Categories
Kolom Pengasuh Opini

Kiai M. Noor Harisudin: Negara Tidak Berlakukan Hukum Salah Satu Agama 

Rabu 16/09 Fakultas Syariah IAIN Kudus mempersembahkan Seminar Nasional Online bertajuk “Dinamika Hukum Islam di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Acara berlangsung dari pukul 09.00-12.00 WIB yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai penjuru kota di Indonesia.

Narasumber pada acara tersebut, Prof. Dr. Muhammad Noor Harisudin, M.Fil.I. selaku Guru Besar IAIN Jember, Dr. H. Mundakir, M. Ag., selaku rektor IAIN Kudus, dan Narasumber terakhir, Dr. H. Amran Suadi, SH, M.Hum., selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Acara tersebut dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan ke acara inti yakni Seminar Nasional yang dimoderatori oleh Dr. Any Ismayawati, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

Sesuai dengan tema, jika berbicara mengenai dinamika hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa hal yang wajib yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah mengenai posisi hukum Islam itu sendiri, dalam arti syariah (fiqh). Kemudian posisi kedua adalah kita hidup di Indonesia. Di Indonesia Islam punya kekhususan tersendiri, punya khittah tersendiri yakni ”sulhu Hudaibiyah” atau biasa disebut dengan perjanjian damai Hudaibiyah antara umat Islam dengan kafir di masa Nabi Muhammad. Artinya, Indonesia bukanlah negara Islam, bukan negara khilafah, yang bukan berazazkan hukum Islam tertentu, tapi inilah negara yang disebut dengan “darul ahdi”, atau “darul mitsaq”, yaitu  negara konsensus yang bersama-sama membangun bangsa, di mana Pancasila menjadi dasarnya dan  yang penting adalah umat Islam bisa menjalankan syariat agamanya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Jadi, tidak bisa jika semua hukum Islam dari luar negeri diambil dan diterapkan di Indonesia.

“Karena itu saya sepakat dengan Prof. Mahfud yang mengatakan bahwa negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Berbicara mengenai skema hukum Islam, hukum Islam ternyata dibagi menjadi dua bagian, yakni ibadah mahdlah dan Non-ibadah mahdlah. Yang termasuk dalam ibadah mahdlah adalah sholat, puasa, haji. Sedangkan Non-ibadah mahdlah adalah muamalah, ahwalus syakhsiyah, jinayah, siyasah, dan Qadla atau penyelesaian pengadilan.

Lain halnya dengan skema hukum Islam dan perubahan sosial, dimulai dari fakta-fakta, konsep, ‘illat hukum dan diktum hukum/fatwa. Jadi, jika ada fakta-fakta yang berubah maka nanti hukum di atasnya juga akan berubah. Misalnya saja Nahdlatul Ulama (NU) dulu pada tahun 30-an pernah menetapkan bahwa sunnah hukumnya menyalakan petasan di malam ramadhan sebagai juga bentuk syiar yang dianjurkan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 1999 hukum itu menjadi berubah status yakni “haram” karena menimbulkan mudharat yang besar yakni dapat membuat seseorang terluka dengan petasan yang ukurannya besar. Dari sini dapat diketahui bahwa ada hukum Islam yang berubah dan ada hukum Islam yang tidak berubah.

Perubahan-perubahan dalam hukum Islam tadi, dapat diperoleh dengan cara ijtihad. Ijtihad adalah metode agar hukum Islam dapat selalu hidup dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seseorang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Ijtihad yang sesuai untuk zaman saat ini adalah ijtihad jama’I,  yakni ijtihad yang disepakati oleh mujtahid dalam satu masalah. Ijtihad ini juga berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bentuk dinamika  hukum Islam  dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya dari kelembagaan, Rechtvinding dalam putusan Hakim pengadilan agama, regulasi dan Undang-Undang, perdebatan wacana pemikiran pembaharuan Hukum Islam, penelitian dan kajian hukum Islam yang selalu update.

“Untuk menjadi tokoh penegak hukum yang baik, harus ditata dulu akidahnya. Karena jika akidahnya baik, maka ibadah dan akhlaqnya juga akan baik,” ujar Dr. H. Mundakir, M. Ag., saat ini menjabat sebagai rektor di IAIN Kudus. Karena sesungguhnya saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana orang-orang yang taat hukum bisa menjalani syariat dengan baik. Maka insyaalah akan lahir orang-orang islam  yang teguh menjalankan hukum sesuai syariat Islam.

Dialektika hukum Islam diwujudkan dalam dua hal; living laws dan positif laws. Living laws adalah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat, diajarkan di perguruan tinggi, pesantren, juga madrasah dan didiskusikan oleh lembaga ijtihad masing-masing organisasi masyarakat. Sedangkan   positif laws adalah hukum Islam yang telah ditetapkan menjadi hukum positif di Indonesia. Misalnya kompilasi hukum Islam, kompilasi hukum ekonomi syariah, dan lain-lain. Bentuk lain positif laws dapat dilihat dari undang-undang yang sesuai dengan Maqashidus Syariah. Misalnya undang-undang lalu lintas, undang-undang pemilu, dan sebagainya.

Jadi, bisa saja keputusan antara organisasi masyarakat satu dengan organisasi masyarakat lain bisa saling berbeda. Misalnya saja kemarin saat bulan Ramadan, untuk pelaksanaan salat Id bisa tidak bersamaan. Jadi jangan heran dengan perbedaan pendapat. Contoh lain jika ada perbedaan madzab yang dianut seseorang. Demikian tidak bersifat mengikat.

Terdapat empat faktor penyebab dinamika hukum Islam, yakni bergantungnya bandul politik hukum penguasa, pergerakan pembaharu dan pemikirannya di Indonesia, berdirinya lembaga-lembaga baru, dan perubahan sosial yang demikian cepat.

Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat ketika pengadilan agama mempunyai kewenangan yang lebih luas, yang semula hanya mewakili permasalahan cerai, kemudian sudah mulai meluas ke masalah wakaf, waris, bisnis syariah, dan sudah sangat luas.

“Gambaran dinamika hukum Islam di Indonesia sudah semakin membaik, tinggal bagaimana para alumni PTKIN membuat perkembangan dirinya,” pungkas Dr. H. Amran Suadi selaku Ketua Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Karena sasaran sangat banyak sekali bagi alumni Fakultas Syariah, hakim dilingkungan peradilan agama  sekarang masih terbatas. ini dapat menjadi peluang emas bagi mahasiswa hukum Fakultas Syariah.

“Saya harap kita semua bisa menjadi pionir untuk membumikan hukum Islam, permasalahan hidup selalu ada dan tidak bisa kita abaikan, dan hukum yang adil itu ketika memang sesuai  norma-norma kehidupan,” ungkap Dr. Any yang juga sebagai Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus.

“Closing statement dari saya, ingatlah bahwa tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau belajar. Tetap semangat untuk adik-adik Fakultas Syariah,” ujar Prof. Kiai Haris yang juga pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Jember dan Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : Moh. Abd. Rauf

Categories
Keislaman Madrasah Diniyah Wusto

Gandeng PMII  Syariah, PP. Darul Hikam Salurkan Daging Kurban  ke Beberapa Wilayah Jember

Media Center Darul Hikam – Hari raya Idul Adha 1441 Hijriah ditetapkan jatuh pada Jumat, 31 Juli 2020. Idul Adha menjadi salah satu momen yang ditunggu-tunggu umat muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak hanya itu, dalam pelaksanaanya Idul Adha merupakan hari dimana umat muslim di seluruh dunia akan melaksanan ibadah kurban bagi yang mampu. Namun Idul Adha tahun ini tentu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena terdampak dari pandemi Coronavirus disease (Covid-19) sehingga pelaksanaan kurban harus memerhatikan protokol kesehatan.

Salah satunya Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember bekerjasama dengan PMII Rayon Syariah IAIN Jember melaksanakan ibadah kurban dengan 2 ekor sapi dan 1 ekor kambing pada hari Sabtu 1 Agustus 2020 dan 1 ekor sapi pada senin 3 Agustus 2020.

Acara penyembelihan dan pembagian hewan kurban pada hari Senin itu dimulai pukul 08:00-13:00 WIB di halaman PP. Darul Hikam Mangli-Jember. Pemotongan dan pembagian hewan kurban dibantu oleh sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Syariah Komisariat IAIN Jember.

Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.H.I., M.H selaku pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember menyampaikan rasa syukur atas terlaksananya ibadah kurban tahun ini meski ditengah wabah pandemi.

“Alhamdulillah saya ikut bahagia ketika para dluafa bahagia, meski ditengah wabah Covid-19 masih bisa berkurban dan bahkan jumlahnya lebih banyak dari pada tahun sebelumnya, senang rasanya melihat sahabat PMII Rayon Syariah Komisariat IAIN Jember kompak, mulai dari persiapan penyembelihan sampai pendistribusian daging kurban dibagikan,” ujarnya.

“Melaksanakan kurban tidak hanya bertujuan untuk ibadah, tetapi juga menjalankan perintah Allah (QS. Al Kautsar: 2 dan QS. Al Hajj: 34), berbagi, dan ittiba’ pada Rasulullah SAW. Mari kita terus istiqomah untuk melaksanakan ibadah kurban ini, jangan takut miskin untuk berkurban. Insyaallah orang yang berkurban akan cepat kaya,” tambah Robiatul Adawiyah berpesan.

Selain syarat kehalalan harus terpenuhi, pemotongan dan pembagian daging kurban tetap dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Agama, Nomor : SE.18 tahun 2020, tentang pelaksanaan shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban tahun 1441 H menuju masyarakat profitable dan terhindar Covid-19.

“Penyembelihan di masa pandemi ini mengharuskan kita untuk mematuhi protokol kesehatan dan tetap menjaga jarak. Harus sering cuci tangan, menggunakan masker dan segera membagikan daging setelah siap. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerumunan,” tutur Shohibul Ulum, SE., ME selaku Sekretaris Pondok Pesantren Darul Hikam.

PP. Darul Hikam mendistribusikan daging kurban kurang lebih 300 bungkus, masyarakat cukup antusias saat menerima daging kurban. Daging kurban dibagikan kepada warga sekitar kampus IAIN Jember. diantaranya daerah Mangli, Silo, Kepatihan, Wetan Pasar Tanjung, belakang Pasar Mangli, Ajung, dll.

“Panitia Dari PMII sekitar 7 orang, dibantu juga oleh teman-teman RM Fakultas Syariah sebanyak 10 orang, jadi totalnya 17 orang. Pembagian daging kurban diberikan secara langsung ke tiap-tiap rumah warga,” ucap Ahmad Rofiki yang juga Ketua Umum PMII Rayon Syariah Periode 2019-2020.

Reporter : Erni Fitriani

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Pengasuh PP. Darul Hikam: Pelaksanaan Kurban 2020 Wajib Patuhi Protokol Kesehatan

Jember – Hari raya Idul Adha kurang beberapa hari lagi, Idul Adha merupakan salah satu hari besar bagi umat Islam diseluruh dunia. Perayaan Idul Adha diperingati setiap tanggal 10 bulan Dzulhijjah dalam kalender hijriah.

Dalam pelaksanaannya, Idul Adha tidak hanya sekedar diperingati dengan melaksanakan sholat Idul Adha saja, tetapi juga identik dengan prosesi penyembelihan hewan kurban bagi orang yang ingin berkurban.

Namun Idul Adha saat ini akan sedikit berbeda dengan sebelumnya. Hal ini lantaran Indonesia masih belum selesai menghadapi Wabah Covid-19. Dengan itu sejumlah regulasi dikeluarkan berupa pelaksanaan penyembelihan hewan kurban yang harus mematuhi protokol kesehatan, dalam rangka menghindari klaster baru penyebaran Covid-19.

Pengasuh PP. Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., mengingatkan agar proses pelaksanaan penyembelihan hewan kurban tahun ini harus tetap mematuhi protokol kesehatan.

“Penyembelihan hewan kurban harus tetap mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah. Misalnya social distancing, cuci tangan, memakai sarung tangan, memakai masker hingga pendistribusian daging kurban dengan sistem door to door dan sebagainya,” ujar Prof Haris dalam acara Pelatihan Manajemen Penyembelihan Hewan Qurban Syar’i di Gedung MWC NU Jenggawah, Kabupaten Jember, Minggu (19/7/2020).

Selain itu Prof Haris yang merupakan narasumber pada kegiatan tersebut, selain menyampaikan tentang seluk beluk fiqih kurban, ia juga mengungkapkan kelemahan atau problem yang sering terjadi dimasyarakat dalam melaksanakan penyembelihan hewan kurban khususnya dalam bidang manajemen.

“Umumnya di tengah-tengah masyarakat mereka melaksanakan kurban alami saja, artinya tanpa menggunakan pengelolaan manajemen yang baik, contohnya membagikan daging kurban hanya pada satu kampung yang tidak butuh alias orang kaya semua dan tidak ada yang untuk orang miskin, maka dari itu dengan menggunakan menajemen atau pengelolaan pelaksanaan kurban yang baik, seperti manajemen penyembelihan, manajemen distribusi, dapat menjadikan pelaksanaan kurban yang tepat sasaran dan khidmat ke masyarakat luas,” tutur Prof Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember.

Reporter: M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Keislaman

Wakil Ketua LDNU Jatim Usul Pendidikan Pancasila untuk Generasi Milenial

Jember: Media Center Darul Hikam

Pancasila merupakan Ideologi Bangsa, bukan hanya hasil dari suatu perenungan atau pemikiran dari individu atau kelompok. Namun Pancasila diangkat dari nilai agama, adat istiadat dan  kebudayaan yang terdapat pada pandangan hidup masyarakat yang menggambarkan pola kehidupan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya, Pancasila memiliki dua wajah yaitu wajah masyarakat dengan persatuannya dan pemerintah dengan keadilannya. Maka perlu diadakan pembinaan untuk menanamkan kembali nilai pancasila yang kian waktu kian menghilang dari jiwa masyarakat Indonesia.

Dalam rangka untuk menanamkan kembali nilai ideologi pancasila, Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara se-Indonesia (ASPIRASI) yang bekerja sama dengan PD Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Lumajang dan Lembaga Ta’lif Wa An-Nasyr Nu Jawa Timur (PW LTN NU) menyelenggarakan Webinar Nasional Pancasila pada Jumat (10/07) pukul 13.00 s/d 15.00. Webinar tersebut diikuti lebih dari 150 peserta melalui via Zoom dan live facebook yang bertajuk “Urgensi Pembinaan Ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Webinar ini dibuka oleh (Cand.) Dr. Zainal Ansori sebagai moderator dan Dr. Abdul Wadud, Lc. M.E sebagai Host.

Pemantik Diskusi, Ketua ASPIRASI yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menyampaikan tentang pentingnya pembinaan ideologi pancasila. “RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) membuat Pancasila tergeser dari posisinya sebagai Ideologi Negara. Kita tolak RUU HIP itu. Yang kita dorong adanya pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat. Karena problem mendasar yang membuat Pancasila tergeser adalah generasi milenial yang tidak lagi mengenal Pancasila”.

“Pada tahun 1978 terdapat penafsiran tunggal oleh Orde Baru terhadap Pancasila yang menyebabkan terjadinya pergolakan sosial di bidang politik. Orde Reformasi menolak Pancasila dengan lahirnya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menyebabkan Pancasila raib dari kurikulum pendidikan nasional, sehingga generasi muda tidak lagi mengenal Pancasila. Orde reformasi sebagai antitesa Orde Baru sama sekali menghilangkan Pancasila. Hal ini menimbulkan kegelisahan kita bersama karena dikhawatirkan akan muncul berbagai ideologi lain yang menggantikan Pancasila. Tahun 2003 hingga sekarang, ada kekosongan pendidikan Pancasila. Karena itu, saya usul agar generasi Milenial agar diberi pendidikan Pancasila”, ujar Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember itu.

Lebih lanjut Prof. Haris menuturkan bahwa Pancasila adalah kesepakatan pendiri bangsa dan organisasi masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. ”Pancasila sebagai kalimatus sawa’ haruslah kita rawat bersama. Sebab generasi bangsa yang tidak mengenal pancasila akan sulit menghayati bahkan mengamalkannya. Menurut saya Pancasila sesuai dengan syariat, mulai dari sila pertama sampai kelima semuanya terdapat dalam Alqur’an dan hadist. Dalam konteks Islam Nusantara, Pancasila adalah pembentuk utama dalam meraih baldatun thoyyibun wa rabbun ghafur”, tambah Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember tersebut.

Forum ini mengundang anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dr. KH. Hilmy Muhammad, M.A., dan 3 narasumber yakni: Prof. Dr. Masnun Thahir, M.A sebagai Ketua PWNU Nusa Tenggara Barat, Dr. Bayu Dwi Anggono yang merupakan Direktur PUSKAPSI Universitas Jember dan Dr. Winarto Eka Wahyudi, M.Pd.I., sebagai pakar pendidikan dari Pimpinan Wilayah LTN NU Jatim.

Dr. Bayu Dwi Anggono memaparkan bahwa Pancasila dijadikan ideologi karena memenuhi tiga syarat yaitu dapat diyakini rasionalitasnya, dipahami dan dihayati serta diamalkan. Menurut survei terhadap publik tahun 2018 sebanyak 17,3% masyarakat, 19,14% PNS, 10% Milenial tidak setuju terhadap ideologi Pancasila. Artinya mereka setuju jika pancasila diganti dengan ideologi lain.

“Hal ini terjadi karena tidak adanya payung hukum yang secara resmi tentang pembinaan Pancasila. Justru UU no. 12 tahun 2010 tentang Pramuka, UU no. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan yang merupakan sub bidang Pancasila yang memiliki payung hukum. Sedangkan dalam pembinaan pancasila hanya berbentuk Perpres”, ucap peneliti hukum asal Universitas Jember itu.

Ketua PWNU Nusa Tenggara Barat, Prof. Dr. Masnun Thahir, M.A menjelaskan bahwa Pancasila adalah warisan suci yang diamanahkan oleh para pendiri bangsa kita. Prof Masnun juga menuturkan bahwa Pancasila memiliki ikatan erat dengan Nahdhatul Ulama.

“Jika bicara NU maka kita juga berbicara tentang kesetiaan tanpa batas. Dari dulu NU tidak pernah ingkar kepada NKRI karena sama-sama menghendaki kerukunan dibalik keberagaman. Jangan berhenti berdiskusi, memberikan literasi dan saling menginspirasi. Inilah bangsa kita, saling mengerti dan mengisi untuk menjaga keutuhan NKRI”. tuturnya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ((DPD RI) Dr. KH. Hilmy Muhammad, M.A mengungkapkan harapannya terkait dibuatnya aturan resmi pembinaan pancasila.

“Mari kita lakukan sosialisasi, evaluasi dan musyawarah yang baik maka kita akan melahirkan sebuah keputusan yang terbaik dengan mengambil sisi baik dan membuang yang buruk. Diperlukan juga pembinaan yang disertai uswatun hasanah sesuai dengan contoh kepemimpinan Rasulullah SAW”, ujar anggota DPD RI yang juga Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.

Dr. Winarto Eka Wahyudi, M.Pd.I mewakili Pimpinan Wilayah LTN NU Jatim menjelaskan bahwa Pancasila disebut sebagai sistem nilai. Sistem nilai tersebut meliputi ketuhanan, persatuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Untuk membina Pancasila, maka dibutuhkan instrumen di bidang pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah.

“Pancasila adalah harta karun kita. Apapun pemikiran yang bertujuan untuk melemahkan pancasila harus kita tolak. Dalam isi pancasila terdapat karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia yang beragam suku dan ras seperti Indonesia.” pungkas koordinator riset dan data LTN NU Jatim itu.

Reporter: Siti Junita

Editor: M. Irwan Zamroni Ali.

Categories
Keislaman

New Normal dalam Kacamata Fiqih Keindonesiaan

Sejumlah pemerintahan daerah di Indonesia kini tengah sibuk mengambil kebijakan dan membuat peraturan tertentu untuk mempersiapkan transisi menuju new normal. Khususnya dalam hal mengaktifkan kembali rumah ibadah dan rutinitas keseharian, tetaplah diperlukan kehati-hatian. MUI memperbolehkan melakukan ibadah di masjid seperti sedia kala asalkan tetap mematuhi protokol kesehatan. Di sisi lain, terutama daerah yang angka penyebaran virusnya masih belum terkendali masih diberlakukan larangan bagi masyarakat untuk beribadah di masjid.

Menyikapinya, Program Studi Doktor Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII menyelenggarakan Webinar Nasional & Temu Alumni pada hari Rabu (23/6). Webinar mengangkat judul “New Normal Dalam Perspektif Fiqih Keindonesiaan” diisi oleh Prof. M. Noor Harisuddin, M. Fil.I. (Dekan Fakultas IAIN Jember), Dr. Muhammad Fahmi, M.Si. (Dosen Komunikasi & Penyiaran Islam IAIN Surakarta), Dr. Muh. Baehaqi, MM. (Ketua STAINU Temanggung-Alumni DHI FIAI UII), dan Dr. Asmuni, MA. (Dosen FIAI UII).

Dr. H. Yusuf Buchori, M.Si, ketua Alumni Prodi Doktor Hukum Islam (DHI) mengatakan bahwa new normal bukanlah topik perbincangan nasional melainkan internasional. Dampaknya sangat luas baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Ia berharap seminar ini mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum Islam sekaligus menjawab berbagai persoalan umat. “Banyaknya persoalan yang dihadapi saat ini, umat Islam perlu mendapatkan jawabannya. Dengan penerapan new normal, social distancing, dan physical distancing akan berdampak terhadap hukum Islam” tuturnya.

Dalam perspektif Maqasid Syari’ah yang disampaikan oleh Dr. Asmuni, MA, adanya pandemi ini memperlihatkan universalitas manusia dengan segala kedzalimannya dan universalitas alam dengan segala keadilannya. Keadilan yang ia maksud adalah gerak virus yang secara adil diumpamakan sebagai debu yang tidak memilih sasaran dan bisa datang ke orang yang buta huruf maupun orang yang intelek pun besar kemungkinan terkena debu tersebut.

Ia juga mengatakan bahwa umat Islam tidak bisa melepaskan diri dari aturan aturan fiqih kapanpun dan dimanapun bahkan dalam keadaan apapun dalam rutinitas keseharian. “Aturan-aturan fiqih adalah bagian dari kita yang tidak bisa kita hindari”, ungkapnya.

Sedangkan dalam perspektif Fikih Nusantara, Prof. M. Noor Harisuddin, M. Fil.I., menyampaikan cara pandangnya berangkat dari titik temu yang mengakomodir kearifan lokal Islam rahmatan lil alamin dan mengusung Islam moderat. “Fiqih Nusantara adalah fikih hasil produk ijtihad para ulama nusantara” tuturnya.

Menurut para ulama hukum itu terbagi menjadi dua, hukum yang bersifat selamanya dan hukum yang mempunyai potensi untuk berubah dikarenakan perubahan zaman, tempat, dan keadaan. “Perubahan hukum itu adalah suatu hal yang niscaya, di dalam hukum yang berubah dikarenakan kondisi-kondisi yang membuat berubah berdasarkan tempat, keadaan, dan zaman” jelasnya.

Dr. Muh. Baehaqi, MM, menjelaskan jika berkaca dari Perspektif Fikih Bencana, banyak hikmah yang bisa diambil dari pandemi. Pertama, manusia memperhitungkan faktor-faktor rescue akan terjadinya bencana. Kedua, menumbuhkan kearifan manusia yang mampu menjalin relasi antara alam dan sesama. Ketiga, mendapatkan pelajaran dari pandemi ini, dan pentingnya untuk tetap bersikap baik sangka atas ketetapan Allah.

Sementara itu, pembicara Dr. Muhammad Fahmi, M.Si menyoroti kemajuan teknologi yang menjadikan masyarakat lebih mudah mendapatkan informasi dan berkomunikasi dengan new media. Pengajian virtual, dakwah virtual belajar agama baik dari youtube maupun platform lainnya terus bermunculan. Silaturahmi virtual pun kian jamak dilakukan. “Dulu kita harus melakukan physical movement untuk pergi ke majelis ilmu, sekarang kita harus melakukan semuanya secara daring”, ungkapnya. (HA/ESP)

Sumber: https://www.uii.ac.id/new-normal-dalam-kacamata-fiqih-keindonesiaan/

Categories
Keislaman

Webinar Madrasah Virtual, Pengasuh Darul Hikam Dorong Inovasi Santri Milenial

Pada Rabu, 10 Juni 2020, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I. Dekan Fakultas Syariah yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember kembali menjadi narasumber dalam acara Webinar yang diadakan oleh Madrasah Virtual dengan tema Reaktualisasi Nilai Kesantrian pada Generasi Milenial. Selain juga bisa diikuti melalui Live Streaming Facebook dan Youtube di channel Dirasah Virtual, kegiatan ini juga dapat ditonton melalui media video conference Qeeta.id. Webinar yang juga didukung oleh Telkom Indonesia tersebut berlangsung mulai jam 20.00-22.00 WIB dan diikuti oleh ratusan peserta.

Acara ini dimoderatori oleh Gus Ahmad Humaidi. Hadir dua narasumber; Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember,  dan Dr. M. Asvin Abdur Rohman, M,P.d.I, Dosen Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo.

Direktur Dirasah Virtual, Ahmad Karomi, dalam sambutannya berharap agar kegiatan ini bisa memberikan manfaat untuk umat, “Kegiatan ini untuk memperkuat ukhuwah kita, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Webinar ini sekaligus merupakan acara pembuka dari kegiatan Dirasah Virtual yang insyallah kedepannya akan terus mengadakan kajian-kajian tematik tentang dunia Islam, Saya berharap kegiatan yang diawali dengan hal baik insyallah untuk seterusnya virtual madrasah tetap akan memberikan yang terbaik untuk umat,” tutur Ahmad Karomi yang juga Mahasiswa S3 UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sementara itu, dalam paparannya, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., mengupas tentang nilai-nilai santri, “Sebagai seorang santri yang didalamnya terdapat nilai-nilai keislaman, mereka (santri) harus mampu merespon perkembangan yang begitu cepat saat ini. Adapun nilai santri yang pertama  yaitu nilai tawadhu, tidak ada seorang santri yang memiliki sifat sombong (takabur), Alhamdulillah banyak saya temui santri yang memiliki sifat rendah hati, sekalipun ia (santri) ilmunya sudah tinggi, kuliahnya di luar negeri, mereka tidak menjadi sombong,” ujar Prof Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.

Nilai kedua, lanjut Prof. Haris, adalah nilai kesederhanaan. Dalam kehidupan seorang santri, mereka sudah diajarkan sifat hidup sederhana sejak berada dalam pesantren, sehingga demikian ini menjadi sangat relevan jika dilihat dari kondisi saat ini, dimana orang-orang melihat kemewahan, kekayaan yang melimpah, jabatan atau kedudukan yang tinggi. Ukuran kesuksesan manusia tidak bisa diukur dengan materi dengan melupakan arti penting kesederhanaan dalam kehidupan.

“Ketiga, nilai kemandirian, di luar mereka sudah siap bekerja apa saja, mulai dari pekerjaan yang dianggap rendah menurut manusia, meski ukuran Allah berbeda, santri tetap siap dalam kondisi apa saja baik menjadi pejabat negara, dosen dan sebagainya. Inilah diantara nilai-nilai santri yang bisa diterapkan di masyarakat luas untuk memberikan warna ditengah arus modernisasi. Dan masih banyak nilai-nilai lain santri yang tidak bisa saya paparkan semua,” ujar Prof. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I yang juga Ketua Umum Asosisi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.

Untuk mendorong santri milenial, Guru Besar IAIN Jember yang juga Sekjen PP Keluarga Alumni Mahad Aly PP. Salafiyah Syafiiyah Situbondo tersebut menyampaikan setidaknya ada dua hal yang harus dipegang seorang santri dalam kondisi tantangan yang semakin deras. “Pertama, Self Development (mengembangkan diri), seorang santri harus tetap selalu update pengetahuan salah satunya tentang kemajuan teknologi. Kedua, Innovation (pembaruan) santri harus selalu berinovasi demi kemaslahatan umat. Santri harus punya dua  nilai penting ini, tambah Prof. Haris.

Disisi lain, dosen INSURI Ponorogo Dr. M. Asvin Abdur Rohman yang juga narasumber dalam acara tersebut memaparkan tentang kesantrian dalam zona pendidikan menyebutkan, Dalam perkembangannya pesantren kemudian mengajarkan keislaman secara utuh yaitu tentang Islam, iman, dan ihsan. Dalam materi yang diajarkan di pesantren itu dapat membentuk generasi yang muhsin, yaitu orang-orang yang kuat islam, iman dan ihsannya. Hal inilah sebenarnya yang bisa kemudian ditransfer ke generasi berikutnya dengan catatan tidak mengesampingkan salah satu pokok keislaman itu sendiri, dari sisi pembelajarannya, keunggulan pesantren mampu menciptakan sebuah miniatur yang berkultur kehidupan masyarakat luas sehingga disisi lain juga diajarkan tentang hidup bersosial dengan masyarakat luas, tutur Kiai Asvin.

Webinar berlangsung seru dengan banyak pertanyaan dari para pemirsa yang umumnya milenial. Salah satu pertanyaan kritis tentang identitias: siapa santri itu. Menurut Prof. Haris, santri harus dimaknai lebih umum: semua orang yang ngaji dengan sanad yang jelas. Misalnya pada ustadz atau kiai. Sementara, identitas khusus mereka yang belajar di pesantren dalam rentang waktu tertentu. Pertanyaan lain tentang keistiqomahan santri, santri dengan perilaku yang tidak santri, sisi menarik santri dan sebagainya.

Reporter : M. Irwan Z.

Categories
Opini

Santri Milenial dalam Peradaban Berbasis Jaringan

Oleh: M. Noor Harisudin

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember

Guru Besar IAIN Jember 

Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan, tiba-tiba terjadi. Apa yang tidak direncanakan manusia tiba-tiba menjadi sebuah kenyataan kehidupan. Pandemi Virus Corona telah merubah segalanya. Covid-19 yang juga ciptaan Tuhan adalah peluncur keberadaan perubahan itu sendiri. Dalam Kitab Hikam, Ibnu Athailah mengatakan: “al-ghafilu idza ashbaha yandluru madza yafalu.  Wal aaqilu yandluru ma yafalu allahu bihi. Orang lalai memulai harinya dengan memikirkan apa yang harus dia kerjakan. Sementara, orang berakal merenungkan apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya. 

Orang cerdas selalu berpikir apa yang Allah lakukan hari ini sembari menyiapkan berbagai penyesuaian dengan realitas ciptaan-Nya. Dalam konteks inilah, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan kita akan adanya apa yang saya sebut dengan a Networked Civilization (Peradaban berbasis jaringan). Sebagai santri, kita harus secepat kilat melakukan penyesuaikan dengan peradaban baru jenis ini. Lalu apa yang disebut dengan a Networked Civilization? Apa pula tanda-tandanya ?

Peradaban berbasis jaringan ditandai dengan membanjirnya cloud, zoom, google meet,teamlink, instagram dan sebagainya dalam satu dasawarsa terakhir, namun kian masih dalam tiga bulan terakhir saat pandemi Covid-19. Sebuah peradaban yang tak lagi dibatasi negara, agama, maupun lainnya, namun justru dibatasi alasan klise: kuota dan dan sinyal internet. Selama Ramadlan, pembelajaran online juga ramai-ramai digalakkan berbagai lembaga pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tak terkecuali pesantren.

Lalu, apa yang dilakukan santri milenial di era Perabadan berbasis Jaringan tersebut? Saya kira, keinginan menjadi youtuber hanya satu dari varian apa yang dapat dilakukan santri. Ada hal penting lagi yang harus dilakukan oleh santri milenial, yaitu melakukan transformasi kesantrian dalam kehidupan publik medsos.

Transformasi nilai-nilai kesantrian menjadi prioritas utama dalam peradaban berbasis jaringan. Nilai-nilai kesantrian seperti kemandirian, kesederhanaan, kerendah-hatian, etos keilmuan, kecintaan terhadap tanah air dan sebagainya harus menjelma menjadi nilai yang membumi dalam peradaban berbasis jaringan ini. Spritualisasi dalam nilai-nilai santri harus masuk dibumikan membentuk kesalehan sosial yang juga berbasis digital tersebut.

Pada sisi lain, dalam konteks keindonesiaan, santri juga harus terlibat gerakan anti-hoak di negeri ini. Agama mengajarkan untuk bersikap jujur dalam kehidupan. Sebaliknya, melarang keras berdusta dan apalagi jika kebohongan dilakukan secara massal. Hoak ini yang meresahkan berbagai kalangan. Apalagi hoak-hoak yang bernuansa agama, hemat saya, santri milenial harus berada di garda terdepan. Sikap diam santri terhadap hoak sama halnya setuju dengan kehidupan yang berbalut hoak.  

Dalam konteks itu, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh santri milenial, sebagaimana berikut:

Pertama, santri milenial mesti melek teknologi. Bukan hanya sebagai konsumen, santri milenial harus juga belajar menjadi produsen. Oleh karenanya, jika ditarik lebih jauh, santri milenial tidak hanya paham bagaimana bisnis start up, namun mereka juga membuat secara kreatif bisnis start up tidak kalah dengan kalangan lainnya.

Kedua, mengetahui seluk beluk Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE). Undang-undang ITE ini sangat penting untuk mengetahui rambu-rambu, apa yang boleh dan tidak boleh dalam dunia digital. Demikian juga, sangsi apa yang akan diperoleh jika melanggar aturan main dalam dunia online. Banyak kasus dimana kebebasan berespkresi bertabrakan dengan hak orang lain yang juga dijamin dalam Undang-undang ini.Saya sekedar menyebut contoh satu pasal penting. Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Meski oleh sebagian kalangan dianggap pasal karet, pasal ini sejatinya memberikan efek jera pada orang yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Ketiga, memperkuat jaringan nasional dan internasional. Peradaban berbasis jaringan menjadikan santri milenial harus melebarkan sayap jejaring ke dunia internasional. Jaringan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU se-dunia hemat saya dapat menjadi batu loncatan untuk membangin jaringan tersebut. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga telah melakukan jejaring kuat dengan berbagai kalangan internasional yang perlu disinergikan.

Keempat, menguatkan penyebaran Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Juga, Islam yang rahmat, bukan yang menjadi laknat’. Santri harus memiliki pengetahuan standar yang diramu dengan multidisiplin ilmu yang lain untuk mendesiminasikan Islam yang rahmatan lil alamin tersebut. Islam yang rahmatan lil alamin ini lalu disebar dengan bahasa popular yang mudah diserap oleh berbagai kalangan.Bahasa bahtsul masail harus diterjemahkan menjadi bahasa yang mudah diserap orang awam.

Kelima, menguatkan kemahiran dalam literasi jurnalistik. Santri milenial harus memiliki kemampuan dasar jurnalistik untuk menguatkan peradaban berbasis jaringan. Jika dulu menulis di Koran orang bisa antri lama atau bahkan ditolak, kini peradaban berbasis jaringan mempermudah mempublish tulisan berbagai kalangan dalam hitungan menit dengan kemudahan misalnya membuat website yang free maupun berbayar. 

Namun, untuk mencapai apa yang saya sampaikan diatas, santri milenial at least harus memiliki dua nilai keunggulan. Nilai ini selanjutnya diinternalisasi dalam dirinya menjadi bagian dirinya. Dua nilai ini adalah :

Pertama, self-development atau selalu mengembangkan diri. Belajar dan belajar di waktu kapa dan tempat mana pun. Juga belajar tentang apa saja yang membuat orang semakin profesional. Self-development menolak orang menjadi statis dan jumud serta membanggakan dengan kemampuan dirinya saat ini, sebaliknya mendorong orang untuk berkembang dalam koridor life long education. (Minal ahdi ilal lahdi) 

Kedua, innovation. Selalu melakukan inovasi sebagai lanjutan dari self-development. Bahasa pesantrennya, innovation adalah kerja-kerja ijtihad, untuk manfaat kemanusiaan. Ijtihad demi ijtihad harus dilakukan untuk melakukan percepatan kemajuan dalam peradaban ini.

Dua nilai ini yang membuat santri, seperti apa yang disebut kitab Hikam: kaifa laka alawaa’idu waanta lam tukhriq min nafsika al-‘awaa’ida. Bagaimana mungkin kau menjadi luar biasa sementara yang kau lakukan hal yang biasa. Santri milenial yang luar biasa adalah santri up date: up date terhadap self development dan innovation. Tanpa up date kedua nilai utama ini, saya kira, santri akan ditinggal oleh zaman now.

Wallahualam

*Tulisan disampaikan dalam acara “Reaktualisasi Nikai Kesantrian pada Generasi Milenial” yang diselenggarakan Madrasah Virtual dan Telkom Jawa Timur, Rabu, 10 Juli 2020

Categories
Resensi Buku

Tantangan Dakwah NU di Negeri Formosa  

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di dunia. Berdiri pada 31 Januari 1926 dan terus menebar manfaat hingga saat ini. Bukan hanya di negara asalnya yakni Indonesia, NU terus membentangkan sayap dakwahnya hingga ke berbagai belahan dunia. Dengan membawa risalah Ahlusunnah wal Jamaah, dakwah NU dapat diterima oleh semua kalangan. 

Dewasa ini NU sudah merambah ke berbagai belahan dunia, khususnya di sebuah daerah indah yang diklaim oleh PBB sebagai bagian dari China, yakni Taiwan. 

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan didirikan pada tahun 2007. Hampir 80 persen pekerja migran dan pelajar Indonesia di Taiwan telah menjadi anggotanya. 

Berdakwah di negara orang tidak semudah mengembangkan NU di Indonesia. Kultur budaya yang berbeda dengan Indonesia membuat dakwah di Taiwan tak jarang menemui tantangan. 

Sebagaimana diungkapkan oleh KH Ma’ruf Amin, tantangan NU ke depan adalah bagaimana menjadikan NU mendunia. Artinya, nilai-nilai NU diterapkan oleh masyarakat Muslim dunia. Taiwan yang penulis buku disebut dengan Darul Islam atau wilayah Islam, pada prinsipnya merupakan daerah yang seseorang di dalamnya dapat menjalankan ibadah dengan baik dan terjamin keselamatannya (halaman 8). 

Namun, sebagaimana ungkapan di mana bumi dipijak di situ langit kita junjung. Sebagai pendatang harus tetap mematuhi peraturan yang ada. Maka tidak heran jika hampir setiap minggu ada mualaf baru yang meminta dituntun membaca kalimat syahadat. 

Tantangan dakwah di Taiwan akan semakin ringan bilamana kekuatan sosial dan ekonomi umat dibangun dengan kuat. Salah satu pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Banom PCINU Taiwan yakni Fatayat NU. Ia digerakkan dengan mengadakan pelatihan menjahit, pelatihan pembuatan kue, menjahit dan sebagainya. 

Beberapa kegiatan juga dilakukan dengan cara bekerja sama dengan pemerintah taiwan (hal 40). Selain Fatayat NU, Banser (Barisan Ansor Serba Guna), dan LAZISNU juga merupakan Banom PCINU Taiwan yang keberadaanya banyak membantu warga. 

Metode dakwah yang paling efektif juga telah dilakukan. Menurut KH Muhyiddin Abdusshomad berdakwah dengan cara pendekatan langsung kepada masyarakat adalah metode dakwah paling efektif. Seperti ketika orang berduka cita karena sanak familinya meninggal dunia. Dan jenazahnya kita rawat, dakwah dengan cara ini yang juga gencar dilakukan PCINU Taiwan. 

Berkoordinasi dengan Kepala Kantor Dagang Indonesia (KDEI), membuat proses perawatan jenazah hingga dipulangkan ke tanah air yang biasanya membutuhkan estimasi waktu hampir dua bulan karena masih menunggu keputusan pengadilan, kini prosesnya semakin mudah dan dipercepat (halaman 28). 

Semangat berilmu agama dengan ngaji di negeri orang merupakan sesuatu yang luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan seringnya mengadakan pengajian akbar dengan mengundang Kiai-kiai tanah air. Seperti KH Ma’ruf Amin, KH Mawardi, KH Anwar Zahid, Gus Muwafiq, dan juga penulis buku sendiri.

Biaya yang digunakan murni dari internal warga NU, kemandirian umat yang dibangun membuat PCINU Taiwan pantas dijadikan kiblat percontohan PCINU se-Dunia. Hingga akhirnya, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan yang merupakan organisasi keagaaman asal Indonesia mendapatkan legalitas dari pemerintah setempat pada saat usianya mencapai satu dasawarsa. 

Prof Harisudin menjadi utusan Pondok Pesantren Kota Alif Lam Mim Surabaya dalam rangka kegiatan dakwah di Taiwan. Beliau memanfaatkan dengan semaksimal mungkin untuk menyelami kehidupan saudara-saudara Muslim di Taiwan dengan baik. Dengan hanya 15 hari waktu yang diberikan, sampai di tanah air diabadikannya perjalanan spiritual itu dengan wujud buku yang berjudul “Tantangan Dakwah Nahdlatul Ulama di Taiwan”. 

Lugas bahasa yang digunakan penulis dengan sedikit menggunakan teknik menulis berita ala jurnalistik atau yang biasa disebut features menjadikan pembaca dengan mudah mencerna kata demi kata yang disajikan. 

Dengan hadirnya buku ini, diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang keadaan Islam di negeri yang berjuluk Formosa itu. Dapat melihat sisi-sisi humanis orang Taiwan dalam bermasyarakat dan beragama. Namun demikian adanya, setiap karya pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

Di sini saya menemui beberapa penulisan kata yang typo. Namun secuil kesalahan yang dengan mudahnya tersamarkan oleh buah karya hasil perjalanan penulis yang banyak memberi wawasan pengetahuan. 

Peresensi adalah Mohammad Irfan Sholeh, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jember dan alumnus Intermediate Journalism Class

Identitas buku 
Judul Buku: Tantangan Dakwah Nahdlatul Ulama di Taiwan 
Pengarang: Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I 
Penerbit: Pustaka Radja Surabaya 
Tahun Terbit: Desember 2019 
Tebal: 116 halaman 
ISBN: 978-602-6690-62-3

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/120148/tantangan-dakwah-nu-di-negeri-formosa

Categories
Opini

Tarawih di Rumah Adalah Perintah Agama 

Oleh: 

M. Noor Harisudin

Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember dan Guru Besar IAIN Jember

Kala pandemi covid-19, umat Islam di Indonesia dianjurkan untuk tidak melakukan tarawih di masjid. Demikian ini untuk memutus persebaran virus covid-19 yang semakin mengganas. Diprediksi, virus ini akan menyebar puncak pada bulan Mei 2020, tepat dimana Bulan Ramadlan tiba. Wakil Presiden RI, KH. Maruf Amin meminta masyarakat untuk melakukan sholat tarawih, tadarus dan sholat berjamaah di rumah. Bahkan, tarawih di daerah yang zona merah, lanjut Ketua Umum MUI non-aktif ini, tidak boleh dilakukan di masjid secara berjamaah. (Republika, 17/4/2020). 

Sebagian kalangan memandang bahwa instruksi pemerintah dan sejumlah ormas untuk melaksanakan tarawih di rumah merupakan upaya menjauhkan umat dari masjid. Dalam konteks ini, pemerintah dan ormas dipandang hanya akan menjauhkan umat dari masjid saja. Karena itu, sebagian takmir masjid memilih untuk menolak instruksi pemerintah. Bahkan, sebagian ‘bandel’ dengan mengatakan bahwa mati hidup sudah merupakan ketentuan dan takdir Allah Swt.

Lebih dari itu, sebagian kalangan ini justru memandang instruksi Menteri Agama RI dan Ormas merupakan bentuk ketidakpatuhan pada Allah Swt. Dalam logika mereka, ketaatan hanya berlaku bagi orang yang melakukan sholat tarawih di masjid dalam keadaan apapun juga, meski nyawa mengancam manusia. Pandangan ‘pendek’ sebagian kalangan ini dapat dimaklumi karena mereka memandang keberlakukan keabadiaan hukum syariat Allah Swt dalam tanpa kecuali; dalam keadaaan apapun dan tempat apapun juga. Padahal, dalam hukum Islam fiqh berlaku kaidah al-hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa adaman.  Hukum itu bergantung pada ada tidaknya illat hukum.

Dalam hemat penulis, dalam keadaan darurat covid-19, perintah melaksanakan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah agama. Ada beberapa argumentasi mengapa melakukan sholat tarawih di rumah dalam keadaan ini disebut perintah agama sebagaimana berikut:

Pertama, hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunah muakad yang sunah hukumnya dilakukan secara berjamaah. Karena itu, kita melihat di Indonesia pada umumnya,  shalat tarawih dilakukan di masjid setelah melakukan sholat Isya. Sholat tarawih jelas berbeda dengan melakukan sholat Jumat yang hukumnya wajib.

Kedua, melakukan shalat tarawih di rumah merupakan rukhsah (dispensasi) karena udzur syari berupa virus pandemi yang persebarannya melalui manusia. Dalam terma Ushul Fiqh, dikenal dua keadaan hukum: keadaan normal dimana berlaku hukum azimah dan keadaan darurat yang berlaku hukum rukhsah. Jika hukum azimah disebut juga dengan hukum asal, maka hukum keringanan disebut dengan hukum rukhsah. Hukum asal memakan bangkai adalah haram, namun dalam keadaan darurat misalnya tidak ada makanan lain dan kalau tidak memakan seseorang akan mati, hukum memakan bangkai adalah halal. Haramnya memakan bangkai dalam situasi normal adalah azimah, sementara, halalnya makan bangkai ketika keadaan darurat adalah hukum rukhsah.

Ketiga, dalam al-Quran dikatakan: wala tulqu biadiikum ilt tahlukati. (al-Baqarah: 195). Janganlah kau jatuhkan dirimu ke dalam kerusakan. Dalam kondisi pandemi dimana jumlah jamaah di masjid sulit dibatasi, maka menghadiri jamaah masjid bisa menuju pada tahlukah. Dalam gramatikal Arab, tahlukah berarti kerusakan atau kebinasaan. Seorang muslim diwajibkan untuk menjauhkan diri dari kerusakan dan kebinasaan.

Keempat, hadits Nabi la dlarara wala dlirara. (HR Imam Ahmad dan at-Tahbrani). Tidak boleh ada madlarat pada diri dan madlarat pada orang lain. Prinsip tidak tertular dan tidak menulari pada orang lain saat covid-19 selaras dengan hadits la dlarara wala dlirara, meskipun hanya berupa  dugaan kuat. Hadits ini lebih relevan lagi dengan keadaan beberapa kota yang sudah dinyatakan zona merah dan pemerintah dengan keras melarang perkumpulan yang diduga menjadi media persebaran virus Covid-19.

Kelima, dalam kaidah Fiqh dikatakan: darul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih. Menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada menggapai kemaslahatan. Seperti yang telah disebut, berkumpulnya banyak orang di masjid dalam situasi pandemi diduga menjadi mafsadah (kerusakan). Dalam konteks ini, memperhatikan menghindar mafsadah itu lebih diutamakan daripada menggapai maslahah dengan melakukan tarawih di masjid. 

Keenam, memelihara jiwa, dalam pandangan ulama, lebih diutamakan daripada memelihara agama. Menghindari sholat tarawih berjamaah di masjid adalah bagian daripada memelihara jiwa, sementara melaksanakan tarawih adalah bentuk kemaslahatan yang mestinya dinomorduakan karena harus dengan mengutamakan jiwa atau nyawa manusia. Ini selaras dengan prinsip dalam ilmu hukum. “Salus Populi Suprema lex esto.” Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Ketujuh, taat pada ulil amri sejatinya juga taat pada Tuhan, selama tidak memerintahkan maksiat. Perintah Ulil Amri dalam hal ini pemerintah–untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, social distance, memakai masker, cuci tangan adalah perintah yang mengandung kemaslahatan yang harus ditaati oleh rakyatnya.

Dalam konteks taat pada Ulil Amri ini, Syeikh Nawawi Banten, ulama besar Nusantara yang tinggal di Mekah abad 19, mengatakan: Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sudah wajib, maka hukumnya menjadi wajib muakad. Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sunah maka hukumnya menjadi wajib. Jika pemerintah mewajibkan yang mubah jika mengandung kemaslahatan umum seperti meninggalkan merokok, maka hukumnya menjadi wajib juga. (Nihayatuz Zein: I, 112 ).

Walhasil, dalam keadaan darurat pandemic covis-19, perintah untuk melakukan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah Tuhan. Perintah sholat tarawih di rumah, karena itu, juga merupakan ketaatan dan kepatuhan kita pada Allah Swt.

Wallahualam.**

Categories
Keislaman

Agar Mencapai Kemaslahatan Bersama, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Perlu Dikawal

Surabaya (Klikanggaran)– Pada tanggal 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat RI resmi mengesahkan 50 rancangan undang-undang (RUU) untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020. Prof. Dr. Kiai HM Harisuddin memberi catatan penting terkait hal ini. Disampaikan dalam Diskusi Publik Online Jaringan Santri Surabaya bertema : “Menakar RUU Omnibus Law untuk Kemaslahatan Ummat & Kesejahteraan Rakyat”. Surabaya, 25 April 2020.

Prof. Harisudin mencatat ada empat di antara 50 RUU tersebut merupakan Omnibus Law. Empat omnibus law yang juga akan masuk dalam prolegnas prioritas 2020 adalah RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Dekan Fak. Syariah IAIN Jember ini mengatakan”Semestinya, kita semua terlibat agar Omnibus Law sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia.” Oleh karena itu, lanjutnya, “ada beberapa yang dapat dilakukan: pertama, Melakukan pengawalan bahkan presser berbagai kalangan agar Omnibus Law sesuai harapan kita.

Kedua, Pembuatan DIM dari berbagai kalangan: akademisi, asosiasi buruh, pengusaha, dan sebagainya sebagai masukan agar undang-undang on the right track.

Ketiga, Pasal-pasal kontroversi sesungguhnya bisa mengabsurb pasal dalam UU sebelumnya misalnya UU No. 13 Tahun 2003.”

Narasumber yang juga bergabung dalam Diskusi ini adalah H. Ahmad Firdausi, M.Fil.I., (Akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya), Drs. H. Syaiful Bahri Anshori, MP. (Anggota DPR RI Dalil Jawa Timur), Ahmad Athoillah M.IP. (Anggota DPRD I Jawa Timur), dan Ah. Khoirul Anam (moderator). Semangat diskusi ini adalah untuk urun rembug agar RUU ini memberi kemaslahatan ummat dan kesejahteraan rakyat.

Drs. H. Syaiful Bahri Anshori menjelaskan bahwa Pemerintah mempunyai pandangan filosofis RUU cipta kerja di konteks menimbang dan mengingat bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

“Negara memang perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi Hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja,” katanya.

Harapan pemerintah, lanjut politisi PKB sekaligus Ketua Umum Sarbumusi ini, melalui cipta kerja mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Karena itu, agar RUU ini diterima masyarakat , ia menyarankan agar sesuai dengan preambul pembukaan UUD 45 serta mendengarkan suara masyarakat baik kalangan pengusaha mapun pekerja. Hal ini agar kemaslahatan itu berimbas bagi semua kalangan, tidak hanya sepihak dari para investor atau pengusaha.

Jaminan Produk Halal dan Maslahah al Ammah

Senada dengan dua narasumber sebelumnya, Ahmad Firdausi menyatakan bahwa RUU Omnibus Law ini penting dan bermanfaat bagi rakyat jika fokus pada tujuan universal dari suatu hukum. Kebaikan bersama (Maslahah al-Ammah) dipandang sebagai tujuan tertinggi dari penerapan suatu hukum dan tidak boleh mengabaikan tiga klasifikasi maslahah.

Pertama, Dharuriyyat yaitu maslahat yang bersifat primer, dimana kehidupan manusia tergantung padanya, baik aspek duniawi maupun agama. Aspek ini tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan manusia, apabila unsur ini ditinggalkan maka akan terjadi ketimpangan dalam pelbagai aspek kehidupannya.

Kedua, Hajiyyat yaitu mashlahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan manusia untuk mempermudah dalam kehidupan serta menghilangkan kesukaran maupun kesulitan.

Ketiga, Tahsiniyyat, yaitu mashlahat yang merupakan moral, dan itu dimaksudkan sebagai pelengkap.

Karena itu, lanjut sekertaris RMI NU Jawa Timur dan dosen politik UINSA Surabaya ini, “RUU Omnibus Law tidak boleh mengabaikan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya akan Membangun hubungan harmonis antar umat manusia (hifdz al-diin), Mewujudkan Keadilan Sosial (Hifdz al-Maal) Penyelenggaraan dan Pemerataan Pendidikan (Hifdz al-Aql) Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (Hifdz al-Ird) Pembangunan Hukum yang Berkeadaban.

Menyambung tentang kemaslahatan bersama ini terutama bagi ummat Islam dan kalangan santri, menurut Prof. Haris dan dipertegas moderator yang juga jurnalis senior NU online, terkait produk halal ini justru memberikan ruang yang baik kepada ormas Islam.

Artinya, RUU ini tidak menghapuskan jaminan produk halal dan justru semangatnya mempercepat proses sertifikasi halal bahkan ormas Islam yang legal dapat memberi sumbangsih. (Nurul Islam).

Sumber:https://klikanggaran.com/komunitas/agar mencapai-kemaslahatan-bersama-ruu-omnibus-law-cipta-kerja-perlu-dikawal.html