Categories
Fatwa Ulama Tanya jawab islam

Sholat Qabliyah Duduk

Pertanyaan:

Assalamu’ alaikum  Wr.  Wb.

Ustadz, saya pernah melihat orang sholat sunah qabliyah atau ba’dliyah di masjid dalam keadaan duduk. Bagaimana hukumnya, ustadz ? Mohon penjelasannya. Trima kasih.

Wassalamu’aikum Wr Wb.

Dzulkifli Kaliwates

082334567xxx

Mas Dzulkifli yang saya dirahmati Allah Swt.

Pertanyaan mas Dzulkifli di atas berkaitan dengan hukum sholat sunah dalam keadaan duduk. Untuk mengetahui hukumnya, mari kita lihat syarat rukun sholat.

Dalam pembahasan sholat dijelaskan bahwa berdiri bagi orang yang mampu merupakan rukun sholat fardlu. Artinya, dalam sholat fardlu, seseorang harus sholat dalam keadaan berdiri. Kecuali orang yang sholat dalam keadaan sakit, maka orang tersebut diperbolehkan melakukan sholat fardlu dalam keadaan duduk. Sholat fardlunya orang yang sakit dalam keadaan duduk itu sah dan sudah menggugurkan kewajiban sholat. Ini aturan dalam sholat fardlu.

Berbeda dengan sholat fardlu, dalam sholat sunah, aturan ini tidak berlaku. Artinya berdiri bagi orang mampu bukan merupakan rukun dalam sholat sunnah. Karena bukan rukun, maka ia boleh menjalankan ibadah sunah dalam keadaan duduk, meskipun tidak ada udzur (sakit dan lain sebagainya). (Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, 39). Bahkan dalam keadaan sehatpun, ia boleh melakukan sholat sunah dalam keadaan duduk.

Ketentuan kebolehan melakukan sholat sunah dengan duduk ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

َمنْ صَلَّي قَائِمٍا فَهُوَ اَفْضَلُ وَ مَنْ صَلَّي قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاِئمِ وَ مَنْ صَلَّي نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ اَجْرِ اْلقَاعِدِ  ) رواه البخاري)

 Artinya: Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan berdiri, maka yang demikian itu lebih utama. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan duduk, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan berdiri. Barang siapa melakukan sholat dalam keadaan tidur, maka baginya separo pahala orang yang melakukan sholat dalam keadaan duduk (HR. Imam Bukhari).

Dengan demikian, jelaslah bahwa sholat sunah seperti sholat tahiyatul masjidqabliyahba’dliyahdluha dan sebagainya diperbolehkan untuk dilakukan dengan cara duduk. Meski demikian, harus diingat: pahala orang yang duduk adalah separo pahala orang yang berdiri. Pahala orang yang sholat dalam keadaan tidur miring adalah separo pahala orang yang duduk, sebagaimana bunyi sabda Rasulullah di atas.

Saya kira, demikian ini penjelasannya, mas Dzulkifli. Semoga berkah dan manfaat.

Wallahu’alam bi as-Shawab.    

Categories
Tanya jawab islam

Kambing Betina untuk Kurban

Assalamualaikum  Wr.  Wb.

Ustadz Harisudin, saya mau tanya. Bagaimana hukum berkurban  dengan kambing betina? Apakah sah kurbannya ? Mohon penjelasannya.  Trimakasih.

Wassalamu’alaikum  Wr.  Wb.

Restu, Mahasiswa IAIN Jember  

081342675xxx

Jawaban:

Mas Restu yang saya hormati.  Semoga Allah Swt. memberkahi anda dan kita semua. Amien ya rabbal alamien.

Islam tidak melarang hewan kurban betina. Artinya, dalam Islam tidak ada persyaratan hewan harus jantan. Dengan demikian, tidak dibedakan antara kurban betina dan kurban jantan. Keduanya sama-sama diperbolehkan untuk disembelih menjadi hewan kurban. Hanya saja, hewan kurban yang jantan lebih diutamakan. Meskipun, hewan kurban betina harganya lebih murah dan juga lebih banyak dagingnya.

بين الانثي و الذكر اذا وجد السن المعتبرنعم الذكر افضل علي الراجح  واعلم انه لافرق في الاجزاء

Artinya: Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada perbedaan antara hewan betina dan hewan jantan dalam berkurban ketika ditemukan umur yang diperhitungkan. Benar bahwa hewan jantan lebih utama karena lebih wangi dagingnya. (Kifayatul Akhyar: II, 236).

Yang utama dan perlu diperhatikan dalam hewan kurban –juga aqiqah—adalah persyaratan umur yang sudah waktunya.  Umur yang diperhitungkan dalam berkurban adalah umur dimana salah satu hewan tersebut telah tanggal (copot).  Untuk kambing domba, yang telah tanggal satu giginya (1-2 tahun). Untuk kambing biasa, yang telah tanggal dua giginya (1-3 tahun), untuk  unta umur 5-6 tahun dan untuk lembu umur 2-3 tahun. 

Selain itu, hewan kurban harus memenuhi syarat tidak cacat, antara lain: Pertama, tidak rusak matanya. Kedua, tidak jelas pincangnya. Ketiga, tidak hewan yang benar-benar punya penyakit. Dan keempat, tida hewan yang kurus hingga karena kekurusannya hilang sumsumnya.  

Jika persyaratan ini dipenuhi, maka sahlah kurban tersebut. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi, maka tidaklah sah kurban tersebut. Dengan demikian, sah tidaknya tidak berkaitan dengan hewan jantan maupun betina.

Demikian, semoga menjadi jelas.

Wallahu’alam.  

Categories
Dunia Islam Uncategorised

Syuriyah Wajah Lama, Tanfidziyah Ragam Latar Belakang

Jember, NU Online

Para Pengurus Cabang Nandlatul Ulama (PCNU) Jember periode 2014-2019, Senin malam (9/6) diperkenalkan kepada warga NU di sela-sela pengajian Aswaja di halaman kantor NU Jember, JL. Imam Bonjol, Kaliwates.

Mereka adalah hasil Konfercab NU awal Juni lalu yang menahbiskan kembali KH. Abdullah Syamsul Arifin dan KH. Muhyiddin Abdusshomad sebagai nahkoda NU Jember. 

Dalam sambutannya, KH. Abdullah Syamsul Arifin menegaskan bahwa NU bukan parpol, tapi siapapun pengurus parpol bisa menjadi pengurus NU asalkan mau mengabdi untuk NU. “Saya pikir, mereka adalah kader-kader terbaik NU, yang bisa bekerja untuk kemajuan NU,” tukas Gus A’ab, sapaan akrabnya.

Dari rilis daftar nama PCNU terbaru di jajaran syuriyah masih didominasi wajah-wajah lama. Cuma ada rotasi posisi, misalnya di kursi katib ditampati oleh DR. MN. Harisuddin, M.Fil.I. Dosen STAIN sekaligus Wakil Sekretris Yayasan Pendidikan NU ini, menggantikan KH. Hamid Hidir.

Sedangkan di jajaran tanfidziyah lebih beragam latar belakangnya, misalnya beberapa tokoh parpol masuk. Ada Moch. Eksan, S.Ag (Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Jember) masuk di jajaran wakil sekretaris, H. Karimullah (Partai Golkar) menjadi wakil bendahara. Demikian juga H. Miftahul Ulum (Ketua DPC PKB Kabupaten Jember) masih bertahan di kursi wakil ketua. 

Selain  itu, ada dua profesional yang juga masuk di deretan pengurus baru. Yaitu DR. Widodo, MH. (Dekan Fakultas Hukum, Universitas Jember) dan dr. H. Abdur Rouf (Kepala Puskesmas Mayang). Keduanya didapuk menjadi wakil sekretaris dan bendahara. (aryudi a razaq/abdullah alawi)

Categories
Dunia Islam

Rayakan Tahun Baru dengan Hal Positif, Bukan Maksiat!

Ahad, 28/12/2014 12:01

Jember, NU Online

Katib Syuriyah PCNU Jember Dr. MN. Harisudin mengharamkan perayaan tahun baru yang diisi dengan kegiatan yang berbau maksiat. Misalnya minum-minuman keras, ikhtilath (pergaulan) antara laki-laki dan perempuan buan muhrim, pacaran, dan kegiatan maksiat yang lain.

Menurut pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember ini, pada dasarnya hukum merayakan tahun baru masehi ini adalah boleh. Hanya saja, ketika berkaitan dengan perbuatan maksiat, maka hukumnya menjadi haram.

“Dalam bahasa fiqih, ini disebut dengan haram lighairihi. Haram karena faktor eksternal. Faktor eksternalnya ya itu, pacaran, minuman keras, ada ikhtilath laki-laki dan perempuan,” pungkas kiai muda NU yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ini.

Oleh karena itu, menurut kiai yang juga aktif menjadi pembicara di berbagai  majlis ta’lim ini, ia menganjurkan agar muda-mudi khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk merayakan tahun baru ini dengan kegiatan-kegiatan positif. Misalnya kegiatan diskusi agama, refleksi akhir tahun, santunan anak yatim, atau kegiatan positif yang lain.(Anwari/Mahbib)

Categories
Dunia Islam

PP Darul Hikam Kerjasama dengan Fordaf Fatayat Jember Adakan Pelatihan Perawatan Jenazah

Media Center Darul Hikam– Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Begitulah bunyi hadist Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada umatnya untuk selalu menambah wawasan dan mengamalkan ilmu bagi sesama. Dengan itu, Pesantren Darul Hikam bekerjasama dengan PC Fordaf (Forum Daiyah Fatayat) Jember mengadakan pelatihan perawatan jenazah pada Jumat (7/4). Acara yang bertempat di Pesantren Darul Hikam Cabang Putri diikuti oleh seluruh mahasantri putra dan putri Pesantren Darul Hikam. 

Perlu diketahui, bahwa kegiatan pelatihan perawatan jenazah merupakan salah satu program Pesantren Darul Hikam untuk membekali mahasantri ketika akan terjun ke masyarakat. Acara pelatihan ini dibimbing langsung oleh Pengasuh dan juga Ketua Fordaf Jember, Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. dan Sekretaris Ketua Fordaf Jember, Leny Marinda S.Pd.I, M. Pd.

“Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Ankabut ayat 59 yang berbunyi Kullu nafsin za`iqatul-maut,” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Sebagai generasi muda Islam disamping mempersiapkan diri menjemput kematian, namun juga harus belajar mengurus jenazah yang meliputi, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan. Beranjak dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Daruquthni, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain” jelas Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, ibu dari lima anak itu.

Wakil Fordaf Jember itu mengungkap bahwa kegiatan ini sebagai program edukasi kepada mahasantri dalam mengabdi kepada masyarakat.

“Mahasantri yang menjadi cikal bakal tokoh yang diharapkan bermanfaat ketika terjun ke masyarakat. Sehingga perlu adanya edukasi praktik keagamaan, salah satunya adalah Fordaf  Nahdlatul Ulama Jember bekerja sama dalam program perawatan jenazah sebagai penyiaran agama Islam,” ungkap Leny yang juga Dosen Fakultas Tarbiyah dan  Ilmu Keguruan UIN KHAS Jember. 

Pada kesempatan itu, Ibu Nyai Robi menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan ketika akan memandikan jenazah yakni : langkah yang pertama yakni mendoakan terlebih dahulu jenazah tersebut sesuai ajaran Rasulullah, jika mayit perempuan berdoa  Allohummaghfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa wa’fu ‘anhaa. Kemudian jika laki-laki Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Itu sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Langkah yang kedua yaitu menutup atau memejamkan mata mayit. Langkah yang ketiga menutup mulut mayit apabila mulut mayit terbuka ditutup dengan kain mulai dagu sampai ubun-ubun. Langkah Keempat, tangan ditata seperti orang sholat. Langkah Kelima, apabila kaki tidak lurus itu diluruskan dan ditali bagian ibu jari

“Adapun barang yang diperlukan saat memandikan jenazah yakni air 2 timba (1 timba air kapur barus dan 1 timba air bunga) & air yang mengalir, sabun, daun bidara/daun kelor/ batang daun sirih untuk membersihkan kuku mayit,” jelasnya yang juga Ketua Fordaf Jember.

Setelah selesai memandikan jenazah tersebut langkah selanjutnya yakni mengkafani. Untuk jenazah laki-laki itu 3 helai kain  kafan dan perempuan itu 5 helai kain kafan (baju, kerudung, popok, dan 3 kain dibawah). Diiringi pula menaburkan kapur barus yang sudah dihaluskan pada kafan dan jenazah.

“Menurut ajaran Rasulullah, merawat jenazah itu harus ada kapur barus jika tidak ada bunga. Karena kapur barus sendiri memiliki fungsi menghilangkan bau dan membuat wangi mayit” ungkap istri Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember itu

Selain itu, kegiatan ini sekaligus memperingati malam Nuzulul Qur’an dengan khatmil Al-Qur’an, sema’an bil ghoib oleh putra kedua Pengasuh PP Darul Hikam, Gus Iklil Naufal Umar. Dilanjutkan dengan buka bersama yang menjadi program rutinan pesantren, yang kemudian dilaksanakan shalat maghrib berjamaah.

Reporter : Muthi’ah Rahman

Editor : Siti Junita

Categories
Keislaman

Kiai Haris Sampaikan Fiqh Aqalliyat Sebagai Solusi Berislam Di Negara Minoritas

Media Center Darul Hikam- Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin akan masuk dan menyebar ke seantero dunia dan tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan berbagai problematika, terutama di negara minoritas muslim.

Dengan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. turut menjadi narasumber dalam Webinar Tadarus Ilmiah Ramadhan bertemakan,” FIQH AQALLIYAT Metode Ijtihad, Produk Hukum dan Tantangan Minoritas Muslim di Berbagai Belahan Dunia. Acara ini diselenggarakan di Institut Agama Islam Syarifudin Lumajang bersama dengan Akademi Komunitas Teknologi Syarifudin pada Rabu, (5/4/23) pukul 20.00 WIB melalui aplikasi Zoom Meeting.

Drs. Satuyar Mufid, M.A sebagai Rektor IAI Syarifudin Lumajang memberikan pengantar bahwa Allah ta’ala menyukai kemudahan. Bagi orang yang kesulitan dalam mengamalkan syariat Islam ketika berada di daerah atau negara minoritas muslim maka akan mendapat kemudahan.

“Biar semua orang merasakan bahwa Islam di Indonesia memang sangat nikmat, sedangkan orang di luar sana yang barangkali sulit mengerjakan ajaran Islam,” tuturnya.

Kiai Haris sebagai penulis buku Fiqh Aqalliyat menjelaskan bahwa buku ini hadir sebagai solusi dari kegelisahan spiritual umat Islam yang berada di wilayah minoritas Islam.

Kiai Haris membagikan pengalamannya ketika ditanyai oleh salah seorang warga di Taiwan yang merupakan saudara seagama. Saat itu dia bekerja di peternakan babi dan tidak pernah melaksanakan sholat jumat berjamaah karena jarak tempat kerja dengan masjid begitu jauh, yang kurang lebih tujuh jam.

“Tentu ini berat. Bagaimana kalau ini terjadi pada kita. Al ajru biqodri ta’ab, bahwa pahala itu tergantung kadar kepayahan dan kesulitan dalam mengadapi sesuatu,” ujar Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Darurat berkaitan dengan hajat, sementara hajat berkaitan dengan kesulitan dan kesempitan. Oleh karena itu, Islam memberikan rukhshah bagi umat yang memiliki hajat saat menjalankan ibadah syariat. Rukshah adalah keringanan yang disyariatkan Allah atas perkara dalam keadaan yang menghendaki keringanan tersebut.

“Jadi diberi keringanan karena memang kondisinya menyulitkan umat Islam. Sehingga dalam konteks mereka berhubungan dengan non muslim ketika bekerja atau lainnya mereka tetap bisa berhubungan dengan fleksibel, tetapi tetap pada keyakinan dan agamanya yaitu Islam,” ungkap Guru Besar UIN KHAS Jember.

Disisi lain, Gus Ahmad Ilham Zamzami, Lc. Sebagai narasumber kedua menuturkan bahwa Fiqh minoritas yang digagas oleh Syekh Yusuf Qardhawi  itu menjadikan agama selalu relevan dan selalu membuka wacana baru. Sehingga agama tidak hanya sebatas mengakar pada norma-norma yang ada, akan tetapi agama itu senantiasa memberikan landasan-lanadasan kehidupan bagi umatnya dimanapun umat itu berada.

Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Fiqh Aqalliyat punya 3 komponen yang perlu dibahas yaitu kita harus memahami dari sumber hukum yang asli berupa Al-Quran, Hadis, maupun ijma para ulama.

“Dari sisi itu pada akhirnya kita juga harus menentukan teks-teks yang tertuang di dalam kitab, kemudian kita dapat mengambil sisi manhaj atau sisi metodologis dari kitab tersebut. Kita perlu membaca dari sisi maqashid syariahnya atau  hikmah suatu  hukum perlu dilakukan,” ungkapnya yang juga Da’i Internasional Lembaga Dakwah PBNU.

Acara berlangsung aktif dengan dihadiri oleh ratusan peserta dari akademisi, santri dan tokoh publik di seluruh Indonesia.

Penulis: Erni Fitriani

Editor: Siti Junita

Categories
Fatwa Ulama

Kiai Haris Sebut Tahajud sebagai Amalan Penting di Bulan Ramadhan

Media Center Darul Hikam- Bulan suci Ramadhan merupakan bulan mulia yang kedatangannya sangat dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Pada bulan ini, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan segala amal ibadah dilipat gandakan.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I dalam kultumnya di Masjid Baitul Amien Jember menyampaikan perihal amalan penting yang utama di bulan Ramadhan.

“Salah satu amalan mujarab yang dianjurkan untuk menghidupkan malam di bulan suci Ramadhan ialah shalat tahajud,” tutur Kiai Haris dalam Kultumnya pada Senin, (10/4/23).

Hal itu berdasarkan pada perintah mendirikan shalat tahajud tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:

وَمِنَالَّيْلِفَتَهَجَّدْبِهٖ نَافِلَةًلَّكَۖعَسٰٓىاَنْيَّبْعَثَكَرَبُّكَمَقَامًامَّحْمُوْدًا

Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.

Inti dari surah Al-Isra di atas menyebutkan perintah untuk mendirikan shalat tahajud di malam hari sebagai tambahan shalat Sunnah. Shalat Tahajud dalam kitab Ushul fikih dihukumi sunnah muakkad (sunah yang dianjurkan), yaitu dikutip dari kata “Nāfilatan” pada ayat tersebut.

“Shalat tahajud berasal dari kata “hujud” yang berarti tidur. Maka dari itu, sebagian para ulama mendefinisikan shalat tahajud ialah shalat yang dilakukan di malam hari setelah tidur,” imbuh Kiai Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jatim.

Sebagian ulama lain mengatakan bahwa shalat tahajud merupakan “shalatu laili”, yakni shalat yang didirikan pada malam hari, baik dilaksanakan sebelum atau sesudah tidur. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa tahajud ialah shalat yang didirikan pada malam hari sesudah tidur, karena Rasulullah ketika hendak mendirikan shalat tahajud beliau tidur terlebih dahulu.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang yang istiqamah dalam melaksanakan shalat tahajud, niscaya Allah akan menempatkannya di tempat yang mulia, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Meskipun pada ayat di atas yang dipakai berupa lafadz عسىٰ yang ghalib-nya bermakna tidak pasti (mungkin), akan tetapi ketika didampingkan dengan lafadz ربك maka yang awalnya bermakna tidak pasti menjadi pasti, yang awalnya bermakna tidak mungkin menjadi mungkin. Sedangkan lafadz مَقَامًامَّحْمُوْدًا dikutip dari beberapa tafsir, diartikan sebagai tempat yang terpuji. Dan sebagian ahli tafsir lain memaknai sebagai kebangkitan yang terpuji.

Maksud kebangkitan yang terpuji disini ialah kelak ketika di Padang Mahsyar orang-orang yang istiqamah melaksanakan shalat tahajud akan dibangkitkan dengan kebangkitan yang terpuji, karena mereka-mereka mendapat “Syafaatul Kubro”, yakni syafaat yang agung dari Rasulullah Saw.

“Semoga kita semua kelak mendapatkan Syafaatul Qubra dari Nabi besar Muhammad Saw,” pungkas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Penulis: Miftahul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Fatwa Ulama

Kultum Tarawih, Kiai Haris Ceritakan Kisah Seorang Yang Keliru dalam bersedekah

Media Center Darul Hikam- Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. tentang keutamaan sedekah, harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dalam Al-Qur’an pun tertulis bahwa orang yang bersedekah akan dijanjikan oleh Allah balasan berupa 10 kali dari jumlah sedekah mereka. Demikian yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I dalam Kultum Tarawih pada hari selasa, (11/4) bertempat di Masjid Jami’ Baitul Al Amien Jember.

Kiai Haris (sapaan akrabnya) menyampaikan dalam Kitab Shahih Muslim Juz 1 disebutkan bahwa ada ahli sedekah yang salah sasaran dalam cerita Rasulullah. Dalam memberikan sedekah tentu beberapa kriteria seperti harus diberikan kepada fakir miskin.

Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang hendak ingin bersedekah namun dengan cara sembunyi-sembunyi sehingga ia melakukannya pada tengah malam. Hal ini ia lakukan agar bisa mendapatkan ridho Allah dengan cara yang sempurna yaitu tidak mendatangkan riya’.

Sedekah itu ia lakukan selama 3 malam berturut-turut. Singkat cerita di malam pertama, ternyata sedekahnya jatuh di tangan pencuri yang dalam dugaannya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya di pasar ramai orang membincangkan hal itu. Orang tersebut merasa bersalah karena sedekahnya diberikan kepada orang yang keliru. Kemudian ia mengungkapkan kesedihannya seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Sedekahku jatuh di tangan pencuri.”

Laki-laki itupun kembali bertekad ingin bersedekah di malam berikutnya. Sebab ia mengira sedekahnya sia-sia dan tidak “sampai” karena jatuh bukan di tangan yang tepat.

Malam kedua pun tiba. Ia kembali menyelinap keluar rumah di tengah malam. Kemudian ia memberikan sedekahnya kepada wanita yang dalam prasangkanya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya kembali ramai di pasar bahwa ada seorang yang memberikan sedekahnya kepada wanita pezina. Ia kembali merasa sedih dan menyesal, dan seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Kali ini sedekahku jatuh di tangan pezina.”

Kemudian di malam selanjutnya ia kembali bertekad untuk bersedekah. Namun apa dikata, sedekahnya kembali salah sasaran. Ia memberikan sedekah kepada orang yang kaya raya. Hatinya sangat sedih dan ia kembali mengadu kepada Tuhannya dan berucap, “Ya Allah, hanya milik-Mu segala kebaikan. Kini sedekahku jatuh di tangan orang kaya.”

“Singkat cerita datanglah kabar gembira kepadanya melalui mimpi bahwa Allah telah menerima sedekahnya meski jatuh kepada orang yang salah. Ini semua karena ketulusan hati laki-laki itu dalam bersedekah,”ungkap Kiai Haris yang juga Ketua KP3 MUI Jawa Timur.

Dalam cerita tersebut menyimpan hikmah agung yang bisa diambil dari kesalahan laki-laki itu dalam bersedekah. Harapannya seorang pencuri itu bertobat dan berhenti mencuri, wanita pezina itu bertobat dan keluar dari dunia malamnya, dan orang yang kaya yang kikir bisa berubah menjadi dermawan dan menginfakkan hartanya untuk zakat mal. Akhir cerita, ketiga orang penerima sedekah itu menyesal dan berubah menjadi orang yang lebih baik dalam hidupnya.

“Orang yang bermaksiat kemudian ia merasa hina dan bertobat, itu jauh lebih baik dari pada  orang  yang melakukan ketaatan seperti ke masjid atau bersedekah, namun muncul dalam hatinya kesombongan,” pungkasnya yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember.

Penulis: Siti Faiqotul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Fatwa Ulama

Tafaqquh Fiddin, Ponpes Darul Hikam Gelar Penutupan Ta’lim Dengan Fiqih Ubudiyah, Dan Perawatan Jenazah

Media Center Darul Hikam– Pondok Pesantren memiliki misi guna meningkatkan dakwah Islam, sehingga perlu adanya pemahaman fiqih bagi santri sebagai bekal hidup di masyarakat. Menjelang libur bulan Syawal 1444 H, Pondok Pesantrem Darul Hikam menggelar penutupan ta’lim dengan pembelajaran fiqih ubudiyah dan perawatan jenazah. Acara tersebut bertempat di Pondok Cabang Putri Jalan Jumat pada Kamis (13/4).

Acara yang dihadiri langsung oleh pengasuh, Prof Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dan Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. diikuti oleh seluruh mahasantri, baik dari pusat, cabang putrid an cabang putra.

Acara diawali dengan khatmil Al-Qur’an dan tahlil yang dipimpin oleh Ibu Nyai Rabiatul Adawiyah dan diikuti oleh seluruh mahasantri. Dilanjutkan dengan buka bersama dan sholat maghrib berjamaah.

Penyampaian materi fiqih ubudiyah disampaikan oleh Kiai Harisudin mengenai hukum kutek yang biasanya dipakai oleh mahasantri putri. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa fiqih ubudiyah wajib diketahui oleh santri sebagai materi prasyarat agar ibadah yang dilakukan dihukumi sah dan diterima oleh Allah.

“Menyandang gelar mahasantri, tentu ada tuntutan agar memiliki ilmu agama yang lebih luas. Salah satunya dalam pembahasan hukum kutek yang tidak jarang telah dibahas dalam kitab fiqih yang sudah kita kaji bersama, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in tentang thoharoh,” jelas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Kiai Haris (sapaan akrabnya) juga menjelaskan salah satu syarat sahnya wudhu dalam kitab Fathul Qorib adalah tidak ada penghalang air di kulit.

“Maka ulama kita sepakat bahwa kutek termasuk benda yang bisa menghalangi air masuk ke dalam kulit. Beda lagi dengan henna yang jika dipakai di kulit, air tetap bisa meresap di kulit, ” tambahnya yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.

Setelah penyampaian fiqih, acara dilanjutkan dengan praktik perawatan jenazah oleh mahasantri putra, hal ini dibimbing oleh Ibu Nyai Robiatul Adawiyah.

“Penting kami sampaikan dan dipraktikkan bagi seluruh mahasantri, baik laki-laki dan perempuan. Secara tata cara dan urutannya, mulai dari adab saat mendengar berita orang meninggal, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan itu hampir sama dengan mayit perempuan. Hanya saja perbedaannya adalah kain kafan yang digunakan oleh mayit laki-laki sebanyak 3 helai dan perempuan sebanyak 5 helai yang terdiri dari 3 helai kain, baju, celana dalam, sarung dan kerudung, ” ungkap Ibu Nyai Robiatul Adawiyah yang juga Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Acara berlangsung khidmat dan lancar dengan diakhiri sholat tarawih berjamaah dan doa bersama.

Penulis: Siti Junita

Editor: Erni Fitriani