Categories
Dunia Islam

Gema Islam Nusantara di Universitas Flinders Kota Adelaide Australia

Adelaide, NU Online

Model keberagamaan Islam di satu kawasan harus melihat kondisi masyarakat setempat, termasuk di Australia. Tidak serta merta sama persis dengan Islam di Indonesia atau Arab Saudi. 

Demikian disampaikan Kiai M Noor Harisudin saat menjadi narasumber pada seminar Membincang Islam Nusantara. Kegiatan dipusatkan di auditorium Oasis Filnders University Adelaide, Australia, Sabtu (10/8).

Kegiatan diselenggarakan Pengurus Cabang Istemewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand (ANZ) bekerja sama dengan Kajian Islam Adelaide (KIA) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA).

Seminar yang dihadiri ratusan warga dan pelajar Indonesia di kawasan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber. Di samping M Noor Harisudin, ada Tufel N Musyadad sebagai Ketua PCINU ANZ, Sabilil Muttaqin selaku Katib PCINU ANZ dan Ustadz Rahman al-Makassari (Ketua KIA). 

“Kalau saya ditanya bagaimana hukum fikihnya sesuatu di Adelaide, maka saya akan jawab setelah tahu keadaan dan adat istiadat di Adelaide,” kata M Noor Harisuddin.  

Urf atau tradisi setempat dalam pandangan  guru besar ushul fiqih di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Jawa Timur tersebut sangatlah penting sehingga dijadikan acuan dalam penetapan hukum. 

“Kalau tidak, maka seperti kata Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi, fatwa hukum akan tercerabut dari akar kemaslahatan dan malah bisa membawa kemadlaratan,“ kata kiai muda yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut.

Sebelumnya, Kiai M Noor Harisudin yang juga Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara membeberkan pentingnya Islam Nusantara dengan empat argumentasi: 

Pertama, bahwa irsalu rasulillah rahmatan lil alamin sesuai dengan QS. Al-Anbiya: 107). “Aspek rahmatan lil alamin menegaskan bahwa Islam adalah agama paripurna yang disebar ke seluruh dunia,” ungkapnya.

Sedangkan yang kedua, shalahiyatus syari’ah li kulli zaman wa makan. “Bahwa syariah hendaknya selalucompatable dengan waktu kapan pun dan tempat manapun. Termasuk sesuai dengan Indonesia dan Australia,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini. 

Ketiga adalah ijtihaad lihuduutsi al-waqaa’i. “Maksudnya, ijtihad untuk menghadapi berbagai problematika kontemporer,” ungkapnya. 

Demikian ini karena seperti kata Ibnu Rusyd yang mengemukakan bahwa an-nushuus mutanaahiyatun wal waqaai’u ghairu mutanaahiyatin. Sehingga setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka keberadaan nash berhenti. Sementara problematika kehidupan terus berjalan dengan dinamis. 

“Dalam keadaan ini, ijtihad harus dilakukan. Namun demikian yang berijitihad tidak boleh sembarang orang,” tukas Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tersebut.   

Untuk aspek keempat adalah ad-dakwah bil hikmah wal mauidlatil hasanah wal mujaadalah bil husna. Yakni dakwah Islam yang mengajak dengan hikmah, pelajaran yang baik dan adu argumentasi sebagaimana pesan QS. An-Nahl: 25. 

“Hal ini berbeda dengan hukum yang rigid dan kaku. Kalau dakwah lebih mengutamakan mengajak untuk kebaikan dengan senantiasa memahami keadaan objek dakwah,” urainya.         

Bagaimana dengan praktik Islam Australia? Menurut Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia ini, bahwa secara subtansi, Islam Australia yang dipraktikkan tidak berbeda dengan Islam Nusantara. 

Untuk ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah mahdlah lainnya sama. “Hanya karena adanya kesulitan dalam praktik ibadah di sini, maka kita bisa menggunakan pendapat madzhab. Sementara, dalam hal ihwal muamalah, maka hukum Islam sangat fleksibel dan berpotensi menerima perubahan,” pungkasnya. 

Filnders University merupakan tiga universitas terbesar di state (propinsi) South Australia selain UniSA (University of  South Australia) dan University of Adelaide. Adelaide sendiri adalah ibu kota state (propinsi) South Australia. (Ibnu Nawawi)

Categories
Sains

Kiai MN. Harisudin:  Mahasiswa UNU Yogyakarta Harus Jadi Pengusaha  

Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta didorong oleh Kiai MN. Harisudin untuk menjadi pengusaha kelas kakap di negeri ini. Demikian disampaikan oleh Kiai MN. Harisudin, Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ketika memberi kuliah Umum dengan tema “Problematika Bisnis Kontemporer dalam Perspektif Hukum Islam”, Senin, 14 Mei 2018, di auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.  Hadir kurang lebih 200 mahasiswa Universitas Yogyakarta, khususnya mahasiswa Fakultas Ekonomi. Acara yang dibuka oleh Warek I UNU Yogyakarta ini, Dr Abd Ghafar, MPA juga dihadiri Kaprodi Manajemen, Bu Febri, Kaprodi Akuntansi Bu Puji, Dr. Yogi, Aris Kusumo Diantoro, SE, MBA dan sejumlah dosen UNU Yogyakarta.  

“Adik-adik tahu nggak. Wapres Kita Yusuf Kalla pada tahun 2015, pernah mengatakan bahwa dari 40 orang kaya di Indonesia, ini yang muslim hanya 6 orang. Mohon maaf, ini bukan apa-apa, tapi lihat jumlah kita yang dua ratus juta lebih di negeri ini. Orang kayanya hanya 6 orang. Tentu sangat menyedihkan. Makanya, adik-adik mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta harus jadi pengusaha. Nanti bangun gedung untuk UNU Yogyakarta”, jelas Kiai MN. Harisudin yang juga pengusaha penerbitan dan percetakan di Surabaya.

Pada sisi lain, Kiai MN. Harisudin juga meniscayakan mahasiswa untuk memahami bisnis kontemporer. Terutama sejak revolusi teknologi digital, 4.0, ada banyak perubahan model bisnis kontemporer.”Adik-adik mahasiswa harus paham ini. Jangan sampai, tidak tahu macam-macam bisnis. Misalnya, sekarang lagi trend go-foodgo-cargo-jekgo-shop, dan sebagainya. Yang penting tidak go blok”, kata Kiai muda yang juga Katib Syuriyah PCNU Jember tersebut disambut tertawa peserta seminar dan kuliah umum.

Namun, para mahasiswa juga paham, tidak semua bisnis dapat dikerjakan. Hanya bisnis yang sesuai syari’ah saja. “Makanya, sebagai seorang muslim, kita harus jeli. Bisnisnya apa dan menurut hukum Islam bagaimana. Apakah ada unsur yang dilarang seperti riba, maisir, gharar, spekulasi tinggi, dan sebagainya. Kalau bisnis ada unsur ini, maka bisnis itu ya dilarang. Kalau tidak, maka diperbolehkan. Dalam mu’amalah, berlaku kaidah: al-ashlu fil mua’amalti al ibahah hatta yadullad dalilu ala tahrimiha. Pada dasarnya, mu’amalah itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”, ujar Kiai MN. Harisudin yang juga Wasekjen Asosisi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swastya di Indonesia (ABPTSI) yang berkantor di Jakarta.

Kiai MN. Harisudin juga menyebut watak mutaghayirat fiqh mu’amalah. Artinya, fiqh mu’amalah itu sangat dinamis sesuai perkembangan zaman. Apa yang di zaman Nabi tidak ada bukan berarti dilarang. “Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan an-nushus mutanaahiyah wal waqai’ ghairu mutanaahiyah. Nas-nash al-Qur’an dan hadits sudah berhenti, sementara peristiwa terus berlangsung sampai sekarang. Karena itu, banyak hukum bisnis kontemporer yang merupakan hasil ijtihad para ulama di masa sekarang”, ujar Kiai MN. Harisudin yang juga Sekjen Pengurus Pusat (PP) Keluarga Alumni Ma’had Aly Situbondo. (Sohibul Ulum/Kontributor NU)