Categories
Keislaman

Apakah Wajib Menjual Aset Kekayaan untuk Biaya Haji?

Perjalanan haji merupakan ritual ibadah yang mulia bagi umat Islam. Ibadah haji, di samping harus memiliki kekuatan fisik yang prima juga tentu membutuhkan harta yang tidak sedikit. Aspek kemampuan (Istithaah) berupa fisik dan harta ini menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menunaikan ibadah haji.

Kendati demikian, di tengah masyarakat kerap ditemukan praktik menjual aset kekayaan baik berupa tanah, perhiasan, bahkan rumah untuk ongkos selama melakukan perjalanan haji. Lantas, wajibkah bagi seseorang yang hendak berangkat ke tanah suci tersebut menjual aset kekayaannya untuk biaya perjalanan ibadah haji?

Merujuk literatur fiqih, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah mengenai masalah ini. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Imam Ibn Suraij (wafat 306 H) dan Imam Al-Qadhi’ Abu Ath-Thayyib (wafat 405 H) hukumnya tidak wajib untuk menjual aset tanah.

Akan tetapi, Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) berpendapat bahwasanya hukum menjual tanah itu adalah wajib. Tarik ulur pendapat ulama demikian dirangkum oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya:

Artinya: “Kalangan Syafi’iyyah berkata: Apabila seseorang memiliki sebidang tanah yang ia gunakan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya atau ia memiliki harta dagangan yang menghasilkan laba setiap tahun guna memenuhi kebutuhan keluarganya serta tidak ada yang menggunakannya untuk haji. Dan apabila digunakan untuk haji, maka dapat mencukupi dirinya beserta keluarganya saat berangkat maupun pulangnya dan tidak tersisa sedikitpun, apakah ia wajib haji dalam dua kasus populer ini? Mengenai hal ini ada dua pendapat. (Pertama) Tidak wajib wajib haji, menurut pendapat Imam Ibn Suraij dan diafirmasi oleh Imam Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib… (Kedua) Adalah pendapat shahih, wajib haji baginya sebab ia sudah mendapatkan ongkos dan kendaraan yang mana keduanya termasuk rukun utama dalam melaksanakan kewajiban haji.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ ‘Ala Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 7, h. 73)

Sedangkan, perihal aset berupa rumah hukumnya wajib untuk dijual selagi memungkinkan dan masih ada rumah lain yang dapat mencukupi kebutuhannya meski rumah tersebut tidak terlalu bagus. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 H) yang menyatakan:

Artinya: “Apabila mungkin untuk menjual sebagian aset rumah yang dimilikinya meskipun tidak terlalu bagus dan hasil penjualannya bisa digunakan untuk ongkos haji. Atau rumahnya bagus namun tidak terlalu layak dihuni dan seandainya diganti niscaya dapat ia gunakan untuk memenuhi ongkos haji maka hal tersebut hukumnya wajib.” (Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz Al-Minhaj [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 213)

Adapun mengenai aksesori berupa perhiasan yang umumnya dikenakan oleh kaum perempuan seperti cincin, gelang, anting dan kalung serta koleksi baju yang ia miliki hukumnya tidak wajib untuk dijual, apabila masih diperlukan untuk mengenakannya dengan catatan tidak digunakan secara berlebihan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba’alawi (wafat 1320 H) dalam kompilasi fatwanya:

Artinya: “Diwajibkan bagi seseorang untuk mengalokasikan harta dagangannya dan menjual aset tanah pekarangannya guna menunaikan ibadah haji, sebab dengan hal itu ia dikategorikan sebagai orang yang mampu. Berbeda halnya dengan kitab-kitab fiqih, kuda prajurit, pakaian untuk berhias dan alat-alat pertukangan serta perhiasan yang dikenakan oleh perempuan yang layak baginya dan dibutuhkan untuk berhias pada umumnya maka dia (pemilik aksesoris atau barang tersebut) tidak dikategorikan sebagai orang yang mampu dan tidak berkewajiban untuk menjualnya.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba’alawi, Bughyah Al-Mustarsyidin[Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 190)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum menjual aset kekayaan untuk biaya ibadah haji dalam tinjauan fiqih diperinci berdasarkan bentuk aset kepemilikannya sebagai berikut: Bila asetnya berupa tanah atau pun lahan kosong maka terjadi khilaf. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Imam Ibn Suraij dan Imam Al-Qadhi’ Abu Ath-Thayyib hukumnya tidak wajib untuk menjual aset tanah. Namun Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwasanya hukum menjual aset tanah itu adalah wajib.

Sementara itu, aset berupa rumah hukumnya wajib untuk dijual selagi memungkinkan dan masih ada rumah lain yang dapat mencukupi kebutuhannya meski rumah tersebut tidak terlalu bagus. Jika tidak ada, maka tidak wajib untuk menjualnya.

Adapun mengenai aksesori berupa perhiasan yang biasa dikenakan oleh perempuan, seperti halnya cincin, gelang, anting dan kalung serta koleksi baju hukumnya tidak wajib untuk dijual jika masih diperlukan untuk dikenakan selagi tidak digunakan secara berlebihan. Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber: https://arina.id/syariah/ar-AGcuA/apakah-wajib-menjual-aset-kekayaan-untuk-biaya-haji-

Categories
Keislaman

Apakah Perlu Pindah Mazhab ketika Haji dan Umrah?

Haji dan umrah merupakan ibadah yang cukup dinamis. Secara normatif, ketentuan di dalam haji dan umrah sudah jelas di dalam kitab-kitab fiqih baik pandangan mu’tamad yang dikemukakan oleh mayoritas ulama maupun pendapat ulama orang seorang tentu dengan kualitas yang bervariatif, rajih dan marjuhnya.  

Haji dan umrah sebagaimana ibadah lainnya memiliki ketentuan, syarat, rukun, wajib, dan sunnah yang sedapat mungkin dilaksanakan termasuk larangan haji dan umrah yang harus dihindari.  

Adapun haji dan umrah dalam praktik tidak dapat disimplifikasi ke dalam satu buku panduan manasik atau penerapan satu mazhab fiqih tertentu. Haji dan umrah dalam praktik akan mengalami kendala ketika jamaah terpaku oleh satu kerangka normatif tertentu.

Haji dan umrah dalam praktik perlu pendekatan khusus yang tidak hanya berbasis nash, tetapi juga mempertimbangkan waqa’i/realitas-realitas di lapangan baik yang bersifat kebijakan Kemenag RI, otoritas Arab Saudi, keragaman kategori [kebutuhan] jamaah haji Indonesia, kepadatan jamaah haji, keterbatasan area manasik haji (termasuk Armuzna), kebijakan konsumsi, ketersediaan fasilitas umum dan akomodasi [kelayakan tenda, jumlah toilet], kondisi lalu-lalang bus/ambulans atau arus pergerakan pejalan kaki, maupun kondisi cuaca terik area manasik.

Status istitha’ah (kemampuan) calon jamaah haji yang menentukan syarat wajib seseorang juga berbeda penerjemahannya dalam bentuk kebijakan di negara-negara yang memberangkatkan haji warga negaranya.

Keragaman kategori calon jamaah haji seperti jamaah sehat, jamaah sakit dengan pendampingan, jamaah dengan risiko tinggi, jamaah lansia, jamaah demensia, jamaah disabilitas, bahkan istitha’ah berdasarkan usia sudah cukup pelik.  

Walhasil haji dan umrah dalam praktik cukup dinamis dan kompleks. Secara simpel, Imam An-Nawawi membagi dinamika dan kompleksitas hambatan dan kendala ibadah dalam dua kategori, yaitu uzur aam yang bersifat umum-kolektif dan objektif; dan uzur khas yang bersifat individual subjektif.  

Di tengah ‘uzur ‘aam dan ‘uzur khas yang cukup dinamis, perpindahan mazhab (intiqalul madzhab) secara umum yang sering kali tak terhindarkan pada dasarnya telah memiliki landasan teologisnya.  

Perpindahan mazhab dalam ibadah haji bukan sekadar soal sentuhan laki-laki dan perempuan di tengah kepadatan jamaah saat tawaf dan sai di Masjidil Haram.

Perpindahan mazhab dalam konteks haji dan umrah menjadi niscaya dan dibutuhkan ketika pelaksanaan tawaf ifadhah bagi jamaah haji perempuan yang haidh, kriteria pembadalan jamaah yang uzur, agenda safari wukuf, pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan murur (seperti lazim dilakukan jamaah haji asal Turki), kebijakan tanazul sebagian jamaah untuk mengurangi kepadatan mabit di Mina, ketentuan (bebas) dam bagi petugas haji dan tim kesehatan yang tidak sempat mengerjakan wajib haji karena kesibukannya dalam tugas pelayanan, ketentuan miqat makani, area mabit (Mina Jadid), keutamaan berlipat ganda ibadah di Tanah Haram yang nggak melulu di Masjidil Haram, shalat berjamaah dari hotel terdekat kepada imam di Masjidil Haram, suci sebagai syarat sah tawaf, tawaf di perluasan Masjidil Haram, dan bahkan optimalisasi dam haji.  

Dengan demikian, perpindahan mazhab dapat menjadi solusi untuk mencari opsi-opsi yang memungkinkan dan meringankan dinamika praktik haji dan umrah sesuai kebutuhannya yang pelik dan kompleks di lapangan.  

Syekh M Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M) ulama prolifik ini memberikan landasan teologis terkait perpindahan mazhab. Fleksibilitas itu tampak ketika ia mengutip salah satu pandangan ulama yang membolehkan perpindahan mazhab atau bahkan penggabungan dua mazhab dalam satu masalah sejauh tidak bertentangan dengan pandangan ijmak, suatu konsensus yang telah disepakati ulama.

Artinya: “Soal perpindahan dari satu ke lain mazhab–meski tidak secara keseluruhan satu rangkaian ibadah–, ulama memiliki tiga pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama melarang secara mutlak. Sebagian ulama lagi membolehkan secara mutlak. Sebagian ulama lain lagi membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijmak. Apabila bertentangan dengan ijmak, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama. (Nawawi Al-Bantani, Ats-Tsimarul Yani’ah fi Riyadhil Badi’ah, [Mesir-Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah: tanpa catata tahun], halaman 13).  

Nahdlatul Ulama (NU) sendiri dalam anggaran dasar organisasinya mengakui empat mazhab sebagai ketentuan normatif fiqih yang boleh dipraktikkan oleh masyarakat NU. Meski lebih dominan dan memprioritaskan mazhab Syafi’i, NU tetap membuka kemungkinan terhadap praktik penggabungan dua mazhab atau lebih (talfiq).  

Dalam Musyawarah Alim Ulama Nasional (Munas) NU 2006 di Surabaya, secara eksplisit NU memutuskan kebolehan talfiq antara pendapat empat mazhab fiqih Islam. “Talfiq pada dasarnya dilarang. Talfiq dibolehkan jika ada masyaqqah (kesulitan) dan tidak dalam rangka tattabbu’ur rukhash (semata-mata mencari keringanan).” (Ahkamul Fuqaha, Solusi Hukum Islam, [Jakarta-Surabaya, LTN PBNU-Kalista: 2012 M], halaman 859-860).  

Dalam putusan Munas NU 2006, praktik talfiq merujuk pada penggabungan dua pendapat atau lebih dalam satu qadhiyah (satu rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru yang tidak ada seorang imam (ulama) pun berpendapat seperti itu.  

Contoh, seseorang bertaqlid kepada mazhab Syafi’i dalam keabsahan wudhu dengan hanya mengusap sebagian kepala. Kemudian bertaqlid pada mazhab Hanafi dalam hal ketidakbatalannya karena menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram. (Ahkamul Fuqaha, 2012 M: 859-860).  

Inisiatif praktik talfiq berangkat dari perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah memunculkan persoalan-persoalan keagamaan yang membutuhkan jawaban yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Kompleksitas persoalan itu dihadapkan pada teks- teks (nushus) syar’i terbatas. Demikian juga dengan keterbatasan pendapat-pendapat ulama yang terintegrasi dalam suatu persoalan. Sedangkan persoalan-persoalan keagamaan selalu muncul tidak ada batasnya. Terkadang, talfiq menjadi langkah yang sulit dihindari demi tercapainya kemaslahatan dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi.  

Sistem bermazhab yang dianut oleh NU sendiri sudah sejak lama mempraktikkan talfiq dalam kajian-kajian keagamaannya. Hanya saja putusan Munas NU 2006 di Surabaya ini memberikan ketentuan, batasan kebolehan, dan juga landasan atau dasar hukum praktik talfiq yang sudah dikutip sebelumnya.   Putusan Munas NU 2006 di Surabaya tentang talfiq ini sungguh penting sebagai pintu masuk untuk mencari solusi atas dinamika, problematika, dan kompleksitas ibadah haji dan umrah, tetapi juga “untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menggunakan talfiq dan menghindari penyalahgunaan talfiq yang menyesatkan,” (Ahkamul Fuqaha, 2012 M: 859). Wallahu a’lam.

Penulis:

Ustadz Alhafiz Kurniawan M.Hum., Redaktur Keislaman NU Online, Penyuluh Agama Islam Jakarta Selatan, Wakil Sekretaris LBM PBNU, MCH 2024.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/apakah-perlu-pindah-mazhab-ketika-haji-dan-umrah-MnZX2


Categories
Keislaman

PBNU Putuskan Ibadah Haji tanpa Visa Resmi Cacat dan Berdosa

Makkah, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas hukum pelaksanaan ibadah haji dengan visa non-haji (tidak prosedural) di Jakarta, Selasa (28/5/2024) siang. PBNU memutuskan bahwa pelaksanaan ibadah haji tanpa visa haji mengandung cacat menurut ketentuan syariat Islam. Jamaah haji yang menempuh jalan non-prosedural ini masuk kategori berdosa.

Syuriyah PBNU dalam musyawarah Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah-nya memutuskan bahwa ibadah haji dengan visa nonhaji (tidak prosedural) tetap sah, tetapi cacat secara syariat. Secara umum, pelaksanaan ibadah yang terpenuhi syarat dan rukunnya dianggap sah dan menggugurkan kewajiban.

“Sah hajinya karena visa haji yang disyaratkan bukan bagian dari syarat dan rukun haji. Sedangkan larangan agama yang berwujud dalam larangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KSA) bersifat eksternal (raji’un ila amrin kharijin),” tulis putusan PBNU yang ditetapkan di Jakarta pada 19 Dzulqa’dah 1445 H/28 Mei 2024 M.

PBNU memandang pelaksanaan haji tanpa visa haji (nonprosedural) sebagai sebuah praktik yang cacat dan pelakunya berdosa karena (1) melanggar kewajiban untuk menaati kebijakan pemerintah dalam konteks ini Pemerintah RI dan KSA (2) berseberangan dengan inti syariat, yaitu membahayakan diri sendiri dan jamaah haji lain.

Jamaah haji ilegal melanggar aturan syariat yang mewajibkan mentaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian (Ya ayyuhalladzina amanu awfu bil ‘uqud), baik itu pemerintah Arab Saudi maupun pemerintah Indonesia, termasuk di dalamnya yang melarang haji tanpa visa haji.

“Karena aturan tersebut benar dan sah menurut syariat dan akal sehat, semua pihak wajib menaatinya,” tulis putusan Syuriyah PBNU.

Bagi PBNU, praktik haji dengan visa nonhaji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa nonhaji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lain.

Dalam pandangan PBNU, praktik haji ilegal telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah dengan visa haji resmi.

Jamaah haji ilegal memperparah kepadatan jamaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) maupun di Makkah, yang berpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.

Sumber: https://nu.or.id/nasional/pbnu-putuskan-ibadah-haji-tanpa-visa-resmi-cacat-dan-berdosa-qIHQn

Categories
Keislaman

Mabit di Muzdalifah, Harus Menginap atau Cukup Mampir atau Lewat?

Jamaah haji wajib melakukan mabit di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Jamaah haji melakukan mabit lewat tengah malam dini hari nahar (10 Dzulhijjah) setelah wukuf di Arafah. Mabit di Muzdalifah bukan rukun haji menurut mayoritas ulama.  

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menghimpun sejumlah pendapat ulama perihal mabit di Muzdalifah.  

Imam Malik berpendapat, mabit di Muzdalifah ialah berhenti sejenak di Muzdalifah, sekira mampir menurunkan kaki di perjalanan, menjamak dua shalat, dan makan juga minum. Adapun hukum menginap semalam suntuk di Muzdalifah sunnah muakkad. Jamaah yang tidak melakukan mabit, bagi Imam Malik, wajib membayar dam. Orang yang berdiam hampir sepenuh malam, tidak wajib dam.

Ulama Hanafiyah berpendapat, diam di Muzdalifah wajib meski sesaat walaupun hanya murur atau lewat saja seperti wukuf di Arafah. Tentu saja mabit di Muzdalifah dianjurkan.

Bagi ulama Syafiiyah dan Hanabilah, mabit di Muzdalifah dianggap cukup dengan berhenti sejenak setelah melewati tengah malam. (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Munir, juz II, halaman 223).

Dalam pandangan Ulama Syafiiyah, jamaah haji wajib mabit di Muzdalifah meski sejenak setelah tengah malam. Jika jamaah bertolak meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka ia wajib kembali untuk kemudian melaluinya. Jika tidak kembali sampai terbit fajar, maka ia terkena dam.

قَوْلُهُ: (بِالْمَبِيتِ) أَيْ الْمُكْثِ فِيهَا وَلَوْ لَحْظَةً، بَلْ يَكْفِي الْمُرُورُ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالْمَبِيتِ لَمْ يَرِدْ فِيهَا

Artinya, Kata (mabit) yaitu berhenti atau diam di Muzdalifah meski sesaat, bahkan cukup murur atau lewat saja karena memang tidak terdapat perintah mabit/menginap di Muzdalifah,” (Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, juz II, halaman 446).  

Mabit di Muzdalifah tidak harus bermalam semalam suntuk, tetapi cukup sekadar hadir sesaat atau bahkan hanya murur/melalui areanya saja sebagaimana wukuf di Arafah.

Adapun terkait kebijakan mabit di Muzdalifah, jamaah haji Indonesia diharuskan untuk mengikuti agenda perjalanan haji Indonesia yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI.   Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat diterima dengan baik. Wallahu a’lam.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/mabit-di-muzdalifah-harus-menginap-atau-cukup-mampir-atau-lewat-nobIj

Categories
Keislaman

Batalkah Puasa karena Terluka dan Berdarah?

Assalamu’alaikum wr wb. Maaf izin bertanya, ketika sedang berpuasa lalu tidak sengaja terluka karena pisau terus berdarah, hukum puasanya bagaimana? batal atau tidak. (Hamba Allah)

Jawaban:

Wassalamu ’alaikum wr wb. Terimakasih kami sampaikan pada penanya, semoga kita dan seluruh pembaca NU Online senantiasa dalam lindungan Allah swt.  

Hukum puasa orang yang tidak sengaja terluka dan berdarah adalah tetap sah. Karena luka dan keluarnya darah tidak termasuk dari 10 hal yang dapat membatalkan puasa, seperti yang disebutkan dalam kitab Matan Abi Syuja’, sebagaimana berikut :

  1. Masuknya benda ke dalam tubuh dengan sengaja melalui lubang yang terbuka seperti mulut, hidung, dan lainnya,
  2. Masuknya benda ke dalam kepala,
  3. Mengobati orang yang sakit melalui qubul dan dubur,
  4. Muntah dengan sengaja, 
  5. Bersetubuh dengan sengaja, 
  6. Keluar mani karena bersentuhan kulit, 
  7. Haid,
  8. Nifas,
  9. Hilang akal/kesadaran, seperti gila, dan
  10. Murtad.  

Dalam permasalahan yang ditanyakan di atas, yaitu masuknya pisau ke dalam bagian tubuh yang tersayat tidak termasuk hal yang membatalkan puasa, karena bagian kulit atau daging yang tersayat pisau tersebut bukan tergolong lubang yang terbuka. Sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh Syihabuddin Ahmad Al-Qulyubi:  

Artinya, “Jika dia memasukkan obat karena luka pada betis ke dalam daging, atau menusukkan pisau ke dalamnya hingga sampai ke sumsum, maka tidak batal puasanya, karena itu bukan rongga badan. Jika dia menusuk dirinya sendiri, atau ada orang lain yang menusuknya atas seizinnya, dan pisaunya ditancapkan sampai pada bagian rongga dalam perut, maka hal itu membatalkan puasa.” (Syihabuddin Ahmad al Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah [Mesir: Dar Iḥya’il Kutub al-Arabiyah: 1950] Juz II, Halaman 56)

Sedangkan untuk permasalahan keluarnya darah, juga tidak termasuk hal yang membatalkan puasa. sama seperti orang yang melakukan bekam saat puasa, yaitu pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari sayatan kecil dalam tubuh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa dan tidak dimakruhkan bagi orang yang puasa.

Artinya, “Adapun bekam, tidak membatalkan puasa orang yang berpuasa, dan tidak di-makruh-kan, demikian pendapat sebagian besar sahabat dan ahli fiqih.” (Abul Hasan Ali Al Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1994] Juz III, Halaman 461)   

Adapun pendapat yang memakruhkan bahkan melarang bekam bagi orang yang puasa, itu karena akan membuat tubuh menjadi lemas, sehingga dikhawatirkan bisa membatalkan puasa, bukan karena bekam itu sendiri termasuk hal yang dapat membatalkan puasa.     \

Dari penjelasan di atas, dapat di pahami bahwa tersayatnya tubuh hingga mengeluarkan darah tidak membatalkan puasa, karena pisau yang melukainya tidak sampai masuk pada bagian rongga dalam tubuh, serta keluarnya darah dari tubuh juga tidak termasuk hal yang membatalkan puasa.

Wallahu a’lam.  

Sumber: https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/batalkah-puasa-karena-terluka-dan-berdarah-pbBie

Categories
Keislaman

Hukum Mimpi Basah saat Puasa, Apakah Membatalkan?

Setiap Muslim hendaknya menghindari hal yang membatalkan puasa agar puasanya sah. Keluar air mani karena mimpi basah saat puasa atau sebab yang lainnya menjadi polemik yang dipertanyakan oleh banyak kalangan. Apakah mimpi basah saat puasa di siang hari Ramadhan dapat membatalkan puasa?  

Pada dasarnya, hukum keluar air mani dalam literatur fiqih terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hukumnya dapat membatalkan puasa, dan yang kedua, hukumnya tidak dapat membatalkan puasa.  

1. Keluar Mani yang Membatalkan Puasa

Termasuk dalam poin pertama ini adalah onani. Onani yaitu proses mengeluarkan mani atau sperma tanpa melakukan senggama, seperti mengeluarkannya dengan tangan sendiri, atau dengan tangan istri.

Selain itu, perkara yang tergolong pada poin pertama adalah mengeluarkan mani dengan cara kontak langsung dengan kulit lawan jenis sebagai indera perasa, seperti dengan mencium, menyentuh, dan berpelukan tanpa terhalang oleh busana. Proses keluar air mani yang demikian  itu, semuanya membatalkan puasa.

2. Keluar Mani yang Tidak Membatalkan Puasa

Namun, jika air mani keluar disebabkan berpikir pada hal-hal yang tidak senonoh, atau melihat dengan penuh gairah, atau keluarnya melalui mimpi (mimpi basah), maka hal tersebut tidak sampai membatalkan puasa.

Al-Khatib As-Syirbini dalam kitab Mughnil Muhtaj menjelaskan:

Artinya, “Dan wajib (menahan diri) dari onani, jika orang puasa melakukannya maka batal puasanya. Hal yang sama jika mani keluar akibat menyentuh, mencium, dan tidur bersamaan (dengan adanya sentuhan). Adapun hanya sebatas berpikir atau melihat dengan gairah maka (hukumnya) serupa dengan mimpi basah, (yaitu tidak membatalkan puasa).” (Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Ma’rifah:1997], jilid I, halaman 630).  

Dari sini dapat disimpulkan, keluar mani melalui mimpi atau biasa dikenal dengan mimpi basah saat puasa tidak membatalkan keabsahannya.

Argumentasi mengapa mimpi basah tidak membatalkan puasa adalah karena orang yang tidur tidak terkena khitab (aturan hukum) Allah swt, sebagaimana orang gila dan anak kecil.  

Keterangan serupa dapat dibaca dalam artikel NU Online berjudul “Mimpi Basah di Siang Bulan Ramadhan, Membatalkan Puasa?”. Wallahu a’lam.

Sumber : https://islam.nu.or.id/ramadhan/hukum-mimpi-basah-saat-puasa-apakah-membatalkan-cD5HG

Categories
Dunia Islam Keislaman Opini

Inilah Tiga Keutamaan Bulan Rajab

Oleh: Vicky Hermawan*

Bulan Rajab telah datang, salah satu bulan yang secara langsung disebut oleh Allah sebagai bulan mulia. Jamak diketahui bahwa bulan-bulan mulia itu ada empat; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dalam firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya 4 bulan haram. (Q.S. At-Taubah [9]: 35)

Tatkala Nabi Muhammad memasuki bulan suci Rajab, ada satu doa yang tidak pernah beliau lewatkan. Doa tersebut biasa diucapkan setiap kali bulan Rajab datang. Diriwayatkan dari sahabat Anas, beliau berkata:

Artinya: Nabi Muhammad setiap kali memasuki bulan Rajab, maka belaiu berdoa, “Ya-Allah! Berkailah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Juga, sampaikan kami kepada bulan Ramadan (untuk senantiasa bisa beribadah kepada-Mu)”. (HR. Ahmad bin Hanbal) 

Adapun penamaan bulan Rajab berdasarkan dari Sahabat Anas bin Malik yang meriwayatkan satu keterangan dari Nabi Muhammad mengenai asal-usul dibalik penamaan bulan Rajab. Sahabat Anas berkata:

Artinya: Dikatakan kepada Nabi Muhammad: Wahai utusan Allah! Kenapa disebut sebagai bulan Rajab?, lalu Nabi Muhammad menjawab: Karena pada bulan tersebut terdapat banyak kebaikan yang diagungkan untuk bulan Syaban dan Ramadan. (HR. Imam Bukhari).

Keutamaan Bulan Rajab
Berbicara seputar bulan Rajab, akan lebih baik juga memahami beberapa keutamaan yang ada di bulan tersebut. Ada beberapa keutamaan yang akan penulis sampaikan pada kesempatan kali ini.

Pertama, orang yang berpuasa di bulan Rajab akan mendapatkan pahala yang besar. Salah satu pahala tersebut adalah mendapat kenikmatan berupa aliran air sungai nanti di surga. Diriwayatkan dari sahabat Anas beliau berkata:

Artinya: Sesungguhnya ada satu sungai di surga bernama Rajab. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka Allah akan memberikan aliran dari sungai tersebut. (HR. Imam Baihaqi).

Kedua, Nabi Muhammad tidak pernah berpuasa lengkap selama satu bulan setelah bulan Ramadan kecuali bulan Rajab. Sebagaimana informasi dari sahabat Abu Hurairah berikut:

Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad tidak menyempurnakan puasa satu bulan setelah Ramadan kecuali Rajab dan Syaban. (HR. Imam Tabrani)

Dari riwayat di atas, setidaknya dengan kita berpuasa secara lengkap di bulan Rajab, kita bisa menjadi umat yang senantiasa mengikuti perilaku Nabi Muhammad. Dari situ pula, kita bisa menumbuhkan dan meningkaatkan rasa cinta kepada beliau. 

Ketiga, orang yang menghidupkan malam-malam di bulan Rajab, maka Allah akan memberikan keistimewaan nanti di surga. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Ali bin Husain bahwa Nabi Muhammad berkata:

Artinya: Barang siapa menghidupkan malam bulan Rajab, berpuasa di siang hari bulan tersebut, maka Allah akan memberikan makanan berupa buah-buahan surga, memberikan pakaian hijau di surga, dan memberikan wewangian yang sempurna. (HR. Imam ibn al-Jauzi).

Demikianlah sekelumit keutamaan yang ada di bulan Rajab. Sebagai umat Islam, hendaknya kita memperbanyak amalan di bulan ini. Seraya mengharap kebaikan dari Allah untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

*Mahasantri Ma’had Aly Annur II, Malang

Sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/inilah-tiga-keutamaan-bulan-rajab-N8qSq

Categories
Keislaman

Mengucapkan Selamat Natal Menurut Pendapat Sejumlah Ulama

Menjelang perayaan Hari Natal, lumrah terjadi perdebatan bagi sejumlah kalangan terkait hukum umat Islam mengucapkan selamat Natal. Baik ucapan itu disampaikan kepada umat Kristen atau siapapun yang memperingati.

Tak jarang perdebatan terjadi cukup keras hingga menimbulkan percekcokan. Bahkan, sebagian lainnya sampai pada vonis kafir (takfîr). Lantas, bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal menurut para ulama?

Guna menjawab hal itu, berikut ini akan dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal.

Padahal, kondisi sosial saat Nabi Muhammad SAW hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).

Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Artinya: “Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.”

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat.

Pertama, sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah SAW dalam surat Al-Furqan ayat 72:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Pada ayat tersebut, Allah SWT menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.

 Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ     

Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, nomor 4031).

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.

Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah SWT dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ 

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Pada ayat di atas, Allah SWT tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Anas bin Malik:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ

Artinya: “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi SAW mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi SAW).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi SAW keluar seraya bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.

Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan.

Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina):

هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ.

Artinya: “Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609)

sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/mengucapkan-selamat-natal-menurut-pendapat-sejumlah-ulama-RMTMR

Categories
Keislaman

Shalat Tahajud Berjamaah, Bolehkah?

Shalat sunnah selain rawatib mengisyaratkan akan pentingnya mengisi waktu dengan ibadah shalat sunah, misalnya shalat dhuha untuk pagi hingga jelang siang, shalat tahajud untuk malam hingga jelang sahur. Kesunahan tersebut tentu dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. 

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa shalat malam identik dengan shalat tahajud. Hal ini  dianjurkan bagi mereka yang tidur terlebih dahulu untuk mempersiapkan diri memburu waktu mustajab dan mengisi waktu malam dengan dzikir dan shalat sunnah di malam hari.

Shalat tahajud artinya melakukan shalat sunat di malam hari, yang dikerjakan setelah bangun tidur. Konsekuensinya, jika belum tidur terlebih dahulu maka shalat itu tidak disebut shalat tahajud, namun disebut shalat “qiyamullail” (shalat malam). Oleh karena itu kalau shalat dilakukan sebelum tidur bisa diniati shalat witir, tasbih, sunnah mutlak, hajat dst.

Berikut ini keterangan dari kitab Nihayatuz Zain: 

Artinya: Termasuk shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah di malam hari, apabila shalat ini dilakukan setelah tidur meskipun tidurnya di waktu maghrib namun sesudah melaksanakan shalat isya secara jamak taqdim, maka dinamakan tahajud. 

Lantas bagaimana hukumnya shalat tahajud berjamaah? Merujuk pada keterangan kitab Bughyatul Mustarsyidin 1/136 disebutkan: 

Artinya: Diperbolehkan melaksanakan shalat sunnah berjamaah seperti witir, tasbih, Hal ini tidak makruh juga tidak mendapatkan pahala berjamaah. Akan tetapi apabila berjamaah ini dalam rangka mengajarkan dan mendorong masyarakat agar terbiasa shalat sunnah, maka mendapatkan pahala sebab niat baik. 

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa shalat sunnah tasbih, tahajud, dhuha, hajat yang dilaksanakan secara berjamaah itu hukumnya boleh, dalam rangka mengajarkan kebiasaan shalat sunnah untuk masyarakat dan juga tidak menimbulkan pemahaman bahwa shalat sunnah tahajud berjamaah itu disyariatkan.  

Sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/shalat-tahajud-berjamaah-bolehkah-vWeEP#:~:text=Dengan%20demikian%20dapat%20ditarik%20kesimpulan,sunnah%20tahajud%20berjamaah%20itu%20disyariatkan.

Categories
Artikel Kegiatan Keislaman

Tingkatkan Literasi Mahasantri, Ponpes Darul Hikam Gelar Pelatihan Jurnal Scopus Undang Editor in Chief Volkgeist

Media Center Darul Hikam – Dalam rangka meningkatkan kualitas dan wawasan mahasantri dalam menulis jurnal ilmiah, Pondok Pesantren Darul Hikam menggelar Tadarus Ilmiah mengusung tema, “Santri Belajar Menulis Jurnal Scopus, Nggak Bahaya Tah?” pada Jumat, (27/10/23) pukul 18.30-20.00 WIB bertempat di Aula Pondok Pesantren Putra Ajung, Jember.

Turut hadir dalam acara tersebut Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA. dan Nyai Rabiatul Adawiyah, S.H.I., M.H. selaku pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Hariyanto, S.H.I., M.Hum., M.Pd. selaku narasumber yang sangat berkompeten dalam bidangnya.

Dalam sambutannya, Kiai Haris menuturkan bahwa acara tadarus ilmiah tersebut merupakan sebuah kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasantri Darul Hikam guna memperdalam ilmu-ilmu, khususnya dalam penulisan jurnal ilmiah. Demikian ini sesuai tagline Pondok Darul Hikam sebagai Pondok Scholarship dan Literasi.

Insyaallah baru kita (Pondok Darul Hikam, red) yang menggelar untuk mahasantrinya kajian untuk menulis jurnal scopus. Pondok-pondok lain mungkin sama menggelar kajian-kajian agama seperti ngaji kitab, tapi untuk kajian menulis scopus Insyaallah baru kita (Darul Hikam, red),“ tutur Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Adapun Hariyanto, S.H.I., M.Hum., M.Pd. menerangkan dalam materinya bahwa menulis jurnal scopus merupakan maqam-nya guru besar. Dalam materinya juga, Hariyanto (sapaan akrabnya) menyebutkan beberapa alasan seorang mahasiswa menulis jurnal ialah tugas mata kuliah, paper int conference, riset bersama dosen, artikel bersyarat ujian, dan untuk cumlaude.

“Kemudian S1, S2, S3 itu syaratnya harus mempunyai jurnal. Bahkan ada di kampus-kampus lain bahwa apabila mahasiswanya bisa menulis di jurnal  ilmiah apalagi di scopus atau sinta 1 maka tidak akan dikenakan kewajiban membuat skripsi,” ujar Editor in Chief Jurnal Scopus Volkgiest UIN Saizu Purwokerto itu.

Tak luput pula, Hariyanto menjelaskan bahwa dalam menulis sebuah jurnal, perlu mencari atau mengangkat sebuah isu terlebih dahulu dan dasar riset memiliki kesenjangan (gap) penelitian. Peneliti dapat mengangkat isu yang bersumber dari berbagai bacaan seperti berita, artikel, bahkan pengalaman peneliti sendiri.

Hariyanto mengungkapkan pula dalam materinya, bahwasanya sebuah artikel yang baik memiliki referensi primer dan mutakhir. Hariyanto juga menambahkan bahwa penting untuk mengikuti IMRAC (Introduction, Method, Result, Analysis, Conclusion) serta template jurnal yang hendak dituju dalam menulis dan mengirim sebuah artikel atau jurnal.

Yang terakhir, Hariyanto juga menjelaskan bahwa dalam menulis artikel atau jurnal perlu adanya novelty, gagasan, atau pemikiran dari peneliti.

“Syarat-syarat novelty ialah adanya pernyataan yang membuktikan artikel yang dibuat berbeda dari sebelumnya, kemudian bersifat baru, kontributif, memiliki fokus pada satu gagasan, sikap jelas, tidak mendua, perkuat analisis.”imbuhnya yang juga Wadek 3 Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto.

Acara berlangsung meriah diikuti oleh ratusan mahasantri Darul Hikam pusat, cabang putri, dan cabang putra yang dimoderatori secara langsung oleh Siti Junita, S.Pd.

Reporter: Agift Akmal Maulana

Editor: Erni Fitriani