Categories
Artikel Kegiatan Berita

Forum BPHN, Prof Haris Jadi Narasumber Kegiatan Dengar Pendapat (Hearing) RUU Pembinaan Hukum Nasional

Media Center Darul Hikam – Badan Pembinaan Hukum Nasional tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan Hukum Nasional (RUU PHN). Dalam proses penyusunannya, dibutuhkan partisipasi masyarakat sebagai elemen kunci untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan efektif.

Sejumlah tokoh dan pakar hukum hadir untuk memberikan pandangan terhadap perumusan RUU tersebut, dalam sebuah kegiatan Dengar Pendapat (Hearing) yang digelar pada Jumat, (24/11/2023) di Lantai III Auditorium Rektor Universitas Jember.

Di antaranya Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Arfan Faiz Muhlizi , Ketua PP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara – Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. H M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., Ketua LKBH IKADIN, Jani Takarianto, S.H., M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H. dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H.

Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Arfan Faiz Muhlizi, menyampaikan, penyusunan RUU PHN memerlukan partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation), dalam arti bahwa masyarakat berhak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), berhak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” jelas Arfan

Pada kesempatan yang sama Prof. Haris menyoroti perihal pembinaan hukum agama. Dirinya menekankan agar fokus utama salah satunya adalah memperkuat posisi hukum Islam agar dapat terintegrasi dalam ranah hukum nasional dan sejajar dengan hukum lainnya seperti Hukum Eropa dan Hukum Adat.

“Oleh karena itu, perlu diarahkan agar hukum Islam dapat menjadi entitas mandiri dan nilai-nilainya dapat diakomodasi untuk berlaku secara universal,” tutur Prof Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Dalam sistem hukum nasional, pembinaan hukum agama perlu dilakukan dari awal hingga evaluasi. Prof Haris menyoroti peran penting Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam membimbing hukum agama.

“Pembinaan sebaiknya mempertimbangkan konteks pembentukan, seperti melibatkan kajian living law oleh organisasi masyarakat untuk membuat hukum Islam yang inklusif,” jelas Prof Haris yang juga seorang Guru Besar UIN KHAS Jember.

Prof Haris juga menyoroti pentingnya melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembinaan hukum Islam, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Peraturan perundang-undangan menekankan perlunya peran aktif dari berbagai pihak, tokoh, atau organisasi masyarakat untuk memberikan masukan dalam pembinaan hukum agama,” ungkap Prof Haris yang juga Direktur World Moslem Studies Center (WOMESTER)

“Perlunya pengkaji hukum Islam terus memperkaya pengembangan hukum Islam dengan memasukkan kajian perspektif Maqashid Syariah, menjadikan hukum Islam modern dan sesuai dengan tuntutan zaman,” tambahnya.

Turut hadir pula dalam kegiatan ini Analis Hukum Ahli Madya Bambang Iriana Djajaatmadja, Penyuluh Hukum Ahli Utama Kartiko Nurintias, Penyuluh Hukum Ahli Utama Djoko Pudjiraharjo, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Sofyan.

Reporter : Akhmal Duta Bagaskara
Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Artikel Kegiatan Berita

Hadirkan Profesor Muda Amerika, Pesantren Darul Hikam Ingin Santrinya Dapat Beasiswa Luar Negeri

Media  Center Darul Hikam – Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember semakin mengukuhkan dirinya sebagai Pondok Literasi. Setelah sebelumnya sejumlah tokoh nasional hingga internasional berkunjung ke pesantren tersebut, kini Profesor Muda Amerika, Lailatul Fitriyah, Ph.D hadir sebagai narasumber dalam acara ‘Tadarus Ilmiah’ dengan tema Pengalaman Studi di Amerika.

Pengasuh Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. KH, M. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M. Fil., C.LA, mengungkapkan, sejumlah tokoh penting seperti Rais Aam PBNU, Kiai Afifudin Muhajir, Prof Nadirsyah Hosen (Australia), Ustad Malik (Australia) dan lainnya sudah berkunjung ke Darul Hikam untuk berdiskusi dan sharing keilmuan bersama para mahasantri.

“Sudah ada tokoh dari dua benua yang berkunjung langsung ke Darul Hikam, bukan secara online, melainkan offline. Saya sangat senang atas kehadiran beliau-beliau untuk memberikan motivasi kepada para mahasantri kami,” ungkap Prof Haris dalam sambutannya di Aula Pondok Pesantren Putra Ajung Jember pada Rabu malam (22/11/2023).

Semangat darul hikam, lanjut Prof Haris, adalah semangat al-Quran. Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Menurut Prof Haris, Ilmu adalah nomor satu, sisanya bisa jabatan/kedudukan dan kekayaan.

“Karena itu di Darul Hikam yang ditekankan adalah keilmuan, seperti adanya madin awwaliyah, madin wustha, kegiatan ngaji kitab kuning, bahasa inggris, media center/pelatihan jurnalistik, tahfidz/sema`an al-Quran dan banyak lainnya. Semua itu untuk meningkatkan kecintaan para mahasantri terhadap ilmu,” tutur Prof Haris yang juga Ketua PP APHTN-HAN.

Di samping itu, Visiting Professor University of Toronto, Canada, Prof Lailatul Fitriyah, Ph.D yang merupakan narasumber, memberikan sejumlah motivasi dan kisah perjuannya selama belajar di Amerika. Prof Laili mengungkapkan, sejak 2010 – 2013 sembari bekerja ia juga melamar beasiswa di universitas luar negeri kurang lebih dari 100 aplikasi atau para donor, namun masih gagal.

“Baru di akhir tahun 2013 saya melamar beasiswa ke universitasnya langsung di empat universitas berbeda, meski semuanya lulus, saya hanya memilih University of Notre Dame karena bersedia untuk menanggung beasiswa saya 100%,” ungkapnya.

Perjalanan dirinya selama studi di luar negeri tidaklah mudah, ia perlu untuk belajar lebih maksimal karena keterbatasan bahasa inggris. “Saya belajar bahasa inggris secara otodidak, misalnya dengan mendengarkan lagu bahasa inggris kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia,” tutur Prof Laili.

“Di University of Notre Dame saya kelimpungan, karena semuanya berbahasa inggris, diskusi, dosen yang menjelaskan, bahan bacaan dan semuanya. Saya harus melakukan strategi khusus untuk mengejar ketinggalan di kelas, salah satunya dengan tidur maksimal 3 jam dalam sehari, untuk saya gunakan belajar,” tambahnya.

Di kesempatan yang sama, Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI, M.H yang juga pengasuh Pondok Putri Darul Hikam menambahkan, para mahasantri terlebih mahasantri baru diharuskan untuk mengikuti kegiatan semaan al-quran yang akan dilaksanakan pada Minggu mendatang.

“Mari para mahasantri semangat untuk mengikuti kegiatan pondok, salah satunya semaan al-quran yang insyaallah akan kita laksanakan pada minggu depan ini. Selain penting untuk memperkuat hafalan para mahasantri, juga untuk mempersiapkan ujian BTQ di kampus UIN KHAS Jember,” pungkasnya.

Reporter : M. Irwan Zamroni Ali

Editor : Siti Junita

Categories
Artikel Kegiatan Berita

Menemukan Makna Islam dan Hijab di Negara Paman Sam

(Wawancara Eklusif dengan Prof. Lailatul Fitriyah, Ph. D. Profesor Muda di Claremont School of Theology, Los Angeles, USA, dan Visiting Professor, University of Toronto, Canada)

Media Center Darul Hikam – Melanjutkan pendidikan ke luar negeri merupakan impian setiap orang. Terlebih kuliah di negara yang memiliki sistem pendidikan yang sangat maju dan telah melahirkan banyak cendekiawan di seluruh dunia.

Prof. Lailatul Fitriyah, Ph.D. ialah sosok muslimah dari Kota Jember Jawa Timur yang berhasil menempuh pendidikan S2 dan S3 di luar negeri, tepatnya di Universitas Notre Dame, yaitu salah satu perguruan tinggi katolik roma terkemuka yang terletak di Indiana Amerika Serikat. Saat ini, Prof Laili menjadi Asistant Profesor Claremont School of Theology, Los Angeles, USA, dan Visiting Profesor, Universitas of Toronto Canada. Selain itu, ia ingin berusaha mengubah pandangan masyarakat luas bahwa muslimah juga mampu menjadi sosok perempuan yang berprestasi dan berdaya setara dengan laki-laki untuk membangun peradaban.

Apa ketertarikan Prof Laili memilih negara Amerika sebagai negara tujuan untuk studi S2 ?

Tentu ada banyak pertimbangan, saya mengambil keputusan untuk kuliah di Amerika karena menurut saya, Amerika adalah negara yang konsisten mengamalkan teori politik dengan baik, lain halnya dengan Paris atau Perancis yang hanya bergulat menciptakan teori politik saja. Jadi, ke Amerika karena memang di sana terdapat kampus yang memiliki prodi hubungan internasional yang bagus.

Bagaimana bisa menemukan makna dan nilai Islam di Amerika?

Dalam menemukan makna dan nilai keislaman, saya berusaha menguak pertanyaan yang selama ini ada di dalam diri saya terkait alasan perlunya berhijab. Karena selama ini, ia merasa berhijab adalah perintah dari orang tua dan dilarang oleh Allah. Saya belum menemukan makna atau hakikat dari hijab itu sendiri.

Saya temukan jawabannya itu ketika di Amerika. Karena Amerika adalah negara yang cukup rasis. Mereka menilai seseorang dari luar/fisiknya, misalnya kulit hitam dan kulit putih, termasuk muslimah yang berhijab.  

Menurut saya, setiap orang memiliki pertanyaan sendiri, dimana ia harus berjuang untuk mendapatkan jawabannya menurut pengalaman dan ilmu yang didapatkan. In sya Allah, ihdinash shirotol Mustaqim. Allah akan memberikan petunjuk dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hamba-hambanya dengan sebaik-baiknya petunjuk. Keimanan dalam diri setiap orang perlu diuji. Bahkan dalam Alquran terdapat perintah pertama adalah iqra. Perintah disini bukan hanya membaca teks, namun juga merenungi fenomena yang terjadi sebagai bahan belajar dan pembelajaran.

Mengapa di Pesantren yang kental dengan ajaran Islam, Prof Laili merasa bahwa hijab itu masih dipaksakan. Justru di negara yang minoritas Muslim ingin selalu memakai hijab?

Ini adalah kritik bagi kita para pengajar islam seperti misalnya kiai, bu nyai, ustadz dan ustadzah bahwa mengajar agama itu tidak bisa dipaksakan. Disiplin itu salah satu bagian dari agama seperti sholat 5 waktu tapi ada hal hal yang memang tidak bisa dipaksakan. Seperti, mengapa aku harus sholat? mengapa harus berhijab? dan mengapa harus berpuasa? Orang itu harus mencari tahu sendiri mengapa dia harus melakukan itu. Saya sejak kecil sudah didisiplinkan oleh abah saya untuk memakai hijab sejak 5 tahun. Sampai saya di pondok pun masih belum ketemu jawabannya.

Akhirnya, saya melahirkan asumsi bahwa jangan menyalahkan pertanyaannya karena itu adalah tantangan kita untuk menemukan jawabannya. Bukankah dalam wahyu pertama, Allah memerintahkan kita untuk membaca, bukan hanya teks tetapi juga fenomena dan renungan alam semesta yang holistik.

Maka, justru saya menemukan jawaban itu ketika berada di Amerika, tempat dimana saya menjadi mahasiswi Muslim satu satunya di semua jurusan, karena universitas saya kan katolik. Waktu S3, saya itu merupakan mahasiswi Muslim pertama yang menjadi mahasiswa di Departemen Teologi, mereka tidak pernah menerima mahasiswa muslim seperti saya.

Jadi saya menemukan jawabannya, yaitu saya harus menggunakan hijab, karena di lingkungan masyarakat yang rasis itu, mereka harus melihat keimaman saya secara umum. Kalau saya tidak berhijab, orang Amerika tidak akan pernah tahu saya Muslim. Tapi kalau saya berhijab, identitas kemusliman saya itu terpampang secara umum. Orang bisa melihat bahwa saya harus memakai ini karena saya harus merepresentasikan nilai Islam dalam kehidupan saya, membuat orang itu bisa melihat bahwa ada perempuan Muslim yang bisa S3, bisa bahasa Perancis dan Italia. Perempuan Muslim yang bisa menjadi ilmuwan selevel dengan ilmuwan lainnya di Amerika

Apakah Prof Laili pernah merasakan takut dengan adagium yang mengatakan bahwa wanita yang berpendidikan dan berkarir tinggi akan sulit didekati oleh laki laki?

Kalau menurut saya, ada laki-laki yang takut dengan wanita yang berpendidikan tinggi berarti laki-laki itu tidak berhak untuk menikahi perempuan itu. Jodoh saya adalah laki-laki yang tidak takut dengan saya, cara berpikir saya, dengan apa yang harus saya lakukan dan alhamdulillah sekarang suami saya seperti itu. Dia orang Pakistan Canada, dan dia secara level pendidikan lebih rendah, dia S2 saya S3, tapi dia sama sekali tidak takut dan dia mendukung karir saya.

Maka bagi wanita, jangan takut untuk melanjutkan pendidikan dan berjuang pada karir yang diimpikan. Sebab kita berhak menjadi yang terbaik dan tentu memilih yang terbaik.

Reporter: Siti Junita & Erni Fitriani

Editor: M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Opini

Rasa Malu, Perhiasan Muslimah Mulia

Oleh: Lutvi Hendrawan

*Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 5 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember

Malu merupakan salah satu sifat terpuji. Sifat ini mampu menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan, dosa, perbuatan buruk dan kemaksiatan. Seseorang yang memiliki rasa malu akan terjaga dari tindakan-tindakan tercela dan memiliki kesadaran untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Dijelaskan dalam kitab Huququl-Mar’ah wa Wajibatuha fi Dhau’il-Kitab was-Sunnah, “Jika rasa malu yang terdapat dalam diri seorang laki-laki dinilai baik, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika rasa malu itu terdapat di dalam diri seorang perempuan. Jika rasa malu dinilai memiliki keutamaan dalam diri seorang laki-laki, maka sesungguhnya rasa malu itu lebih utama jika terdapat dalam diri seorang perempuan. Karena rasa malu itu akan memberikan tambahan perhiasan dan keindahan bagi perempuan, menjadikannya lebih dicinta dan disukai.”

Salah satu bentuk implementasi dari sifat malu pada seorang Muslimah adalah dengan menggunakan jilbab. Jilbab dan rasa malu bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan tidak dapat terpisahkan.

Dalam pandangan lain, Imam Baihaqi membahas sifat malu dalam kitabnya Syu’abul-Iman. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa jilbab pada perempuan termasuk ke dalam bahasan bab malu (babul-haya). Ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jilbab dan rasa malu pada wanita.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Aku sering masuk ke dalam rumah dengan melepas pakaianku, padahal Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan di dalamnya. Karena sesungguhnya dia adalah suami dan ayahku sendiri. Ketika Umar dimakamkan di tempat yang sama, Demi Allah aku tidak pernah masuk ke dalamnya kecuali jika aku tertutup rapat dengan mengenakan pakaian, karena merasa malu kepada Umar.

Dalam riwayat ini, bisa diambil hikmah dari bukti nyata rasa malu yang dimiliki Sayyidah Aisyah terhadap seorang yang telah meninggal dunia, oleh karena itu jika Sayyidah Aisyah saja mempunyai rasa malu dengan manusia yang sudah meninggal, lantas bagaimana dengan rasa malu beliau terhadap mereka yang masih hidup?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra., ia berkata, Rasulullah Saw. telah bersabda pada suatu hari, “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Kami (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu.’ Rasulullah bersabda, “Bukan sekadar itu, akan tetapi barang siapa yang malu dari Allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga perut dan apa yang di dalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Barang siapa menginginkan akhirat, ia akan meninggalkan hiasan dunia. Barang siapa yang mengerjakan itu semua, berarti ia telah merasa malu kepada Allah dengan sesungguhnya.”

Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa melepaskan diri dari rasa malu merupakan suatu hal yang sangat buruk bahkan bisa menjadi indikator dalam kemerosotan harga diri seorang perempuan. Kehilangan rasa malu juga bisa menjadikan manusia kehilangan akhlak, suka melakukan hal yang dilarang oleh ajaran agama, dan tidak memperdulikan terhadap hal yang diharamkan.

Perlu kita sadari bahwa terdapat hubungan yang lazim antara menutup aurat yang diwajibkan oleh Allah dengan ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian bagi manusia. Takwa bisa menutupi aurat batin serta menghiasinya. Sedangkan rasa malu bisa menutupi aurat zahir dan juga menghiasinya. Kedua hal ini akan selalu beriringan dan saling melengkapi satu sama lain.

Di antara tanda bahwa seseorang itu takut dan malu kepada Allah SWT adalah anggapan buruknya terhadap perbuatan membuka aurat atau perasaan malunya untuk membuka aurat. Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. al-A’raf : 26)

Penulis mengutip dari pandangan Wahab bin Munabbih, beliau berpendapat, “Iman itu diumpamakan dengan sesuatu yang masih telanjang. Pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah sifat malu dan hartanya adalah iffah (menjaga diri). Oleh karena itu, manusia harus memperhatikan, menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang begitu saja. Jika rasa malu berhasil dijaga, maka menjaga dan menyelamatkan fitrah manusia dari noda dan penyimpangan akan mudah diwujudkan. Karena di dalam penyimpangan fitrah itu terdapat noda yang bisa mengotori naluri manusia. Wallahu a’lam bi as-sawab .