Categories
Keislaman

Sound Horeg Diharamkan, Ini Penjelasannya

Di berbagai daerah, sound horeg seolah sudah menjadi tradisi wajib dalam setiap perayaan. Apalagi saat karnaval bulan kemerdekaan Indonesia. Hampir setiap hari karnaval disertai sound horeg sebagai musik pengiringnya.

Bahkan tak hanya sebagai pengiring saat karnaval, tapi juga digunakan sebagai pengiring acara-acara keagamaan seperti halnya peringatan Maulid Nabi SAW. Meskipun sebagian orang ada yang pro dengan adanya sound horeg, tapi banyak juga pihak yang menolak. Lantas bagaimana pandangan Islam melihat fenomena ini?

Perlu diketahui, istilah sound horeg merujuk pada sebuah rangkaian sound system beragam jenis yang ditempatkan di atas truck, yang disetel dengan suara kencang dan menyebabkan kondisi sekitar bergetar atau disebut horeg. Bahkan ada yang sampai menggetarkan bangunan seperti runtuhnya genteng atau kaca bangunan.

Tidak hanya itu, karnaval yang melibatkan sound horeg biasanya diikuti oleh orang yang berjoget-joget baik laki-laki maupun perempuan, dan terjadinya percampuaran (ikhtilat) antara lawan jenis yang tidak dapat diindahkan.

Melihat hal ini, Syekh Syamsuddin menjelaskan keharaman memainkan dan mendengarkan alat-alat musik yang bisa mendorong pada kemaksiatan:

Artinya: “Dan haram menggunakan alat musik yang menjadi ciri khas para peminum khamr, seperti tunbur (dengan dhammah pada huruf pertama), ‘ud, rabab, santir, jank, dan kamanjah, serta sanj (dengan fathah pada huruf pertama), yaitu sebuah alat dari kuningan (logam) yang dipasang senar di atasnya lalu dipukul, atau berupa dua lempengan kuningan yang satu dipukulkan ke yang lainnya. Keduanya hukumnya haram. Juga mizmar ‘Iraqi (seruling khas Irak), serta seluruh jenis alat musik berdawai dan seruling. Demikian pula haram mendengarkannya, karena kenikmatan yang diperoleh dari alat-alat itu mendorong kepada kerusakan, seperti halnya minum khamr, terutama bagi orang yang masih baru bertobat atau dekat masanya dengan kemaksiatan.” (Syekh Syamsuddin al-Ramli, Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, tt], juz 8 halaman 296).

Sedangkan terkait acara, yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, dalam hal ini karnaval dengan iringan sound horeg, maka hukumnya haram untuk dilakukan, serta harus dicegah pelaksanaannya, sebagaimana keterangan di bawah ini:

 قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ: وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ، أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ: لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ – بَلْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ – زَجْرُهُمْ وَمَنْعُهُمْ، وَمَنْ امْتَنَعَ عُزِّرَ، قَالَ: وَحَيْثُ رُفِعَ مُنْكَرٌ لِوَالٍ فَقَدَرَ عَلَى إِزَالَتِهِ فَلَمْ يُزِلْهُ: أَثِمَ

Artinya: Musa bin az-Zayn berkata, “Apabila para pemain bola atau permainan lainnya menyempitkan jalan bagi para pejalan kaki, atau perbuatan mereka atau teriakan mereka menimbulkan gangguan terhadap orang-orang, seperti menghalangi ketenangan mereka dalam tidur dan semacamnya, atau mengganggu orang yang duduk di halaman rumah mereka, maka wajib bagi para wali (orang tua/pengurus mereka) dan pemimpin mereka (atau bahkan setiap orang yang mampu) untuk mencegah dan melarang mereka. Barangsiapa yang tidak melarang, maka boleh dikenai hukuman ta‘zīr (hukuman edukatif dari penguasa).”

Lebih lanjut, Musa bin az-Zayn juga berkata: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, sedangkan ia mampu menghilangkannya dengan melaporkan kepada wali/penguasa tetapi tidak melakukannya, maka ia berdosa.” (Syekh Abdullah bin Muhammad, Qolaidul Khoroid, [Beirut: Muasasah Ulumil Qur’an, 1990 M/1410 H], juz 2 halaman 356).

Sementara itu, Syekh Abu Bakar Syatha menjelaskan terkait keharaman sebuah acara yang terdapat percampuran antara laki-laki dan perempuan, meskipun itu acara yang baik seperti halnya khataman Al-Qur’an:

ٱلْوُقُوفُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ أَوِ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ، وَٱلِٱجْتِمَاعُ لَيَالِيَ ٱلْخُتُومِ آخِرَ رَمَضَانَ، وَنَصْبُ ٱلْمَنَابِرِ وَٱلْخُطَبُ عَلَيْهَا، فَيُكْرَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ ٱخْتِلَاطُ ٱلرِّجَالِ بِٱلنِّسَاءِ بِأَنْ تَتَضَامَّ أَجْسَامُهُمْ، فَإِنَّهُ حَرَامٌ وَفِسْقٌ

Artinya: “Berkumpul pada malam Arafah atau di Muzdalifah, berkumpul pada malam-malam khataman Al-Qur’an di akhir bulan Ramadhan, serta mendirikan mimbar dan berkhutbah di atasnya. Semua itu hukumnya makruh selama tidak terjadi percampuran laki-laki dan perempuan hingga tubuh-tubuh mereka saling bersentuhan. Namun apabila terjadi hal demikian, maka hukumnya adalah haram dan termasuk kefasikan.” (Syekh Abu Bakar Syatha, Hasyiyah l’anah ath-Thalibin, [Maktabah Syamilah, tt] juz 1 halaman 313).

Masih konteks yang sama, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya menjelaskan, bahwa pelaksanaan Maulid Nabi yang menyebabkan terjadinya maksiat itu harus dihindari dan hukumnya haram, berikut penjelasannya:

 فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ، وَجَبَ تَرْكُهُ، وَحَرُمَ فِعْلُهُ

Artinya: “Maka ketahuilah bahwa apabila pelaksanaan Maulid Nabi menyebabkan terjadinya maksiat yang dominan seperti kemungkaran, maka wajib untuk ditinggalkan dan haram untuk dilakukan.”

Selanjutnya, Kiai Hasyim merinci acara Maulid yang haram untuk dilakukan sekaligus dihadiri, karena memuat beberapa hal:

يَخْتَلِطُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَيَلْبَسُ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ الشُّبَّانُ مَلَابِسَ النِّسْوَانِ فَيَحْصُلُ افْتِتَانُ بَعْضِ الْمُتَفَرِّجِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، وَتَقَعُ الْفِتْنَةُ فِي الْفَرِيقَيْنِ، وَيَثُورُ مِنَ الْمَفَاسِدِ مَا لَا يُحْصَى، حَتَّى أَدَّتْ إِلَى حُصُولِ الْفُرْقَةِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، وَهَذِهِ مَفَاسِدُ مُرَكَّبَةٌ مِنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ مَعَ فِعْلِ الْمُنْكَرَاتِ

Artinya: “Dalam perayaan itu, laki-laki dan perempuan bercampur baur. Pada sebagian waktu, para pemuda mengenakan pakaian perempuan, sehingga sebagian penonton—baik laki-laki maupun perempuan—menjadi tergoda. Akhirnya timbul fitnah dari kedua pihak, dan berbagai kerusakan pun meledak tak terhitung jumlahnya, hingga sampai menyebabkan perceraian antara suami dan istri. Ini semua adalah kerusakan-kerusakan yang muncul akibat perayaan maulid yang disertai dengan perbuatan-perbuatan mungkar.” (Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, At-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yashna’ul Maulid Bil Munkarot, [Jombang, Maktabah At-Turots Al-Islami, tt], halaman 19-20).

Walhasil, hukum penggunaan sound horeg sebagai iringan acara-acara, seperti halnya karnaval adalah haram, baik mengganggu pihak lain atau tidak. Semua ini dengan pertimbangan bahwa penggunaan sound horeg identik dengan syi’ar fussaq (kerusakan/kefasikan), dapat menarik orang lain untuk berjoget yang diharamkan, bercampurnya laki-laki dan perempuan, dan bisa menjadi potensi maksiat yang lain.

Editor: Risma Savhira 

Kontributor: M Rufait Balya B

Sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/sound-horeg-diharamkan-ini-penjelasannya-1euEM

Categories
Berita Dunia Islam

Proses Rukyah Hilal di Malaysia Tetapkan Awal Ramadhan Jatuh pada 2 Maret 2025

Malaysia – Umat Islam di Malaysia dipastikan akan memulai ibadah puasa Ramadhan 1446 H pada hari Ahad, 2 Maret 2025. Keputusan ini diambil setelah proses cerapan hilal (anak bulan) pada 28 Februari 2025 tidak berhasil melihat bulan baru. Hal ini berbeda dengan umat Islam di Indonesia yang telah memulai puasa sehari lebih awal, yakni pada hari Sabtu, 1 Maret 2025.

“Berdasarkan hasil rukyah yang dilakukan di berbagai lokasi yang telah ditentukan, hilal tidak tampak pada 28 Februari 2025. Oleh karena itu, bulan Syaban digenapkan menjadi 30 hari dan awal Ramadhan jatuh pada 2 Maret 2025,” ujar Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja Malaysia Tan Sri Syed Danial Syed Ahmad dalam pengumumannya.

Di Malaysia, penentuan tanggal 1 Ramadhan dilakukan melalui serangkaian proses yang melibatkan otoritas agama dan astronomi. Proses pertama adalah rukyat hilal atau pencarian anak bulan yang dilakukan di berbagai lokasi strategis, seperti observatorium atau tempat tinggi yang memungkinkan pengamatan hilal.

Malaysia juga menggunakan kriteria yang telah disepakati dalam MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Kriteria ini mencakup dua faktor utama, yaitu ketinggian hilal yang harus minimal 3 derajat di atas ufuk dan elongasi atau jarak antara matahari dan bulan yang harus minimal 6,4 derajat. Jika hilal tidak memenuhi syarat, maka bulan Syaban digenapkan menjadi 30 hari.

“Di Malaysia tetap berpedoman pada kriteria MABIMS dalam menentukan awal Ramadhan. Jika hilal tidak memenuhi syarat, maka mereka menggenapkan bulan Syaban menjadi 30 hari,” jelas Wakil Direktur World Moslem Studies Center (Womester) Depok, KH. Moh. Romli saat menjalankan safari dakwah di Malaysia.

Setelah melalui proses rukyah, lanjut Ustad Moh Romli yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat,  jika hilal tidak dapat terlihat, maka Penyimpan Mohor Besar Raja-Raja akan mengumumkan bahwa bulan Syaban digenapkan menjadi 30 hari.

“Dengan demikian, awal bulan Ramadhan akan dimulai pada hari berikutnya setelah Syaban mencapai 30 hari. Sebaliknya, jika hilal terlihat, maka hari pertama Ramadhan akan diumumkan. Dengan keputusan ini, umat Islam di Malaysia akan menjalankan ibadah puasa secara serentak dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Brunei, yang juga telah menetapkan awal Ramadhan pada tanggal yang sama,” tambah Moh Moh Romli yang juga Wakil Ketua PCNU kota Bogor.

Diketahui KH. Moh. Romli bersama Dr. KH. Mas`ud Ali mewakili Womester tengah menjalankan program Safari Ramadhan di berbagai daerah di Malaysia. Kegiatan tersebut bekerja sama dengan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Malaysia.

Program ini bertujuan untuk memberikan dukungan sosial dan keagamaan kepada umat Islam di Malaysia, sekaligus mempererat tali persaudaraan antar sesama umat Muslim Indonesia yang berada di Malaysia.

“Safari Ramadhan ini merupakan bentuk kepedulian sosial dan dakwah bagi umat Islam di Malaysia, khususnya bagi komunitas Muslim Indonesia yang tinggal di sini,” ungkap Kyai Abd. Pari, Rais Syuriah PCI NU Malaysia.

Para Pengurus Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia, termasuk Kyai Abd. Pari, Kyai Umar, Gus Yafik, dan Pak H. Kusnan, menyambut hangat kedatangan tim dari Womester. Diharapkan pengabdian di negeri jiran ini membawa berkah dan manfaat bagi seluruh umat Islam.

“Semoga bulan Ramadhan tahun ini menjadi momentum bagi kita semua untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mempererat ukhuwah Islamiyah,”: tambah Kyai Umar.

Bulan Ramadhan selalu menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia untuk meningkatkan spiritualitas, memperbanyak ibadah, serta menumbuhkan rasa kepedulian sosial di tengah komunitas Muslim.

Kontributor : M. Irwan Zamroni Ali

Editor : Siti Junita

Categories
Berita Dunia Islam

PCI NU Malaysia Gelar Buka Puasa Bersama, Pererat Silaturahmi dan Kepedulian bagi Pekerja Migran

Semenyih, Kuala Lumpur, 3 Maret 2025 – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Malaysia menggelar acara buka puasa bersama (Bukber) yang dihadiri oleh ratusan kader dan pengurus NU di Malaysia.

Acara ini semakin istimewa dengan kehadiran dua tamu dari World Moslem Studies Center (Womester) Indonesia, KH Moh. Romli dan Dr. KH Mas’ud. Kegiatan yang berlangsung di Kantor PCI NU di Semenyih, Kuala Lumpur, ini tidak hanya menjadi ajang berbuka puasa bersama, tetapi juga momentum mempererat persaudaraan serta memperkuat peran NU dalam mendukung Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.

Dalam suasana penuh kehangatan, mereka berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang tantangan yang dihadapi PMI serta bagaimana NU dapat menjadi solusi dalam berbagai aspek, baik agama, sosial, maupun ekonomi. Acara ini juga dihadiri dari ratusan peserta yang terdiri dari jajaran Mutasyar, Syuriah, Tanfidziyah, MWC, Ranting, dan Banom.

“Buka bersama seperti ini menjadi momen penting bagi kita untuk terus menjaga silaturahmi, berbagi pengalaman, dan menguatkan semangat dalam memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah di Malaysia. Selain itu, NU harus hadir sebagai solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Indonesia,” ujar KH Moh. Romli yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan Wakil Ketua PCNU Kota Bogor.

KH Moh. Romli menegaskan bahwa kehadiran NU di Malaysia tidak hanya menjadi wadah ibadah, tetapi juga sebagai penjaga moral dan sosial bagi para PMI. Ia mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad SAW:

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhari)

Banyak PMI yang awalnya datang ke Malaysia hanya untuk bekerja dan mencari penghidupan lebih baik, tetapi kemudian menemukan panggilan baru sebagai bagian dari perjuangan NU di tanah rantau.
“Ini luar biasa. Di tengah kesibukan mencari nafkah, mereka masih mau mengurus NU dan ikut serta dalam kegiatan sosial serta keagamaan,” tambahnya.

Selain tausiyah agama, acara ini juga diisi dengan diskusi santai mengenai perkembangan terbaru program-program PCI NU Malaysia. Para kader didorong untuk lebih aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah yang diselenggarakan selama bulan suci Ramadan 1446 H, termasuk program bantuan bagi sesama PMI yang membutuhkan.

Suasana kebersamaan semakin terasa dengan kehadiran berbagai hidangan khas Nusantara, seperti bakwan, kolak, sate, dan takjil yang menggugah selera. Acara ini menjadi bukti bahwa PCI NU Malaysia tidak hanya berperan sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai wadah kebersamaan yang mampu menginspirasi, membina, dan menggerakkan kader-kadernya untuk menebarkan kebaikan di tanah rantau.

Kontributor : Wildan Rofikil Anwar

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Berita Dunia Islam

Prof. Haris: Sama dengan Tradisi Jepang, Islam Ajarkan Muslim Tak Ganggu Orang Lain

Ibaraki, 3 Maret 2025

Islam sangat support dengan tradisi di Jepang. Salah satunya, ajaran Islam tidak mengganggu orang lain. Demikian disampaikan Direktur World Moslem Studies Center, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin di Depan puluhan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Merah Putih, 3 Maret 2025. Prof Haris jadi bersama Ketua PCI NU Jepang, Kiai Ahmad Ghazali, Ph.D.

Kalau di Jepang, orang tidak boleh mengganggu orang lain, maka Islam juga mengajarkan hal yang sama.

“La dlarara walaa dliraara. Sabda Rasulullah Saw. “, ujar Prof. Haris yang juga Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur.

La dlarara, lanjut Prof. Haris, berarti bahwa Islam melarang orang untuk melakukan sesuatu yang membahayakan atau merusak diri sendiri. 

“Minum arak, konsumsi ganja, makan racun, dan sebagainya adalah perbuatan yang membahayakan diri sendiri. Harakiri atau bunuh diri termasuk perbuatan yang membahayakan dan merusak diri sendiri”, ujar Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jawa Timur tersebut.

Sementara wala dliraara berarti bahwa Islam melarang untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dan juga merugikan orang lain.

“Orang lain harus dihargai. Islam melarang orang untuk berbuat jahat yang membahayakan dan merugikan pada orang lain, termasuk pada non-muslim sekalipun. Ini yang saya sebut Islam support dengan tradisi Jepang”, ujar Prof Haris yang juga Pengasuh PP Darul Hikam Jember.

Pada sisi lain, Islam mendorong kohesi sosial terjadi di antara umat Islam. Sesama Muslim tidak boleh menyakiti.

“Rasulullah Saw bersabda. Al muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi. Seorang Muslim sejati adalah mereka yang lisan dan tangannya tidak mengganggu sesama muslim”, tukas aktivis Islamic Global Community tersebut.

Oleh karena itu, internal umat Islam di negara sakura harus kuat. Persatuan adalah hal penting dan utama. Di samping itu, umat Islam harus mengintegrasikan pada budaya dan kepentingan nasional negara Jepang tersebut. Tentu ada catatannya: selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Reporter: M. Irwan Zamroni Ali

Editor : Wildan Rofikil Anwar

Categories
Keislaman

Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb. Kak, bagaimana hukum mengonsumsi makanan tanpa label halal menurut fiqh Syafi’i? (Adila Anis).

Jawaban:

Waalaikumus salam Wr. Wb. Terima kasih kami sampaikan kepada saudari penanya yang telah berkenan menanyakan permasalahan ini kepada NU Online. Penanya dan pembaca setia NU Online yang budiman semoga kita semua diberi kemudahan dan kelancaran dalam segala aktivitasnya. 

Di Indonesia, terdapat beberapa institusi yang mempunyai otoritas menerbitkan label halal. Label Halal ini tidak dipungkiri memiliki fungsi penting bagi masyarakat, terutama umat Islam sebagai jaminan dan panduan dalam memastikan kehalalan suatu produk mulai dari bahan baku, proses produksi, pengolahan sampai menjadi barang produksi yang siap dikonsumsi. Dengan demikian konsumen akan merasa tenang dan yakin dengan apa yang ia konsumsi. 

Namun demikian, dalam syariat Islam kehalalan suatu makanan penentu utamanya bukan Label Halal, melainkan ketetapan dari Allah (syari’) berdasarkan dalil syariat. Label halal ini sifatnya hanya administratif dan penguat saja. Sehingga makanan yang asalnya halal tanpa adanya Label Halal pun hukumnya tetap halal dikonsumsi. 

Dalam pandangan Madzhab Syafi’i hukum asalnya segala sesuatu adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang menyatakan keharamannya. Imam As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair Jilid I (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1403: 60) mengatakan: 

Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Menurut beliau, kaidah tersebut ditopang oleh beberapa hadits, di antaranya dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani sebagai berikut:

Artinya, “Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maaf-Nya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani)

Artinya, “Sesungguhnya Allah sudah mewajibkan perkara yang wajib maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Allah sudah membatasi sesuatu maka janganlah kalian melampauinya, dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa karenanya janganlah kalian sibuk mencari-cari (hukumnya).” Dalam redaksi lain dijelaskan, “Dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa, maka janganlah kalian membebani diri kalian dengan perkara tersebut. Itu adalah bentuk rahmat untuk kalian, maka terimalah (rahmat itu).” (HR. Thabrani). 

Penjelasan di atas menegaskan bahwa hukum halal dan haram segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki dalil yang jelas terkait kehalalan dan keharamanannya, maka hukumnya diperbolehkan.

Kaidah ini berlaku umum baik berkaitan dengan perbuatan, benda, hewan, makanan, minuman, tumbuhan dan selainnya. Berkaitan dengan hal ini Syekh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan:

Artinya:, “Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum suatu hewan, benda mati, tumbuhan, makanan, minuman, atau suatu pekerjaan, lalu ia tidak menemukan dalil syar’i yang menetapkan hukumnya, maka ia menetapkan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh). Sebab, asal hukum segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.”

“Adapun asal hukum segala sesuatu adalah mubah, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: ‘Dialah yang menciptakan untuk kalian apa yang ada di bumi semuanya’ (QS. Al-Baqarah: 29). Allah juga menegaskan dalam beberapa ayat bahwa Dia telah menundukkan untuk manusia apa yang ada di langit dan di bumi. Segala sesuatu yang ada di bumi tidak mungkin diciptakan untuk manusia dan ditundukkan bagi mereka kecuali jika itu mubah bagi mereka. Sebab, jika sesuatu itu diharamkan atas mereka, maka tidak mungkin itu disebut sebagai diciptakan dan ditundukkan untuk mereka.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, [Kairo, Maktabah ad-Da’wah Syababul Azhar: t.t] halaman 91-92). 

Syekh Bakri Syatha menjelaskan bahwa segala sesuatu yang hukum asalnya telah ditetapkan kehalalan, keharaman, kesucian atau kenajisannya maka hukumnya tidak akan pernah berubah kecuali dilandasi dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut mengalami perubahan. Beliau menyebut dalam I’anatuth Thalibin Jilid I (Beirut, Darul Fikr, t.t.: 125):

Artinya, “Apabila asal hukum telah ditetapkan dalam kehalalan atau keharaman, atau kesucian atau kenajisannya, maka hukum itu tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki wadah berisi air, cuka, susu dari hewan yang halal dimakan, atau minyaknya, lalu ia ragu apakah wadah itu terkena najis atau tidak, atau wadah yang berisi air perasan anggur dan ragu apakah sudah berubah menjadi khamar atau belum, maka tidak haram untuk mengonsumsinya.” 

Dari paparan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa makanan yang secara hukum asalnya halal dan tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan terdapat bahan yang haram atau najis dalam proses pengolahannya maka hukumnya halal dikonsumsi meskipun tanpa label halal. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-mengonsumsi-makanan-tanpa-label-halal-7DIcR

Categories
Keislaman

Hukum Shalat Rebo Wekasan dan Tata Caranya

Hukum Shalat Rebo Wekasan dan Tata Caranya,

Jakarta, NU Online

Hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau yang dikenal dengan sebutan Rebo Wekasan diyakini sebagian orang sebagai hari turunnya bala. Jika benar demikian, peristiwa tersebut pada tahun 1444 H ini akan jatuh pada Rabu (21/9/2022) besok.

Namun, ulama berbeda pandangan dalam hal ini. Keyakinan akan turunnya bala itu diperoleh dari sufi yang kasyaf, bahwa pada hari Rebo Wekasan itu, ada 320 ribu bala yang turun untuk setahun, sebagaimana ditulis Syekh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur. Hal ini dilansir NU Online dalam tulisan Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan.

Karenanya, untuk mencegah agar tidak terkena bala itu, sebagian ulama menganjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah empat rakaat.

Hukum

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum shalat Rebo Wekasan. Dilansir NU Online dalam tulisan  Hukum Shalat Rebo Wekasan dalam Islam, hukum shalat Rebo Wekasan menurut Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari adalah haram. Sebab, shalat Rebo Wekasan ini tidak ada asalnya dalam syariat.

Namun, Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki dalam Kanz al-Najah wa al-Surur menyebut bahwa Shalat Rebo Wekasan itu boleh dengan syarat bukan niat untuk Rebo Wekasan, melainkan diniatkan sebagai shalat sunnah mutlak. Perbedaan pandangan para ulama di atas mengenai hukum shalat Rebo Wekasan merupakan hal lumrah. Masing-masing memiliki argumentasi yang berdasar sehingga tidak perlu saling dipertentangkan antara satu dan lainnya.

1. Niat shalat sunnah mutlak dua rakaat  

Ushallî sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âla

2. Artinya, “Saya niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala.” 

3. Setelah membaca al-Fatihah, baca Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas sekali setiap rakaat.

4. Lakukan shalat sebagaimana biasanya dua rakaat.

5. Setelah salam, membaca doa.

6. Shalat sunnah mutlak dua rakaat ini dilakukan dua kali.

Pelaksanaan shalat ini sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt agar dIjaga dari segala bahaya selama setahun.

Pewarta: Syakir NF

Editor: Kendi Setiawan

*Tulisan ini diterbitkan di NU Online 21 September 2022 dan direpost di website Yayasan Darul Hikam pada tanggal 4 September 2024 tepat saat Rabu Wekasan pada tahun 1446 H.

Categories
Keislaman

Hukum Perempuan Menjadi Khatib Shalat Id

Shalat Idul Adha disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah, namun juga boleh dilakukan sendirian, baik sedang dalam perjalanan (musafir), maupun tidak sedang bepergian. Shalat ini diperuntukkan bagi laki-laki dan wanita.  

Dalam beberapa kondisi sangat memungkinkan didirikan jamaah shalat Id khusus perempuan. Dengan kondisi yang demikian, apakah masih disunahkan khutbah ied dengan khatib perempuan?   

 Pada dasarnya khutbah id hukumnya sunah. Kesunahan memberikan khutbah meskipun jumlah jamaah hanya dua orang. Namun, khutbah tidak disunahkan untuk satu orang dan jamaah perempuan kecuali jika ada seorang laki-laki yang bertindak sebagai khatib untuk memberikan khutbah kepada mereka. Berikut penjelasan kitab Busyral Karim:

Artinya, “Kemudian setelah selesai mengerjakan shalat ied dianjurkan untuk memberikan khotbah meskipun hanya untuk dua orang, atau meskipun mereka adalah musafir, dan meskipun waktu shalat telah berlalu, dan mereka shalat secara sendiri-sendiri, tidak ada khutbah untuk satu orang dan jamaah wanita kecuali jika ada laki-laki yang memberikan khutbah untuk mereka.” (Said Ibn Muhammad Ba’ali Baisan, Busyral Karim,[Jedah, Darul Minhaj: 2004 M] halaman 426).

Lebih jelas lagi Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa khutbah Idul Adha itu sama persis dengan khutbah Jumat dalam rukun dan sunah-sunahnya, dan khatibnya harus laki-laki menurut pendapat mu’tamad.    

Artinya, “Dan disunahkan bagi imam untuk berkhotbah dengan dua khotbah untuk jamaah, bukan untuk orang yang shalat sendirian, setelah salam dari shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) serta shalat gerhana. Dua khotbah pada hari raya sama seperti dua khotbah Jum’at dalam rukun dan sunah-sunahnya, tetapi tidak dalam syarat seperti berdiri, menutup aurat, bersuci, dan duduk di antara keduanya. Dianjurkan untuk duduk sebelum keduanya sebagai istirahat.

Benar, untuk melaksanakan sunah dan sahnya khutbah, harus menyampaikan dengan suara yang bisa didengar dan didengarkan, meskipun hanya secara potensial, sebagaimana dijelaskan dalam khutbah Jumat. Khotbah harus dengan bahasa Arab (cukup rukun-rukunnya) dan khatib harus laki-laki menurut pendapat mu’tamad.” (Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, halaman 109).  

Menurut Imam As-Syafi’i sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bayan, perempuan tidak boleh memberikan khutbah meskipun seluruh jamaahnya perempuan, karena khutbah adalah salah satu hal yang khusus dikerjakan laki-laki. Namun, sebagai penggantinya dapat diganti dengan mau’idzah.   

Artinya: “Imam Syafi’i berkata, ‘jika para wanita berkumpul untuk melaksanakan shalat Id, maka tidak mengapa, kecuali mereka tidak boleh menyampaikan khutbah; karena khutbah termasuk perkara yang dilakukan (sunah) oleh kaum laki-laki. Jika salah seorang dari mereka berdiri dan memberikan nasihat serta mengingatkan mereka, maka itu adalah hal yang baik.” (Abu Husain Yahya bin Abil Khair Al-‘Umrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam As-Syafi’i, [Jedah, Darul Minhaj, cetakan pertama: 2000], juz II, halaman 663).  

Senada penjelasan di atas Imam Al-Bujairimi berkata:   

Artinya, “Ungkapan Mushanif: ‘Tidak untuk orang yang shalat sendirian’ , maksudnya dan juga tidak (disunahkan khutbah) untuk jamaah wanita kecuali jika ada laki-laki yang berkhutbah untuk mereka. Maka jika salah satu dari jamaah perempuan tersebut berdiri dan memberikan nasihat, maka tidak mengapa.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi, Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhil Manhaj, [Beirut, Matba’ah Al-Halabi: t.t], juz I, halaman 426).  

Simpulan

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami, boleh mendirikan jamaah shalat id khusus perempuan, namun tidak ada kesunahan khutbah id, kecuali jika ada seorang laki-laki yang bertindak menjadi khatibnya.  

Ketidaksunahan ini karena perempuan tidak boleh bertindak sebagai khatib, karena menurut pendapat yang mu’tamad khatib harus laki-laki.   

Sebagai solusinya khutbah dapat diganti dengan mau’idzah dan ini adalah hal yang baik.  

Sebenarnya antara khutbah dan mau’idzah itu sama, sama-sama ucapan yang isinya nasihat keagamaan. Bedanya mau’idzah lebih fleksibel, sedangkan khutbah memiliki struktur formal yang harus dipenuhi untuk keabsahannya seperti syarat, rukun, kewajiban dan kesunah-kesunahannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-perempuan-menjadi-khatib-shalat-id-e0OTE

Categories
Keislaman

Apakah Orang Kaya Boleh Menerima Daging Kurban Wajib?

Kurban atau udhiyah adalah ritual ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara menyembelih binatang berupa kambing, sapi, dan unta pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik. Hukum dasar dari kurban adalah sunah, dan anjuran tersebut diperuntukkan kepada orang-orang yang memiliki harta lebih atau dapat disebut orang kaya.  

Hukum kurban dapat berubah menjadi wajib dengan dua hal. Pertama dengan nazar. Orang yang mengucapkan nazar untuk menyembelih kurban, maka hukum kurbannya menjadi wajib. Kedua dengan ucapan kesanggupan berkurban dan telah menentukan binatangnya, seperti seseorang menyatakan “aku jadikan kambing ini sebagai kurban”.  Dengan pernyataan tersebut, maka hukum kurbannya juga menjadi wajib.   

Dalam mendistribusikan daging kurban, terjadi perbedaan aturan antara kurban sunah dan wajib.

Dalam kurban sunah, daging yang harus disedekahkan kepada fakir miskin hanyalah sedikit. Artinya dalam mendistribusikan daging kurban sunah diperbolehkan hanya memberikan satu dua suap daging untuk fakir miskin dan selebihnya dimakan sendiri, meskipun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap saja untuk mengambil berkah kurban.

Hal ini berbeda dengan aturan yang ada dalam kurban wajib. Pihak yang berkurban beserta keluarganya tidak boleh sama sekali untuk memakan daging kurbannya. Ia wajib menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin yang ada di daerahnya. 

Meski demikian aturannya, realita yang ada, terkadang panitia kurban langsung saja membagi daging kurban menjadi beberapa potongan kecil dan memasukkannya ke dalam plastik, kemudian langsung membagikannya kepada para tetangga sekitar tanpa memilah mana keluarga yang masuk dalam kategori fakir miskin, dan mana yang masuk kategori keluarga mampu atau kaya.   

Lantas, apakah cara mendistribusikan daging kurban wajib seperti di atas dapat dibenarkan?  

Ada dua poin yang menjadi pokok permasalahan. Pertama hukum menyerahkan daging kurban wajib kepada orang kaya. Dalam kajian fiqihnya, kurban wajib harus disedekahkan semua kepada fakir miskin. Ini menegaskan bahwa kurban wajib tidak boleh dimakan oleh pihak yang berkurban, serta tidak boleh pula untuk diberikan kepada orang kaya, karena daging kurban bagi orang kaya tidak disebut sedekah melainkan sebatas ith’am (memberikan hidangan).  

Karena itu, jika kurban wajib tidak tersalurkan seluruhnya kepada fakir miskin, semisal ada sebagian yang dimakan oleh pihak yang berkurban, maka ia harus menggantinya dengan daging lain dan menyerahkannya kepada fakir miskin. 

Dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal disebutkan:

Artinya, “Adapun kurban yang dinazari maka harus disumbangkan seluruhnya, sebagaimana disebutkan di atas dalam penjelasan Ar-Ramli dan Ibnu Hajar.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013] juz VIII, halaman 226

Artinya, “(Tidak boleh memakannya) dan mestinya tidak boleh diberikan kepada orang kaya, demikian penjelasan Ibnu Qasim. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “Dan jika orang yang berkurban memakannya, maka dia didenda untuk menggantinya”.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2015] juz XII, halaman 280).  

Kedua, standar orang kaya dalam bab udhiyah. Dalam hal ini, ulama berpeda pendapat dalam menentukan standarnya. Menurut imam Ar-Ramli standar orang kaya dalam udhiyah adalah orang yang haram menerima zakat, sedangkan orang fakir dalam udhiyah adalah orang yang berhak menerima zakat.   

Pendapat lain disampaikan oleh imam At-Thabalawi, beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang mampu untuk melaksanakan kurban, yaitu orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok yang dipertimbangkan dalam zakat fitrah. 

Artinya, “(Ungkapan: “Dan ia boleh memberi makan kepada orang kaya”). Ulama tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kaya di sini. Imam Ar-Ramli membolehkan yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang diharamkan menerima zakat, dan orang miskin di sini adalah orang yang dihalalkan menerima zakat.  

Sementara menurut At-Thabalawi boleh pula orang kaya adalah orang yang mampu menunaikan kurbannya, dan dia adalah orang yang memiliki harga hewan kurban, melebihi kebutuhan yang dipertimbangkan lebih pada zakat fitrah.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi ‘alal Manhaj [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz IV, halaman 401).  

Simpulan Hukum Kurban wajib tidak boleh diberikan kepada selain fakir miskin. Jika terjadi pendistribusian kepada selain fakir miskin, maka wajib diganti dengan daging lain dan diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam.  

Penulis: Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jatim.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/apakah-orang-kaya-boleh-menerima-daging-kurban-wajib-11ced

Categories
Keislaman

Pisau Jatuh saat Menyembelih Hewan Kurban, Bagaimana Hukumnya?

Funny goats family in farm. Goats peek out of the fence

Kasus gagal dalam menyembelih hewan kurban oleh jagal, bisa terjadi karena hewan yang mengamuk, pisau yang kurang tajam, pisau jatuh karena hewan berontak, atau hewan tidak langsung mati. Oleh karena itu, seringkali dilakukan penyembelihan ulang. Lantas bagaimana status hukum hewan yang disembelih dengan cara demikian?   

Aturan menyembelih hewan agar daging hewan sembelihannya halal dikonsumsi, telah dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib:

Artinya: “Dan harus memotong apa yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernafasan dan al-mari’, saluran makanan) dalam satu kali potongan, tidak dalam dua kali potongan; karena jika dipotong dalam dua kali potongan, maka hewan yang disembelih menjadi haram. Dan manakala masih tersisa sesuatu dari saluran pernapasan (al-hulqum) dan saluran makanan (al-mari’), maka hewan yang disembelih itu tidak menjadi halal.” (Muhammad bin Qasim bin Muhammad, Fathul Qarib al-Mujib [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 307).  

Dari penjelasan di atas dapat dipahami secara sederhana bahwa syarat dalam menyembelih hewan adalah dengan satu kali potongan, tidak dengan dua kali atau lebih. Konsekuensinya, hewan yang disembelih dengan dua kali potongan atau lebih menjadi haram untuk dikonsumsi.

Namun demikian, tidak dibolehkannya menyembelih dengan dua kali potongan atau lebih bukanlah hukum yang mutlak. Artinya, penyembelihan dengan dua kali pemotongan atau lebih masih memungkinkan agar sembelihannya tetap halal asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah al-Bajuri ala Ibni Qasim yang merupakan anotasi dari kitab Fathul Qarib menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut:

Artinya: “Dan harus memotong yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernafasan dan al-mari’, saluran makanan) dengan sekali potong, bukan dua kali potong. Maksudnya, jika tidak ada kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) pada potongan kedua, namun jika ada kehidupan yang stabil pada potongan kedua, maka hewan yang disembelih menjadi halal. Begitu juga potongan ketiga dan seterusnya, syaratnya adalah adanya kehidupan yang stabil pada awal potongan terakhir, dan hal ini berlaku jika ada jeda yang panjang antara potongan-potongan tersebut. Tetapi jika pisau diangkat dan digunakan kembali segera, atau dilempar karena tumpul dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau jatuh dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau diangkat dan digunakan untuk memotong sisa yang ada, maka hewan yang disembelih menjadi halal meskipun tidak ada kehidupan yang stabil pada potongan terakhir, karena semua potongan dianggap satu kali jika tidak ada jeda yang panjang.” (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri Ala Ibnu Qasim [Jeddah, Darul Minhaj: 2016] juz IV halaman 323).  

Senada dengan penjelasan Syekh Ibrahim Al-Bajuri di atas, Imam al-Bujairimi menegaskan:

Artinya: “Dan tidak mengapa mengangkat pisau dan mengembalikannya segera, atau membaliknya untuk memotong yang tersisa dari tenggorokan (al-hulqum) dan kerongkongan (al-mari’), atau melemparkannya untuk mengambil pisau lain. Tidak disyaratkan adanya kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) dalam hal-hal yang telah disebutkan, tetapi yang disyaratkan adalah singkatnya jeda waktu menurut kebiasaan.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz IV, halaman 295).  

Dengan demikian, pada dasarnya menyembelih hewan agar dagingnya halal dimakan adalah dengan satu kali pemotongan. Dua kali pemotongan diperbolehkan dan dagingnya dihukumi halal dengan syarat jeda diantara keduanya tidak lama menurut kebiasaan. Jika menurut kebiasaan terdapat jeda yang lama antara potongan pertama dengan potongan berikutnya maka disyaratkan hewan yang disembelih dalam keadaan stabil (al-hayah al-mustaqirrah).  

Penjelasan ini masih menyisakan pertanyaan, yakni apa yang dimaksud keadaan stabil al-hayat al-mustaqirrah?  

Mengenai maksud dari al-hayat al-mustaqirrah, Imam Taqiyuddin al-Hishni dalam kitabnya mengatakan bahwa al-hayat al-mustaqirrah adalah keadaan di mana hewan masih dapat bertahan hidup selama satu atau dua hari.   

Adapun tandanya hewan yang disembelih dalam keadaan al-hayat al-mustaqirrah adalah gerakan yang kuat, darahnya memancar, dan aliran darah yang deras setelah penyembelihan. Ditegaskan bahwa gerakan yang kuat saja sudah cukup sebagai tandanya hewan tersebut dalam keadaan al-hayat al-mustaqirrah.(Taqiyuddin al-Hishni, Kifayatul Akyar, [Beirut, Darkutub Al-Ilmiyah: 2021], halaman 517).   

Walhasil, menyembelih hewan dengan dua kali pemotongan atau lebih yang disebabkan karena hewan mengamuk, pisau yang kurang tajam, pisau jatuh akibat hewan berontak, atau hewan yang sudah disembelih tidak segera mati, dan lain sebagainya, hal itu tidak menjadi masalah dalam arti daging hewan yang disembelih tetap halal, dengan syarat jeda waktu yang singkat menurut kebiasaan antara pemotongan pertama dan berikutnya. Karena semua potongan dianggap satu kali pemotongan bila tidak ada jeda yang panjang. Wallahu a’lam.   Penulis: Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/pisau-jatuh-saat-menyembelih-hewan-kurban-bagaimana-hukumnya-qSflT

Categories
Keislaman

Mahkamah Tinggi Arab Saudi Tetapkan 1 Dzulhijjah 1445 H Jatuh pada Jumat 7 Juni 2024

Makkah, NU Online

Mahkamah Tinggi Kerajaan Arab Saudi (KSA) menyatakan bahwa 1 Dzulhijjah 1445 H jatuh bertepatan dengan hari Jumat 7 Juni 2024. Penetapan 1 Dzulhijjah 1445 H didasarkan pada kalender Ummul Qura sebagaimana dilansir Al-Arabiya

Sebagaimana diketahui, kalender Ummul Qura merupakan penanggalan resmi KSA untuk menentukan pergantian bulan qamariyah/hijriyah.

Da’iratul Ahillah (sejenis badan hisab dan rukyat) Mahkamah Tinggi KSA melakukan sidang isbat pada Kamis 29 Dzulqa’dah 1445 H (6/6/2024) sore waktu Arab Saudi (WAS).

Da’iratul Ahillah (sejenis badan hisab dan rukyat) Mahkamah Tinggi KSA melakukan sidang isbat pada Kamis 29 Dzulqa’dah 1445 H (6/6/2024) sore waktu Arab Saudi (WAS).

Internasional HAJI 2024 Mahkamah Tinggi Arab Saudi Tetapkan 1 Dzulhijjah 1445 H Jatuh pada Jumat 7 Juni 2024 Jum, 7 Juni 2024 | 17:30 WIB Ilustrasi kaligrafi Dzulhijjah. (Foto: dok. NU Online) Alhafiz Kurniawan Penulis Makkah, NU Online Mahkamah Tinggi Kerajaan Arab Saudi (KSA) menyatakan bahwa 1 Dzulhijjah 1445 H jatuh bertepatan dengan hari Jumat 7 Juni 2024.

Penetapan 1 Dzulhijjah 1445 H didasarkan pada kalender Ummul Qura sebagaimana dilansir Al-Arabiya. Sebagaimana diketahui, kalender Ummul Qura merupakan penanggalan resmi KSA untuk menentukan pergantian bulan qamariyah/hijriyah. ADVERTISEMENT Da’iratul Ahillah (sejenis badan hisab dan rukyat) Mahkamah Tinggi KSA melakukan sidang isbat pada Kamis 29 Dzulqa’dah 1445 H (6/6/2024) sore waktu Arab Saudi (WAS). Baca Juga PBNU Tunggu Hasil Rukyatul Hilal untuk Tentukan Waktu Pelaksanaan Idul Adha 1445.

Da’iratul Ahillah Mahkamah Tinggi KSA menetapkan awal Dzulhijjah berdasarkan aktivitas rukyatul hilal dan ketetapan Mahkamah Tinggi KSA terkait awal bulan Dzulqa’dah 1445 H yang jatuh bertepatan dengan Kamis 9 Mei 2024 sesuai dengan hasil aktivitas rukyatul hilal ketika itu.

Berdasarkan kesaksian orang yang dapat dipercaya atas hilal Dzulhijjah 1445 H, Da’iratul Ahillah Makamah Tinggi KSA menyatakan bahwa 1 Dzulhijjah 1445 H jatuh bertepatan dengan hari Jumat 7 Juni 2024. 

Berdasarkan kesaksian rukyatul hilal  itu juga, Da’iratul Ahillah Makamah Tinggi KSA menyatakan wukuf jamaah haji pada 9 Dzulhijjah 1445 di Arafah jatuh bertepatan dengan Sabtu, 15 Juni 2024. Sementara Idul Adha 10 Dzulhijjah 1445 H jatuh bertepatan dengan Ahad, 16 Juni 2024. 

“Hari Jumat 1 Dzulhijjah 1445 H sesuai kalender Ummul Qura yang bertepatan dengan 7 Juni ‘Haziran’ 2024 M, yaitu awal bulan Dzulhijjah. Wukuf di Arafah hari Sabtu 9 Dzulhijjah 1445 H sesuai kalender Ummul Qura yang bertepatan dengan 15 Juni ‘Haziran’. Idul Adha yang terberkati jatuh pada Ahad setelahnya,” tulis putusan Badan Hilal Mahkamah Tinggi KSA terkait awal Dzulhijjah 1445 H.

Mahkamah Tinggi KSA juga mendoakan otoritas Tanah Haram yang telah melayani para tamu Allah, mendoakan segenap umat Islam agar tetap di jalan yang diridai-Nya. 

Mahkamah Tinggi KSA berdoa semoga Allah menerima amal saleh umat Islam dan mengampuni dosa mereka, memelihara keselamatan para jamaah haji, memudahkan pelaksanaan manasik jamaah haji, menerima ibadah haji mereka, membela agama-Nya, membangkitkan kejayaan agama-Nya, menjaga keamanan Tanah Haram dan otoritasnya karena sesungguhnya Dia maha dekat dan pengabul doa. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad saw, keluarga, dan sahabatnya.

Sumber: https://www.nu.or.id/internasional/mahkamah-tinggi-arab-saudi-tetapkan-1-dzulhijjah-1445-h-jatuh-pada-jumat-7-juni-2024-tDCF5