Categories
Keislaman

Kiai Harisudin: Mengambil Pelajaran Dari Kisah ‘Sihir’ Harut Marut

Media Center Darul Hikam – Pengasuh PP. Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil., menjelaskan mengenai bagaimana Nabi Muhammad Saw datang kepada Yahudi di Madinah untuk membenarkan kitab Taurat yang menjadi pedoman atau pegangan bagi Bani Israil. Hal tersebut ia sampaikan dalam pengajian rutin kitab Tafsir Marah Labid yang berlangsung secara virtual, pada Minggu malam (14/12).

Prof. Kiai Harisudin mengutip dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 101 yang artinya: “Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul (Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah itu ke belakang dada (Punggung), seakan-akan mereka tidak tahu.”

“Jadi, orang-orang Yahudi di Madinah, ketika Rasulullah datang membenarkan ajaran Taurat, orang Yahudi tetap tidak percaya dengan Al-Qur’an dan justru menggunakan kitab yang lain. Inilah pendapat Syekh As-Sidi,” ujar Prof. Kiai Harisudin yang juga Wakil Ketua PW LDNU Jawa Timur.

Terkait dengan kisah tersebut, selanjutnya Prof. Kiai Haris melanjutkan penjelasan tafsir QS. Al-Baqarah ayat 102. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa kaum Yahudi telah mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman.

“Nabi Sulaiman tidaklah kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut,” tutur Prof. Harisudin yang juga Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia itu.

Menurutnya, kaum Yahudi tetap mempelajari dari Harut dan Marut apa yang dapat memisahkan suami dengan istrinya. Namun, segala sesuatu tidak lepas dari izin Allah. Semua terjadi atas seizinnya.

Menurut Ibnu ‘Asyur, ketika menafsiri ayat ini, lanjut Prof. Haris. Kerajaan Bani Israil terbagi menjadi dua setelah kematian Nabi Sulaiman. Pertama, adalah kerajaan di Yerusalem, dipimpin oleh putra Nabi Sulaiman bernama Robiam. Kedua, kerajaan yang dipimpin oleh Yurbiam, putera Banath.

“Yurbiam adalah anak buah yang juga pengikut Nabi Sulaiman yang gagah berani. Oleh karena itu, ia diberi kekuasaan berpusat di  Samiron. Yurbiam putera Banath inilah yang diberi gelar sebagai Raja Israel,” tutur Kiai Haris.

Dari dua kerjaaan tersebut terjadi persaingan. Waktu itu, Robiam mengandalkan dirinya sebagai putra Nabi Sulaiman. Hal tersebut menjadikan para musuh-musuhnya iri dan ingin menjatuhkannya dengan menyebarkan kebohongan.

Dalam penjelasannya, mereka menuduh Nabi Sulaiman telah kafir dan kekuasaannya didapatkan melalui sihir. Demikian ini dilakukan agar terjadi antipatik terhadap Nabi Sulaiman dan putranya.

“Tentu yang dituduhkan kepada Nabi Sulaiman tersebut tidaklah benar. Pada kenyataannya, setan-setan itulah yang kafir dan merekalah yang menjadi dalang menyebarkan sihir,” tegas Prof. Haris yang juga Guru Besar IAIN Jember itu.

Sihir berarti akhir waktu malam dan awal terbitnya fajar. Pada waktu itu bercampur antara gelap dan terang, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas.

Di sisi lain, para ulama berbeda pendapat tentang hal arti sihir. Misalnya menurut Ahli Tafsir, Ibnu Al-Arobi, ia mengatakan bahwa sihir adalah ucapan yang mengandung pengagunggan selain kepada Allah, yang jika dipercaya oleh pengamalnya dapat menghasilkan sesuatu dengan kadar-kadar tertentu.

“Sihir termasuk kategori syirik. Ulama mengatakan bahwa umat beragama tidak dibenarkan dengan tujuan apapun berbuat syirik. Karena sihir adalah alat setan untuk memperdaya manusia dan dihukumi haram,” tutur Kiai Harisudin yang juga Wakil Ketua PW LDNU Jawa Timur.

Bahkan Allah sendiri memberikan catatan bagi manusia yang mengamalkan sihir, bahwa mereka (tukang sihir) pada dasarnya tidak bisa membuat madharat dengan sihirnya kepada seseorang kecuali dengan izin Allah. Sihir tidak membawa manfaat, baik di dunia maupun di akhirat, dan bagi mereka yang mengamalkannya tidak akan mendapat bagian di surga.

Dengan itu, Kiai Harisudin berpesan kepada umat Islam, untuk berjauh-jauhan dengan sihir dan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah.

“Makanya hati-hati, jangan datang kepada tukang sihir dan juga dukun. Karena sangat keras larangannya di dalam Islam, dan salatnya tidak diterima 40 hari 40 malam. Semoga kita semua dikuatkan ketauhidannya, ketaqwaannya serta dijauhkan dari sihir, dan segala bentuk kesyirikan,” pungkas Prof. Haris saat menutup kajiannya.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Kiai Harisudin Ingatkan Para Dai untuk Bisa Mempertanggung Jawabkan Ilmunya

Media Center Darul Hikam – Pengasuh PP. Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I., menjelaskan mengenai bagaimana kaum Yahudi Bani Israil merubah kitab Taurat sesuai dengan keinginannya sendiri. Hal itu ia sampaikan dalam pengajian rutin kitab Tafsir Marah Labid yang berlangsung secara virtual, pada Minggu malam (13/12).

Prof. Kiai Harisudin mengutip dalam Al-Qur`an surah al-Baqarah ayat 75 yang artinya: “Maka apakah kamu (Muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya?” 

Berdasarkan penjelasan dalam kitab Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi tersebut, disebutkan bahwa kaum Yahudi telah mengubah kitab Taurat sesuai pemahaman akalnya mereka.

Prof. Kiai Harisudin menjelaskan bahwa kaum Yahudi yang merubah firman Allah dalam kitab Taurat, bukanlah kaum Yahudi secara keseluruhan, melainkan beberapa pendeta-pendeta Yahudi dari golongan mereka. Menurutnya, hal tersebut perlu diketahui agar tidak menilai kaum Yahudi secara umum.

Salah satu kekeliruan kita dalam kehidupan adalah menilai seseorang sama dengan orang lain, termasuk menilai kesalahan satu orang, yang kemudian disamakan kepada orang lainnya, ujar Prof. Kiai  Harisudin yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur.

Dalam sejarah pernah tercatat bahwa telah terjadi sebuah peristiwa besar yaitu terbakarnya Baitul Maqdis pada tahun 588 SM, kejadian tersebut turut menghanguskan kitab Taurat. Tidak hanya itu, peristiwa yang sama kembali terjadi pada tahun 40 M.

Terbakarnya kitab Taurat, ditambah tidak adanya kaum Yahudi yang hafal terhadap kitab Taurat, menjadikan kitab Taurat ditulis kembali dengan merubah orisinalitas kitab Taurat tersebut, tutur Kiai Harisudin dalam pengajiannya.

Kemudian Kiai Harisudin kembali melanjutkan dengan mengutip ayat selanjutnya yaitu surah al-Baqarah ayat 75  

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: Kami pun telah beriman, tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: Apakah kamu menceritakan kepada mereka, apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian, mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Rabb-mu; tidakkah kamu mengerti?.” (QS.2:76)

Menurut Prof. Harisudin, ayat di atas yang ditujukan kepada kaum Yahudi tidaklah berlaku bagi semuanya, tetapi hanya bagi kaum Yahudi yang mempunyai sifat munafik. Orang Yahudi ada yang munafik dan ada yang tidak munafik, jelas Prof Kiai Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia. 

Para kaum Yahudi yang munafik ketika di hadapan umat mukmin, mereka mengakui terhadap kebenaran ajaran Nabi Muhammad. Namun di sisi lain, mereka ingkar dan tidak beriman kepada Nabi Muhammad.

Pada saat itu, kalangan bawah Yahudi mudah percaya kepada pendeta-pendeta Yahudi. Hal itu dikarenakan masih banyaknya kaum yahudi yang tidak tahu baca tulis, sehingga mereka dengan mudahnya mempercayai setiap perkataan para pendeta Yahudi munafik tanpa mengkaji terlebih dahulu atas kebenarannya.  

Adapun beberapa hal yang diubah dalam kitab Taurat yaitu tentang sifat Nabi dan hukum rajam (hukuman bagi pezina) dengan menghitamkan wajah. Tentu ini sangat menyeleweng dari ajaran Rasulullah. Sikap kufur (tidak percaya kepada Allah dan Rasul) inilah yang akan membawa mereka (Yahudi) abadi di dalam neraka.

Tahrif (pengubahan) yang telah dilakukan oleh orang Yahudi elite inilah yang membawa pada kesesatan sesungguhnya, ditambah dengan kaum Yahudi bawah yang menerima setiap ajaran para pendeta Yahudi munafik secara taklid, sehingga terjadi banyak kekeliruan di dalam beragama yang mengakibatkan mereka jauh dari Allah, pungkas Prof. Kiai Haris yang juga Guru Besar IAIN Jember itu.

Dengan itu, Prof. Kiai Harisudin berpesan kepada umat Islam khususnya para elit  mubaligh, dai atau pendakwah dalam menyampaikan doktrin-doktrin agama harus berdasarkan ilmu dan ada pencerahan-pencerahan untuk umat.

“Sementara untuk kalangan bawah (orang awam), bisa terus melakukan kebajikan dengan mengikuti guru dan ulama yang bisa mempertanggungjawabkan ilmu yang bersambung sanadnya ke Rasulullah Saw, pesan Kiai  Harisudin kepada seluruh umat Islam.

Reporter : Wartik Murtisari dan Erni Fitriani

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Hikmah Taat Pada Perintah Allah Dalam Surah Al-Baqarah 72-75

Media Center Darul Hikam – Orang beriman senantiasa patuh kepada perintah Allah dengan rasa yakin bahwa akan ada hikmah dibalik perintah itu. Beda halnya dengan orang yang tidak beriman, mereka lebih banyak mengandalkan rasionalitas akal sebelum melakukan perintah dari Allah.

Dalam Alquran, Bani Israil dikenal sebagai kaum yang banyak bertanya, dan kaum Yahudi dikenal sebagai kaum yang berhati keras. Kisah ini diabadikan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 72-75 tentang Bani Israil dan kaum Yahudi.

Demikian disampaikan oleh Guru Besar IAIN Jember yang juga Pengasuh PP Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisuddin, M.Fil.I., dalam pengajian rutin Tafsir Marah Labid dengan tema “Hikmah kisah Bani Israil dan sifat orang Yahudi” secara virtual pada Ahad, 6 Desember 2020.

Kiai Harisudin dalam pengajiannya, mengutip firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 72-75. Menurutnya, terdapat tradisi di kalangan Bani Israil yang disebutkan dalam ayat ke-72, yaitu mendebatkan pelaku pembunuhan yang sering terjadi pada saat itu.

Dalam firman Allah Swt. yang artinya.

“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.”

Dalam ayat tersebut, diceritakan tentang tradisi Bani Israil yang tidak mengakui kesalahannya dan saling menuduh antara satu dengan yang lain terkait pembunuhan yang dilakukannya.

Menanggapi peristiwa tersebut, Allah Swt. dalam redaksi ayat selanjutnya, menyebutkan cara untuk menyelesaikan persoalan itu.

“Lalu Kami berfirman: ‘Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.

Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. Harisudin menjelaskan bahwa ayat tersebut menceritakan tentang kuasa Allah Swt. dalam menyelesaikan perkara Bani Israil tersebut.

“Dalam Tafsir Marah Labid ini, dijelaskan cara Allah menyelesaikan perkara pembunuhan itu,” tutur Prof. Haris dalam pengajiannya.

Pertama,setiap orang tua/hakim diperintahkan keluar untuk mengukur jarak antara dirinya dengan orang yang terbunuh. Kedua,bagi yang jarak terdekat mengambil seekor lembu betina yang belum pernah dipakai untuk membajak, lalu dibawa ke lembah berair yang belum pernah digunakan. Ketiga, lembu betina tersebut kemudian dipatahkan lehernya, dan orang tua/hakim terdekat itu untuk membasuh tangan ke batang leher lembu betina yang telah dipatahkan lehernya tersebut. Kelimaambillah bagian tubuh lembu tersebut untuk dipukulkan ke mayat yang terbunuh itu.

“Dengan izin Allah, orang yang terbunuh itu hidup kembali dan menunjuk orang yang telah membunuhnya, lalu mayat itu mati kembali atas izin Allah. Akhirnya, setelah diketahui pelaku pembunuhannya, maka dikenakanlah hukum qishash berupa hukuman mati kepada pelaku pembunuhannya,” jelas Kiai Harisudin dengan mengutip kitab Tafsir Marah Labid itu.

Pengasuh PP Darul Hikam itu menambahkan bahwa yang demikian adalah bukti atas Maha Kuasa Allah, bahwa Allah mampu menghidupkan kembali satu jiwa, demikian juga Allah mampu untuk menghidupkan banyak jiwa kelak di hari kebangkitan.

Hikmahnya

Menurut Kiai Harisudin, terdapat dua hikmah yang dapat diambil dalam kisah di atas. Pertama, adanya rahasia Allah yang melatarbelakangi setiap perintah-Nya.

“Setiap muslim hendaknya melaksanakan apapun yang telah diperintahkan oleh Allah tanpa bertanya dan meragukannya. Sebab, jika Allah telah memerintahkan sesuatu maka pasti disitu ada maslahatnya,” jelas Prof Harisudin.

Adapun hikmah kedua, lanjut Prof. Haris. Yaitu, sebagai pembeda antara orang yang beriman dan tidak beriman.

“Yang penting menaati perintah Allah Swt., yaitu dalam ayat 73 tersebut adalah perintah memukul mayat dengan bagian tubuh lembu yang disembelih tadi. Ternyata, hikmahnya mayat tersebut hidup kembali dan menunjukkan siapa pembunuhnya. Maha Besar Allah yang telah mengizinkannya sehingga selesailah perkara pembunuhan itu.”ujar Kiai Haris yang juga Ketua ASPIRASI.

Kedua, sebagai pembeda antara orang yang beriman dan tidak beriman. “Perintah Allah Swt. yang serupa terjadi pada Nabi Ibrahim a.s., ia ikhlas melakukannya semata-mata kerena taat kepada Allah. Kemudian Allah menunjukkan kuasanya dengan menggantikan Ismail a.s. dengan seekor lembu,” tambah Prof. Harisudin yang juga Ketua ASPIRASI itu.

Tidak hanya selesai di situ, Kiai Harisudin melanjutkan redaksi ayat setelahnya, yaitu ayat 74 tentang orang Yahudi yang berhati keras bahkan disebutkan lebih keras dari pada batu. Allah Swt. berfirman:

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan,”

“Dalam kitab Tafsir Marah Labid dijelaskan bahwa hatinya orang Yahudi, lebih keras daripada batu. Padahal dalam ayat tersebut menyatakan bahwa batu memiliki rasa takut kepada Allah,” lanjut Prof. Haris.

“Dalam kitab ini dijelaskan ada tiga kategori batu dalam ayat 74 itu. Pertamabatu yang di dalamnya ada air dan memancar dari sungai-sungai. Keduabatu yang di dalamnya ada air dari mata air yang lebih kecil dari sungai-sungai. Ketigabatu yang di dalamnya turun dari atas gunung. Semuanya itu karena takut kepada Allah Swt.,” jelas Prof. Harisudin yang juga Pengurus Yayasan AZKA Masjid Baitul Amien Jember.

Dari ayat tersebut terdapat dua pesan Allah. Pertamaseluruh makhluk-makhluk di alam semesta ini hidup, bertasbih dan takut kepada Allah. Kedua, perintah bertafakkur dan belajar agar tidak memiliki hati yang keras seperti orang Yahudi.

Kemudian dalam ayat 75 yang artinya:

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?.”

Ayat tersebut semakin menunjukkan perilaku buruk orang Yahudi, yaitu tentang kerasnya hati mereka. “Sebagai orang yang beriman sudah seharusnya kita untuk menghindari dari sifat tersebut,” ujar Kiai Harisudin mengakhiri pengajiannya.

“Dalam ayat 75 tersebut telah melengkapi perilaku buruk orang Yahudi dengan sikap kerasnya hati, semata-mata agar umat Islam bisa menghindari sifat tersebut.”tambah Kiai Haris

Reporter : Siti Junita

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Ingkari Ucapan Sendiri, Yahudi Dikutuk Menjadi Kera Hina

Media Center Darul Hikam – Pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil. I., menyatakan bahwa di zaman Nabi Daud, orang Yahudi telah melampaui batas dengan mengingkari perkataannya terhadap Allah. Demikian disampaikan dalam pengajian rutin Tafsir Marah Labid dengan tema “Kutukan Menjadi Kera Hina” pada Ahad, 30 November 2020 pukul 19.30 WIB secara virtual melalui zoom meeting dan youtube.

Prof. Kiai Harisudin dalam kesempatan itu mengutip QS. Al-Baqarah ayat 65 yang artinya “Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu lalu Kami berfirman kepada mereka: Jadilah kamu kera yang hina”.

“Di dalam kitab tafsir Marah Labid karangan Syekh Nawawi al-Bantani, yang disebut sebagai orang yang melampaui batas ialah kaum Nabi Daud yang durhaka kepada Allah. Ia telah mengingkari kata-katanya sendiri dan ini termasuk perbuatan yang mendurhakai Allah,“ Ujar Prof Harisudin.

“Wahai para Yahudi, demi Allah, sungguh kamu telah tahu. Nenek moyang kamu yang melampaui batas pada hari Sabtu, di zamannya Nabi Daud. Mereka sendirilah yang mengusulkan untuk memilih hari Sabtu sebagai hari ibadah mereka (orang Yahudi), dan itu sudah disetujui oleh Allah. Pada hari itu, tidak boleh ada aktivitas duniawi, isinya adalah aktivitas menyembah kepada Allah SWT. Sehingga dilarang ‘mengail ikan’ (bekerja atau melakukan aktivitas duniawi) pada hari sabtu, karena hari Sabtu merupakan hari khusus untuk beribadah kepada Allah,” pungkasnya.

Namun, dasar orang Yahudi. Mereka sudah dilarang berburu atau melakukan aktivitas duniawi yang lain, namun mereka justru mengingkari ucapan mereka sendiri dengan tetap mencari rezeki dengan membendung air. Tentu hal ini bertentangan dengan perintah Allah yang menyuruh mereka untuk beribadah di hari Sabtu (hari yang mereka pilih).

Sehingga saat itu Allah murka, dan kemudian diturunkan QS. Al-Baqarah ayat 65 tersebut. Maka Kami berkata kepada mereka, jadilah kalian kera yang hina dan dijauhkan dari rahmat dan kemuliaan. Inilah bentuk hukuman Allah atas perbuatan orang

Yahudi yang keras kepala. Ini adalah bentuk kekuasaan Allah. Sangat mudah bagi Allah untuk berkata ‘Kun fayakun’, maka jadilah.

“Para mufasir berbeda pendapat dalam hal ini, ada yang mengatakan bahwa kutukan menjadi kera, apakah ini dalam bentuk fisiknya kera, ataukah sifatnya yang seperti kera. Waallahu’alam. Menurut saya ini tidaklah penting, tapi yang utama adalah sifat kera yang dijauhkan dari rahmat Allah dan kemuliaan. Dalam tafsir lain, bukan hanya kera, tetapi ada yang sebagian mengatakan babi,” tambahnya.

Lalu, bagaimanakah yang dimaksud dengan orang-orang yang hina seperti kera tersebut? Menurut Prof. Harisudin, jika diamati, kera disini adalah makhluk yang terbuka auratnya dan ia termasuk hewan yang tidak mau melakukan sesuatu kalau tidak dicambuk. Artinya, kera memiliki sifat yang buruk dan tak pantas bila ditiru dalam kehidupan, sama halnya dengan karakter orang Yahudi, dia tidak akan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kalau tidak diberi ancaman atau sanksi.

Demikian juga dengan sifat atau karakter babi. Bagaimanakah karakter babi yang sesuai dengan karakter orang-orang Yahudi? Dalam tafsir tersebut, dijelaskan bahwa babi adalah hewan yang tidak memiliki rasa cemburu. Dia tidak marah, walaupun babi betina ditunggangi oleh babi yang lain. Artinya, sama halnya dengan sebagian orang Yahudi pada saat itu, dimana mereka tidak punya rasa cemburu, ketika temannya (laki-laki) menyentuh istri mereka, mengajak menari istri mereka, dan sebagainya. Itu sudah dianggap hal yang biasa. Mereka (orang Yahudi) adalah orang-orang durhaka, sehingga dijadikan orang hina yang sifat atau karakternya seperti kera dan babi.

Demikian tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 66, yang artinya “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang orang yang bertakwa.”

“Peristiwa ini dijadikan sebagai siksaan kepada orang Yahudi yang melakukan itu baik pada zaman Yahudi (zaman dahulu) hingga hari kiamat, dan menjadi nasihat bagi orang-orang yang bertakwa. Maka dari itu, banyak sekali kebaikan di dalam Alquran yang patut kita teladani dan ada pula keburukan yang harus kita jauhi supaya tidak terulang di masa kini,” jelas Prof. Haris yang juga Guru Besar IAIN Jember.

Demikian, sejarah akan selalu menjadi pelajaran atau ibrah bagi umat yang datang di masa sesudahnya. “Dari sini dapat kita ambil pelajaran dari kisah-kisah masa lalu sejarah manusia. Apapun itu yang dilakukan untuk membuat peradaban manusia yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang,” tutur Prof. Harisudin menutup pengajiannya.

Reporter: Erni Fitriani

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Ketua  Umum ASPIRASI: Tujuan Dakwah Adalah Merubah Perilaku

Jember – Media Center Darul Hikam

Dewasa ini dinamika dakwah Islam di Indonesia sudah luar biasa sekali dikembangkan, bahkan bisa diibaratkan Indonesia merupakan surganya bagi para pendakwah, mengingat banyaknya para dai yang menyebarkan agama Islam ke Indonesia dan beberapa wilayah lainnya.

Dengan itu, Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara se-Indonesia (ASPIRASI) bekerja sama dengan PW LTN NU Jawa Timur dan Fakultas Syariah IAIN Jember merespon dengan menggelar Ngaji Online yang bertajuk “Manhaj Dakwah Ulama Nusantara; Etika Dai dalam Kitab Zad al-Zu’ama wa Dhakhirat al-Khutaba karya KH Bisri Mustofa.” pada Rabu, (25/11/2020). Hadir pada kesempatan itu, Dr. (cand) Ikhwanudin, M.HI. (nara sumber) dan Prof Dr M Noor Harisudin, M.Fil.I (Pembahas). Sementara, moderatornya Dr. Winarto Eka Wahyudi, M.Pd.I yang juga Sekretaris Umum Aspirasi. Puluhan peserta kalangan mahasiswa S2 dan S3 juga hadir meramaikan acara webinar tersebut.

Sebagai nara sumber, Ikhwanudin, M. HI., menyampaikan bahwa dirinya pernah berhasil mempublikasikan artikelnya dan dipresentasikan di acara seminar internasional ke-3 oleh ASPIRASI tentang kitab Zad al-Zu’ama wa Dhakhirat al-Khutaba karya KH Bisri Mustofa tersebut.

“Saya tidak sengaja menemukan kitab tersebut, yaitu ketika keponakan baru pulang dari Pondok Pesantren Mambaul Hikam yang memang pernah ngaji kitab di sana,” tuturnya.

Diketahui sebelumnya, KH. Bisri Mustofa nama aslinya yaitu Mashadi, kemudian nama itu diganti menjadi Bisri setelah menunaikan ibadah haji. Ia merupakan sosok tokoh/publik figur yang pernah menjabat sebagai Ketua Masyumi Cabang Rembang, Kepala Kantor Jawatan Kantor Urusan Agama (KUA), anggota Majelis Masyarakat Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), anggota DPRD Jawa Tengah Tahun 1971, Majelis Syuro PPP Pusat, dan Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah (Jateng).

Dalam Antologi Nahdlatul Ulama (NU), KH. Bisri Mustofa dikenal sebagai orator yang memikat massa dan dijuluki dengan “Singa Podium.” Selain itu, KH. Bisri Mustofa juga merupakan seorang penulis yang produktif, ada Sekitar 176 buku (termasuk terjemahan), 30 judul diantaranya terekam dalam Antologi NU. Salah satu karyanya yang menurut narasumber merupakan best practice dalam berdakwah, dengan disertai beberapa tematik ringkas adalah Zad al-Zu’ama wa Dhakhirat al-Khutaba’ karya KH. Bisri Mustofa.

Menurut Ikhwanudin, dari aspek metodologis dan kesadaran panggung, Kiai Bisri Mustofa mengklasifikasi audiens menjadi 7 macam, diantaranya yaitu: masyarakat awam, akademisi, pegawai pemerintahan, masyarakat non-Muslim, pembesar ormas/politik, orang kaya dan ulama.

Di sisi lain, Ketua Umum ASPIRASI Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I., yang juga pembahas dalam acara tersebut, menyebut bahwa Kiai Bisri adalah sosok orator yang juga penulis produktif.

Menurut Prof. Haris, yang disampaikan oleh Ikhwanudin selaku pemateri telah cukup menggambarkan beberapa hal tentang seorang dai. Misalnya tentang stratifikasi sosial untuk menentukan bahasa dan konten dengan menggunakan cara yang berbeda ketika pendakwah itu masuk ke berbagai kalangan.

“Seorang dai harus paham siapa yang sedang dihadapi, ilmu ini sangat penting serta sudah pasti dimiliki oleh seorang dai. Di samping itu, seorang dai dalam berdakwah harus mengajak semampu mereka (orang yang didakwahi) secara pelan-pelan,” tutur Prof. Kiai Harisudin yang juga pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember.

Salah satu etika seorang dai, lanjut Prof. Haris. Ia juga harus mengamalkan ilmunya terlebih dahulu sebelum ia berbicara.

“Inilah kekuatan ulama terdahulu, tidak hanya ya’lamun, tetapi juga ya’malun, yakni seorang yang alim dan juga mengamalkan. Tentu hal ini dapat menginspirasi kita sebagai umat Muslim,” tambahnya.

Kendati demikian, dalam kitab karya Kiai Bisri Mustofa tersebut, menurut Prof. Haris masih terdapat sedikit kekurangan. Salah satunya karya yang sudah ada tersebut bisa dianotasi, ditambahkan dan sebagainya.

Di sisi lain, Prof. Harisudin yang juga Guru Besar IAIN Jember itu, menyampaikan bahwa tujuan dari dakwah adalah merubah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengetahui dan paham akan kebutuhan masyarakat, tetapi hal itu tidak dibahas oleh Kiai Bisri.

“Saya kira, kita sebagai generasi muda bisa lebih memperdalam dan menghubungkan kitab karya Kiai Bisri tersebut dengan relevansi zaman sekarang. Di mana kondisinya berbeda, tetapi secara subtansi (isi), dakwah itu sama. Maksudnya, sejak zaman Nabi Adam hingga nanti hari kiamat, orang yang buruk, jahat, maksiat, dan lainnya tetap ada,” tambah Prof Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Diskusi berlangsung menarik karena banyak tambahan yang disampaikan oleh beberapa pengurus ASPIRASI. Acara tersebut berlangsung pada pukul 19.30 hingga 21.00 WIB secara daring menggunakan aplikasi Zoom Meating.

Reporter: Erni Fitriani

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Pengasuh PP. Darul Hikam: Islam Tidak Sama dengan Agama Lain

Media Center Darul Hikam – Pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I., menyebut bahwa tidak semua orang Yahudi dan Nasrani termasuk dalam ketentuan ayat kecaman di Alquran. Demikian disampaikan dalam pengajian rutin Tafsir Marah Labid dengan tema “Ketika Nabi Musa Meminta Air Untuk Kaumnya” pada Ahad, 22 November 2020 pukul 19.30 WIB secara virtual.

Prof. Kiai Harisudin dalam kesempatan itu mengutip Q.S. Al-Baqarah ayat 62 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati ”.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa tidak semua orang Yahudi dan Nasrani termasuk dalam kategori sebagaimana yang ada dalam ayat-ayat kecaman di Alquran. Menurutnya, ada juga orang Yahudi dan Nasrani yang dijamin mendapatkan pahala dari Allah SWT.

“Di dalam kitab tafsir Marah Labid karangan Syaikh Nawawi al-Bantani, yang disebut orang-orang beriman dalam ayat tersebut adalah orang yang sudah beriman sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, dan mereka sudah beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan hari akhir, di mana ajaran tersebut juga ada dalam agama Yahudi, Nasrani dan agama Sabi’in sebelumnya,” tutur Prof. Harisudin yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember.

Lalu, bagaimanakah yang dimaksud dengan orang-orang Nasrani, Yahudi dan Sabi’in yang tidak masuk dalam kriteria ayat-ayat kecaman di Alquran? Menurut Prof. Kiai Harisudin, orang-orang tersebut adalah kaum yang beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Nabi Muhammad SAW, beriman kepada Nabi Musa (orang Yahudi), beriman kepada Nabi Isa (orang Nasrani), dan Sabi’in  (yakni orang-orang yang menyembah bintang, tetapi beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan mempelajari kitab zabur).

Orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi Musa, Nabi Isa dan kaum Sabi’in (penyembah bintang atau nasrani yang juga membaca kitab Zabur, menyembah malaikat tetapi hati mereka mengatakan kembali kepada mereka, di mana mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat amal saleh), maka dalam ayat tersebut, Allah SWT akan memberi pahala dan memasukkannya mereka ke dalam surga.

Namun, dari penjelasan tersebut tidak dapat dikatakan bahwasanya agama Islam dengan Nasrani, Yahudi dan Sabi’in itu sama sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhidin Ibnu ‘Arabi yang menilai semua agama itu sama.

“Bagi saya agama Islam tidak bisa dikatakan sama dengan agama yang lain, seperti Nasrani, Yahudi, dan lainnya, karena semua punya akidah, syariat, dan tarekat yang berbeda-beda antara agama islam dengan agama yang lain,”  jelasnya.

Selain itu, agama Islam merupakan agama yang paling benar sebagaimana disebut dalam Alquran dan hadis. Meski demikian, Islam bisa berdampingan dengan agama lain seperti hidup bersama orang Yahudi, Nasrani, Kristen, Hindu dan Budha atau bahkan orang yang tidak punya agama sekalipun.

“Dalam agama Islam diajarkan untuk saling menghargai perbedaan antara satu dengan yang lain, hidup memang dibuat berbeda-beda agar kita mempunyai toleransi,” tegas Prof. Kiai Harisudin menutup kajian kitabnya.

Penulis : Wartik Murtisari

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Yudisium IAIN Tulungagung, Pengasuh Darul Hikam Sebut Sarjana Sebagai Agen Moderasi Beragama

Media Center Darul Hikam – Pengasuh Pondok Pesantren Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. FiI.I., menjadi narasumber dalam acara yudisium Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, pada Rabu (04/11/2020) secara virtual.

Acara yudisium yang diikuti sebanyak 121 mahasiswa tersebut, dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshori, M.Ag. Tidak hanya itu, acara tersebut diikuti langsung oleh Rektor IAIN Tulungagung Prof. Dr. Maftukhin, M,Ag.

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember dalam pemaparannya menyampaikan, bahwa sebagai lulusan sarjana hukum, harus menjadi orang yang kompetitif dan kontributif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

“Dalam mewujudkan sarjana hukum yang kompetitif dan kontributif, sarjana hukum harus bisa menjadi pionir dalam segala bidang kehidupan. Misalnya dengan menjadi lawyer/advokat, notaris atau bahkan menjadi hakim adalah kompetensi lulusan sarjana hukum yang harus dicapai,” ujar Prof. Harisudin yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Seluruh Indonesia. 

Kemampuan-kemampuan yang sudah ada, harus selalu dipelajari, terlebih pengetahuan tentang ilmu syariah dan ilmu hukum. Menurut Prof. Haris, mahasiswa jangan sampai mengesampingkan kemampuan-kemampuan yang lain.

“Setelah sarjana, adik-adik punya tugas intelektual organik, berupa menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut nantinya menjadi tugas lanjutan mahasiswa sebagai agen of change guna menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, yaitu the real of life,” jelas Prof. Harisudin dalam orasinya.

Ia turut mengingatkan, sebagai lulusan di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, mahasiswa ataupun para alumni harus tetap menjunjung nilai-nilai moderasi agama. Menurutnya, keadaan saat ini cukup mengkhawatirkan, dengan semakin banyaknya  kelompok-kelompok ekstrim agama yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Maka bertambahlah tugas adik-adik semua, dengan menjadi agen moderasi beragama,” tambahnya.

Bagi Prof. Haris, menjadi sarjana di era digital seperti saat ini, harus paham bahwa knowledge saja tidaklah cukup. Oleh karena itu, knowledge harus diubah menjadi skill atau keterampilan.

“Kalau di Fakultas Syariah IAIN Tulungagung mahasiswanya memilik keterampilan melakukan istinbath hukum, membaca kitab kuning dan lain sebagainya. Hal itu adalah skill yang harus ditransformasikan ke dalam wujud nyata, yaitu kehidupan. Karena itu kreativitas menangkap peluang ini yang akan menjadikan sarjana era sekarang dapat dikatakan kompetitif dan kontributif kepada masyarakat,” jelas Prof. Harisudin menutup materinya.

Reporter : Mohammad Irfan Sholeh

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Prof. Kiai Harisudin, Fatwa Kebangsaan Tujuannya Menguatkan NKRI

Media Center  Darul Hikam – Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember Prof.  Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I., menjadi narasumber dalam acara Kuliah Tamu yang bertajuk “Fatwa-Fatwa Kebangsaan di Indonesia Perspektif Maqashid Asy-Syariah” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Salatiga, pada Selasa (13/10/2020) pagi secara virtual.

Dalam acara tersebut, juga dihadiri oleh Dekan  Fakultas Syariah IAIN Salatiga Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., yang memberikan sambutan sekaligus membuka acara Kuliah Umum tersebut. Acara Kuliah Umum ini bertujuan untuk membantu memberikan pemahaman kepada para akademisi khususnya mahasiswa Fakultas Syariah tentang fatwa dan maqashid syariah.

Sembari membuka acara, Dr. Siti Zumrotun menekankan kepada para mahasiswa agar benar-benar memahami makna fikih, qadla dan fatwa termasuk perbedaan dari ketiganya.

“Perkembangan fatwa–fatwa kebangsaan kini tengah mencuat, adik-adik mahasiswa harus mengetahui dan memahami bagaimana perkembangannya jika dilihat dari perspektif Maqashid Asy-Syariah,” ucap Dr. Siti Zumrotun dalam sambutannya.

Selanjutnya dalam paparan Kuliah Tamu, Prof. Kiai Harisudin menyampaikan bahwa dalam fatwa-fatwa kebangsaan ini, urusan apapun sudah diatur oleh fatwa dan fikih. Keduanya ‘fatwa dan fikih’ turut serta dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap tegak berdiri, tumbuh berkembang hingga sekarang.

“Bisa kita lihat bersama saat ini banyak fatwa-fatwa yang mengatur berbagai hukum di masa pandemi Covid-19, misalnya bagaimana hukum menggunakan masker saat keluar rumah, hukum sholat Jumat di masjid, dan sebagainya. Disinilah peran fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pandangan Maqashid Asy-Syariah sangat diperlukan,” papar Prof. Kiai Haris yang juga Pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember.

Fatwa merupakan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan telah berlaku untuk umum, dan dalam kondisi apapun. Fatwa juga biasanya muncul karena adanya respon mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat. Fatwa ada karena permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, organisasi sosial atau Majelis Ulama Islam sendiri, dan perkembangan atau temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan masyarakat berupa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Dikatakan Prof. Haris, perbedaan antara fatwa dan fikih diantaranya fatwa tentang sebuah kasus, sifatnya lebih khusus, sedangkan fikih sifatnya umum. Fatwa ada karena permintaan, sedangkan fikih tidak harus selalu ada permintaan. Fatwa dan fikih sama-sama membahas tentang permasalahan pada manusia, sedangkan perbedaan fatwa dan qadla yaitu fatwa sifatnya tidak mengikat sedangkan qadla mengikat, fatwa sifatnya dari masyarakat, sedangkan qadla dari perwakilan negara.

“Diatasnya qadla ada positif law.  Positif law adalah hukum Islam yang menjadi hukum positif, seperti Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (HEI), dan lain sebagainya,” jelas Prof.  Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri se-Indonesia.

Terdapat empat hal pokok dalam fatwa, diantaranya al-ifta’ artinya kegiatan yang menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban dari pertanyaan, Mustafti adalah orang yang meminta fatwa baik individu ataupun berkelompok, Mufti adalah orang yang memberikan fatwa, dan Mustafti Fiih  merupakan peristiwa yang ditanyakan status hukumnya.

Oleh sebab itu maka, syarat-syarat menjadi Mufti tidak boleh sembarangan, yang pertama seorang Mufti itu harus mukalaf (muslim, dewasa, dan sempurna akalnya), harus ahli dalam ilmu agama dan bisa berijtihad, pribadinya harus adil, dapat dipercaya dan mempunyai moralitas, serta memiliki keteguhan niat, tenang jiwanya, hasil fatwanya tidak menimbulkan kontroversi (perdebatan) dan dikenal di tengah umat.

Tujuan dari syariah Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Semua syariat Islam itu ada manfaatnya, dan manfaat itu akan kembali kepada manusia itu sendiri.

“Jika Allah mewajibkan kita untuk sholat, puasa, zakat, dan sebagainya, tentu ini akan menjadikan kemaslahatan bagi manusia, Allah Swt memerintahkan kita untuk melakukan suatu kebaikan dan tidak pernah ada yang sia-sia, baik yang wajib hukumnya, sunnah atau mubah, semua pasti ada kemaslahatan untuk umatnya. Sedangkan yang mengandung sisi negatif itu ada makruh dan haram. Setiap hal yang dimakruhkan, pasti ada potensi membahayakan bagi manusia. karena tujuan syariah sejatinya adalah memelihara jiwa, akal, keturunan, harta, dan agama,” jelas Prof. Haris yang Sekretaris Forum Dekan Fakultas  Syariah dan Hukum PTKIN Se-Indonesia.

Umumnya pembagian pemikiran maqashid Asy-Syariah ada 3, yaitu Nushusiyun (berdasarkan nash-nash quran), Maqasyidun (tidak harus berdasar nash, asal maqashid syariahnya bagus), dan Nushusiyun Maqasyidun (nash-nash juga dipakai tetapi juga berdasar pada maqashid syariah).

Analisa tingkatan Maqashid Asy-Syariah pada masa lampau, masa orla dan orba, serta masa reformasi, tujuannya adalah selalu kontekstual dengan zamannya. Masa lampau tujuannya secara umum al-Dlaruriyatul Khams, secara khusus yaitu membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Di masa orla dan orba tujuannya untuk  mempersatukan umat, menjauhkan umat dari kebodohan dan kekafiran. Sedangkan di masa reformasi tujuannya untuk memajukan kesejahteraan di Indonesia.

“Fatwa-fatwa kebangsaan ini adalah tema yang menarik, dan perlu untuk dikembangkan. Fatwa-fatwa yang posisinya untuk menguatkan NKRI dan Pancasila, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam maka harus tetap dilaksanakan,” ujar Prof. Harisudin.

Maqashid Asy-Syariah dapat menjadi terobosan yang terbaik bagi pemikir-pemikir hukum, khususnya hukum Islam dalam mengkaji fatwa-fatwa kebangsaan demi memajukan bangsa ini,” pungkas Fahmi Asyhari, M.H selaku Moderator pada Webinar Kuliah Tamu tersebut.

Reporter : Erni Fitriani

Editor: M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

K.H. Abdul Djalal, Sosok Berilmu Tetapi Rendah Hati

Bondowoso, NU Online 

Hari Kamis 1 Oktober 2020 kemarin, keluarga besar Nahdlatul Ulama kembali berduka. Hal ini dikarenakan salah satu tokoh NU KH Abdul Djalal meninggal dunia di RS Umum Bondowoso pada 20.25 WIB.

Almarhum lahir di Desa Tambah Lorok, Rejomulyo, Semarang pada 20 September 1970. Ia juga dikenal menjadi dosen di beberapa kampus seperti dosen di Kampus Ma’had Aly tepatnya di Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Ia juga adaah Dekan Fakultas Dakwah Universitas Ibrahimy, dan juga Ketua Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (AMALI) dan juga dosen Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.

 “Beliau adalah dosen tetap kami di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Sambil mengajar di UINSA dia juga mengajar di Ma’had Aly Sukorejo Situbondo. Beliau sangat aktif di organisasi Ma’had Aly, hingga ditunjuk sebagai Ketua Asosiasi Ma’had Aly se-Indonesia,” ungkap Prof Masdar Hilmy, Rektor UINSA.  

Menurut Prof Masdar, almarhum adalah sosok yang santun, low profile, tetapi alim. “Beliau itu tipoligi santri yang tawadhu tapi pintar,” kata Prof Masdar Hilmy.  

KH Abdul Djalal pernah mondok di Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo dari tahun 1984. Pendidikannya mulai dari tingkat Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga perguruan tinggi ditempuhnya di IAI Ibrahimy yang semuanya ia jalani di Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo.

Pada tahun 1990 almarhum masuk di Kampus Ma’had Aly Sukorejo Situbondo angkatan pertama dan lulus pada tahun 1993. Setelah lulus dari Ma’had Aly ia pun melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di UIN Yogyakarta.  

“Almarhum Dr Jalal itu di pondok sejak SMP dan SMA, memang masuk santri unggulan, keahliannya bukan hanya dalam memahami kutub al-turots, tapi juga ilmu-ilmu pengetahuan alam seperti matematika dan IPA,” tutur KH Muhyiddin Khotib Dosen Ma’had Aly Sukorejo Situbondo.

Pada tahun 2005 ia akhirnya kembali ke Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo untuk mengabdikan dirinya di Ma’had Aly Sukorejo Situbondo. Hingga pada tahun 2015 beliau diangkat menjadi ketua AMALI (Asosiasi Ma’had Aly Indonesia) sampai akhirnya wafat.

Ustadz Ismail, ahlul bait almarhum mengatakan, KH Abdul Djalal adalah tipe orang yang disiplin dengan waktu, kutu buku atau rajin baca kitab.  

“Setiap saya sowan ke beliau, ia selalu sedang membaca kitab dan Al-Quran, ia sangat mencintai ilmu. Ketika sedang diskusi terkait bidang ilmu, beliau sampai lupa waktu,” kata Ustdaz Ismail.

Ditambahkan, almahum termasuk orang yang sayang keluarga kapan saja. Sesibuk apa pun disempatkannya pulang dan selalu menggendong anaknya yang masih kecil.

“Beliau juga salah satu orang yang totalitas dalam pengabdian di Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo,” tutup Ustadz Ismail.

Almarhum memiliki lima orang putra-putri dari satu orang istri. Kelimanya adalah M Razin Ayatul Hayy (Azin), Robet Asroria Soma (Obit), M. Roghib Auliya Illah (Roghib), Azza Juhaida Sabela (Azza), dan Ahmad Zamahsyari Djalal (Ahmad).

Kontributor: Moh Haris T Rahman

Editor: Kendi Setiawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/123609/kh-abdul-djalal–sosok-berilmu-tetapi-rendah-hati

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Kiai M. Noor Harisudin: Negara Tidak Berlakukan Hukum Salah Satu Agama 

Rabu 16/09 Fakultas Syariah IAIN Kudus mempersembahkan Seminar Nasional Online bertajuk “Dinamika Hukum Islam di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Acara berlangsung dari pukul 09.00-12.00 WIB yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai penjuru kota di Indonesia.

Narasumber pada acara tersebut, Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Guru Besar IAIN Jember, Dr. H. Mundakir, M. Ag., selaku rektor IAIN Kudus, dan Narasumber terakhir, Dr. H. Amran Suadi, SH, M.Hum., selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Acara tersebut dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan ke acara inti yakni Seminar Nasional yang dimoderatori oleh Dr. Any Ismayawati, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

Sesuai dengan tema, jika berbicara mengenai dinamika hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa hal yang wajib yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah mengenai posisi hukum Islam itu sendiri, dalam arti syariah (fiqh). Kemudian posisi kedua adalah kita hidup di Indonesia. Di Indonesia Islam punya kekhususan tersendiri, punya khittah tersendiri yakni ”sulhu Hudaibiyah” atau biasa disebut dengan perjanjian damai Hudaibiyah antara umat Islam dengan kafir di masa Nabi Muhammad. Artinya, Indonesia bukanlah negara Islam, bukan negara khilafah, yang bukan berazazkan hukum Islam tertentu, tapi inilah negara yang disebut dengan “darul ahdi”, atau “darul mitsaq”, yaitu  negara konsensus yang bersama-sama membangun bangsa, di mana Pancasila menjadi dasarnya dan  yang penting adalah umat Islam bisa menjalankan syariat agamanya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Jadi, tidak bisa jika semua hukum Islam dari luar negeri diambil dan diterapkan di Indonesia.

“Karena itu saya sepakat dengan Prof. Mahfud yang mengatakan bahwa negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Berbicara mengenai skema hukum Islam, hukum Islam ternyata dibagi menjadi dua bagian, yakni ibadah mahdlah dan Non-ibadah mahdlah. Yang termasuk dalam ibadah mahdlah adalah sholat, puasa, haji. Sedangkan Non-ibadah mahdlah adalah muamalah, ahwalus syakhsiyah, jinayah, siyasah, dan Qadla atau penyelesaian pengadilan.

Lain halnya dengan skema hukum Islam dan perubahan sosial, dimulai dari fakta-fakta, konsep, ‘illat hukum dan diktum hukum/fatwa. Jadi, jika ada fakta-fakta yang berubah maka nanti hukum di atasnya juga akan berubah. Misalnya saja Nahdlatul Ulama (NU) dulu pada tahun 30-an pernah menetapkan bahwa sunnah hukumnya menyalakan petasan di malam ramadhan sebagai juga bentuk syiar yang dianjurkan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 1999 hukum itu menjadi berubah status yakni “haram” karena menimbulkan mudharat yang besar yakni dapat membuat seseorang terluka dengan petasan yang ukurannya besar. Dari sini dapat diketahui bahwa ada hukum Islam yang berubah dan ada hukum Islam yang tidak berubah.

Perubahan-perubahan dalam hukum Islam tadi, dapat diperoleh dengan cara ijtihad. Ijtihad adalah metode agar hukum Islam dapat selalu hidup dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seseorang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Ijtihad yang sesuai untuk zaman saat ini adalah ijtihad jama’I,  yakni ijtihad yang disepakati oleh mujtahid dalam satu masalah. Ijtihad ini juga berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bentuk dinamika  hukum Islam  dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya dari kelembagaan, Rechtvinding dalam putusan Hakim pengadilan agama, regulasi dan Undang-Undang, perdebatan wacana pemikiran pembaharuan Hukum Islam, penelitian dan kajian hukum Islam yang selalu update.

“Untuk menjadi tokoh penegak hukum yang baik, harus ditata dulu akidahnya. Karena jika akidahnya baik, maka ibadah dan akhlaqnya juga akan baik,” ujar Dr. H. Mundakir, M. Ag., saat ini menjabat sebagai rektor di IAIN Kudus. Karena sesungguhnya saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana orang-orang yang taat hukum bisa menjalani syariat dengan baik. Maka insyaalah akan lahir orang-orang islam  yang teguh menjalankan hukum sesuai syariat Islam.

Dialektika hukum Islam diwujudkan dalam dua hal; living laws dan positif laws. Living laws adalah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat, diajarkan di perguruan tinggi, pesantren, juga madrasah dan didiskusikan oleh lembaga ijtihad masing-masing organisasi masyarakat. Sedangkan   positif laws adalah hukum Islam yang telah ditetapkan menjadi hukum positif di Indonesia. Misalnya kompilasi hukum Islam, kompilasi hukum ekonomi syariah, dan lain-lain. Bentuk lain positif laws dapat dilihat dari undang-undang yang sesuai dengan Maqashidus Syariah. Misalnya undang-undang lalu lintas, undang-undang pemilu, dan sebagainya.

Jadi, bisa saja keputusan antara organisasi masyarakat satu dengan organisasi masyarakat lain bisa saling berbeda. Misalnya saja kemarin saat bulan Ramadan, untuk pelaksanaan salat Id bisa tidak bersamaan. Jadi jangan heran dengan perbedaan pendapat. Contoh lain jika ada perbedaan madzab yang dianut seseorang. Demikian tidak bersifat mengikat.

Terdapat empat faktor penyebab dinamika hukum Islam, yakni bergantungnya bandul politik hukum penguasa, pergerakan pembaharu dan pemikirannya di Indonesia, berdirinya lembaga-lembaga baru, dan perubahan sosial yang demikian cepat.

Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat ketika pengadilan agama mempunyai kewenangan yang lebih luas, yang semula hanya mewakili permasalahan cerai, kemudian sudah mulai meluas ke masalah wakaf, waris, bisnis syariah, dan sudah sangat luas.

“Gambaran dinamika hukum Islam di Indonesia sudah semakin membaik, tinggal bagaimana para alumni PTKIN membuat perkembangan dirinya,” pungkas Dr. H. Amran Suadi selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Karena sasaran sangat banyak sekali bagi alumni Fakultas Syariah, hakim dilingkungan peradilan agama  sekarang masih terbatas. ini dapat menjadi peluang emas bagi mahasiswa hukum Fakultas Syariah.

“Saya harap kita semua bisa menjadi pionir untuk membumikan hukum Islam, permasalahan hidup selalu ada dan tidak bisa kita abaikan, dan hukum yang adil itu ketika memang sesuai  norma-norma kehidupan,” ungkap Dr. Any yang juga sebagai Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

“Closing statement dari saya, ingatlah bahwa tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau belajar. Tetap semangat untuk adik-adik Fakultas Syariah,” ujar Prof. Kiai Haris yang juga pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember dan Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : Moh. Abd. Rauf