Jawa Pos, Jember (7 Pebruari 2018 )
15 hari berada di Taiwan menjadi waktu yang sangat berarti bagi Muhammad Noor Harisudin. Di sini dia mendapatkan pengalaman luar biasa, melihat perjuangan para TKI dalam bekerja dan semangat meningkatkan keimanan.
Pria yang akrab disapa Ustaz Haris ini biasanya mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember. Seperti biasa, kopiah hitam selalu melekat di kepalanya, baju muslim selalu dipakai kemana-mana. Setiap bertemu orang selalu tampak ramah dan tersenyum.
Beberapa waktu lalu, dia baru saja datang dari Taiwan untuk memenuhi undangan para buruh migran. Dia ditugaskan oleh KH Imam Mawardi, Surabaya, untuk berdakwah di Taiwan sejak 13 Desember 2017 hingga 7 Januari 2018. “Syarat berangkat ke sana, berdakwah tidak berorientasi finansial,” katanya.
Karena niat melayani umat yang ada di Taiwan, pria kelahiran Demak, 25 September 1978 tersebut akhirnya berangkat. Dia diundang oleh Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Taiwan. “Sebelum berangkat, saya melihat dulu gambaran warga Taiwan,” jelasnya.
Sehingga, ketika hendak berdakwah dia sudah memahami kondisi warganya. Diketahuinya, jumlah TKI di Taiwan cukup banyak, yakni mencapai 258 ribu orang. Namun, jumlah total orang Indonesia di sana sekitar 300 ribu penduduk. Sebagian dari mereka tidak mau kembali ke Indonesia, karena sudah merasa nyaman dengan sarana transportasi memadai, kesejahteraan tinggi, disiplin, jujur, serta dapat beribadah dengan bebas.
Taiwan, kata dia, merupakan negara “setengah merdeka”. Sebab, China tidak mau melepas Taiwan begitu saja. Sehingga bagi China, negeri ini ibarat tetap bagian dari China. “Taiwan kalau di Indonesia setingkat provinsi, bahkan masih kalah besar dengan provinsi Jawa Timur.
Di Taiwan, Indonesia tidak memiliki kedutaan, tetapi hanya Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI). Namun, fungsinya hampir sama dengan kedutaan, karena semua hal diurus oleh KDEI, seperti pernikahan para TKI.
Di sana, CCTV bertebaran di setiap ruas jalan, bahkan hampir semua untuk ketertiban lalu lintas. Tak heran, jika nyaris tidak ada pelanggaran lalu lintas. Sebab, jika melanggar lalu lintas, biayanya sangat mahal, yakni Rp 6 juta atau 12 ribu NT. “Di sana juga bebas macet,” jelasnya.
Selama 15 hari di Taiwan, alumni IAI Ibrahimy Situbondo tersebut merasa berada di lingkungan dengan toleransi yang tinggi. Mereka memberikan kebebasan bagi orang Indonesia untuk beribadah. Bahkan, Pemerintah Taiwan menyediakan prayer room atau musalla di stasiun dan fasilitas publik yang lain. PCI NU Taiwan juga bebas menyelenggarakan pengajian. ”Hampir setiap bulan ada pengajian akbar,” jelasnya.
Kendati demikian, mereka harus berhati-hati dalam memilih makanan. Sebab, soal makan ini gampang-gampang susah. Dikhawatirkan makan daging babi yang bagi warga muslim dilarang. Sehingga, mereka harus ke pasar dan memasak sendiri masakannya.
Gaji mereka cukup tinggi. Mulai dari perawat orang tua sampai buruh pabrik, dan pelayaran, gaji mereka paling rendah Rp 7,5 juta atau 15 ribu NT, gaji maksimal Rp 20 juta atau 40 ribu NT per bulan. “Mayoritas pekerjaan mereka adalah perawat orang tua,” tuturnya.
Tak heran, para buruh migran di Taiwan kerap mengundang penceramah asal Indonesia untuk meningkatkan keimanan mereka. Selama 15 hari itulah, Ustaz Haris mengisi pengajian pada TKI dan kerap menerima curhat tentang masalah yang dialami. “Pengajian juga dilakukan via online melalui aplikasi Line,” terangnya.
Kendati mereka memiliki pekerjaan dengan honor yang tinggi, namun pilihan merantau menjadi TKI merupakan pilihan terakhir. Sebab, mayoritas dari mereka memiliki masalah yang cukup rumit. Tak hanya karena persoalan ekonomi, tapi juga masalah keluarga.
Ustaz Haris menyebutkan, pernah menerima konsultasi dari TKI, karena dia enggan pulang akibat masalah keluarga yang dialaminya. Yakni, jadi korban kekerasan seksual oleh saudaranya sendiri. “Dia curhat tidak bisa menghilangkan kebencian pada saudara yang melakukan kekerasan itu,” paparnya.
Tak hanya itu, ada juga seorang TKI yang bekerja sebagai peternak babi. Sementara, dia beragama Islam, tinggal di pemukiman non Islam di atas gunung. “Dia bertanya, apakah bisa salat Jumat sendirian karena tidak ada muslim lainnya,” ucapnya menirukan pertanyaan TKI tersebut.
Kondisi yang dialami oleh TKI itu memang berat, karena harus bekerja di peternakan babi. Namun, dari sana dia bisa memperoleh rezeki. “Saya jawab, salatnya bisa menggunakan madzhab yang lain, bisa salat semampunya,” ujar Kaprodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Jember ini.
Perbedaan hukum di daerah mayoritas dan minoritas muslim ini menjadi wajar. Karena, dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa perubahan hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat, dan keadaan. “Kalau ada hukum-hukum yang berbeda, itu adalah karena adanya perubahan waktu, tempat, dan keadaan,” jelas wakil ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr PWNU Jawa Timur tersebut.
Di Taiwan, dia juga dipercaya untuk memandu warga Taiwan yang masuk Islam. Rupanya, warga TKI yang tinggal di sana mampu menunjukkan Islam rahmatan lil alamien. “Para TKI memiliki semangat tinggi untuk meningkatkan keimanan mereka,” pungkasnya.
(jr/gus/hdi/das/JPR)