Categories
Keislaman Kolom Pengasuh

Pengasuh Darul Hikam Teguhkan Nahdliyyin Ibu Kota Nusantara, NKRI Harga Mati Bukan Sebatas Slogan

Media Center Darul Hikam – Nahdlatul Ulama telah lama memproklamirkan diri bahwa ‘NKRI Harga Mati’. Namun, slogan tersebut hanya sebatas slogan dan tidak ada yang menindaklanjutinya.

Demikian disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof Kiai M Noor Harisudin dalam acara Pelantikan Pengurus 15 Ranting NU Se-Kecamatan Sepaku pada Minggu (23/1).

“Kita tidak mau jika ‘NKRI Harga Mati’ hanya sebatas slogan,” tegas Prof M Noor Harisudin di hadapan hadirin yang berjumlah 600 lebih tersebut.

Menurutnya, pengurus NU wajib menindaklanjutinya dengan aktif berperan di berbagai sektor kehidupan. Khususnya bagi Nahdliyyin di Kecamatan Sepaku.

“Saya berharap agar masyarakat Kecamatan Sepaku, khususnya warga Nahdliyyin untuk segera melakukan percepatan-percepatan. Hal tersebut penting dilakukan karena Kecamatan Sepaku menjadi tempat Ibu Kota Negara Indonesia,” ujar Prof Harisudin yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.

Dengan dipilihnya Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajem Paser Utara sebagai Ibu Kota Negara, maka menjadi kesempatan tersendiri bagi warga Nahdliyyin Sepaku untuk ikut berkontribusi dalam program pembangunan Nasional.

“Warga Nahdliyyin nantinya bisa meminta kepada pemerintah agar 10% dari Aparatur Sipil Negara (ASN) berasal dari warga pribumi atau warga asli Sepaku,” tutur Prof Harisudin yang juga Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara.

Selain itu menurut Prof Haris, Warga Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajem Paser Utara patut bersyukur atas dipilihnya Kecamatan Sepaku sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.

“Mungkin orang-orang tidak akan melirik di sini (Kecamatan Sepaku), tapi alhamdulillah berkat doa warga Sepaku dan masyarakat sekitar, wilayah ini terpilih menjadi Ibu Kota Negara Indonesia,” tambah Prof Haris.

Pada kesempatan itu pula Prof Harisudin berpesan agar pengurus NU mempunyai bekal yang cukup. Salah satunya memahami pilar NU.

“Pilar NU itu harus dipahami. Yaitu fikrah nahdliyah, harakah nahdliyah, dan amaliyah hahdliyah. Pengurus NU harus memiliki tiga hal ini sebagai bekal pengetahuan dalam menjalankan organisasi NU,” ujarnya yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Sementara itu, tugas jam’iyyah NU, lanjut Prof Haris. Juga tidak kalah penting untuk turut dipahami, khususnya bagi para pengurus ranting NU Se-Kecamatan Sepaku yang baru dilantik tersebut.

“Sebagai jam’iyyah, juga penting untuk memahami tugas jam’iyyah NU. Yaitu tugas diniyah, wathaniyah dan ijtimaiyah,”jelasnya.

Hadir dalam acara tersebut PC NU Penajem Paser Utara, MWC NU Kecamatan Sepaku, 15  Ranting NU Se-Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajem Paser Utara, Muslimat, Fatayat, Ansor, Camat, Polsek dan Danramil.

Reporter : Wartik Murtisari

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Menyoroti Implementasi Fiqihdi Selandia Baru, KBRI Wellington Undang Pengasuh Ponpes Darul Hikam

Media Center Darul Hikam- Kerap kali berbagai isu terkait implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim menjadi pertanyaan di masyarakat. Maka dari itu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wellington menjawab tantangan tersebut dengan menyelenggarakan Webinar Nasional bertajuk, “Implementasi Fiqih Di Negara Mayoritas Non-Muslim”, secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting dan Live Youtube pada Senin (13/12) pukul 12.00 WIB-selesai.

Acara diawali dengan Keynote Speech dari Duta Besar (Dubes) RI Wellington New Zealand, H.E. Tantowi Yahya menyoroti kondisi beragama kaum muslim sebagai kaum minoritas.

“Selandia Baru ini negara dengan mayoritas non-muslim, namun kehidupan beragama di sini cukup menarik,” ujar Tantowi Yahya.

Berdasarkan data sensus terakhir, jumlah kaum muslim di Selandia Baru hanya sekitar 1,1% atau dalam angka 57.278 jiwa dari jumlah penduduk negara secara keseluruhan. Meskipun dalam jumlah yang cukup sedikit dibandingkan dengan kaum beragama lainnya, namun Islam mampu memberikan warna sebagai karakter agama yang cinta damai dengan membangun hubungan horizontal dan vertikal melalui organisasi Umat Muslim Indonesia (UMI) dan Himpunan Umat Muslim Indonesia (HUMIA).

“Beberapa kali Selandia Baru dinobatkan oleh Islam Foundation yang ada di Amerika sebagai negara yang paling Islami,” tutur Tantowi Yahya.

Hal tersebut tidak lain disebabkan pengimplementasian prinsip islami dalam kehidupan  sehari-hari oleh semua warga, tanpa terkecuali non-muslim. Warga selandia Baru yang non muslim tidak mengenal konsep rukun Islam sehingga tidak melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun prinisp Islam dilaksanakan secara inheren dalam kehidupan sehari hari.

“Selandia Baru ini negara bersih secara harfiah, artinya memang negaranya bersih. Lautnya bersih, airnya bersih, tanahnya bersih. Begitupun dengan pemerintahannya. Tingkat korupsi di sini nol,” jelasnya.

Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dari narasumber, Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M. Fil. I.,  mengawali penjelasannya dengan QS. Al-Anbiya’: 107 yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa agama Islam datang dengan syariatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan tentunya membawa kemaslahatan untuk manusia.

Dijelaskan pula 3 unsur pokok dalam agama Islam terbagi menjadi 3 bagian yaitu aqidah, syariat, dan akhlak.

“Jika diibaratkan dari sebuah pohon Islam. Aqidah itu adalah sebuah kepercayaan, ini sebagai akarnya. Kalau akidahnya sudah tidak kuat, otomatis pasti akan goyah. Bagian batangnya diibaratkan sebagai syariat. Kalau akidah dan syariatnya sudah kuat maka akan menghasilkan buah yang baik yaitu akhlak,” jelas Prof. Harisudin yang juga Dekan Fakultas  Syariah UIN KHAS Jember.

Dalam penuturannya, Wakil Ketua PW LDNU Jatim tersebut menjelaskan jenis-jenis syariat. Syariat terbagi menjadi dua yaitu syariat tetap (tsawabit) dan syariat yang bisa berubah (mutaghayirat), yang kemudian disebut dengan fiqih.

“Perintah shalat itu sudah ada di al-Qur’an, syariat (aturan dari Allah) itu sudah ada. Tapi kalau perintilannya, detail-detailnya, gimana caranya ruku’ dan lain-lain itu nantinya yang akan dibahas dalam fiqih. Misalnya contoh tata cara shalat lima waktu di kutub itu bagaimana, itulah yang masuk di fiqih,” ungkap Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Implementasi fiqih di negara mayoritas non-muslim memiliki beberapa indikator, diantaranya regulasi dan kebijakan belum berpihak pada kaum muslim, adat istiadat yang berbeda, fasilitas ibadah yang sangat  terbatas, kesulitan mencari makanan halal, dan lain-lain. Hal tersebut seringkali menjadi problematika oleh kaum muslim minoritas negara lain.

“Ada beberapa hal yang membuat hukum itu berubah, berbeda dengan kondisi di negara mayoritas muslim. Karena yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan,” pungkas Prof. Haris yang juga sebagai Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Reporter: Lia Amelia Rahmah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Keislaman

Menjadi Narasumber dalam Webinar Unisda Lamongan, Dekan Syariah Terangkan tentang Good Governance

Media Center Darul Hikam –  Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip demokrasi, pencegahan korupsi serta menjalankan disiplin anggaran. Hal ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) KH. Achmad Siddiq (KHAS) Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., saat menjadi narasumber dalam webinar series yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)  Universitas Islam Darul ‘Ulum (UNISDA) Lamongan. Acara berlangsung secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting dan live Youtube pada Rabu pagi pukul 09.00 hingga 12.00 WIB (01/12).

Acara yang bertema “Tata Kelola Pemerintah Daerah di Era Keterbukaan Informasi” juga dihadiri oleh narasumber yang ahli dalam tata kelola Pemerintahan, diantaranya Drs. Muhammad Nalikan, M.M. sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Lamongan dan Imam Fadli, S.IP., M.Si. sebagai Anggota DPRD Kabupaten Lamongan.

Sebagai pembuka materi, Prof. Harisudin yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Timur menjelaskan mengenai tata kelola pemerintahan daerah di era keterbukaan informasi, meliputi pemerintah daerah, tata kelola dan keterbukaan informasi.

“Indonesia government indeks 2012 telah memberikan catatan mengenai tata kelola pemerintahan di 33 provinsi di Indonesia. Hal ini perlu dikaji agar mengetahui perbandingan negara Indonesia dengan negara lain untuk mengambil sisi baiknya agar dipraktekkan di negara kita,” ujar Guru Besar UIN KHAS Jember itu.

Pada kesempatan itu, Prof Haris memaparkan dasar kebijakan tentang tata kelola di era keterbukaan reformasi: UU NRI 1945 Pasal 18 dan 18 A, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Peraturan Presiden RI No. 82 tahun 2010 tentang grand design reformasi birokrasi 2010-2025, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 9 tahun 2015 tentang perubahan ke dua atas UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

“Seiring dengan masa reformasi yang terkait dengan grand design reformasi birokrasi, pada tahun 2025 diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Itulah pentingnya dilakukan good governance,” tuturnya yang juga Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (PP APHTN-HAN)

Selanjutnya ada enam prinsip good governance dalam tata kelola pemerintahan, di antaranya prinsip partisipasi, transparasi, keadilan, akuntanbilitas, efisiensi dan efektivitas. Dalam tata kelola, prinsip transparasi dan akuntabilitas menjadi fokus utama tanpa mengesampingkan prinsip yang lain.

“Prinsip transparansi dan akuntabilitas sudah diijalankan oleh negara maju, misal pembayaran pajak di Australia. Ketika membayar pajak, masyarakat diberikan slip pembayaran yang berisi keterangan alokasi dana pajak itu sesuai dengan uang pajak yang diberikan,” lanjutnya.

Di sisi lain, Drs. Muhammad Nalikan, M.M. menjelaskan mengenai strategi mewujudkan good governance pada Pemerintah Kabupaten Lamongan.

“Fungsi utama pemerintahan adalah melayani masyarakat baik dari sisi kehidupan, sisi kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Ini yang paling mendasar dari fungsi pemerintah,” ujar Sekretaris Daerah Kabupaten Lamongan itu.

Di sesi terakhir, Imam Fadli, S.IP., M.Si. memaparkan mengenai pengembangan digital government dalam penyusunan regulasi pemerintahan.

“Digitalisasi teknologi infomasi juga membantu pemerintah dalam penyampaian informasi untuk masyarakat. Diharapkan penerapan penyampaian informasi dengan mengandalkan media sosial dapat memberikan kemudahan  serta penyampaian informasi secara merata,” pungkasnya yang juga Anggota DPRD Kabupaten Lamongan.

Acara yang dimoderatori oleh Fahmi Anas, M.Sosio., berjalan secara aktif yang diikuti oleh ratusan akademisi dan masyarakat seluruh Indonesia.

Reporter: Ulfa Miftakhur Rohmah

Editor: Siti Junita

Categories
Keislaman

Pengasuh Darul Hikam Jember: Berdakwah Tidak Harus di Atas Panggung

Jember, NU Online Jatim

KH Ilhamullah Sumarkan, Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PW LDNU) Jawa Timur, menjelaskan bahwa keberlangsungan dakwah harus terus dilakukan meski di tengah pandemi. Karena itu, hal yang memungkinkan untuk digalakkan saat ini ialah berdakwa melalui media sosial.

“Dakwah itu mengajak untuk keimanan, berilmu dan menjadi terbaik. Hikmah itu bisa dilaksanakan di semua lini terutama media sosial. Tetaplah berdakwah dengan media yang ada dengan cara yang terbaik,” kata Kiai Sumarkan dalam webinar bertema Problematika Dakwah bagi Kalangan Milenial di Era Pandemi, Selasa (28/09/2021).

Sementara itu, M Noor Harisudin, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember menuturkan, dakwah kebangsaan memiliki peran penting dalam rangka menguatkan tujuan bersama, yaitu hidup rukun dan damai di bawah Pancasila dan UUD 1945. 

“Dakwah kebangsaan penting dilakukan mengingat masih banyak yang meragukan NKRI, adanya pendangkalan pemahaman keagamaan, dugaan eksklusifisme dan ekstremisme beragama, pudarnya nilai kebangsaan serta percepatan visi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” ujarnya.

Menurut Harisudin, berdakwah tidak harus dilakukan di atas panggung dan perguruan tinggi, tetapi dakwah yang sesungguhnya berada di semua lini kehidupan. Oleh karenanya dakwah perlu dilakukan dengan berbagai sarana dan media.

Akhmad Muzakki, Sekretaris PWNU Jatim, memaparkan tentang pentingnya rumusan dakwah yang tepat di era yang didominasi generasi milenial seperti sekarang.

“Karakter generasi milenial yang lebih menyukai visual dibandingkan tekstual, membuat pentingnya ke depan harus ada proyek visualisasi dari ceramah para dai yang di-convert di media sosial. Atau bisa dengan membentuk dai milenial yang bekerja sama dengan Lakpesdam NU, IPNU, dan IPPNU,” katanya.

Sumber : https://jatim.nu.or.id/read/ketua-ldnu-jatim-minta-dakwah-di-medsos-harus-digalakkan

Categories
Keislaman

Dekan Syariah Jember Apresiasi Sikap BPIP yang Legawa Terima Kritik Masyarakat 

Media Center Darul Hikam – Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (Aspirasi), Prof M. Noor Harisudin, M.Fil.I  turut mengapresiasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang telah legawa menerima masukan dari masyarakat luas untuk meninjau ulang tema penulisan artikel dalam lomba oleh lembaga yang diketuai Prof. KH. Yudian W. Asmin, Ph.D.

Tema yang sebelumnya, yakni, ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’, telah diganti menjadi, ‘Pandangan Agama dalam Menguatkan awasan  Kebangsaan’ dan ‘Pera Masyarakat Dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 Menuju Indonesia Tangguh dam Indonesia Tumbuh’. 

 “Apa yang dilakukan BPIP ini sudah bagus, setelah diberikan masukan oleh banyak orang akhirnya BPIP merubah tema tersebut. Tidak hanya itu, lembaga ini justru mengapresiasi masukan dari masyarakat,” kata Prof. M. Noor Harisudin kepada Media Center, Senin (17/8).

Lebih dari itu, Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember tersebut menilai lomba menulis artikel yang digelar oleh BPIP tersebut telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, khususnya bagi kaum milenial.

“Ini sangat bagus, terlebih bagi kaum milenial dalam rangka menumbuhkan kembali sikap cinta terhadap Indonesia, Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan kita,” kata Prof Haris yang juga Sekretaris  Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia tersebut.

Prof. Harisudin yang juga Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PW LDNU) Jawa Timur ini, menjelaskan tiga alasan utama mendukung kegiatan tersebut.

Pertama, generasi bangsa khususnya kaum milenial masih banyak yang belum mengetahui hubungan negara dan agama terkait dengan visi kebangsaan.

“Apalagi semenjak Pancasila dihilangkan dalam kurikulum nasional pada tahun 2003, sehingga menjadikan generasi milenial tidak banyak tahu atau juga abai terhadap nilai-nilai kebangsaan kita,” jelas Prof Harisudin.

Kedua, menurutnya lomba tersebut dapat generasi milenial untuk punya sikap respect dalam  kehidupan. “Misalnya, dalam pandemi, generasi milenial dapat menyumbang dan berkontribusi apa untuk masyarakat, tidak diam saja dengan kondisi saja”, ujar  Prof Haris yang juga Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, bahwa lomba semacam ini merupakan latihan kemampuan ketajaman analisis generasi milenial, yang selama ini dipandang cenderung hedonis dan bahkan apatis terhadap masyarakat dan bangsa.

“Dengan ini bisa menjadi semangat bagi mereka untuk menguatkan kebangsaan dan pengabdian mereka pada NKRI kita,” tambahnya Guru Besar yang produktif menulis tersebut.

 “BPIP, meski situasi pandemi masih menyajikan kepada masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, sehingga ini perlu untuk kita dukung bersama,” ujar Prof. Harisudin yang juga Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Jember.

Reporter : Siti Junita

Editor:  M. Irwan Zamroni Ali 

Categories
Keislaman

PMII Komisariat Wahid Hasyim Semarang Gelar Mujahadah dan Doa bersama Keselamatan Bangsa dari Pandemi COVID-19

Media Center Darul Hikam – Di tengah kondisi Pandemi Covid-19 yang semakin hari terus bertambah kasusnya dan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Wahid Hasyim Semarang, Gelar mujahadah dan doa untuk keselamatan bangsa dari pandemi Covid-19.

Kegiatan yang dimulai pukul 19.30 WIB ini dilaksanakan secara virtual via zoom meeting ini, dan ikuti oleh seluruh kader PMII dan Alumni Wahid Hasyim pada Minggu (11/07/21) Malam.

Ketua Umum PMII Komisariat Wahid Hasyim Semarang, Sahabati Roshifah Jauhari dalam sambutannya mengungkapkan, adanya kegiatan ini merupakan wujud implementasi Nilai Dasar Pergerakan (NDP) kaitannya dalam meningkatkan kepedulian melalui hubungan antara manusia dengan manusia.

“Bersama pengurus bidang keagamaan, kami mengadakan kegiatan ini untuk memberikan mujahadah dan doa bagi keselamatan bangsa dari Wabah, mudah-mudahan lewat mujahadah ini senantiasa mendapat keberkahan serta bisa menambah spirit keyakinan dalam menghadapi wabah, lebih berhati-hati agar bisa selamat dan sehat,” tutur Roshifah.

Hadir dalam kegiatan di antaranya, Rektor Universitas Wahid Hasyim sekaligus Mabinkom PMII Komisariat Wahid Hasyim Prof. Dr. KH. Mudzakir Ali MA, Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Dr. KH. Muh Syaifudin M.A, Pembina majelis khidmah Asma Ul Husna Pusat Drs. KH. Amjdjad AlHafidz B.Sc. M.Pd. , Ketua IKA PMII Wahid Hasyim Adi Joko Purwanto S.IP. M.A., Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan Prof. Dr. M. Noor Harisuddin M.Fil.I dan Sekretaris Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan Nur Rois, M.Pd.I .

Adapun rangkaian kegiatan dimulai dengan pembukaan dan mujahadah asmaul husna yang dipimpin oleh bapak Nur Rois, dilanjut dengan pembacaan doa oleh Bapak KH. syaifudin serta Bapak KH. Amdjad dan diakhiri dengan tausyiah oleh Rektor dan Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan.

Dalam tausyiahnya, Prof Mudzakir Ali menyampaikan  bahwa Aswaja di kampus Universitas Wahid Hasyim merupakan aswaja an-nahdliyah, bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak terlepas dari prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja an-nahdliyah yaitu tawâsuth, tawâzun, ta’adul, dan tasâmuh.

“Kader-kader PMII dan alumni jangan sampai lepas dari prinsip ini, PMII harus bisa memegang teguh nilai pergerakan, baik struktural ataupun non struktural. NU tidak akan bisa eksis tanpa keterlibat PMII di dalamnya,” jelasnya.

Sedangkan dalam tausyiah penutup, Prof Noor Harisudin menjelaskan, PMII harus mampu mengambil kesempatan dalam berbagai peran, salah satunya dengan meningkatkan nasionalisme yang du bangun sebagai solidaritas dalam memberi empati dan solusi di tengah kondisi pandemi yang ada saat ini.

“Solidaritas ditengah pandemi harus senantiasa dibangun untuk menumbuhkan empati dan solusi, bukan dengan mengeluarkan caci maki,” paparnya.

Dirinya juga berpesan bahwa Kader PMII Universitas Wahid Hasyim khususnya, harus mampu memiliki standar yang lebih tinggi agar bisa berperan dan bernilai baik di ranah sosial maupun intelektual. (Sfa)

Categories
Keislaman

Baidlawie : Harus Ada Punishment Bagi Orang Yang Enggan Berzakat

Media Center – Sabtu, 24/04 Fakultas Syariah IAIN Jember bekerja sama dengan Amil Zakat (Azka) Al Baitul Amien Jember mengadakan Webinar Nasional Zakat Generasi Milenial yang bertajuk “Zakat Is a Lifestyle!” yang dimulai pada pukul 08.00-11.00 WIB secara daring (dalam jaringan) melalui aplikasi Zoom Meeting dan live Youtube. 

Adapun Keynote Speaker pada acara tersebut yaitu Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA selaku Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia (RI), Opening Speech oleh Ach. Fathor Rosyid, M.Si., selaku Direktur Azka Al Baitul Amien Jember. Speaker oleh Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur serta Guru Besar IAIN Jember dan Ust Baidlawie, MHI selaku Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember. Master of Ceremony oleh Anjar Aprilia Kristanti, M.Pd dan Moderator oleh Dr. Zainal Anshari, M.Pd.I., selaku Ketua Yayasan AZKA Al Baitul Amien Jember.

Baidlawie yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut menyampaikan bahwa banyak sekali pendapat dari pakar atau ahli zakat yang mana pendapat dari mereka memiliki titik kesamaan, baik dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah maupun dari pakar ekonomi di Indonesia.

“Definisi yang disampaikan oleh beberapa pakar, itu rata-rata sama bahwa zakat itu adalah nama dari suatu harta yang dikeluarkan dari harta tertentu, kepada orang tertentu, untuk golongan orang tertentu, dan dengan cara tertentu pula. Untuk lembaga BAZNAS akhirnya ketertentuan ini nanti supaya bisa diatur, terutama bagi kaum milenial yang mungkin masih kekurangan literasi tentang apa itu zakat dan semacamnya,” tuturnya.

Macam-macam zakat dibagi menjadi dua bagian diantaranya ada zakat mal dan zakat fitrah. Namun utamanya seperti di bulan Ramadhan ini adalah zakat fitrah.

Profesor Dr. KH Noor Achmad, MA., menuturkan bahwa potensi zakat di Indonesia sebesar 320 triliun, hanya saja yang bisa terkumpul hanya sedikit sekali dari itu semua. Apa yang menjadi masalahnya? Menurut Baidlawie hal itu dapat terjadi karena kurangnya peran pemerintah. 

Seperti dulu yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar di dalam menegakkan perintah zakat, yakni dengan memberi sanksi kepada pelaku zakat dengan cara diperangi. Hal ini menurutnya bisa dijadikan solusi yang mana Undang-Undang Zakat yang sudah untuk lebih ditekankan kepada aspek punisment atau sanksinya. 

“Jadi harus ada sanksi, Saya mengutip pernyataan Khalifah Usman bin Affan dikutip oleh Jamaluddin dalam Kitab Nahwu Wat Tamwil Maqashid Syariah, beliau menyatakan  bahwa pentingnya pemerintah di dalam menekan para orang–orang muslim yang tidak tunduk kepada aturan-aturan agamanya agar kemudian bisa tunduk dengan cara diberi sanksi,” ujarnya.

Jadi pemerintah tidak hanya menyediakan tempat mengeloa zakat, menghimpun zakat, tetapi juga bagaimana pemerintah memberikan hukuman atau sanksi bagi mereka yang tidak membayar zakat. Sehingga perlu ada undang-undang yang mengatur sanksi-saksi bagi mereka yang tidak mau melaksanakan kewajiban zakat. Karena jelas kewajiban zakat ini ancaman nyata sekali dalam Alquran seperti yang tertera di dalam surat  At-Taubah ayat 34. Allah berfirman bahwa orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak mau menafkankan hartanya di jalan Allah maka akan diberikan siksa yang pedih.

“Artinya harus diberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya kaum milenial tentang bahaya orang yang kemudian tidak melaksanakan zakat ini, supaya ada rasa takut yang arahnya takut kepada Allah. Bagaimana supaya mereka mau berzakat, mungkin diberi pemahaman, bahwa zakat bukan hanya sebagai kewajiban tetapi sebagai kebutuhan. Kalau kita tidak zakat, nanti badan dan harta tidak tersucikan. Zakat harus dijadikan gaya hidup atau lifestyle sehingga optimalisasi zakat akan bisa tercapai,” ucapnya.

Ia juga mengungkapkan urgensi mengeluarkan zakat, mengutip dari rangkuman salah satu ulama. Ada beberapa hikmah dalam berzakat diantaranya adalah sebagai bentuk penghambaan kita sebagai manusia kepada Allah Swt., artinya dengan berzakat, kita melaksanakan salah satu satu rukun Islam, yang apabila zakat ini tidak dilaksanakan berarti keislaman kita tidak sempurna, juga sebagai bukti syukur kita kepada nikmat Allah. Kemudian yakni menyucikan muzakki dari dosa-dosa, membersihkan harta. Kemudian yang paling penting juga membersihkan hati mustahik dari hasad dan iri hati.

Baidlawie menuturkan bahwa potensi perolehan zakat para milenial masih jauh dari yang diharapkan, sehingga kedepan akan diberikan himbauan terutama oleh BAZNAS dan lembaga pemerintah yang menjaga dan mengelola zakat supaya lebih optimal dalam mengelola penghimpunan zakat. Menumbuhkan perekonomian Islam, dan dakwah kepada orang untuk dapat cinta kepada syariat Islam. 

“Solusinya tadi itu, harus lebih tegas kepada para muzakki ini agar kemudian bisa melaksanakan zakatnya dengan lebih optimal. Saya mengharapkan bahwa bagaimana milenial ini menjadi motor penggerak, agar perolehan zakat yang awalnya tadi 10 juta orang yang membayar, setidaknya bisa mencapai 50% dari 320 juta orang yang ada di Indonesia,”pungkasnya.

Di akhir materi, Baidlawie menyampaikan bahwa hikmah berzakat tidak akan mengurangi harta, justru akan menambah dan memberikan keberkahan pada harta. Acara berlangsung menarik, diikuti oleh kurang lebih 200 orang dari berbagai kalangan akademisi baik dari dalam maupun luar IAIN Jember.

Reporter : Imaniar Isfaraini

Editor : Erni Fitriani

Categories
Keislaman

Tadarus Ilmiah, Dekan: Bekali Mahasiswa Bermental Antiradikalisme dan Terorisme

Media Center Darul Hikam – Rabu, (14/04) Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M.Fil.I menjadi salah satu pembicara tamu dalam webinar Tadarus Ilmiah yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) IAIN Jember. Tidak sendiri, Prof Haris juga ditemani oleh A. Badrus Solihin, MA. selaku Sekretaris Rumah Moderasi Beragama IAIN Jember yang juga berkesempatan menjadi narasumber kedua dalam kegiatan tersebut. Acara ini mengangkat tema tentang “Islam, Radikalisme, dan Intoleransi di Era Milenial.”

Aksi terorisme di Indonesia belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi sasarannya adalah para pelajar/mahasiswa. Hal ini berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2016. Tidak hanya perguruan tinggi umum (sekuler) yang menjadi target penyebaran paham radikalisme dan terorisme, perguruan tinggi Islam pun menjadi sasaran.

“Beberapa kasus terorisme yang dilakukan oleh mahasiswa di antaranya, terjadi pada tiga orang mahasiswa UIN Jakarta (2009), tahun 2010 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), seorang alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan di awal tahun 2011 ada seorang pelajar yang ditangkap karena dugaan terorisme. Hal ini juga yang mengawali steorotipe kepada khalayak bahwa Islam adalah agama teroris,” ungkap Prof. Haris yang juga menjabat sebagai Ketua Umum ASPIRASI.

Prof. Haris juga berpesan kepada mahasiswa saat ini agar jangan hanya diam saat mengetahui ciri-ciri radikalisme. Apalagi di era seperti ini, penyebaran informasi tidak terbendung lagi. Sehingga, semakin mudah paham-paham radikalisme dapat ditanamkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, pendekatan secara personal dan forum diskusi juga menjadi pintu masuk bagi paham radikalisme.

Radikalisme dan terorisme memiliki hubungan yang erat, dikarenakan radikalisme merupakan cikal bakal dari aksi terorisme. Ciri-ciri yang biasanya ditampakkan oleh paham radikalisme biasanya mereka mengklaim kebenaran secara tunggal, menggunakan cara kekerasan, mudah menyesatkan orang lain, intoleran, dan berambisi untuk membangun Negera Khilafah.

“Ini beberapa kelompok yang harus kita waspadai. Dari kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), FPIS Surakarta. Sementara kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshar Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),” pungkasnya.

Di akhir penyampaiannya, Prof. Haris memaparkan langkah yang dapat kita lakukan untuk membentengi diri dari radikalisme dan terorisme. Tindakan ini dapat bersifat preventif (pencegahan) seperti ; memupuk jiwa nasionalisme, selalu berpikiran terbuka, waspada terhadap provokasi, dan bergabung dengan komunitas yang bermanfaat. Sedangkan tindakan kuratif yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman ilmu agama yang benar, menguatkan nilai-nilai nasionalisme, mencintai toleransi dan perdamaian.

Suasana diskusi berlangsung hangat meski dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting. Acara dimulai pukul 15.00-16.30 WIB. Diskusi ini diikuti oleh 43 peserta dari anggota UKPK IAIN Jember sendiri dan peserta umum.

Reporter: Arinal Haq

Editor: Izzah Qotrun Nada

Categories
Keislaman

Sekilas Ulasan tentang Madrasah Ramadhan dan Tingkatan Orang Berpuasa

Media Center Darul Hikam – Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat Islam di dunia. Di dalamnya terdapat banyak rahmat dan ampunan yang diberikan oleh Allah Swt. Dengan itu, Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Timur Prof Kiai Harisudin mengajak kepada umat Islam untuk senantiasa meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt di bulan suci Ramadhan.

“Tidak lama lagi umat Islam akan menghadapi bulan suci Ramadhan, yaitu bulan di mana Al-Qur`an diturunkan dan pengampunan diberikan sebanyak-banyaknya kepada umat Islam,” tutur Prof Kiai Harisudin dalam khutbah Jumat, di Masjid Raudlatut Thalibin As-Su`ada, (9/4).

Meski begitu, Guru Besar IAIN Jember itu meminta kepada seluruh masyarakat agar  tetap menunggu terkait pengumuman sidang isbat yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengetahui waktu awal puasa dan hari raya Idul Fitri.

“Para ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya. Hanya bisa memberikan  informasi kepada anggotanya.  Tetapi yang memiliki hak menetapkan hanyalah pemerintah Republik Indonesia,” kata Prof Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Pesantren Darul Hakim Mangli Jember.

Lebih lanjut, kiai muda itu menyebutkan bulan Ramadhan sebagai madrasahhal ini sebagai mana disebutkan oleh Yusuf Al-Qardhawi yang memandang Ramadhan sebagai madrasah mutamayyizah, yaitu sekolah pembentukan karakter bagi umat Islam yang dibuka setiap tahun.

“Ramadhan menjadi training tahunan bagi umat Islam. Kita tidak boleh berkata kasar, emosi, marah, benci kepada semua manusia. Ciri dari orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarahnya,” jelas Prof Kiai Harisudin yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Menurutnya, madrasah Ramadhan juga dapat meningkatkan sikap kepedulian umat Islam kepada sesama, yaitu melalui ibadah zakat fitri dan sedekah yang dilakukan sebanyak-banyaknya di bulan Ramadhan. Selain itu juga untuk mengajarkan umat agar kembali kepada Allah Swt.

“Sudah jelas tugas kita adalah hanya menyembah kepada Allah Swt, tetapi pekerjaan dan aktivitas sehari-hari yang menjadikan orang-orang sibuk, sehingga sering kali melupakan tujuan hidup kita yaitu menyembah kepada Allah Swt,” ujar Prof Kiai Harisudin di hadapan para jamaah sholat Jumat. 

“Madrasah Ramadhan juga memberikan pelajaran bagi kita agar banyak-banyak memberikan kebahagiaan kepada orang lain, keluarga, anak, istri, suami, saudara, teman dan semuanya. Karena itu juga bagian dari sedekah yang kita berikan kepada sesama,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu pula, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember itu menjelaskan tentang tingkatan puasa umat Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali. Adapun tiga tingkatan tersebut di antaranya;

Pertama, puasanya orang awam, yaitu puasa yang hanya menahan lapar, haus dan nafsu serta segala hal yang membatalkan puasa. Kedua, puasanya orang khusus, yaitu puasa kelas istimewa, artinya puasa dengan menahan telinga, mata, lisan, kaki, tangan dan fikiran untuk menjauhi perbuatan maksiat. Ketiga, puasa khususnya orang yang khusus, yaitu puasa dengan menjaga diri dari berfikir selain Allah Swt.

“Tingkatan itu dapat mengajarkan kita untuk berusaha naik kelas, artinya madrasah tahunan ini bisa mendorong kita untuk meningkatkan lagi kelas puasa kita ke yang lebih tinggi tingkatannya,” pungkasnya.

Kontributor : M Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Prof. KH. Abd. Halim Subahar: Pengkajian dan Penelitian Menjadi Pondasi Penting Fatwa MUI

Media Center Darul Hikam – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga harmoni umat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih dengan keanekaragaman budaya, suku, agama dan ras yang majemuk, menjadikan negara ini sangat rentan terjadi konflik apabila tidak diiringi dengan sikap toleransi dan moderat. 

Wakil Ketua Umum MUI Jawa Timur, Prof. Dr. KH. Abd. Halim Soebahar, MA mengatakan, MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim dalam rangka memecahkan persoalan, sekaligus memberikan solusi melalui fatwa-fatwanya.

“Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan di MUI, sangatlah dipertaruhkan kredibilitasnya. Karena berfungsi untuk menguatkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Kokohnya fatwa MUI karena ditopang kajian dan hasil penelitian. Karena ada tiga tahap dalam Fatwa yang harus dilalui, yaitu kajian teks, konteks dan tabayun,” ujar Prof. Kiai Halim Subahar dalam acara diskusi bersama Pengurus Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jaawa Timur, pada Selasa (23/3).

Menurutnya, MUI mempunyai tugas penting dalam melakukan pengkajian terhadap aliran keagamaan yang berkembang di Indonesia. Hingga saat ini, sudah banyak aliran keagamaan yang dinilai sesat oleh MUI. Oleh karena itu, MUI telah menetapkan sepuluh kriteria untuk mengidentifikasi suatu aliran atau paham keagamaan yang dinilai sesat atau menyimpang.

“Sepuluh kriteria inilah yang bisa dijadikan tolak ukur oleh MUI dalam melakukan kajian atau penelitian terhadap suatu paham atau aliran keagamaan yang dinilai sesat,” tegas Prof. Halim yang juga Direktur Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember.

Adapun kriterianya terdiri dari: 1) Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima, 2) Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah. 3) Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran 4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran. 5) Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. 6) Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam. 7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. 8) Mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu. 10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Menanggapi hal itu, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur berjanji, pihaknya akan melakukan pelatihan pengkajian sepuluh kriteria aliran sesat di atas ke MUI tingkat kota atau kabupaten.

“Saat ini banyak persoalan kontemporer yang harus diselesaikan melalui kajian sains, sehingga perlu dipersiapkan pelatihan yang bisa menjawab problematika tersebut agar MUI bisa merespons hal itu, terlebih ini juga perlu dikorelasikan dengan Komisi Fatwa,” ujar Prof. Dr. Kiai Harisudin yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KH. Achmad Siddiq Jember.

Dalam acara diskusi yang berlangsung secara online tersebut banyak bermunculan ide, gagasan dan rekomendasi dari para anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur sendiri.

Misalnya, mulai pelatihan moderasi agama, usulan penambahan pada sepuluh daftar kriteria aliran sesat di atas khususnya pada nomor 7 agar tidak hanya berlaku untuk nabi dan rasul melainkan juga para sahabat, tabiin dan ulama. Perlunya sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) dari MUI pusat hingga kota atau kabupaten, melakukan kolaborasi dengan perguruan tinggi khususnya yang telah mempunyai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan usulan lainnya.

“Nanti kita agendakan dalam waktu dekat ini untuk melakukan rapat secara tatap muka di kantor MUI Jatim, tentunya dalam rangka membahas program kerja komisi,” tambah Prof. Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Pondok Pesantren darul Hikam Jember.

Reporter : M. Irwan Zamroni Ali