Categories
Tokoh

Kisah Profesor Muda Meraih Mimpi

Usianya masih muda, berumur 40 tahun. Namun semangat mencari ilmu dan mengabdi lebih panjang dari usianya. Sebab, Ia mampu menjadi profesor termuda di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). 

Sekarang, M Noor Harisudin, pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli itu sudah menjadi guru besar di bidang ushul fiqh. Pria kelahiran Demak itu ditetapkan menjadi profesor ketika masih berumur 39 tahun. Tentu saja, butuh perjalanan panjang bagi Haris untuk mencapainya. 

Ini semua berkah mengabdi di NU dan pesantren,”katanya. Baginya, mengabdi menjadi panggilan jiwa yang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan walau harus mengorbankan materi dan non materi. Pengabdiannya itu terinspirasi dari para kiai yang telah berhasil mendidiknya. 

Prof Haris merupakan putra ketiga dari enam bersaudara pasangan HM Asrori dan Hj. Sudarni. Kedua orang tuanya mendidik Haris dengan ilmu agama. Kemudian dilanjutkan dengan mencari ilmu pada para kiai Demak. Mulai dari Kiai Hamdan, Kiai Umar, Kiai Fadlol, dan lainnya. 

Saat itu, dia menempuh pendidikan di MI Sultan Fatah  tahun 1984-1990. Lalu di bangku MTs NU Demak tahun 1990-1993. Semangatnya mencari ilmu terus membara, dia menjadi santri di Pondok Salafiyah Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah  pada 1993-1996.

Di pondok itu saya juga sekolah Madrasah Aliyah Salafiyah Kajen,” ujarnya. Disana, Haris menimba ilmu pada kiai alim, seperti Kiai Sahal Mahfudz, Mbah Dullah Salam, Kiai Muhibbi,  Kiai Faqihudin, Mbah Wahab, Kiai Asmui, Kiai Masrukin.

Tak selesai disitu, haris terus merasa haus dengan ilmu. Dia melanjutkan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Disana, dia melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah pada tahun 1996-2000 sekaligus  kuliah di Ma’had Aly Situbondo. 

Disana, dia belajar banyak hal pada para kiai sepuh seperti alm KH. Muchith Muzadi, KH. Afifudin Muhajir, alm KH. Hasan Abdulwafi, alm KH. Wahid Zaini, Prof. Sjehul Hadi Permono SH, MA,  KH. Hariri Abdul Adzim, Prof. KH. Said Agil Siraj, MA, Prof.  KH. Said Agil Munawar, MA, KH. Dailami, KH. Maksum, KH. Muhyidin Khotib, Ust. Imam Nakhoi, MA dan lainnya.

Haris belajar tentang keragaman ilmu dari masing-masing kiai tersohor di pesantren. Dari KH Maimun Zubair  belajar Ushul Fiqh, dari alm KH Muchit Muzadi belajar cara bermasyarakat,. “Semua kiai punya spesifikasi sendiri,” ujarnya. 

Setelah itu, Haris melanjutkan S2 dan S3 pada tahun UIN Sunan Ampel Surabaya. Di kampus inilah, dia dilatih menjadi akademisi yang tidak pernah berhenti menulis. Dia belajar  pada  Prof. Ridwan Nasir, MA,  Prof. Masdar Hilmi, Ph.D, Dr. KH. Ahmad Imam Mawardi, MA, Prof Toha Hamim, Ph.D, Prof. Nur Syam, M.Si, Prof Bisri Efendi, MA, Prof. Ahmad Zahro, MA dan sebagainya.

Meskipun memiliki kesibukan yang cukup padat, suami dari Robiatul Adawiyah ini selalu mengabdikan dirinya untuk umat. Dia menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember. Sebagai  Katib Syuriyah PCNU Jember (2014-2019), Sekretaris YPNU Jember yang menaungi Universitas Islam Jember (2015-2020). 

Kemudian, Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur (2013-2018), Wakil Ketua Lembaga Dakwah NU Jawa Timur (2018-2023), dan Wasekjen Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (2017-2021).

Selain itu, dia juga merupakan penulis produktif. Sampai sekarang sudah mengarang sekitar 20 buku, dua jurnal internasional terindeks bereputasi, sepuluh jurnal terakreditasi dan tiga puluh lebih jurnal berskala nasional.

Pencapaian menjadi guru besar itu bukan titik akhir. Namun tahap awal untuk terus mengabdikan diri pada masyarakat yang lebih luas. Tak hanya di tingkat nasional, namun juga internasional. 

Sebarkan Fiqh Nusantara ke Dunia Internasional

Disela mengajar mahasiswa dan para santrinya, Prof Haris juga kerap mengisi pengajian di berbagai majelis taklim hingga mengisi di luar negeri, seperti Taiwan. Materi yang disampaikan tentang fiqh nusantara.

Awal Januari 2018 lalu, dia berangkat ke Taiwan memenuhi undangan para PC Istimewa NU Taiwan. Disana, dia berdakwah pada para TKI dan menerangkan tentang fiqh nusantara. Cara mengatasi persoalan yang dialami oleh para buruh migran.

Hari ini, Haris dikukuhkan sebagai guru besar ilmu ushul fiqh di Gedung Kuliah Terpadu (GKT) IAIN Jember. Dia menyampaikan makalah berjudul fikih nusantara: metodologi dan kontribusinya pada penguatan NKRI dan pembangunan sistem hukum di Indonesia.

Haris mengatakan Fiqh nusantara itu merupakan fiqh Indonesia. Term kembali menguat dalam Muktamar Nahdlatul Ulama  ke-33 di Jombang Jawa Timur. Tema yang diangkat tentang Islam Nusantara yang di dalamnya terdapat Fikih Nusantara.

Namun secara faktual saya belum menjumpai diskusi yang serius tentang Islam Nusantara, apalagi Fikih Nusantara. Aroma politik yang demikian kuat pada saat Muktamar mengakibatkan wacana Islam dan Fikih Nusantara menjadi terpinggirkan,” paparnya.

Pasca  Muktamar, terma ini menjadi perbincangan yang menarik secara akademik,  di dalam dan luar negeri. Prof Haris sebagai ahli ushul fiqh juga menjadikan fiqh nusantara sebagai kajian. Dia membawanya dalam berbagai kajian di dalam hingga luar negeri.

Bahkan ketika diminta menjadi pemateri seminar nasional hingga internasional. Haris menyampaikan materi tentang Fiqih Nusantara pada para peserta. Memperkenalkan bahwa Islam Nusantara merupakan contoh Islam Rahmatan lil alamien.

(Ditulis oleh Bagus Supriyadi, Wartawan Jawa Pos Radar Jember, 18 Nopember 2018)

Categories
Resensi Buku

Ketika Kiai Nyentrik NU Menggugat Feminisme

Judul Buku :Kiai Nyentrik Menggugat Feminsme Penulis :Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I
Penerbit :STAIN Jember  Press
Tahun Terbit :Juli 2013
Tebal :146

Secara umum pndangan kaum tradisional cenderung memandang bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua. Pandangan perempuan sebagai makhluk nomor dua juga terlihat dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn yang dikarang oleh Shaikh Nawawi Al-Bantani (w. 1316 H) yang sampai saat ini kitab tersebut masih dianjurkan untuk dikaji di pesantren dan majelis kaum perempuan karena dianggap memiliki relevansi dengan zaman apapun.

Nawawi memperlihatkan perspektif yang kuat dalam kitab tersebut terhadap kecenderungan patriarki laki-laki, dalam pandangan ini, diberi kekuasaan superior untuk mengambil semua keputusan dalam semua aspek kehidupan dan diberikan hak untuk mengatur penuh. Kekuasaan ini karena laki-laki memiliki banyak kelebihan baik secara kodrati maupun syar’i. Secara kodrati laki-laki memiliki akal yang lebih tinggi daripada perempuan, secara fisikpun lebih kuat dan memiliki kemampuan untuk berburu dan menulis. Hingga realitas sejarah mencatat bahwa ulama itu muncul dari kalangan laki-laki bukan perempuan. Itu sebabnya hukum lebih banyak disematkan pada laki-laki.

Pemahaman tradisional fiqh  yang patriarkis ini menjadikan aktivis gender merasa perlu untuk melakukan interprestasi ulang teks-teks keagamaan. Namun demikian, Masdar berupaya mencari solusi dengan menetralisir ajaran agama yang nampak tidak adil dengan mengatakan bahwa interprestasi ajaran yang nampak bias gender inilah yang sesungguhnya keliru.

Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karenanya nilai keadilan yang ada di dalamnya menjadi tolok ukur sah tidaknya sebuah interprestasi (menurut masdar).  Selain Masdar, dikalangan akademisi, Nasarudin  Umar juga dikenal public karena artikel-artikelnya yang dimuat dalam jurnal Ulumul al-Qur’an tentang isu-isu perempuan sehingga. Disertasi Nasarudin diterbitkan dalam buku yang berjudul  Argumen Kesetaraan Gender  memberikan dasar-dasar argument keislaman bahwa gender atau kesetaraan gender merupakan hal yang didukung oleh Islam.

Namun, kajian secara khusus terhadap fiqh perempuan yang terkait dengan peran-peran domestic gender baru dilakukan oleh K.H. Husain Muhammad yang melanjutkan pemikiran pendahulunya, yakni Masdar  F. Mas’udi. Kiai feminis, secara garis besar. Masdar, Nasarudin dan K.H. Husain Muhammad menjadikan isu kesetaraan gender menjadi panglima. Secara konsteptual ketiga tohoh akademisi tersebut yaitu Nasarudin, K.H. Husain Muhammad dan Umar merupakan kalangan Islam yang mewakili setuju dengan tema-tema gender.

Pandangan yang moderat di antara dua kutub ekstren ini, adalah K.H. Abd. Muchith muzadi. Yang biasa disebut kiai Muchith tentang gender sangat kontekstual dan berbasis kemaslahatan dalam berpandangan bahwa  peranan perempuan dalam kehidupan setara dengan kaum laki-laki, bukan hanya di bidang biologis dan ilmiah, melainkan juga berbagai kehidupan yang lain. Hanya saja menurut kiai Muchith, ada perbedaan besar kecil peranan dalam suatu bidang tertentu. Uniknya, gagasan fiqh perempuan kiai Muchith jauh sebelum K.H. Masdar yang dikenal sebagai bapak gender di kalangan umat muslim Indonesia.

Dari uraian inilah kegelisahan Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I selaku penulis, untuk memilih pemikiran peran domestik  perempuan K.H. Abd. Muchith Muzadi sebagai objek kajian pemikiran dan bertolak dari semua latar sosial ini pula penulis memandang penting penelitian yang berjudul  “Peran domestic perempuan menurut KH. Abd. Muchith Muzadi ”.

Dalam terma ilmiah, peran domestic selalu dikaitkan secara vis a vis  dengan peran public. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, domestic berarti sesuatu yang berhubungan dengan atau mengenai permasalahan dalam negeri. Makna lain, domestik juga bermakna (sifat) rumah angga. Sementara public adalah orang yang banyak (umum). Di sini terlihat bahwa letak makna domestic dan public berkaitan dengan masalah dalam dan luar rumah tangga.

Secara terminologi, peran domestic perempuan berarti  perempuan diberi kewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus anak, mengurus suami, memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik dan mengajarkan norma peraturan yang berlaku di dalam masyarakat kepada si anak. Sementara itu, peran laki-laki di ranah public dikaitkan dengan tugas pokok rumah tangga sebagai tulang punggung keluarga.

Dengan demikian istilah dunia public atau sector public acapkali diperhadapkan dengan dunia domestic. Yang pertama digambarkan dunia laki-laki sedangkan yang kedua dianggap dunia perempuan. Para feminis berusaha menghilangkan sekte budaya ini karena dianggap warisan kultur dari masyarakat primitive yang menempatkan laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer).

Dalam tahap selanjutnya, sekat budaya seperti ini masih cenderung diakomodir dalam masyarakat modern terutama dalam system kapitalis. Menurut para feminis, pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin bukan saja merugikan perempuan namun juga sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam masyarakat modern karena laki-laki dan perempuan memiliki peluang profesi yang sama untuk mengakses ke berbagai bidang profesi.

Di samping itu peran domestik dalam pandangan gender dipandang sebagai peran yang pejorative. Sebaliknya pera publik dipandang sebagai peran yang lebih tinggi dan bermartabat. Ini karena bagunan yang membedakan antara ruang public dan privat sepanjang sejarah manusia dan nyaris tanpa kritik. Dari sinilah muncul perempuan oleh gerakan feminism dianjurkan untuk keluar rumah dengan menggeluti peran publiknya sembari meninggalkan peran domestiknya untuk dapat setara dengan laki-laki.

Namun Islam adalah ajaran Allah SWT yang Maha Mengatur, maha kuasa dan Maha Bijaksana. Sikap dan peraturannya pasti sesuai dengan kebijaksanaan-Nya dalam mencipta. Seperti disebutkan dalam buku Risalah Fiqh Wanita, gagasan untuk  memartabatkan perempuan oleh  Kiai Muchith tidak dengan cara memprovokasi perempuan untuk keluar rumah dengan meninggalkan peran-persn domestic menuju peran-peran public, namun dengan memberikan ruang yang proporsional terhadap perempuan dengan beracuan pada nilai-nilai Islam yang universal.

Bertolak dari pemikiran kemaslahatan inilah kiai Muchith memandang bahwa baik laki-laki maupun perempuan diberi peranan sesuai dengan sifat, bakat, minat dan kepentingannya. Selain itu, kata Kiai Muchith, masing-masing juga diberi peranan untuk kemaslahatan bersama dan kemaslahatan untuk seluruh kehidupan ini. Oleh karena itu menurut Kiai Muchith, laki-laki dan perempuan adalah sama, namun juga tidak sama. Artinya, kedudukan laki-laki dan perempuan  itu di mata Agama islam adalah sama. Soal martabat, kemuliaan , dan kehormatan, bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Namun dalam berbagai aspek kehidupan, laki-laki tidak sama dengan perempuan.

Demikian pulalah kemudian perempuan harus diperlakukan secara sama dengan laki-laki. Karena perempuan secara kodrat  memang diciptakan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, bagi kiai Muchith, biarkan perempuan menjadi perempuan dengan peran keperempuanny yang tidak kalah terhormatnya dengan laki-laki. Sebaliknya, biarkan laki-laki juga menjadi laki-laki tanpa dipaksa untuk menjadi perempuan.

Prof Haris menuliskan buku ini sangat tepat sekali dengan memilih pemikiran peran domestic perempuan K.H. Abd. Muchith Muzadi karena pemikirannya yang moderat  sebagai bentuk dialog antara khazanah islam tradisional dengan gender yang belum banyak dibagas, sedangkan pembahasan pemikiran peran domestic perempuan mencerminkan dialog kedua titik yang  berjalan dimasing-masing ekstrem yaitu kesetaraan gender dan pro patriarkis yang mana buku ini sangat tepat untuk menjawab persoalan-persoalan perempuan yang sampai saat ini masih diperbincangkan sehingga cocok untuk dijadikan sebuah rujukan.

Tak lepas dari itu semua, dalam buku ini ada beberapa kekuarangan yang mungkin disebabkan karena penulis lupa atau karena ada sebuah kendala sehingga ada beberapa kesalahan kata yang tak ditemukan maknanya  dan bahasanya yang memang baku ini menjadi kendala  paham bagi pembaca awam seperti saya. Begitulah kesempurnaan adalah proses, semoga untuk kedepannya Prof Haris lebih banyak mengeluarkan karya-karyanya baru untuk lebih menyempurnakan dan menyalurkan ilmu serta barokahnya terhadap si pembelajar maupun pembaca.

Peresensi : Robigatunnasibah
Mahasiswa Faskultas Syariah IAIN Jember, alumni Intermediate Journalism Class.

Categories
Keislaman

Regulasi Diri Atasi Kecemasan terhadap COVID-19

Jember, NU Online
Hingga saat ini masyarakat masih diresahkan oleh adanya wabah Covid-19 atau virus Corona. Guru Besar Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Abdul Mujib menyampaikan bahwa cara menghadapi Covid-19 justru jangan cemas, tetapi juga jangan meremehkan apalagi sombong.

“Dalam perspektif Psikologi, namanya regulasi diri. Dimulai dari menata kognisi, lalu emosi, perbaiki moral diri, dan berdoa,” ujar Ketua Dewan Pakar Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islam pada Himpunan Psikologi Indonesia.

Kognisi misalnya harus diiisi dengan positif thinking. Jangan sampai punya pikiran negatif tentang Covid-19.

“Demikian juga dengan menata emosi. Menata emosi sangat penting, karena di situ kuncinya,” katanya saat Talkshow Online dan Khotmil Qur’an secara live di Instagram @mn_harisudin dan @abdul.mujib.ismail, Selasa (31/3) malam.

Pada talkshow bertema Regulasi Diri dalam Merespons Musibah Covid-19, Prof Mujib juga mengatakan bahwa masyarakat harus patuh pada Pemerintah Indonesia. Ia menyebut dalam penanganan Covid-19, Pemerintah Indonesia jauh lebih baik daripada misalnya Malaysia.

“Jangan dianggap pemerintah kita tidak bekerja. Jauh lebih baik dari Malaysia. Saya Februari dari Malaysia. Mereka tidak ketat. Kalau Indonesia, sangat ketat,” imbuhnya.

Talkshow yang terselenggara oleh Fakultas Syariah IAIN Jember, Aspirasi, Majelis Taklim Bengkel Kalbu, dan Pesantren Darul Hikam. Diikuti oleh lebih dari 500 pengguna Instagram baik yang berada di Indonesia maupun negara tetangga.

Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, M Nur Harisudin mengatakan untuk mengatasi kecemasan akibat wabah Corona, agar  mengembalikan pada hati.

Man arafa qalbahu faqad arafa nafsahu. Waman arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Barangsiapa tahu hati maka tahu dirinya. Barangsiapa tahu dirinya maka tahu Tuhannya,” ujar Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli, Kaliwates, Jember ini.

Menurut Prof Kiai Haris, sapaan akrabnya, benteng dengan menata hati itu akan menguatkan dalam persoalan apa pun.

“Kata wabassyiris shabirin dalam Al-Qur’an itu artinya orang-orang yang sudah tahan banting hatinya. “Kalau sudah tahan banting, tentu seseorang tidak tergantung pada situasi di luar. Karena hatinya sudah terjaga,” ujar Prof Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Prof Harisudin juga menambahkan pandangan terhadap masyarakat bahwasannya pemerintah telah berusaha memberikan yang terbaik kepada masyarakat.

“Pemerintah telah berusaha memberikan yang terbaik kepada masyarakat, termasuk gratis pembayaran listrik PLN selama tiga bulan untuk kalangan tidak mampu, kredit yang ditoleransi, dan lain-lain,” jelas Prof Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur.

Sumber : NU Online

Categories
Keislaman

Isra’ Mi’raj di Tengah Corona, Dekan Syariah IAIN Jember Anjurkan Pengajian Online.

Jember, NU Online
Berdasarkan penanggalan Hijriyah, tahun ini, peringatan Isra’ Mir’aj 27 Rajab bertepatan dengan hari Ahad tanggal 22 Maret 2020 hari ini.

Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, M Noor Harisudin mengatakan, di tengah-tengah situasi wabah Covid-19, peringatan Isra’ Mi’raj sebaiknya tidak dengan pengajian atau kegiatan yang melibatkan pengerahan massal.

“Sebaiknya, pengajian yang mengumpulkan massa ditunda dulu,” katanya, Ahad (22/3) siang.

Namun demikian, para ulama tetap bisa memberikan pencerahan dengan menggunakan media digital. 

“Para agamawan seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui media sosial (medsos) seperti Twitter, Instagram, Facebook untuk mendukung program pemerintah menanggulangi Cofid-19 ini,” kata Dekan yang akrab disapa Prof Haris.

Alternatif pengajian dalam rangka Isra’ Mi’raj juga dapat dilakukan secara online.

 “Bisa pakai Team Link, Line, Zoom Meeting, atau media lainnya. Hasilnya tetap bagus. Jadi, ngajinya di rumah,” tutur Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Jember.

Selain memberikan hikmah atau pesan terkait Isra’ Mi’raj, menurutnya, para ulama juga perlu terus ikut memberikan pencerahan pada masyarakat untuk mendukung program pemerintah menanggulangi Covid-19.

“Apalagi program pemerintah juga didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lainnya. Karena itu, peringatan Isra’ Mi’raj selayaknya dilakukan di rumah dengan tetap menjaga social distancing dalam situasi pandemi corona,” ujar kiai muda yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (Aspirasi).

Terkait dengan makna dan hikmah Isra’ Mi’raj pada saat ini, Prof Haris mengatakan Isra’ Mi’raj dan Covid-19 itu menunjukkan ke-Maha Kuasa-an Allah.

“Bencana ini, meminjam istilah Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Al Hikam, menjadi peringatan pada kita, saat telinga menjadi tuli, mata menjadi buta, dan hati sekeras permata, agar kita secepat kilat merapat keharibaan-Nya,” ujar Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Sumber : NU Online

Categories
Opini

COVID-19  dan Ke-Mahakuasa-an  Tuhan

Oleh: M. Noor Harisudin*

Pagi itu, ketua sebuah majlis pengajian di Jember bersilaturrahmi ke pondok pesantren kami di Mangli Kaliwates Jember. Padahal, saya sudah bersiap ke luar rumah dengan keluarga. Saya pun akhirnya harus menunggu sejenak. Saya turun dari mobil dan menyalaminya masuk ke rumah.

Mohon maaf, mengganggu“, ungkapnya melihat saya dan istri bersiap pergi. 

Saya mulai menerka hal ihwal tema yang mau dibicarakan denganya. Terutama dengan virus Corona  yang sedang menjadi bencana dunia, termasuk di negara kita tercinta, Indonesia. 

Saya minta maaf. Pengajian yang sedianya akhir Maret 2020 ini ditunda bulan Juni 2020. Karena  menghindari kumpulan banyak orang, sebagaimana anjuran pemerintah“, pinta ustadz ini pada saya. Saya pun mengangguk setuju.

Saya maklum saja. Beberapa hari ini, berita di medsos, media cetak maupun media elektronik semuanya memberitakan Covid-19 atau Virus Corona Disease. Artinya, saya setuju dengan penundaan ini. Beberapa pengajian di Masjid Agung dan Masjid Besar di kota kami sementara juga sudah saya stop. Jadwal keluar kota: Surabaya, Jakarta, Lampung, Palembang, Aceh, Maluku dan sebagainya juga saya pending semua bulan Maret dan April 2020 sembari menunggu info ter-update.

Sebagaimana maklum, Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di Wuhan China ini telah menjadi hantu dunia. Hingga Maret 2020, menurut realtime Worldmeters (Sabtu, 14 Maret 2020) virus ini telah menyerang ke 169 negara dan 145.637 orang dengan angka kematian 5.4167 nyawa manusia. Selain sangat cepat penyebarannya, virus ini juga belum ditemukan vaksinnya. Organisasi kesehatan dunia WHO pada awal Pebruari 2020 ini juga menetapkan darurat global atas virus ini dan pada 11 Maret 2020 menyatakan virus ini sebagai pandemi.

Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2003, Virus SARS telah menelan korban global 774 orang dari 8.100 kasus. Demikian juga pada tahun 2012 yang silam, virus Mers. Hanya saja, Covid-19 ini telah melampaui jumlah korban SARS ataupun MERS hanya dalam waktu setengah bulan.

Bukan karena takut corona. Status yang saya buatpun direspon banyak jamaah di berbagai negara.  “Ketakutanmu pada makluk-Nya bukan pada Sang Pencipta adalah tanda lemahnya imanmu pada kuasa-Nya”. 

Kita memang tidak boleh takut pada siapapun, kecuali hanya pada Sang Pencipta. Hanya saja, sebagai antisipasi dan ikhtiar untuk menghindari dari virus yang sangat mematikan tersebut, kita perlu melakukan langkah-langkah pencegahan, termasuk mengganti ibadah sholat Jumat dengan dluhur di tempat zona merah yang terpapar Covid-19.

Masjid Istiqlal di Jakarta pada Hari Jum’at, tanggal 20 Maret ini juga meniadakan sholat Jumat berjamaah dan menghimbau umat Islam untuk sholat dluhur di rumah masing-masing. Meski tetap melaksanakan Jumat, Masjid Al-Akbar Surabaya tetap melakukan ikhtiar pencegahan dengan menggulung karpet, menyemprotkan disenfektan dan membuat pengetatan jamaah yang masuk ke dalam masjid kebanggaan orang Jawa Timur tersebut. 

Ikhtiar seperti ini selaras dengan apa yang dilakukan Umar bin Khattab, ketika wabah tha’un datang pada warga negeri Syam saat itu. Sebagian orang bertanya tentang kebijakan Umar bin Khattab. 

“Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?”, tanya Ubaidah. 

Umar menjawab:  “Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir yang lain. Tidaklah engkau melihat, seandainya engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur, dan yang kedua gersang, bukankah ketika engkau memelihara di tempat yang subur berarti itu takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?“. (Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah: at-Thib an-Nabawi)

Pada sisi lain, kepanikan terhadap virus Corona dan masyarakat dunia mengingatkan saya pada perkataan Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam. “Al-Ghaafilu idza ashbaha yandluru maadza yafalu wal aaqilu yandluru maadza yafalu Allahu bihi“. Artinya, “Orang lalai memulai harinya dengan berpikir apa yang harus dilakukan. Orang berakal berpikir apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya“.  

Virus Corona benar-benar di luar kekuasan manusia: ilmu pengetahuan dan teknologi seolah dibuat tidak berdaya. Akal manusia tidak lagi menandingi keampuhan virus corona. Peradaban manusia terlihat rapuh berhadap-hadapan dengan virus Corona. Sebaliknya, Covid-19 menunjukkan dengan jelas ke-mahakuasa-an Tuhan. 

Saya tidak tahu: apakah rekayasa Tuhan berhenti pada Covid-19 ini. Setelah tiga bulan pasca virus Corona, apakah akan ada lagi kejadian yang lebih dahsyat? Wallahu’alam.  Mengapa kita harus kembali pada keluarga ?. Mengapa kita harus menghentikan aktivitas kita semua: sebagai dosen, guru, pengusaha, petani, pedagang, advokat, hakim, jaksa, dan sebagainya ?. 

Saya mendadak menjadi teringat dengan petuah Ibnu Athailah al-Iskandari dalam lembaran lain kitab Hikam-nya. “Alima annaka laa taqbalu an-nusha al-mujarrada fadzawwaqaka min dzawaaqiha maa sahhala alaika wujuuda firaaqiha“. Maksudnya, Allah mengetahui bahwa kamu sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia memberimu pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.  

Jangan-jangan, ini adalah peringatan. Jangan-jangan, ada rekayasa dahsyat lain pasca virus Corona. Justru dalam keadaan ‘panik’ ini, kita musti merapat dan bersimpuh ke haribaan-Nya. 

Kita belum tahu hikmah di balik virus corona sebagai bencana dunia. Boleh jadi, bencana ini menjadi peringatan pada kita saat telinga menjadi tuli, mata menjadi buta dan hati menjadi sekeras batu permata. Agar kita secepat kilat merapat ke haribaan-Nya. **

*Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Pendiri Majlis Taklim Bengkel Kalbu, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur dan Ketua Umum ASPIRASI (Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia)*.   

        

Categories
Resensi Buku

Islam di Tanah Kanguru

Ketika Kiai Nyentrik NU Menggugat Feminisme

Judul Buku       : Islam di Australia
Pengarang        : Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I
Penerbit           : Pustaka Radja
Tahun Terbit    : 2019
Tebal Buku         : 120 Halaman

Australia tidak dipungkiri lagi menjadi salah satu benua sekaligus Negara yang mempunyai sifat toleransi tinggi. Hal ini terbukti dengan tingginya toleransi terhadap agama Islam begitu juga pada “kaum LGBT” yang bisa dianggap saling bertolak belakang. Selain sifat toleransi yang tidak dapat diragukan lagi, struktur bangunan dan budayanya menjadi primadona bagi Negara dengan julukan Negara Kanguru itu.

Prof Haris, biasa dipanggilnya menulis buku ini berdasarkan pengalaman yang ia rasakan sendiri saat mengunjungi Australia selama 15 hari dalam acara “Safari Dakwah dan Silahturahmi” atas undangan PCI NU Australia-New Zealand. Tentu, sesuai perkataan nenek moyang yang mengatakan bahwa pengalaman adalah pengalaman terbaik, buku ini membeberkan tentang bagaimana kehidupan orang muslim serta budaya-budaya Australia berdasarkan pengalaman orang Islam dari Indonesia yang telah lama tinggal di sana.

Buku ini diawali dengan tibanya Prof. Haris di Kota Adeleide, ibukota South Australia setelah 4 jam penerbangan dari Denpasar Bali. Kemudian di dalam buku Prof. Haris menjelaskan tentang fasilitas ibadah yang terbatas di kota-kota. Misalnya sulitnya untuk berwudlu sehingga seorang muslim harus berwudhu di wastafel dengan naik kaki, meski demikian ini dipandang tidak sopan.

Lalu Beliau menceritakan sudut pandangnya tentang pengurusan haji yang sangat mudah di sana. Dengan harga yang cukup terjangkau yakni sekitar 120 juta rupiah tanpa “ngantri” seperti Indonesia, cukup tinggal di Australia  selama dua tahun. Demikian ini menunjukkan bahwa walaupun Australia negara yang sekuler, ia mampu memberikan fasilitas haji yang baik kepada warganya.

Tidak sampai itu, Prof. Haris juga menjelaskan tentang mahalnya biaya pemakaman yang berbanding terbalik dengan pemakaman di Indonesia yang bisa dibilang cukup murah. Disana menurut buku “slam di Australia”karangan Prof. Haris menceritakan bahwa pemakaman dilakukan dengan sistem sewa, yakni 9000 dolar Australia atau sekitar 90 juta rupiah selama 50 tahun, belum lagi lainnya yang bisa menghabiskan lebih dari 100 juta rupiah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa orang-orang disana bekerja keras untuk menyiapkan kematiannya sendiri.

Kemudian Prof. Haris menyajikan sudut pandangnya terhadap Islam Australia dan pelaksanaan Maqasid Syariah berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Maqasid Syariah pelaksanaan denda lalu lintas yang tinggi untuk membuat efek jera, lalu pengecaman terhadap Domestic Abuse yang dibuktikan dengan berbagai macam cara yang memaksa pelaku agar jera, serta masih  banyak contoh lainnya yang tercantum didalam buku.

Lalu, diceritakan pula bagaimana pengalaman Prof. Haris saat pelaksanaan Idul Adha di Adelaide. Makanan-makanan lebaran di Indonesia yang muncul tak terduga, salam-salam ala orang Indonesia yang akan membawa pembaca merasakan kehangatan dari secuil Indonesia di Negara Australia.

Di dalam buku pun akan dijelaskan tentang kebudayaan di Australia yakni salah satunya adalah pelaksanaan Barbexiu. Barbexiu merupakan kebiasaan Australia yang awalnya tak sesuai dengan syariat karena dipenuhi dengan minum-minuman keras namun akhirnya disesuaikan hingga menjadi tradisi yang malah sangat disanjung dalam Islam, yang sangat mirip dengan Slametan. Tentu akan membawa pembaca larut dalam suasana yang tertulis di buku “Islam di Australia” ini.

Buku dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember ini menampilkan pengalaman yang tidak hanya akan membuat pembacanya takjub namun juga penasaran akan kelanjutan dari pembawaan Islam di Australia. Dengan kata-kata yang sederhana, pembaca tidak akan kesulitan untuk memahami sudut pandang penulis dalam perjalanannya di Australia. Selain itu pembawaan yang santai dan menyenangkan tidak berlebihan rasanya bila dikaitkan saat pembaca membaca buku “Islam di Australia” ini.

Walaupun begitu, beberapa hal seperti penulisan yang bisa dianggap sedikit tergesa-gesa mungkin bisa menjadi pembelajaran penulis di masa mendatang. Pengaturan (lay out) beberapa paragraf yang kurang beraturan akan membuat sedikit  kewalahan dalam membaca. Namun bila melihat dibalik teknis buku, cerita yang ada didalamnya merupakan salah satu motivator bagi pembaca nantinya sebab tidak hanya mengajak pembaca untuk berada dalam suasana yang sama dengan penulis dengan tulisannya tapi juga dengan penyajian gambar yang mendongkrak imajinasi pembaca.

Buku ini tentu akan membawa manfaat bagi pembaca yang ingin mengetahui kebudayaan, politik, dan Islam khususnya di Negara Australia. Selain itu, bila dijadikan sebagai buku untuk memotivasi pembaca agar terus belajar, buku ini bisa melakukannya dengan mudah sebab deskriptifnya penjelasan didalamnya. Sekali lagi bagi pembaca yang merasa penasaran dengan buku ini, selamat Membaca !

Peresensi : Arvina Hafidzah

Mahasiswa Prodi HPI Fakultas Syariah IAIN Jember dan alumni Workshop Intermediate Journalism Class oleh Media Center Fakultas Syariah.

Categories
Madrasah Diniyah Awwaliyah

Maha Santri Darul Hikam Kembali Ukir Prestasi pada Intermediate Journalism Class

Jember, (16/03/2020) Dua maha santri PP Darul Hikam kembali mengukir prestasi di acara Workshop Intermediate Journalism Class. Acara yang bertema Be Smart Journalist with Sharia Faculty ini berlangsung di Aula VIP lantai II Fakultas Syariah. Acara tersebut diikuti oleh kurang lebih 60 peserta dari semua Fakultas di  IAIN Jember dan Universitas lainnya seperti Universitas Negeri Jember.

Para maha santri tersebut yakni Siti Junita dari Prodi Manajemen Pendidikan Islam dan Erni Fitriani Prodi Tadris Biologi yang kesemuanya merupakan mahasiswi semester IV IAIN Jember. Keduanya mampu menyingkirkan para peserta lainnya untuk menjadi peserta terbaik dalam acara wokshop jurnalistik tersebut.

Perlu diketahui acara workshop tersebut diadakan oleh Media Center Fakultas Syariah IAIN Jember selama dua hari, yaitu pada tanggal 14-15 Maret 2020. Peserta terbaik dipilih berdasarkan hasil dari karya tulisannya selama mengikuti acara tersebut.

Prof. Dr. Kiai M Noor Harisudin, M. Fil. I, yang merupakan Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember menutup acara workshop tersebut. Dalam sambutannya, ia memotivasi semua peserta untuk tidak berhenti menulis.

“Jangan sampai berhenti menulis karena dengan menulis kita bisa pergi keluar kota hingga keluar negeri, bisa populer, dapat honor dan yang menarik bertemu tokoh besar”, ujar Prof Kiai Haris yang juga Wakil Ketua Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Salah satu maha santri tersebut yang ditemui oleh media misalnya. Erni, demikian akrab dipanggil yang merupakan maha santri asuhan Prof Kiai Haris ini merasa sangat bahagia.

“Saya sangat berterima kasih terutama kepada Allah karena lewat acara ini saya bisa mengembangkan apa yang saya miliki.  Lewat acara ini saya lebih belajar percaya diri akan kemampuan yang saya miliki. Semoga ini menjadi langkah untuk menjadi lebih baik kedepannya”,  ujar maha santri asal Nganjuk tersebut.

Reporter: Media Center PP Darul Hikam/M Irwan Zamroni Ali.

Categories
Keislaman

Demonstrasi Mahasiswa Harus Keren dan Sesuai SDGs

Jember, 28 Pebruari 2020
Guru Besar IAIN Jember, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I mengusulkan agar demonstrasi mahasiswa harus keren dan sesuai SDGs. Demikian disampaikan dalam acara Dialog Kebangsaan “Kedudukan Empat Pilar Kebangsaan Ekonomi dalam Mewujudkan SDGs 2045”, di auditorium GKT Lantai 3 IAIN Jember, pada  Jum’at, 28 Pebruari 2020.

Hadir pada Dialog Kebangsaan Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) se-Jawa Timur itu sejumlah nara sumber: Prof. Kiai Haris (Ketua Umum ASPIRASI dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember), Aminudin Ma’ruf (Staf Khusus Presiden RI), Kusnadi, SH, MH (Ketua DPRD Jatim), Kompol Agus (Polda Jatim) dan ibu Hari (Anggota DPRD Jatim). Selain itu, ratusan mahasiswa dan perwakilan Sema se-Jatim hadir memenuhi aula Auditorium tersebut.

Kusnadi, Ketua DPRD Jawa Timur, menyampaikan bahwa tantangan sekarang lebih berat. “Kita dihadapkan pada Neo-Liberalisme di mana-mana”, ujar Ketua DPRD Jawa Timur tersebut.

Sementara, Aminudin Ma’ruf menyampaikan bahwa membaca anak muda sama dengan membaca masa depan Indonesia.  “Generasi milenial seharusnya ada di garda depan perubahan menjadi Indonesia emas 2045”, tukas mantan Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia tersebut.

Prof Kiai Haris menyebut pentingnya generasi milenial untuk melakukan percepatan SDGs di Indonesia. Empat pilar yang menjadi nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Values) harus dibumikan dalam kehidupan millenial. Harapannya Indonesia menjadi maju seperti ketetapan WTO Pebruari 2020 yang mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang dan menjadi negara maju. “Kalau positif thinking, seharusnya ini menjadi start Indonesia emas 2045, bukan malah menolaknya”, ujar Prof. Kiai Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

” Karena itu, adik-adik mahasiswa harus bergeser. Kalau demonstrasi ya harus keren dan berkaitan SDGs. Misalnya tentang peace (perdamaian) di New Delhi India, sarana difabel di kampus yang belum ada, lapangan kerja yang minim dan tema SDGs yang lain. Karena SDGs itu kalau dalam Islam sama dengan Maqashidus Syariah “, ujar Prof Kiai Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia.
(Irwan/Media Center Darul Hikam).

Categories
Opini

SDGs, Maqashidus Syariah dan Generasi Milenial 4.0

Meski agak terlambat, gema SDGs masih kita rasakan di Jember. Apalagi ketika Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jember dan sejumlah perguruan tinggi di Jember seperti IAIN Jember dan Universitas Jember ikut mendiskusikan, (mungkin) mengkritik bahkan malah mengimplementasikan SDGs di sejumlah kabupaten Jember. Kita melihat dengan seksama, gencarnya kampanye SDGs oleh Baznas dengan membangun kampung-kampungnya bahkan di pelosok tertinggal Jember. Tidak penting, apakah orang kampung di pelosok itu paham tentang SDGs atau tidak. Dalam amatan saya, kampanye ini relatif berhasil.

Lalu, pertanyaannya: ‘makhluk’ apa SDGs itu? SDGs adalah singkatan dari Sustainable Development Goals. Sustainable Development Goals adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang disahkan 25 September 2015 di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York. Tak kurang dari 193 kepala negara di dunia hadir. Dari Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden saat itu, Yusuf Kalla.

Berbeda dari pendahulunya Millennium Development Goals (MDGs), SDGs dirancang dengan melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu pemerintah, civil society organization (CSO), sektor swasta, maupun akademisi, dan sebagainya. Kurang lebih 8,5 juta suara warga di seluruh dunia juga berkontribusi terhadap tujuan dan target SDGs.

Tema pertemuan saat itu adalah “Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”. SDGs sendiri berisi 17 tujuan dengan menerapkan 169 target yang merupakan aksi global sejak tahun 2016 sampai dengan 2030. Tujuan akhirnya agar tidak ada kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai tujuan dan target SDGs.

Secara ringkas, 17 tujuan SDGs sebagaimana berikut: (1) Menghapus kemiskinan (2) Mengakhiri kelaparan; (3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan; (4) Pendidikan bermutu; (5) Kesetaraan gender; (6) Akses air bersih dan sanitasi; (7) Energi bersih dan terjangkau; (8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) Infrastruktur industri dan inovasi; (10) Mengurangi ketimpangan; (11) Kota dan komunitas yang berkelanjutan; (12) Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) Penanganan perubahan iklim; (14) Menjaga ekosistem laut; (15) Menjaga ekosistem darat; (16) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat; dan (17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.

Dalam pandangan saya, SDGs adalah konsensus bersama tentang kemaslahatan universal yang sesuai dengan Islam. Dalam kajian keislaman, demikian ini disebut dengan “Maqahidus syari’ah “ yang bersifat ammah.

Tentang Maqashidus Syariah ini, Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin (1973: 333), mengatakan: “Sesungguhnya syariat itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada ke-mafsadat-an, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syariat, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi.”

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali (Abu Zahra: 1994) menjelaskan detail Maqashid yang kembali pada maslahat yang di-breakdown dengan“…Akan tetapi, yang kita maksud dengan maslahah adalah maqshud as-syar’i. Sementara tujuan syar’i dari makhluk adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini adalah maslahah. Sementara, yang tidak mengandung lima ini adalah mafsadah dan menolaknya termasuk maslahah…”

Para pemikir dan tokoh Maqashid Syariah yang lain seperti Ramadlan al-Buthi, Jamaludin Athiyah, Jaser Auda, Ar-Raisuni, Bin Bayah, dan sebagainya lebih detail lagi menyebut dalam domain keluarga (Maqashid al-Usrah), ekonomi (Maqashid al-Iqtishad), lingkungan hidup (Maqashid al-bi’ah), dan maqashid-maqashid lainnya. Oleh karena itu, hemat saya, SDGs adalah “Maqashid Syariah” yang menjadi konsensus umat dunia yang tidak dapat diingkari keberadaannya dan bersifat universal.

Pertanyaan selanjutnya: lalu, apa yang bisa dilakukan terutama generasi milenial untuk program SDGs tersebut? Pertama, generasi milenial harus sadar bahwa problem radikalisme ekonomi menjadi ancaman serius ‘daripada radikalisme agama’. Problem kemiskinan akut harus diselesaikan dengan segera. Kesadaran ini menjadi penting sebagai starting point generasi milenial di masa sekarang.

Kedua, generasi milenial tidak perlu lagi melakukan provokasi ala komunisme terhadap publik luas. Namun, mereka harus melakukan upaya-upaya yang membangun Indonesia dengan memperkuat ekonomi. Dengan kata lain, generasi milenial harus muncul menjadi pengusaha-pengusaha hebat yang menguatkan ekonomi Indonesia dan turut serta menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Ketiga, generasi milenial harus sinergi dan bekerja sama dengan bukan hanya jejaring di negeri sendiri, namun juga luar negeri untuk membangun dan mempercepat tercapainya tujuan dan target SDGs di Indonesia di 2030 nanti. Mereka harus bergerak bersama komunitas lain di dunia untuk mencapai cita-cita kemaslahatan yang bersifat universal tersebut.

Keempat, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir, generasi milenial harus hadir di garda terdepan, dari mengampanyekan hingga mengimplementasikan tujuan SDGs tersebut dalam kehidupan. Artinya, era revolusi industri 4.0 di masa sekarang harus menjadi ‘teman’ dan ‘alat’ generasi milenial untuk mencapai tujuan dan target SDGs pada tahun 2030 nanti. Semoga. Wallahu’alam!

(Prof. Dr. HM. Noor Harisudin, M.Fil.I., Guru Besar dan Dosen Pascasarjana IAIN Jember, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Ketua Umum ASPIRASI).

Categories
Keislaman

Puluhan Peserta Mengikuti FGD Rekonstruksi Fikih Zakat

Fakultas Syari’ah IAIN Jember bekerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Jember kembali melaksanakan event akademis yang dikemas dalam  Focus Group Discussion dengan tema “Rekonstruksi Fikih Zakat dari Dimensi Ibadah menuju Mu’amalah” yang menghadirkan narasumber  K.H. Afifuddin Muhajir, M.Ag,  Ro’is Syuri’ah PBNU dan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Kali ini sosok yang akrab disapa Kyai Afif itu menjadi narasumber pada acara FGD yang diselenggarakan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Jember bersama BAZNAS Kabupaten Jember, Rabu (08/01/2019) dengan tema “ Rekonstruksi Fikih Zakat dari Dimensi Ibadah menuju Mu’amalah”.

Dalam acara FGD ini dihadiri oleh akademisi/ dosen serta praktisi, adapun peserta antara lain dosen di lingkungan IAIN Jember yakni dari Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Lembaga Amil Zakat,  Keluarga Alumni Ma’had Aly (Kamali), pengurus Baznas dan para mahasiswa.

K.H. Misbahus Salam,  Ketua BAZNAS Jember dalam sambutannya menyampaikan sangat senang dan antusias dengan adanya Focus Group Discussion  ini dan berharap  pelaksanaan FGD ini dapat menjadi masukan dalam pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh di Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Jember.

“Kami pengelola zakat maal dan zakat fitrah sangat penting untuk menerima masukan, karena makna zakat tidak hanya bermakna Ibadah. Sehingga zakat itu juga bisa bermanfaat dalam pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, memberikan beasiswa Jember Cerdas. Hal tersebut  mungkin konteks makna fisabilillah. Maka dari itu agar kami pengelola zakat, infaq dan shodaqoh itu sesuai dengan fikih, dan sesuai dengan aturan syari’ah, maka sangat penting adanya FGD ini. Apalagi dengan adanya Rois Syuri’ah PBNU (K.H. Afifuddin Muhajir, M.Ag, red) sehingga kami mempunyai pijakan yang jelas bagaimana pengelolaan zakat infaq dan shodaqoh itu sesuai dengan syari’ah.” Begitu sambutan dari K.H. Misbahus Salam, M.Pd.I.

Sedangkan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Jember Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I mengapresiasi acara Focus Group Discussion  yang dilaksanakan  di Gedung Baru Fakultas Syari’ah IAIN Jember. Prof Haris menyampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan bentuk realisasi adanya MoU yang sudah ditanda tangani antara BAZNAS Kabupaten Jember dengan Fakultas Syari’ah IAIN Jember. “Alhamdulillah Kyai Misbah ini merupakan sosok yang inspirasional dan saya doakan jadi pengurus BAZNAS pusat, dan sudah pantas untuk pindah dari Jember ke Jakarta”, sambutan pembuka Prof Haris disambut tepuk tangan oleh peserta FGD.

“Terima kasih ini kelanjutan dari kegiatan kerjasama antara Fakultas Syari’ah IAIN Jember dengan BAZNAS Kabupaten Jember, kami di Fakultas Syari’ah ingin menjadikan Fakultas Syari’ah di IAIN Jember menjadi pusat kajian Ilmu. Jadi, Kyai Afif hadir di Fakultas Syari’ah untuk yang kedua kalinya, Beliau sebelumnya hadir di gedung yang lama pada tahun 2019, sekarang Beliau hadir di Fakultas Syari’ah dengan gedung yang baru. InsyaAllah Kyai, di tahun 2020 IAIN Jember berubah menjadi UIN K.H. Ahmad Shiddiq mohon do’anya Kyai. Jadi disini ada akademisi zakat, ada ilmuwan, banyak yang hadir untuk diskusi pada pagi ini, dan yang cocok adalah Focus Group Discussion karena pertanyaan-pertanyaan yang kritis akan muncul di Focus Group Discussion. Tokoh yang ahli ilmu fiqh di Indonesia tidak banyak setelah meninggalnya K.H. Maimun Zubair, yang ahli ushul fiqh adalah K.H. Afifuddin Muhajir, kita doakan Beliau selalu diberikan kesehatan dan memberikan pencerahan pada umat dan masyarakat,  karena Beliau sangat dibutuhkan”, begitu penyampain Prof. Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) Seluruh Indonesia.

Acara FGD ini kemudian dilanjutkan materi inti FGD yang disampaikan oleh K.H. Afifuddin Muhajir,M.Ag,  Rois Syuriah PBNU dan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo. Beliau banyak sekali menjelaskan perbedaan antara Fikih Ibadah dan Fikih Mu’amalah terlebih lagi judul materi FGD adalah judul dari disertasi dari A. Muhyiddin Khotib dengan judul  “Rekonstruksi Fikih Zakat dari Dimensi Ibadah Menuju Mu’amalah dalam Perspektif Maqasid al-Syari’ah  yang sudah diuji disidang terbuka program pascasarja UINSA Surabaya.

“Fikih ibadah adalah fikih yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya, sedangkan fikih Mu’amalah merupakan fikih yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Fikih Ibadah dan fikih Mu’amalah memiliki prinsip-prinsip yang berbeda.  Salah satu prinsipnya, Fikih Ibadah mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya dalam beribadah sesuai dengan perintah Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Sedangkan fikih Mu’amalah yang dilihat dari mu’amalah itu bukan bungkus melainkan substansi. Selanjutnya bahwa fikih Mu’amalah itu prinsip dibangun atas dasar kemaslahatan, dan meletakkan zakat bagian dari mu’amalah memberikan tempat bagi kita dan  para fuqoha’ untuk bisa berfikir mengenai persoalan-persoalan zakat”,  begitu penjelasan dari Kyai Afifuddin Muhajir dalam pembukaan Focus Group Discussion Dimensi Fikih Zakat dari Dimensi Ibadah menuju Mu’amalah.

Tanya jawab dalam FGD ini cukup menarik sehingga menarik banyak  audiens untuk bertukar pikiran mengenai pengelolaan zakat, hingga perbedaan antara pajak dan zakat. Focus Grup Discussin dengan tema Rekonstruksi Fikih Zakat dari dimensi Ibadah munuju Mu’amalah merupakan rangkaian kegiatan Fakultas Syari’ah di awal tahun 2020. Dengan ada nya kegiatan FGD ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat dan akademisi mengenai pentingnya pengelolaan zakat. Dan bagi Fakultas Syari’ah IAIN Jember FGD Rekonstruksi Fikih Zakat dan dapat menjadi milestone Fakultas Syari’ah IAIN Jember menjadi pusat kajian keilmuan di Indonesia, sehingga pada tahun 2030 menjadi Perguruan Tinggi yang bereputasi di Asia Tenggara sesuai dengan visi misi Fakultas Syari’ah IAIN Jember. (Basuki/ Media Center)