Media Center Darul Hikam – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menjelaskan terkait hukum memakan dan memanfaatkan bangkai serta hakikat kebajikan dari peristiwa pemindahan kiblat umat Islam. Hal itu disampaikan dalam pengajian rutin kitab Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang diadakan oleh Madrasah Virtual ALKIMYA. Acara itu diselenggarakan melalui aplikasi Zoom Meeting dan live streaming YouTube pada Minggu malam (21/3).
Kiai Haris mengutip dalil Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 173 yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Bangkai adalah hewan yang mati tidak dengan cara disembelih dan tidak sesuai dengan cara penyembelihan syar’i. Namun terdapat pengecualian bangkai yang halal dikonsumsi sebagaimana dalam hadist Nabi Saw. yaitu ikan dan belalang.
“Perlu ditekankan bahwa yang dihukumi itu bukan dzatnya, karena jika bangkai dibiarkan maka tidak ada hukum yang berlaku. Baru ketika bangkai itu dimakan, disentuh serta diambil manfaatnya maka akan ada hukum yang mengaturnya,” jelas Guru Besar UIN KH. Ahmad Siddiq Jember itu.
Prof Haris juga menjelaskan bangkai dalam tinjauan Maqashid Syariah. Menurutnya, bangkai mengandung kuman dan penyakit sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan organ tubuh jika dikonsumsi.
“Dalam Maqashid Syariah, bangkai itu mengandung banyak kuman dan penyakit disebabkan darah yang telah membeku. Beda kalau kita menyembelihnya, darahnya masih memancar dan secara kesehatan medis itu akan menjadi daging yang berkualitas. Selain itu, penyembelihan adalah bentuk ketaatan kepada Allah,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Kiai Haris menjelaskan makna potongan ayat tersebut yang artinya “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Menurut kitab Tafsir Marah Labid, seseorang boleh makan bangkai tersebut asalkan dia memenuhi beberapa kriteria.
Pertama, seseorang berada dalam keadaan darurat kelaparan yang tiada makanan selain bangkai tersebut. Jika dia tidak segera makan, maka akan berpotensi kehilangan nyawanya.
Kedua, tidak boleh berlebihan menikmati nikmatnya makan bangkai dan cukup memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup saja.
Lebih lanjut, Prof. Haris mengkaitkan hukum azimah (hukum asal) dan hukum rukhshah (keringanan) dengan vaksin Astra Zeneca dari Korea yang diduga berkomposisi unsur hewan babi.
“Jika dilihat hukum asalnya, vaksin Astra Zeneca hukumnya haram karena ada unsur babi di dalamnya. Namun karena vaksin Sinovac yang terbukti meminimalisir jumlah positif Covid-19 sejak bulan Januari kian langka, serta kebutuhan masyarakat bertambah dalam hal menjaga diri. Maka Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa penggunaan vaksin Astra Zeneca diperbolehkan karena keadaannya darurat penularan covid-19,”terangnya yang juga Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia.
Kemudian Kiai Harisudin melanjutkan dengan mengutip ayat selanjutnya, yaitu ayat 177 yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.
Dahulu umat Islam diperintah selama 6 bulan untuk menghadap kiblat ke Baitul Maqdis sebelum akhirnya datang perintah Allah agar berpindah kiblat ke Ka’bah di Mekah. Dalam ayat di atas, menjelaskan hakikat kebajikan dari hamba terhadap perintah Allah.
“Bukan masalah arah, tetapi kepatuhan kepada Allah. Dalam ayat 177 tersebut, hakikat kebajikan ada empat. Pertama, beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab dan para nabi. Kedua, bersedekah dengan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta dan budak. Ketiga, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Keempat, memenuhi janji. Keempat, bersabar dalam keadaan takut, sakit dan peperangan,” pungkas Kiai Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.
Reporter : Siti Junita
Editor : M. Irwan Zamroni Ali