama kita. Kalau ada yang rusak dan bocor misalnya, mesti kita perbaiki bersama. Dan tentunya, kita tidak perlu merobohkan rumah Indonesia yang kita cintai ini. Selain itu, kita harus melakukan upaya cita-cita kemerdekaan ini secara massif dan progresif di tempat dimana kita berada dan lalu bersinergi satu dengan yang lain dengan tanpa mengabaikan kemajemukan bangsa ini. 

Semoga. ***

Categories
Kolom Pengasuh

Islam dan Transparansi Anggaran

Oleh: Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Wakil Sekretaris PCNU Jember 

Sedari awal, Islam menegaskan bahwa tujuan akhir sebuah negara adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah cita negara yang makmur, sejahtera dan senantiasa dalam limpahan ampunan Allah Swt. Dalam konteks inilah, maka berbagai literatur fiqh siyasah –misalnya al-Mawardi dalam kitab “al-Ahkam as-Sultaniyah”—menegaskan bahwa keberadaan khilafah atau imarah (penyelenggaraan pemerintahan negara)  adalah untuk mencapai dua kepentingan sekaligus: yaitu li hirasatin dini wa siyasatid dunya (memelihara agama dan mengatur dunia). Dengan menyeimbangkan dua kepentingan tersebut, maka akan dicapai cita-cita ideal Islam tersebut.

Memang tidak mudah untuk mencapai cita-cita ideal tersebut, harus ada upaya dan kerja keras untuk menuju ke sana. Kerja keras ini harus pula ditopang oleh panduan moralitas penyelenggara yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Dalam hal inilah, maka Islam memberikan garis berupa nilai-nilai luhur bagaimana sebuah pemerintahan itu dijalankan dengan baik. Sebuah pemerintahan yang on the right track, sesuai dengan relnya. Ibarat kereta api, pemerintah ini berjalan melalui jalur rel yang ada sehingga suatu saat sampai pada tujuan.         

Salah satu nilai yang dibangun dalam Islam ini adalah bahwa pemerintah harus mendasarkan seluruh kebijakannya pada kemaslahatan umum. Dalam sebuah kaidah fiqh disebutkan: thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah. Artinya: kebijakan seorang imam dalam pemerintahan terhadap rakyatnya harus digantungkan pada kemaslahatan. Dengan demikian, seorang imam tidak boleh sembarangan membuat kebijakan, melainkan kebijakan ini harus memiliki dampak positif, memiliki nilai guna dan bermanfaat serta mengandung maslahah pada masyarakat pada umumnya.

Sebagai bentuk implementasi kaidah thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah adalah dengan transparansi anggaran. Transparansi anggaran merupakan kewajiban agama yang mulia, sama dengan mulianya imam mengaplikasikan kaidah thasarruful imam ‘ala ar-raiyyah manutun bil maslahah tadiDalam kaidah yang lain dikatakan: ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun. Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajibankecuali dengan sesuatu ini, maka sesuatu ini juga menjadi wajib hukumnya.

Dalam bahasa ulama Ushul Fiqh, transparansi anggaran adalah sebentuk “fath adz-dzariah”, membuka pintu yang menuju pada kebaikan. Pintu kebaikan ini harus dibuka lebar-lebar. Dalam pandangan fiqh, jalan yang menuju pintu kebaikan itu hukumnya sama dengan hukum kebaikan itu sendiri. Lil wasaail hukmu al-maqaashid. Hukum perantara = hukum tujuan (maksud)-nya. Jika misalnya hukum membangun pemerintah yang makmur dan sehjahtera adalah wajib, maka hukum transparansi anggaran adalah juga wajib, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun.

Sebaliknya, dalam pandangan ulama Ushul Fiqh, semua jalan menuju keburukan harus ditutup. Ulama Ushul Fiqh juga sering membahasakan ini dengan sad adz-dzari’ahSad adz-dzari’ah menegaskan bahwa hukum jalan (wasilah) kepada tujuan (ghayah) haram adalah juga haram. Jika zina adalah barang haram, maka jalan menuju zina adalah juga diharamkan. Jalan menuju zina bisa pacaran, face book, dan lain sebagainya. Karena itu, jika sebuah pemerintahan yang korup adalah haram, maka jalan menuju kesana—misalnya pemerintah yang tidak ada transparansi anggaran juga haram. Dalam sebuah kaidah dinyatakan, ma adda ilal haram fahuwa haramun. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya keharaman, maka sesuatu tersebut hukumnya juga haram.          

Dalam konteks inilah, Islam telah meletakkan dasar-dasar normatif bagi adanya transparansi anggaran di pemerintahan. Misalnya berupa sifat-sifat Nabi Muhammad S.a.w antara lain: Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Sementara, dalam al-Qur’an dan Hadits juga disebutkan prinsip lain yang mensupport prinsip transparansi anggaran misalnya keadilan (al-‘adalah), pertanggung jawaban (‘mas’uliyah), akuntabilitas (hisab), istiqamah dan teguh pada kebenaran.     

Wallahua’lam bi shawab.**

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Teologi Entrepreneur dalam Islam

Oleh: Ust. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I

Dosen Pasca Sarjana STAIN Jember

Wakil Sekretaris PCNU Jember

Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur

Anggota Jember Entrepreneur Community (JECO)

Nabi Muhammad Saw. sejatinya adalah sosok entrepreneur sejati. Meski dalam beberapa doa yang dilantunkannya menghendaki beliau adalah seorang miskin, namun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa beliau menolak menjadi pengusaha. Bahkan, dalam riwayat hadits yang lain, justru menunjukkan komitmen beliau sebagai seorang entrepreneur sejati.

Selama ini, sosok agung Nabi Muhammad Saw. seringkali dilihat sebagai sosok religius per se. Nabi Muhammad hanya diangankan sebagai sosok religius yang tengah malam selalu tidak pernah absen sholat tahajud. Dalam sebuah hadits lain, Nabi Saw. digambarkan dahinya seringkali ada bekas karena sujud. Selain itu, Nabi Saw. juga dikenal sebagai orang yang rajin puasa dan melakukan ibadah mahdhah yang lain.

Personifikasi Nabi Saw. dengan sosok yang religius memang tidak salah. Yang tidak tepat adalah menggambarkan Nabi Saw. hanya dengan sosok religius semata dengan mengabaikan sisi atau aspek lainnya dari pribadi beliau. Misalnya, dengan sosoknya sebagai entrepreneur sejati. Diakui atau tidak, Nabi Saw. adalah seorang entrepreneur dan pekerja keras. Ketika berdagang di negeri Syam, digambarkan dalam hadits, sosok beliau yang tangan dan kakinya lecet-lecet karena mengangkut barang. Nabi Saw juga berpeluh-keringat kala berdagang di berbagai negeri.    

Adalah keliru menyederhanakan sosok atau pribadi beliau yang kompleks hanya dengan seorang yang religious saja. Karena beliau adalah pribadi agung yang multi talenta. Seorang negarawan, dan sekaligus politisi. Juga, seorang organisatoris dan seorang orator yang ulung. Beliau adalah juga seorang pengusaha yang luar biasa, namun sayangnya tidak banyak diungkap dalam berbagai event forum.    

Memunculkan spirit entrepreneur dengan merujuk pada Nabi Saw. adalah sebuah keniscayaan di tengah kemiskinan akut sebagian besar umat Islam di Indonesia. Jumlah mayoritas umat Islam di Indonesia secara de facto tidak diimbangi dengan mayoritas dalam kualitas ekonomi dan kesejahteraan warganya. Ini menjadi logis karena sebagian warga memiliki pandangan  teologis bahwa kaya dan miskin adalah sebentuk takdir Tuhan, yang oleh karenanya, jika sudah ditakdirkan menjadi miskin, maka tidak perlu untuk ditolak, melainkan harus diterima tanpa reserve.

Seharusnya, cita-cita entrepreneur Islam yang harus dikokohkan dalam bangunan keberagamaan umat Islam. Meminjam bahasa Yusuf Kalla, salah satu cawapres sekarang–ketika seminar ulama dan pesantren di Ponpes Al-Hikam Depok Jakarta tiga bulan yang silam–, maka siapa yang bisa membangun masjid, madrasah dan pesantren, jika tidak ada orang kaya dalam Islam. Siapa yang membantu orang-orang janda, anak-anak yatim dan anak-anak miskin, jika tidak ada pengusaha. Karena itu, keberadaan orang kaya adalah fardlu kifayah untuk kepentingan dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam.

Dalam catatan Yusuf Kalla, dari 40 orang kaya di Indonesia, hanya enam orang yang berasal dari agama Islam. Padahal, jumlah enam orang ini masih belum dihitung: berapa jumlah yang orang kaya Islam yang all out, memback up dakwah Islamiyah dan syi’ar Islam ?. Berapa jumlah orang kaya Islam yang mau berbagi dengan anak yatim, anak miskin, janda, gelandangan dan sebagainya tersebut?.

Karena itu jawabnya jelas: kemiskinan harus dijawab dengan banyaknya jumlah pengusaha muslim, bukan dengan membuka lowongan pegawai negeri sipil atau yang lain. Jika ada banyak pengusaha muslim, maka akan banyak orang kaya muslim. Jika banyak orang kaya muslim, maka dakwah Islamiyah akan terbantu dan berjalan lancar sesuai harapan.

Walhasil, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja keras, membanting tulang, dan berusaha untuk menjadi orang kaya. Tapi, Islam tidak berhenti sampai menjadi orang kaya, melainkan harus diteruskan: bagaimana kekayaan itu dimanfaatkan oleh Islam untuk kepentingan dakwah Islam. Bagaimana agar kekayaan itu banyak bermanfaat pada yang lain, sebagaimana hadits: “khairukum anfaukum linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya pada manusia yang lain.

Wallahu’alam bi as-Shawab.**