Categories
Tokoh Ulama Nusantara

Innalillahi Pakar Fikih Perempuan Hj Huzaemah T Yanggo Tutup Usia

Jakarta, NU Online

Pakar fikih perempuan perbandingan mazhab asal Indonesia Prof Hj Huzaemah Tahido Yanggo berpulang ke rahmatullah pada Jumat (23/7) pukul 06.10 WIB di RSUD Banten. Pakar perempuan yang juga Dewan Pakar Pimpinan Pusat Muslimat NU itu meninggal dunia pada usia 75 tahun.

Prof Hj Huzaemah merupakan sosok perempuan yang aktif di pelbagai macam organisasi dan aktif menulis tentang fikih perempuan kontemporer.

Semasa hidupnya, Prof Hj Huzaemah juga menjabat sebagai rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau UIN Jakarta pada jurusan Magister Pengkajian Islam, Ia juga tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI sejak tahun 1987, Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2000, dewan pakar Muslimat NU, dan A’wan PBNU.

Prof Hj Huzaemah juga tercatat sebagai perempuan pertama yang berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1981.

Tidak hanya itu, Prof Hj Huzaemah kerap menyikapi soal perempuan yang dipandangnya harus kuat terhadap dua hal, yakni modern dan tradisional. Ia mengartikan bahwa perempuan dalam llingkup modernitas harus mampu merespons perkembangan zaman, namun tetap berpijak pada tradisi. 

Kabar duka wafatnya Prof Hj Huzaemah ini juga disampaikan oleh tokoh NU Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir melalui akun Twitter pribadinya.

“Kabar duka: Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo wafat dalam usia 74 th karena Covid. Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta,” tulis Gus Nadir.

Kepala Asrama Pesantren IIQ Ustadz Abdur Rosyid menyampaikan, jenazah sedang diurus di rumah sakit. Jenazah akan dishalatkan terlebih dahulu di masjid, asrama Pesantren IIQ, Pamulang, Tangerang Selatan.

“Insya Allah nanti dishalatkan dulu di masjid IIQ sini. Sekarang jenazah sedang diurus,” kata Ustadz Rosyid.

Kontributor: Anty Husnawati

Editor: Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/130308/innalillahi-pakar-fikih-perempuan-hj-huzaemah-t-yanggo-tutup-usia

Categories
Tokoh Ulama Nusantara Uncategorised

Arahan Wakil Presiden RI pada Acara Penguatan Peran Ulama/Habaib/Kyai dalam Penanggulangan COVID-19

Categories
Keislaman

PMII Komisariat Wahid Hasyim Semarang Gelar Mujahadah dan Doa bersama Keselamatan Bangsa dari Pandemi COVID-19

Media Center Darul Hikam – Di tengah kondisi Pandemi Covid-19 yang semakin hari terus bertambah kasusnya dan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Wahid Hasyim Semarang, Gelar mujahadah dan doa untuk keselamatan bangsa dari pandemi Covid-19.

Kegiatan yang dimulai pukul 19.30 WIB ini dilaksanakan secara virtual via zoom meeting ini, dan ikuti oleh seluruh kader PMII dan Alumni Wahid Hasyim pada Minggu (11/07/21) Malam.

Ketua Umum PMII Komisariat Wahid Hasyim Semarang, Sahabati Roshifah Jauhari dalam sambutannya mengungkapkan, adanya kegiatan ini merupakan wujud implementasi Nilai Dasar Pergerakan (NDP) kaitannya dalam meningkatkan kepedulian melalui hubungan antara manusia dengan manusia.

“Bersama pengurus bidang keagamaan, kami mengadakan kegiatan ini untuk memberikan mujahadah dan doa bagi keselamatan bangsa dari Wabah, mudah-mudahan lewat mujahadah ini senantiasa mendapat keberkahan serta bisa menambah spirit keyakinan dalam menghadapi wabah, lebih berhati-hati agar bisa selamat dan sehat,” tutur Roshifah.

Hadir dalam kegiatan di antaranya, Rektor Universitas Wahid Hasyim sekaligus Mabinkom PMII Komisariat Wahid Hasyim Prof. Dr. KH. Mudzakir Ali MA, Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Dr. KH. Muh Syaifudin M.A, Pembina majelis khidmah Asma Ul Husna Pusat Drs. KH. Amjdjad AlHafidz B.Sc. M.Pd. , Ketua IKA PMII Wahid Hasyim Adi Joko Purwanto S.IP. M.A., Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan Prof. Dr. M. Noor Harisuddin M.Fil.I dan Sekretaris Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan Nur Rois, M.Pd.I .

Adapun rangkaian kegiatan dimulai dengan pembukaan dan mujahadah asmaul husna yang dipimpin oleh bapak Nur Rois, dilanjut dengan pembacaan doa oleh Bapak KH. syaifudin serta Bapak KH. Amdjad dan diakhiri dengan tausyiah oleh Rektor dan Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan.

Dalam tausyiahnya, Prof Mudzakir Ali menyampaikan  bahwa Aswaja di kampus Universitas Wahid Hasyim merupakan aswaja an-nahdliyah, bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak terlepas dari prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja an-nahdliyah yaitu tawâsuth, tawâzun, ta’adul, dan tasâmuh.

“Kader-kader PMII dan alumni jangan sampai lepas dari prinsip ini, PMII harus bisa memegang teguh nilai pergerakan, baik struktural ataupun non struktural. NU tidak akan bisa eksis tanpa keterlibat PMII di dalamnya,” jelasnya.

Sedangkan dalam tausyiah penutup, Prof Noor Harisudin menjelaskan, PMII harus mampu mengambil kesempatan dalam berbagai peran, salah satunya dengan meningkatkan nasionalisme yang du bangun sebagai solidaritas dalam memberi empati dan solusi di tengah kondisi pandemi yang ada saat ini.

“Solidaritas ditengah pandemi harus senantiasa dibangun untuk menumbuhkan empati dan solusi, bukan dengan mengeluarkan caci maki,” paparnya.

Dirinya juga berpesan bahwa Kader PMII Universitas Wahid Hasyim khususnya, harus mampu memiliki standar yang lebih tinggi agar bisa berperan dan bernilai baik di ranah sosial maupun intelektual. (Sfa)

Categories
Keislaman

Baidlawie : Harus Ada Punishment Bagi Orang Yang Enggan Berzakat

Media Center – Sabtu, 24/04 Fakultas Syariah IAIN Jember bekerja sama dengan Amil Zakat (Azka) Al Baitul Amien Jember mengadakan Webinar Nasional Zakat Generasi Milenial yang bertajuk “Zakat Is a Lifestyle!” yang dimulai pada pukul 08.00-11.00 WIB secara daring (dalam jaringan) melalui aplikasi Zoom Meeting dan live Youtube. 

Adapun Keynote Speaker pada acara tersebut yaitu Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA selaku Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia (RI), Opening Speech oleh Ach. Fathor Rosyid, M.Si., selaku Direktur Azka Al Baitul Amien Jember. Speaker oleh Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur serta Guru Besar IAIN Jember dan Ust Baidlawie, MHI selaku Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember. Master of Ceremony oleh Anjar Aprilia Kristanti, M.Pd dan Moderator oleh Dr. Zainal Anshari, M.Pd.I., selaku Ketua Yayasan AZKA Al Baitul Amien Jember.

Baidlawie yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut menyampaikan bahwa banyak sekali pendapat dari pakar atau ahli zakat yang mana pendapat dari mereka memiliki titik kesamaan, baik dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah maupun dari pakar ekonomi di Indonesia.

“Definisi yang disampaikan oleh beberapa pakar, itu rata-rata sama bahwa zakat itu adalah nama dari suatu harta yang dikeluarkan dari harta tertentu, kepada orang tertentu, untuk golongan orang tertentu, dan dengan cara tertentu pula. Untuk lembaga BAZNAS akhirnya ketertentuan ini nanti supaya bisa diatur, terutama bagi kaum milenial yang mungkin masih kekurangan literasi tentang apa itu zakat dan semacamnya,” tuturnya.

Macam-macam zakat dibagi menjadi dua bagian diantaranya ada zakat mal dan zakat fitrah. Namun utamanya seperti di bulan Ramadhan ini adalah zakat fitrah.

Profesor Dr. KH Noor Achmad, MA., menuturkan bahwa potensi zakat di Indonesia sebesar 320 triliun, hanya saja yang bisa terkumpul hanya sedikit sekali dari itu semua. Apa yang menjadi masalahnya? Menurut Baidlawie hal itu dapat terjadi karena kurangnya peran pemerintah. 

Seperti dulu yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar di dalam menegakkan perintah zakat, yakni dengan memberi sanksi kepada pelaku zakat dengan cara diperangi. Hal ini menurutnya bisa dijadikan solusi yang mana Undang-Undang Zakat yang sudah untuk lebih ditekankan kepada aspek punisment atau sanksinya. 

“Jadi harus ada sanksi, Saya mengutip pernyataan Khalifah Usman bin Affan dikutip oleh Jamaluddin dalam Kitab Nahwu Wat Tamwil Maqashid Syariah, beliau menyatakan  bahwa pentingnya pemerintah di dalam menekan para orang–orang muslim yang tidak tunduk kepada aturan-aturan agamanya agar kemudian bisa tunduk dengan cara diberi sanksi,” ujarnya.

Jadi pemerintah tidak hanya menyediakan tempat mengeloa zakat, menghimpun zakat, tetapi juga bagaimana pemerintah memberikan hukuman atau sanksi bagi mereka yang tidak membayar zakat. Sehingga perlu ada undang-undang yang mengatur sanksi-saksi bagi mereka yang tidak mau melaksanakan kewajiban zakat. Karena jelas kewajiban zakat ini ancaman nyata sekali dalam Alquran seperti yang tertera di dalam surat  At-Taubah ayat 34. Allah berfirman bahwa orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak mau menafkankan hartanya di jalan Allah maka akan diberikan siksa yang pedih.

“Artinya harus diberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya kaum milenial tentang bahaya orang yang kemudian tidak melaksanakan zakat ini, supaya ada rasa takut yang arahnya takut kepada Allah. Bagaimana supaya mereka mau berzakat, mungkin diberi pemahaman, bahwa zakat bukan hanya sebagai kewajiban tetapi sebagai kebutuhan. Kalau kita tidak zakat, nanti badan dan harta tidak tersucikan. Zakat harus dijadikan gaya hidup atau lifestyle sehingga optimalisasi zakat akan bisa tercapai,” ucapnya.

Ia juga mengungkapkan urgensi mengeluarkan zakat, mengutip dari rangkuman salah satu ulama. Ada beberapa hikmah dalam berzakat diantaranya adalah sebagai bentuk penghambaan kita sebagai manusia kepada Allah Swt., artinya dengan berzakat, kita melaksanakan salah satu satu rukun Islam, yang apabila zakat ini tidak dilaksanakan berarti keislaman kita tidak sempurna, juga sebagai bukti syukur kita kepada nikmat Allah. Kemudian yakni menyucikan muzakki dari dosa-dosa, membersihkan harta. Kemudian yang paling penting juga membersihkan hati mustahik dari hasad dan iri hati.

Baidlawie menuturkan bahwa potensi perolehan zakat para milenial masih jauh dari yang diharapkan, sehingga kedepan akan diberikan himbauan terutama oleh BAZNAS dan lembaga pemerintah yang menjaga dan mengelola zakat supaya lebih optimal dalam mengelola penghimpunan zakat. Menumbuhkan perekonomian Islam, dan dakwah kepada orang untuk dapat cinta kepada syariat Islam. 

“Solusinya tadi itu, harus lebih tegas kepada para muzakki ini agar kemudian bisa melaksanakan zakatnya dengan lebih optimal. Saya mengharapkan bahwa bagaimana milenial ini menjadi motor penggerak, agar perolehan zakat yang awalnya tadi 10 juta orang yang membayar, setidaknya bisa mencapai 50% dari 320 juta orang yang ada di Indonesia,”pungkasnya.

Di akhir materi, Baidlawie menyampaikan bahwa hikmah berzakat tidak akan mengurangi harta, justru akan menambah dan memberikan keberkahan pada harta. Acara berlangsung menarik, diikuti oleh kurang lebih 200 orang dari berbagai kalangan akademisi baik dari dalam maupun luar IAIN Jember.

Reporter : Imaniar Isfaraini

Editor : Erni Fitriani

Categories
Keislaman

Tadarus Ilmiah, Dekan: Bekali Mahasiswa Bermental Antiradikalisme dan Terorisme

Media Center Darul Hikam – Rabu, (14/04) Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M.Fil.I menjadi salah satu pembicara tamu dalam webinar Tadarus Ilmiah yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) IAIN Jember. Tidak sendiri, Prof Haris juga ditemani oleh A. Badrus Solihin, MA. selaku Sekretaris Rumah Moderasi Beragama IAIN Jember yang juga berkesempatan menjadi narasumber kedua dalam kegiatan tersebut. Acara ini mengangkat tema tentang “Islam, Radikalisme, dan Intoleransi di Era Milenial.”

Aksi terorisme di Indonesia belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi sasarannya adalah para pelajar/mahasiswa. Hal ini berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2016. Tidak hanya perguruan tinggi umum (sekuler) yang menjadi target penyebaran paham radikalisme dan terorisme, perguruan tinggi Islam pun menjadi sasaran.

“Beberapa kasus terorisme yang dilakukan oleh mahasiswa di antaranya, terjadi pada tiga orang mahasiswa UIN Jakarta (2009), tahun 2010 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), seorang alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan di awal tahun 2011 ada seorang pelajar yang ditangkap karena dugaan terorisme. Hal ini juga yang mengawali steorotipe kepada khalayak bahwa Islam adalah agama teroris,” ungkap Prof. Haris yang juga menjabat sebagai Ketua Umum ASPIRASI.

Prof. Haris juga berpesan kepada mahasiswa saat ini agar jangan hanya diam saat mengetahui ciri-ciri radikalisme. Apalagi di era seperti ini, penyebaran informasi tidak terbendung lagi. Sehingga, semakin mudah paham-paham radikalisme dapat ditanamkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, pendekatan secara personal dan forum diskusi juga menjadi pintu masuk bagi paham radikalisme.

Radikalisme dan terorisme memiliki hubungan yang erat, dikarenakan radikalisme merupakan cikal bakal dari aksi terorisme. Ciri-ciri yang biasanya ditampakkan oleh paham radikalisme biasanya mereka mengklaim kebenaran secara tunggal, menggunakan cara kekerasan, mudah menyesatkan orang lain, intoleran, dan berambisi untuk membangun Negera Khilafah.

“Ini beberapa kelompok yang harus kita waspadai. Dari kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), FPIS Surakarta. Sementara kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshar Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),” pungkasnya.

Di akhir penyampaiannya, Prof. Haris memaparkan langkah yang dapat kita lakukan untuk membentengi diri dari radikalisme dan terorisme. Tindakan ini dapat bersifat preventif (pencegahan) seperti ; memupuk jiwa nasionalisme, selalu berpikiran terbuka, waspada terhadap provokasi, dan bergabung dengan komunitas yang bermanfaat. Sedangkan tindakan kuratif yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman ilmu agama yang benar, menguatkan nilai-nilai nasionalisme, mencintai toleransi dan perdamaian.

Suasana diskusi berlangsung hangat meski dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting. Acara dimulai pukul 15.00-16.30 WIB. Diskusi ini diikuti oleh 43 peserta dari anggota UKPK IAIN Jember sendiri dan peserta umum.

Reporter: Arinal Haq

Editor: Izzah Qotrun Nada

Categories
Uncategorised

Tadarus Ilmiah, Dekan: Bekali Mahasiswa Bermental Antiradikalisme dan Terorisme

Media Center Darul Hikam – Rabu, (14/04) Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Prof. Dr. Kiai. M. Noor Harisudin, M.Fil.I menjadi salah satu pembicara tamu dalam webinar Tadarus Ilmiah yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) IAIN Jember. Tidak sendiri, Prof Haris juga ditemani oleh A. Badrus Solihin, MA. selaku Sekretaris Rumah Moderasi Beragama IAIN Jember yang juga berkesempatan menjadi narasumber kedua dalam kegiatan tersebut. Acara ini mengangkat tema tentang “Islam, Radikalisme, dan Intoleransi di Era Milenial.”

Aksi terorisme di Indonesia belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi sasarannya adalah para pelajar/mahasiswa. Hal ini berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2016. Tidak hanya perguruan tinggi umum (sekuler) yang menjadi target penyebaran paham radikalisme dan terorisme, perguruan tinggi Islam pun menjadi sasaran.

“Beberapa kasus terorisme yang dilakukan oleh mahasiswa di antaranya, terjadi pada tiga orang mahasiswa UIN Jakarta (2009), tahun 2010 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), seorang alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan di awal tahun 2011 ada seorang pelajar yang ditangkap karena dugaan terorisme. Hal ini juga yang mengawali steorotipe kepada khalayak bahwa Islam adalah agama teroris,” ungkap Prof. Haris yang juga menjabat sebagai Ketua Umum ASPIRASI.

Prof. Haris juga berpesan kepada mahasiswa saat ini agar jangan hanya diam saat mengetahui ciri-ciri radikalisme. Apalagi di era seperti ini, penyebaran informasi tidak terbendung lagi. Sehingga, semakin mudah paham-paham radikalisme dapat ditanamkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, pendekatan secara personal dan forum diskusi juga menjadi pintu masuk bagi paham radikalisme.

Radikalisme dan terorisme memiliki hubungan yang erat, dikarenakan radikalisme merupakan cikal bakal dari aksi terorisme. Ciri-ciri yang biasanya ditampakkan oleh paham radikalisme biasanya mereka mengklaim kebenaran secara tunggal, menggunakan cara kekerasan, mudah menyesatkan orang lain, intoleran, dan berambisi untuk membangun Negera Khilafah.

“Ini beberapa kelompok yang harus kita waspadai. Dari kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), FPIS Surakarta. Sementara kelompok teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshar Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),” pungkasnya.

Di akhir penyampaiannya, Prof. Haris memaparkan langkah yang dapat kita lakukan untuk membentengi diri dari radikalisme dan terorisme. Tindakan ini dapat bersifat preventif (pencegahan) seperti ; memupuk jiwa nasionalisme, selalu berpikiran terbuka, waspada terhadap provokasi, dan bergabung dengan komunitas yang bermanfaat. Sedangkan tindakan kuratif yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman ilmu agama yang benar, menguatkan nilai-nilai nasionalisme, mencintai toleransi dan perdamaian.

Suasana diskusi berlangsung hangat meski dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting. Acara dimulai pukul 15.00-16.30 WIB. Diskusi ini diikuti oleh 43 peserta dari anggota UKPK IAIN Jember sendiri dan peserta umum.

Reporter: Arinal Haq

Editor: Izzah Qotrun Nada

Categories
Keislaman

Sekilas Ulasan tentang Madrasah Ramadhan dan Tingkatan Orang Berpuasa

Media Center Darul Hikam – Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat Islam di dunia. Di dalamnya terdapat banyak rahmat dan ampunan yang diberikan oleh Allah Swt. Dengan itu, Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Timur Prof Kiai Harisudin mengajak kepada umat Islam untuk senantiasa meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt di bulan suci Ramadhan.

“Tidak lama lagi umat Islam akan menghadapi bulan suci Ramadhan, yaitu bulan di mana Al-Qur`an diturunkan dan pengampunan diberikan sebanyak-banyaknya kepada umat Islam,” tutur Prof Kiai Harisudin dalam khutbah Jumat, di Masjid Raudlatut Thalibin As-Su`ada, (9/4).

Meski begitu, Guru Besar IAIN Jember itu meminta kepada seluruh masyarakat agar  tetap menunggu terkait pengumuman sidang isbat yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengetahui waktu awal puasa dan hari raya Idul Fitri.

“Para ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya. Hanya bisa memberikan  informasi kepada anggotanya.  Tetapi yang memiliki hak menetapkan hanyalah pemerintah Republik Indonesia,” kata Prof Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Pesantren Darul Hakim Mangli Jember.

Lebih lanjut, kiai muda itu menyebutkan bulan Ramadhan sebagai madrasahhal ini sebagai mana disebutkan oleh Yusuf Al-Qardhawi yang memandang Ramadhan sebagai madrasah mutamayyizah, yaitu sekolah pembentukan karakter bagi umat Islam yang dibuka setiap tahun.

“Ramadhan menjadi training tahunan bagi umat Islam. Kita tidak boleh berkata kasar, emosi, marah, benci kepada semua manusia. Ciri dari orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarahnya,” jelas Prof Kiai Harisudin yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Menurutnya, madrasah Ramadhan juga dapat meningkatkan sikap kepedulian umat Islam kepada sesama, yaitu melalui ibadah zakat fitri dan sedekah yang dilakukan sebanyak-banyaknya di bulan Ramadhan. Selain itu juga untuk mengajarkan umat agar kembali kepada Allah Swt.

“Sudah jelas tugas kita adalah hanya menyembah kepada Allah Swt, tetapi pekerjaan dan aktivitas sehari-hari yang menjadikan orang-orang sibuk, sehingga sering kali melupakan tujuan hidup kita yaitu menyembah kepada Allah Swt,” ujar Prof Kiai Harisudin di hadapan para jamaah sholat Jumat. 

“Madrasah Ramadhan juga memberikan pelajaran bagi kita agar banyak-banyak memberikan kebahagiaan kepada orang lain, keluarga, anak, istri, suami, saudara, teman dan semuanya. Karena itu juga bagian dari sedekah yang kita berikan kepada sesama,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu pula, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember itu menjelaskan tentang tingkatan puasa umat Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali. Adapun tiga tingkatan tersebut di antaranya;

Pertama, puasanya orang awam, yaitu puasa yang hanya menahan lapar, haus dan nafsu serta segala hal yang membatalkan puasa. Kedua, puasanya orang khusus, yaitu puasa kelas istimewa, artinya puasa dengan menahan telinga, mata, lisan, kaki, tangan dan fikiran untuk menjauhi perbuatan maksiat. Ketiga, puasa khususnya orang yang khusus, yaitu puasa dengan menjaga diri dari berfikir selain Allah Swt.

“Tingkatan itu dapat mengajarkan kita untuk berusaha naik kelas, artinya madrasah tahunan ini bisa mendorong kita untuk meningkatkan lagi kelas puasa kita ke yang lebih tinggi tingkatannya,” pungkasnya.

Kontributor : M Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Prof. KH. Abd. Halim Subahar: Pengkajian dan Penelitian Menjadi Pondasi Penting Fatwa MUI

Media Center Darul Hikam – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga harmoni umat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih dengan keanekaragaman budaya, suku, agama dan ras yang majemuk, menjadikan negara ini sangat rentan terjadi konflik apabila tidak diiringi dengan sikap toleransi dan moderat. 

Wakil Ketua Umum MUI Jawa Timur, Prof. Dr. KH. Abd. Halim Soebahar, MA mengatakan, MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim dalam rangka memecahkan persoalan, sekaligus memberikan solusi melalui fatwa-fatwanya.

“Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan di MUI, sangatlah dipertaruhkan kredibilitasnya. Karena berfungsi untuk menguatkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Kokohnya fatwa MUI karena ditopang kajian dan hasil penelitian. Karena ada tiga tahap dalam Fatwa yang harus dilalui, yaitu kajian teks, konteks dan tabayun,” ujar Prof. Kiai Halim Subahar dalam acara diskusi bersama Pengurus Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jaawa Timur, pada Selasa (23/3).

Menurutnya, MUI mempunyai tugas penting dalam melakukan pengkajian terhadap aliran keagamaan yang berkembang di Indonesia. Hingga saat ini, sudah banyak aliran keagamaan yang dinilai sesat oleh MUI. Oleh karena itu, MUI telah menetapkan sepuluh kriteria untuk mengidentifikasi suatu aliran atau paham keagamaan yang dinilai sesat atau menyimpang.

“Sepuluh kriteria inilah yang bisa dijadikan tolak ukur oleh MUI dalam melakukan kajian atau penelitian terhadap suatu paham atau aliran keagamaan yang dinilai sesat,” tegas Prof. Halim yang juga Direktur Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember.

Adapun kriterianya terdiri dari: 1) Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima, 2) Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah. 3) Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran 4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran. 5) Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. 6) Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam. 7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. 8) Mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu. 10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Menanggapi hal itu, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur berjanji, pihaknya akan melakukan pelatihan pengkajian sepuluh kriteria aliran sesat di atas ke MUI tingkat kota atau kabupaten.

“Saat ini banyak persoalan kontemporer yang harus diselesaikan melalui kajian sains, sehingga perlu dipersiapkan pelatihan yang bisa menjawab problematika tersebut agar MUI bisa merespons hal itu, terlebih ini juga perlu dikorelasikan dengan Komisi Fatwa,” ujar Prof. Dr. Kiai Harisudin yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KH. Achmad Siddiq Jember.

Dalam acara diskusi yang berlangsung secara online tersebut banyak bermunculan ide, gagasan dan rekomendasi dari para anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur sendiri.

Misalnya, mulai pelatihan moderasi agama, usulan penambahan pada sepuluh daftar kriteria aliran sesat di atas khususnya pada nomor 7 agar tidak hanya berlaku untuk nabi dan rasul melainkan juga para sahabat, tabiin dan ulama. Perlunya sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) dari MUI pusat hingga kota atau kabupaten, melakukan kolaborasi dengan perguruan tinggi khususnya yang telah mempunyai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan usulan lainnya.

“Nanti kita agendakan dalam waktu dekat ini untuk melakukan rapat secara tatap muka di kantor MUI Jatim, tentunya dalam rangka membahas program kerja komisi,” tambah Prof. Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Pondok Pesantren darul Hikam Jember.

Reporter : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Kiai Haris Uraikan Hukum Bangkai Dan Hakikat Kebajikan Dalam Al-Quran

Media Center Darul Hikam – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menjelaskan terkait hukum memakan dan memanfaatkan bangkai serta hakikat kebajikan dari peristiwa pemindahan kiblat umat Islam. Hal itu disampaikan dalam pengajian rutin kitab Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang diadakan oleh Madrasah Virtual ALKIMYA. Acara itu diselenggarakan melalui aplikasi Zoom Meeting dan live streaming YouTube pada Minggu malam (21/3).

Kiai Haris mengutip dalil Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 173 yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Bangkai adalah hewan yang mati tidak dengan cara disembelih dan tidak sesuai dengan cara penyembelihan syar’i. Namun terdapat pengecualian bangkai yang halal dikonsumsi sebagaimana dalam hadist Nabi Saw. yaitu ikan dan belalang.

“Perlu ditekankan bahwa yang dihukumi itu bukan dzatnya, karena jika bangkai dibiarkan maka tidak ada hukum yang berlaku. Baru ketika bangkai itu dimakan, disentuh serta diambil manfaatnya maka akan ada hukum yang mengaturnya,” jelas Guru Besar UIN KH. Ahmad Siddiq Jember itu.

Prof Haris juga menjelaskan bangkai dalam tinjauan Maqashid Syariah. Menurutnya, bangkai mengandung kuman dan penyakit sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan organ tubuh jika dikonsumsi.

“Dalam Maqashid Syariah, bangkai itu mengandung banyak kuman dan penyakit disebabkan darah yang telah membeku. Beda kalau kita menyembelihnya, darahnya masih memancar dan secara kesehatan medis itu akan menjadi daging yang berkualitas. Selain itu, penyembelihan adalah bentuk ketaatan kepada Allah,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Kiai Haris menjelaskan makna potongan ayat tersebut yang artinya “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Menurut kitab Tafsir Marah Labid, seseorang boleh makan bangkai tersebut asalkan dia memenuhi beberapa kriteria.

Pertama, seseorang berada dalam keadaan darurat kelaparan yang tiada makanan selain bangkai tersebut. Jika dia tidak segera makan, maka akan berpotensi kehilangan nyawanya.

Kedua, tidak boleh berlebihan menikmati nikmatnya makan bangkai dan cukup memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup saja.

Lebih lanjut, Prof. Haris mengkaitkan hukum azimah (hukum asal) dan hukum rukhshah (keringanan) dengan vaksin Astra Zeneca dari Korea yang diduga berkomposisi unsur hewan babi.

“Jika dilihat hukum asalnya, vaksin Astra Zeneca hukumnya haram karena ada unsur babi di dalamnya. Namun karena vaksin Sinovac yang terbukti meminimalisir jumlah positif Covid-19 sejak bulan Januari kian langka, serta kebutuhan masyarakat bertambah dalam hal menjaga diri. Maka Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa penggunaan vaksin Astra Zeneca diperbolehkan karena keadaannya darurat penularan covid-19,”terangnya yang juga Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia.

Kemudian Kiai Harisudin melanjutkan dengan mengutip ayat selanjutnya, yaitu ayat 177 yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

Dahulu umat Islam diperintah selama 6 bulan untuk menghadap kiblat ke Baitul Maqdis sebelum akhirnya datang perintah Allah agar berpindah kiblat ke Ka’bah di Mekah. Dalam ayat di atas, menjelaskan hakikat kebajikan dari hamba terhadap perintah Allah.

“Bukan masalah arah, tetapi kepatuhan kepada Allah. Dalam ayat 177 tersebut, hakikat kebajikan ada empat. Pertama, beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab dan para nabi. Kedua, bersedekah dengan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta dan budak. Ketiga, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Keempat, memenuhi janji. Keempat, bersabar dalam keadaan takut, sakit dan peperangan,” pungkas Kiai Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Reporter : Siti Junita

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Kiai Harisudin Jelaskan Hikmah Nasakh Dan Mansukh Dalam Hukum Islam

Media Center Darul Hikam – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I., menjelaskan terkait penghapusan hukum Allah di dalam Al-Qur’an. Hal itu disampaikan dalam pengajian rutin kitab Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang dipersembahkan oleh Madrasah Virtual ALKIMYA. Acara itu diselenggarakan melalui platform Zoom Meeting dan live streaming YouTube pada Minggu malam (3/1).

Prof. Kiai Harisudin dalam pengajiannya mengutip dalil Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

Dalam ilmu Al-Qur`an, terdapat istilah nasakh dan mansukhNasakh, artinya dalil yang menghapuskan. Yaitu dalil Al-Qur`an atau As-Sunnah yang menghapuskan suatu dalil hukum atau lafaznya. Sedangkan mansukh, artinya dalil yang dihapuskan. Yaitu suatu dalil hukum atau lafaz, yang dihapus.

Dalam kesempatan itu, Prof. Kiai Harisudin yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember itu, menyebut dalam praktiknya, nasakh dan mansukh beraneka ragam.

“Jadi, ada yang dihapus hukumnya, tetapi bacaan/lafaznya tetap. Kemudian ada yang dihapus bacaan/lafaznya, tetapi hukumnya tidak dihapus. Dan bahkan ada yang dihapus kedua-duanya,” jelas Prof. Dr. Harisudin yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia itu.

Lebih lanjut Prof. Harisudin menjelaskan, bahwasanya terdapat beberapa hikmah dengan adanya nasakh dalam hukum Islam.

“Hikmahnya bisa lebih bermanfaat daripada yang di-mansukh (dihapus), lebih ringan dalam mengamalkannya serta sebanding baik dalam amal, pahala maupun manfaatnya,” tutur Kiai Harisudin yang juga Ketua Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia itu.

Menurutnya, salah satu contoh peristiwa nasakh dan mansukh yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu perpindahannya kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis di Palestina ke Ka’bah di Makkah.

“Dalam kitab ini disebutkan bahwa peristiwa tersebut, yaitu berubahnya kiblat umat Islam, tetap sebanding dari amal dan pahalanya, ketika kiblatnya masih menghadap Baitul Maqdis, ” tambah Guru Besar  IAIN Jember itu.

Di antara contoh hikmah dari adanya nasakh ini, lanjut Prof Haris, yaitu adanya kemudahan. Contohnya kewajiban umat Islam ketika menghadapi orang kafir dengan 1:10 orang kafir, kemudian diganti menjadi 1:2 orang kafir. Selain itu, dihapusnya hukum Allah juga dapat mendatangkan banyak pahala. Misalnya digantinya puasa Asyura dengan puasa Ramadan.

Dalam praktiknya, peristiwa nasakh di Al-Qur`an lebih banyak terjadi pada dihapusnya suatu hukum, sedangkan ayat/lafaz dari hukum tersebut masih tetap/tidak dihapus. Daripada terjadinya nasakh pada ayat/lafaz yang hukumnya tetap dan nasakh yang menghapus kedua-duanya.

 “Jadi, tidak semua hukum yang dihapus, juga menghapus bacaan/lafaznya. Justru yang lebih banyak yaitu nasakh yang hanya menghapus hukumnya, sedangkan ayat/dalil dari hukum tersebut tetap ada di Al-Qur`an,” jelas Prof. Haris dalam pengajiannya.

Kemudian Kiai Harisudin pada kesempatan itu melanjutkan dengan mengutip ayat selanjutnya, yaitu ayat 107 yang artinya: “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”

Menurutnya, ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan Allah membuat taklif (perintah dan larangan) kepada manusia bukan karena adanya pahala dan dosa. Namun, semata-mata sebagai bukti bahwa Allah yang mempunyai dan menguasai alam semesta.

“Alam ini sepenuhnya milik Allah, makanya Allah berhak melakukan apa saja,” ujar Kiai Harisudin dengan rendah hati.

Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 108 yang artinya: “Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.”

Dalam ayat tersebut, menurut Prof. Haris, kembali menggambarkan tentang sifat kaum Bani Israil yang selalu melampui batas. Seperti meminta bukan pada tempatnya serta bertanya dengan pertanyaan yang aneh dan bermacam-macam.

Dengan itu, Prof. Haris berpesan untuk menghindari sifat Bani Israil yang melampaui batas dan tidak sopan kepada Nabi Musa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak proporsional.

“Merenunglah kamu terhadap makhluk Allah, agar bertambah yakin bahwa ada yang menciptakannya. Janganlah berpikir tentang zat Allah dengan akal kita yang terbatas, sehingga dapat membuat mu jauh dari Allah,” pesan Kiai Harisudin yang juga Pengurus Yayasan AZKA Masjid Baitul al-Amien Jember.

Penulis : Siti Junita

Editor : M. Irwan Zamroni Ali