Categories
Uncategorised

Menggugat Moral Mahasiswa Islam

Oleh: Umi Mu’arifah

 “Mahasiswa Islam yang tidak tau Ber-Etika Islam”.  Istilah inilah yang saat ini mungkin ada pada diri seorang mahasiswa Islam pada zaman sekarang ini. Ironis, para mahasiswa Islam yang belajar pada suatu lembaga  pendidikan Islam, tetapi para mereka tak memiliki etika dan moral layaknya mahasiswa Islam.  Di dalam dunia perguruan tinggi Islam pada zaman sekarang ini, banyak mahasiswa Islam yang kurang baik etikanya. Lebih – lebih mereka yang telah merasa dirinya telah memasuki dunia perkuliahan yang bukan lagi dunia anak – anak atau  tidak dipantau orang tua lagi.

Umumnya, para mahasiswa seperti ini mengatakan “Kita ini mahasiswa, bukan orang Jadul (Jaman Dulu), jadi kita tiu sebagai mahasiswa, kita harus menjadi mahasiswa yang modern, tidak kolot”. Itulah bantahan para mahasiswa pada zaman sekarang ini, yang terpengaruh pada era- globalisasi, kususnya, pada mahasiswi putri pada perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, mereka tampak memakai jilbab rapi pada saat mengikuti semua kegiatan akademik, tetapi saat mereka telah selesai perkuliahan, tidak sedikit pula diluar sana para mahasiswi tidak berjilbab. Selain itu, mereka juga suka berbicara yang tidak sopan, yang tentunya tidak sesuai ajaran Islam.

Rasulullah Saw. melarang percakapan tidak sopan demikian, sebagaimana sabdanya:

“Abdullah bin Munir bercerita kepadaku Beliau mendengar Abu an-Nadhar, telah bercerita kepada kami  Abdur Rahman bin Abdillah yaitu Ibn Dhinar dari Ayahnya dari Abu Sholih dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Bersabda : “ Sesungguhnya seseorang yang berbicara dengan perkataan yang diridhai Allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa akan tetapi allah akan mengangkat derajatnya. Dan barang siapa yang berbicara dengan perkataan yang dimurkai allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali akan jatuh ke neraka jahannam”  

Merujuk pada hadist diatas, bahwa perkataan atau ucapan pun semestinya juga harus diperhatikan oleh kita. Apalagi sebagai mahasiswa Islam, yang seharusnya semua tingkah laku dan etikanya dijadikan acuan oleh masyarakat pada umumnya.

Memang, di Institut Agama Islam Negeri Jember, ilmu agama Islam telah diajarkan dan dikembangkan. Tetapi tetap ada mahasiswa yang tidak mengikuti ajaran – ajaran tersebut. Mereka lebih suka mengikuti pada perkembangan zaman sekarang ini, yang lebih mengajarkan pada budaya barat daripada etika dan moral yang telah diajarkan agama Islam.

Tidak bermoralnya mahasiswa juga kita bisa lihat di area kampus contohnya. Terkadang terjadi suatu aksi demonstrasi mahasiswa, namun mereka melakukan aksinya dengan anarkis, dan terkadang berbicara sangat tidak sopan kepada dosennya. Nah, disinilah keterangan hadist diatas tadi berlaku, tentang kesopanan dalam berbicara. Apalagi seorang mahasiswa yang berbicara langsung kepada dosennya, yang otomatis lebih tua daripada mahasiswa itu. Dan dosen tersebut seharusnya dihormati dan disegani, karena dosen merupakan seseorang yang memberi ilmu dan menuntun kita mengajak ke hal yang lebih baik. Serta sekali lagi, orang yang lebih tua daripada kita yang semestinya kita hormati.   

Dalam hal ini, nabi Muhammad Sw bersabda:

 “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Diatas merupakan hadist anjuran menghormati seseorang yang lebih tua dari kita. Termasuk guru atau dosen. Bukan malah dibentak – bentak seperti pada saat ada aksi demonstrasi seperti itu. Perilaku yang seperti itu mencerminkan seperti tidak adanya moral dan etika mahasiswa Islam. Rendahnya moral dan etika seorang mahasiswa Islam pada tingkat perguruan tinggi diakibatkan karena telah adanya perkembangan zaman modern pada saat seperti ini. Banyaknya media sosial yang banyak mempertontonkan tayangan yang tidak baik, dan banyak mempengaruhi kehidupan para mahasiswa yang mudah dipengaruhi oleh dunia maya tersebut. Karena seorang mahasiswa yang pada zaman sekarang ingin terlihat lebih modern, mereka mengikuti model kehidupan pada budaya barat.

Sebagai seorang mahasiswa Islam yang beretika, seharusnya pula mereka mampu memahami betul arti dari kebebasan dan tanggung jawab, karena pada saat demonstrasi banyak mahasiswa yang melakukan hal – hal yang dapat merusak fasilitas kampus, aksi demonstrasi memang dibebaskan dari pihak kampus, tetapi seharusnya mahasiswa tersebut harus dapat bertanggung jawab dengan aksinya. Jika seorang mahasiswa Islam tersebut memiliki sebuah etika dan moral yang baik, maka ia dapat mempergunakan etika dan moralnya sebagai alat kontrol emosi bagi dirinya, agar mahasiswa tersebut tidak bertindak anarkis.

Mungkin dari semua ini, bagi penulis sendiri, mewawarkan suatu jalan keluar yang bisa digunakan, agar mahasiswa memiliki etika dan moral yang baik. Pertama, mengadakan sosialisasi etika langsung kepada mahasiswa. Kedua, jika aksi tersebut dikarenakan karena adanya salah paham antara pihak kampus dengan mahasiswanya, maka dari pihak kampus harus memberi suatu pemberitahuan dan pemahaman agar para mahasiswa tidak salah paham kepada pihak kampus karena suatu masalah tersebut. Karena tidak semua mahasiswa akan mengerti apa masalah yang terjadi, dan apa yang telah terjadi didalam dunia perkuliahan. Itu yang terkadang dapat memicu kesalah pahaman antara mahasiswa dan para pihak kampus.

Wallahu’alam. **

Categories
Opini

Pluralitas Yes, Pluralisme No!

Oleh: Happy Hafidzoh Widyana

Pluralisme agama, kalimat yang saat ini sangat trend di kalangan umat Islam, terutama di kalangan mahasiswa-mahasiswa Islam. Mereka beranggapan bahwa pluralisme sebagai toleransi keragaman pemikiran, agama, dan juga budaya. Lebih jauh, pluralisme ini dipahami bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi juga bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman.

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Sehingga siapapun termasuk Nabi dan Rasul sekalipun, tidak berhak mengklaim ajaran agamanya yang paling benar. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Semua dianggap sama dan tidak ada yang lebih baik antara satu sama lain.

Ironisnya, kaum Islam liberal yang sangat menyetujui akan adanya pluralisme agama. Islam liberal sendiri merupakan aliran pemikiran atau pemahaman yang mempercayai dan meyakini serta mengimani bahwasanya nash Al-Qur’an  dan as-Sunnah harus tunduk kepada akal. Mereka juga meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak. Islam liberal sangat menyetujui dengan adanya pluralisme agama, karena seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwasanya mereka mengatakan semua pemeluk agama masuk dan hidup berdampingan di surga. Dan mereka juga meggunakan surat Albaqoroh ayat 62 dan 256 sebagai landasan pemikiran mereka.

Ini berbeda jauh dengan fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang pluralisme agama.  MUI mengharamkan mengikuti paham pluralisme agama karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. MUI menolak pluralisme agama akan tetapi mengakui pluralitas agama. Antara pluralisme dan pluralitas memiliki perbedaan, dimana kalau pluralisme adalah pengakuan terhadap keberagaman dan kebenaran agama lain, sedangkan pluralitas adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau di daerah tertentu terdapat pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Islam menerima pluralitas karena merupakan Sunatullah sebagai suatu kehidupan yang menghargai suatu keberagaman. Karenanya umat Islam bisa hidup berdampingan dengan umat beragama lain secara damai dan penuh toleran, saling menghormati dan saling menghargai. Tiap umat beragama bebas meyakini kebenaranya masing-masing dan bebas untuk tidak menerima agama lain, namun tidak boleh mendzaliminya. Mereka tidak boleh memaksa untuk membenarkan agama lain sebagaimana yang dilakukan kaum liberal. Intinya Islam sangat menghargai kebebasan beragama tetapi menolak mencampur adukkan agama dan penodaan agama.

Alasan lainnya MUI menolak pluralisme  karena mereka meyakini hanya orang Islam yang bakal masuk surga, sedangkan yang lain masuk ke dalam neraka. Meskipun begitu MUI tetap adanya mengakui pluralitas agama . Karena dengan pluralitas agama, kita bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dan kita juga tidak mendzalimi mereka. Dalam hal ini, MUI menggunakan dalil QS. Surat Al-Imran ayat 85 dan 19 :

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imron: 85).

Pada ayat yang lain, Allah Swt. juga berfirman:

“Dan barang siapa mencari agama selain islam, dia tidak akan diterima, dan diakhirat ia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 19)

Kedua ayat ini menegaskan bahwa agama yang paling benar adalah Islam. Inilah yang harus kita pegangi sebagai umat Islam. Setiap muslim mesti meyakini agamanya yang paling benar. Tidak mungkin ada banyak kebenaran dalam agama. Karena itu, Islam yang benar dan yang lain tidak benar. Kira-kira, demikian logika yang dibangun oleh Majlis Ulama Indonesia.    

Sikap toleransi boleh saja, akan tetapi sikap toleransi harus memiliki rambu-rambu tersendiri dalam Islam. Islam sudah mengatur sedemikian rupa kerukunan antar umat manusia dengan tidak mengabaikan kemurnian aqidah yang dianut oleh umat muslim. Sehingga tidak hanya esensi dari toleransi, yaitu  terciptanya kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, tetapi juga keutuhan dan kemurnian aqidah tetap terjaga.

Walhasil, toleransi tetap dapat dilakukan dengan baik  sembari mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing seperti yang sudah di jelaskan dalam Alqur’an surat Al-kafirun ayat 6: Lakum dinukum waliyaddin (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Inilah yang penulis maksud: “Pluralitas Yes, Pluralisme No”.

Wallahu a’lam bis shawab.**

Categories
Opini

Muslimah dan Pasir di Pesisir Pantai

Oleh: Mar’atus Sholehah

“Dan katakanlah pada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat), kecuali yang biasa tampak.dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan auratnya………”(QS. An-Nur:31).

Wahai nabi!, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “hendaknya mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.“ yang demikian itu agar mereka lebih dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Ahzab: 59)

Ukhti, kita sebagai muslimah yang mukmin tentunya sudah mengerti tentang diwajibkannya jilbab pada kita semua sesuai dengan ayat diatas. Begitu sempurnanya Islam menjaga kita, menjaga kehormatan kita agar kita tetap menjadi muslimah yang beriman. namun, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjaga diri kita dengan sempurna? Sesempurna Islam menjaga kehormatan kita. 

Berbicara masalah menutup aurat, kita tahu sekarang kita hidup dizaman akhir, yang mana menurut ulama’ zaman yang tidak sebaik zaman-zaman terdahulu, juga bisa diartikan wanita terdahulu tentunya lebih baik dari wanita zaman sekarang dari menutup auratnya sampai  memelihara kehormatannya serta akhlaqnya yang mulia.

Ukhti, sebelum globalisasi dunia barat masuk pada agama Islam,  muslimah yang menutup auratnya sangat anggun sekali, mereka menutup auratnya dari atas kepala hingga ujung kakinya tanpa ada lekuk tubuhnya yang terlihat sedikitpun. Mereka sangat menjaga kehormatan mereka sebagaimana Islam menjaga kehormatan mereka, mereka taat pada perintah Allah, menjauhi apa yang telah dilarang oleh Allah, dan mereka juga mempunyai akhlaq yang amat sangat mulia, seakan mereka adalah mawar yang ada didalam kaca, indah dipandang namun sukar untuk dipegang.

Ukhti, mari kita lihat wanita-wanita muslimah zaman sekarang!. Amat sangat jauh sekali bukan? Apabila kita mencari kriteria wanita yang sebanding dengan yang sudah dikatakan diatas, mungkin kita hanya menemukan satu diantara seribu. Wanita zaman sekarang memang sudah menutup anggota tubuhnya, tapi mereka tidak dikatakan menutup aurat. Mengapa demikian? Bukankah mereka sudah berjilbab? Mereka sudah memakai pakaian yang sudah menutup dari ujung kaki sampai ujung kepala bukan?.

Memang, mereka telah menutup auratnya,  tapi mereka menampakkan seluruh lekuk tubuhnya sehingga terlihat sesak untuk bernafas. Mereka tidak bisa dikatakan menutup aurat dengan sempurna, mereka juga tidak bisa dikatakan menjaga kehormataannya, karena yang mereka kenakan menimbulkan syahwat kaum adam. Mereka bagaikan pasir di pesisir pantai, yang boleh dipijak dan dimiliki siapa saja.

Ukhti, jauh pada saat sang Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Masih hidup, beliau pernah bersabda yang artinya “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya, mereka ialah: 1)Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip dengan ekor sapi untuk memukuli orang lain, 2) Wanita yang berpakaian tapi telanjang dan berlenggak-lenggok, kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta, mereka itu tidak masuk syurga, dan tidak pula mencium baunya, padahal sesungguhnya bau syurga itu bisa tercium dari jarak sekian-sekian (HR. Muslim).

Hadits diatas sudah terbukti di zaman sekarang. Dan bahasa saat ini terkenal dengan nama “Jilbob”. Yang mana jilbob ini tertuju pada wanita yang menutup auratnya tidak sesuai dengan syari’at Islam yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. di atas. Demikian ini merupakan suatu hinaan bagi Jilbobers, sedangkan mereka tidak sadar dengan itu semua. Mereka hanya tahu bahwa yang mereka lakukan itu merupakan suatu hal yang lumrah dalam perkembangan zaman. Namun ada juga yang sadar tapi tetap tidak ingin melakukan jilbob, karena lebih mengedepankan nafsunya untuk bergaya di depan para pria.

Ukhti, menjadi wanita yang dijaga kehormatannya oleh Tuhannya merupakan suatu hal yang sangat  istimewa. Mari kita berusaha untuk menjaga kehormatan kita sebagaimana Allah telah menjaga kita dengan firmannya. Kita berusaha menjadi wanita yang dirindukan oleh syurga beserta isinya.

Ingatlah pesan dari Sayyidah A’isya RA. “Sebaik-baik wanita adalah yang tidak memandang, dan tidak dipandang. Jangan kau merasa bangga dengan kecantikanmu, sehingga kamu dikejar sejuta laki-laki, itu bukan suatu kemuliaan bagimu. Jika kau merasa bangga, kau menyamakan dirimu dengan pepasir dipesisir pantai, yang boleh dipijak dan dimiliki siapa saja. Muliakanlah dirimu dengan taqwa, setanding mutiara zabarjad yang hanya mampu dimiliki penghuni syurga.” Wallahu’alam.**

Categories
Dunia Islam

Katib Syuriyah NU Jember: Orang Awam Silahkan Taqlid  

Jember, NU Online.

Katib Syuriyah NU Jember, Dr. Kiai MN Harisudin, M. Fil.I menyatakan bahwa cara beragama Islam itu ada tiga. Yaitu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid. Jika ijtihad adalah cara beragama dengan mengetahui dalil dan bisa mengolah dalil tersebut, maka ittiba’ adalah cara beragama dengan mengetahui dalil namun tidak tahu cara mengolahnya. Sementara taqlid adalah beragama tanpa mengetahui dalilnya. Demikian disampaikan Dr Kiai MN Harisudin dalam pengajian Subuh di Masjid Muhajirin, Perumahan Gunung Batu Sumbersari Jember. Hadir tidak kurang 200 jama’ah yang aktif menyimak pengajian menarik tersebut.

Menurut Dr. Kiai M.N. Harisudin M. Fil.I, ijtihad adalah level tertinggi dalam beragama. Sementara, taqlid adalah level terendah dalam beragama. “Di level tertinggi, ijtihad wajib hukumnya bagi yang mampu berijtihad. Misalnya Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal yang menghafal ribuan hadits, mengetahui tafsir al-Qur’an, mengetahui bahasa Arab, mengetahui ijma’ ulama, mengetahui fiqh dan ushul fiqh, dan sebagainya. Orang-orang yang memiliki kompetensi ini wajib hukumnya berijtihad”, tukas kiai muda yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Sementara, orang yang awam cukup bertaqlid pada kiai dan ustadz. Dengan kata lain, orang awam tidak perlu repot-repot mencari dalil. Orang awam beragama di level terendah dengan cukup mengikuti apa kata kiai atau ustadz. “Bayangkan kalau orang awam itu tukang becak, penjual sayur di pasar, petani di sawah. Mereka disuruh ribet mencari dalil dengan bolak-balik al-Qur’an dan as-Sunah. Tentu mereka akan kesulitan dan berat menerima perintah ijtihad. Selain itu, hasil ijtihadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena mereka misalnya tidak tahu bahasa Arab, al-Qur’an dan al-Hadits“, tukas Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember yang juga Ketua Bidang Intelektualitas dan Publikasi Ilmiah IKA-PMII Jember. 

Setidaknya, menurut Kiai M.N. Harisudin, ada tiga alasan mengapa ada pilihan-pilihan tersebut. Pertama, menurut Kiai MN Harisudin yang juga Wakil Ketua PW Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut,  manusia memang diciptakan dengan kelas-kelas berbeda. Secara sosiologis, memang manusia tidaklah satu, melainkan berbeda-beda karena itu kita tidak bisa menggeneralisasikan bahwa orang lain sama dengan kita.

“Kedua, adanya perintah untuk bertakwa semampu orang Islam. Ittaqullaha mas tatha’tum. Makanya, yang mampu ijtihad silahkan Ijtihad.Dan yang tidak mampu ijtihad silahkan ittiba’. Jika tidak mampu ittiba’, silahkan taqlid.  Ketiga, tidak ada pembebanan (taklif) di luar kemampuan manusia. Seorang anak kecil umur dua tahun tidak bisa dibebani membawa beras satu karung. Itu taklifu ma la yuthaqu. (Membebani di luar kemampuan manusia).  Dengan model beragama ini, agama Islam terasa mudah diterima oleh umat. Inilah dimensi rahmatan lil alaminnya agama Islam”, tukas Kiai MN Harisudin yang juga Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.

(Anwari/Kontributor NU Online)      

Categories
Dunia Islam

Katib Syuriyah NU Tegaskan Pancasila = Negara Islam

Jember, NU Online

Di hadapan kurang lebih 500 orang jama’ah pengajian muslimin dan muslimat di Masjid Baiturahim Kebonsari Jember, Katib Syuriyah NU Jember, Kiai M.N. Harisudin menegaskan bahwa Pancasila sama dengan  Negara Islam. Acara Isra’ Mi’raj yang digelar Ahad, 1 Mei 2016 mulai jam 19.00 sampai dengan 22.00 WIB. oleh Ikatan Ta’mir Masjid dan Musholla se-Kabupaten Jember ini dan warga Kebonsari ini berlangsung dengan meriah diiringi dengan sholat remaja Masjid Baiturrahim Kebonsari.

Kiai M.N. Harisudin tegas mengatakan bahwa Pancasila itu semua dalilnya adalah al-Qur’an dan al-Hadits. “Jadi, kalau sudah Negara Pancasila itu juga berarti negara Islam. Tidak perlu khilafah segala, itu tahsilul hasil. Makanya, pemerintah harus tegas terhadap ormas yang anti Pancasila dan anti-NKRI”, tutur Kaprodi Hukum Pidana Islam dan Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah IAIN Jember tersebut seraya menyebut satu persatu ayat-ayat yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam ceramah selanjutnya, Kiai M.N. Harisudin juga  menjelaskan hikmah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. “ Intisari dari Isra’ Mi’raj itu adalah sholat. Kalau sholatnya benar, insyaallah akan menjadi orang baik. Orang baik inilah orang-orang Islam nusantara. Kita orang-orang Indonesia sudah dikenal baik di seluruh dunia. Kita, orang Indonesia, terkenal dengan Negara Islam demokratis terbesar dunia”, tukas kiai muda yang juga penceramah rutin di sejumlah televisi tersebut.

Kiai Harisudin lebih lanjut mengatakan bahwa Islam produk sholat di nusantara ini merupakan berkah yang sangat berharga. “Islam Nusantara ini sangat baik. Lebih baik daripada Islam di Saudi Arabia, Iran, Irak, Mesir, Afganistan. Makanya, Wapres Jusuf Kalla minta untuk tahun ini –seperti disampaikan Sekretaris Jenderal Kementrian Agama, Prof. Nur Syam, M.Si, tidak boleh ada pelajar Indonesia yang belajar ke Timur Tengah. Nanti mereka belajar kekerasan. Mereka yang mestinya belajar ke Indonesia”, kutip Kiai M.N. Harisudin yang juga pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember.

Oleh karena itu, lanjut Kiai Harisudin, kita perlu bangga dengan Islam Nusantara. Islam yang damai dan toleran serta dapat berjalan seiring dengan kearifan lokal di semua tempat. Inilah nilai-nilai Islam nusantara yang dapat “dijual” ke dunia.

(Anwari/Kontributor NU Online).          

Categories
Dunia Islam

Katib Syuriyah NU Serukan Orang Tua Dukung Gerakan Ayo Mondok

Jember, NU Online.

Katib Syuriyah NU Jember, Dr. Kiai M.N. Harisudin, M.Fil. I, mendukung Gerakan Ayo Mondok Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dalam  siaran persnya di Kantor PCNU Jember, Selasa, 19 April 2016, jam 10.00 Wib sd 10.30 WIB, Dr Kiai MN Harisudin mendorong semua elemen orang tua untuk memperhatikan pendidikan anaknya. Salah satunya dengan cara menempatkan anak-anak mereka di pondok pesantren.

“Gerakan Ayo Mondok, hemat saya, sangat bagus. Ini ide brilliant untuk mendidik anak-anak bangsa ini bisa menjadi lebih baik. Jangan biarkan anak-anak didik kita dididik secara sekuler. Kalau sudah sekuler, jangan salahkan anaknya”, kata Kiai MN Harisudin yang juga penceramah rutin di Jember 1TV dan TV9 Surabaya tersebut.

Di tengah-tengah tantangan moralitas anak-anak di masa sekarang, maka Pondok Pesantren adalah sekolah prioritas untuk mendidik anak-anak sholeh yang berkarakter.”Di pondok pesantren, anak kita dididik untuk menjadi anak-anak yang berakhlakul karimah.  Anak-anak yang dijauhkan dari pergaulan bebas, dijauhkan dari narkoba, dijauhkan dari radikalisme-terorisme, dan sebagainya. Karena itu, kita harus bangga dengan pondok pesantren kita”, tukas Kiai MN Harisudin yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Dalam konteks  Jember, Kiai MN Harisudin mendorong para pelajar dan mahasiswa untuk tidak sungkan-sungkan di pondok. “ Ya ini karena Jember dikenal sebagai kota pelajar. Banyak mahasiswa dan pelajar dari kabupaten lain di sini. Mereka kuliah di Universitas Jember, Politeknik Negeri Jember, Institut Agama Islam Negeri Jember, Universitas Islam Jember dan lain-lain. Mereka juga pelajar di MAN1 Jember, MAN 2 Jember, SMA 1 Negeri Jember, SMA 2 Negeri Jember dan lain-lain.  Jangan gengsi di pondok. Justru, di pondok diajari banyak hal. Misalnya, kemandirian, kesederhanaan, kejujuran dan juga kebersamaan”.

“Makanya, para orang tua harus memilih tegas pondok. Jangan membiarkan anak perempuannya bebas tinggal di kontrakan dan kos tanpa kendali karena akibatnya kita sudah bisa tebak. Mereka yang di luar pondok lebih mudah terpengaruh tradisi ‘kumpul kebo’ dan perzinahan”, jelas Kiai M.N. Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.

Tapi, Kiai MN. Harisudin mengingatkan untuk mondok yang benar-benar di pesantren. “Pesantren yang benar ya ada bangunan pondoknya, ada kiainya, ada ngajinya, dan ada musholla atau masjidnya. Karena sekarang ada namanya pesantren, tapi tidak ada ngajinya. Itu bukan pondok pesantren, tapi kos-kosan berlabel pesantren ”, lanjut Kiai M.N Harisudin yang juga Pengurus MUI Kabupaten Jember tersebut mengakhiri siaran persnya.

(Kontributor NU Online/Anwari)

Categories
Sains

LTN NU Jatim Luncurkan Program Indonesia Menulis

Surabaya, NU Online

Semakin kompetitifnya masyarakat dunia dalam persaingan global, mendorong seluruh pihak untuk meningkatkan sumber daya manusia. Terutama daya saing dalam bidang karya tulis ilmiah, yang hingga kini, Indonesia masih jauh dari Negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan sebagainya. Catatan merah ini menginisiasi PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur meluncurkan Program Indonesia Menulis.

Dr. Kiai MN Harisudin, M. Fil. I, Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jatim mengatakan pentingnya Program Indonesia Menulis untuk memacu kualitas karya guru, dosen dan mahasiswa di Indonesia. “ Kita masih kalah jauh dengan Negara tetangga. Maka, solusinya adalah melakukan percepatan-percepatan. Dalam rangka percepatan itu, PW LTN NU Jatim meluncurkan Program Indonesia Menulis”, tukas Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember, pada hari Jum’at, 18 Maret 2016 di kantor TV 9, Jl. Raya Darmo No. 96 Surabaya tersebut.

Menurut Kiai MN. Harisudin, untuk menghadapi tantangan yang berat ini, LTN NU Jatim memfasilitasi para stake holder di Indonesia, terutama di kalngan guru dan dosen, untuk mengikuti training penulisan karya ilmiah, menulis buku, pelatihan PTK dan sebagainya. “Intinya, kami ingin membantu masyarakat dengan memotivasi mereka dengan menulis dan menulis. Kami kampanyekan bahwa menulis itu mudah, mudah dan mudah. Ini juga membantu para guru untuk mendapat point publikasi ilmiah sebagaimana amanat undang-undang”, kata Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jatim yang juga Katib Suriyah PCNU Jember.

“Dan alhamdulillah, sudah banyak yang merespon. Lumajang, Cirebon, Kota Baru, Semarang, Demak, Jember dan banyak kota di seluruh Indonesia yang indent ingin menyelenggarakan kegiatan tersebut. Insyaallah yang dalam waktu dekat, diadakan di Lumajang pada tanggal 2 April 2016”, tukas Kiai Muda yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Oleh karena itu, Kiai M.N. Harisudin mengajak lebih luas lagi pada masyarakat dengan menulis buku yang banyak. Di sini, akan Nampak dinamika intelektual yang luar biasa dan menjadikan Indonesia kelak menjadi magnet peradaban dunia.

Sementara itu, Ketua PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Kiai Ahmad Najib AR, mendukung sepenuhnya Program Indonesia Menulis. “Kemarin kita sudah melaksanakan program unggulan seperti Madrasah Jurnalistik. Juga membentuk Asosiasi Penerbit NU. Dan sekarang ada Program Indonesia Menulis. Ini semua gagasan progresif kami di Lembaga Ta’lif wa an-Nayr NU Jawa Timur untuk memperkuat tradisi menulis di negeri ini” Kata Kiai Najib yang juga Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya tersebut. 

Wallahu’alam.**  

(Anwari/Kontributor NU Online)       

Categories
Kolom Pengasuh Opini

Menggagas Fikih Nusantara

Oleh: Dr. M.N. Harisudin M. Fil. I

Dosen Pascasarjana IAIN Jember

Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember

Katib Syuriyah PCNU Jember

17 mei

Secara derivatif, terma Fikih Nusantara yang saya ajukan adalah bagian dari gagasan besar Islam Nusantara. Islam Nusantara, meski baru digemakan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur, namun secara subtansi sesungguhnya sudah didiskusikan sejak lama. Bahkan, sebagai praksis umat, Islam Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama juga menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam di Indonesia ratusan tahun yang silam. Islam Nusantara telah menjadi casing umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat. Islam Nusantara ini pula yang menjadi magnet bagi umat Islam di seluruh dunia.

Saya ingin mengajak pembaca pada dunia yang lebih kecil dalam Islam Nusantara, dengan apa yang saya sebut sebagai “Fikih Nusantara”. Fikih Nusantara adalah fikih yang dipraktekkan di nusantara, sesuai dengan keadaan realitas nusantara. Adalah Prof Hasbi as-Shidiqi, Guru Besar Hukum Islam IAIN Yogyakarta (sekarang bernama UIN Yogyakarta) yang menyebut pertama kali dengan Fikih Indonesia. Gagasan Hasbi as-Shidiqi dilatari oleh kejumudan fiqh di tahun 1940 yang dirasa tidak bisa memberikan solusi-solusi atas berbagai problematika umat. Meski tidak direspon dengan baik, namun gagasan Hasbi inilah yang dicatat sejarah sebagai tonggak permulaan tentang fikih Nusantara.

Gagasan Hasbi sendiri, dari aspek content, hemat saya, sebetulnya, tidak luar biasa karena pembaruan fiqh Indonesia yang ia tawarkan, sejatinya hanya dalam ruang lingkup mu’amalah. Hasbi tidak berani secara progresif melakukan pembaruan terhadap bidang “ibadah mahdlah” seperti haji, sholat, besaran zakat, puasa dan sebagainya. Pada tahun 1961, Hasbi kembali mengungkapkan gagasan tentang Fikih Indonesia dan  baru mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Tentu, yang luar biasa adalah keberanian Hasbi menyodorkan gagasan Fiqh Indonesia yang dipandang tabu saat itu.  

Pada etape selanjutnya, pengaruh pikiran Hasbi sungguh luar biasa. Hukum Islam yang sudah lama “dipinggirkan” mulai untuk ditempatkan ditempat yang terhormat. Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam berada menjadi bagian dari hukum adat, namun setelah ada pikiran Hasbi dan lalu diteruskan oleh pembaharu selanjutnya, Hazairin, menjadikan hukum Islam menjadi elemen yang mandiri dalam hukum nasional. Hukum nasional menjadi terpola dengan tiga elemen penting: hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Pada masa orde reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menajdi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (1991), UU tentang zakat (1999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari’ah (2008) dan lain sebagainya.

Saya ingin menggaris bawahi bahwa Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanapun juga, gagasan Hasbi as-Shidiqi telah menjadi batu bata pertama fikih Nusantara di negeri ini. Hasbi memang membayangkan Fiqh Nusantara seperti Fikih Hijazi, Fikih Hindi dan Fikih Mishri. Dan kini, tejadi percepatan luar biasa atas fikih Nusantara di negeri ini. Fikih Nusantara  setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus: living laws (hukum yang hidup) dan positif laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah fikih Nusantara.

Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara itu, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.  

Fikih Nusantara ini secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan karena ditopang minimal oleh tiga dalil utama, yaitu istihsanmaslahah mursalah dan ‘urf. Jika istihsan adalah menganggap baik apa yang dianggap baik oleh mayoritas muslim, dan maslahah mursalah merupakan maslahah yang tidak diperintah maupun dilarang langsung oleh syara’, namun mengandung dimensi kemanfaatan yang nyata dan bersifat luas, sementara ‘urf adalah tradisi yang telah berurat akar dalam masyarakat luas. Ketiga dalil ini, memperkokoh basis epistemologis Fikih Nusantara, menjadi fiqh yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Dari aspek produk, ulama Nusantara juga telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi “ukuran aurat” dengan tidak menggunakan hijab ‘ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy’ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri alm. KH. Abdurrahman Wajid, Presiden RI yang keempat.

Produk lain Fikih Nusantara yang bahkan telah ditetapkan sebagai qanun dalam Kompilasi Hukum Islam adalah harta gono-gini. Harta gono -gini merupakan harta bersama suami-istri setelah menikah. Dalam KHI disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta, maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono-gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan Fikih Konvensional yang ada dan dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama Timur Tengah.

 Walhasil, Fikih Nusantara adalah fiqh yang telah built-in dan mengakar dalam kehidupan Muslim nusantara. Fikih ini akan terus tanpa henti melakukan “perubahan” sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana kaidah Fikih: Taghayyurul  ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada  selain “ibadah mahdlah”. Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini, sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.     

Wallahu’alam. **                  

Categories
Dunia Islam

Katib Syuriyah NU Jember:  Islam Nusantara, Usulan Peradaban Dunia 

Jember, NU Online

Islam Nusantara menjadi topik hangat dalam diskusi rutin yang diselesenggarakan Eksan Institute di Markas Eksan Institute, Perum Milenia Mangli Jember, Jawa Timur, Sabtu (12/03/2016). Uniknya lagi, kegiatan itu diawali dengan jalan santai bersama yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang dihadiri tak kurang 150 peserta dari berbagai kalangan muda: HMI, PMII, IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat dan sebagainya.

Hadir sebagai pembicara Dr. Kiai M. N Harisudin, M.Fil. I, Katib Syuriyah PCNU Jember dan Moh. Eksan, S.Ag, Ketua DPC Partai Nasdem yang juga Anggota DPRD Jawa Timur. Dalam pemaparannya, Kiai Harisudin yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ini menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang hidup dan berkembang di Nusantara.”Bukan Islam yang hidup dan berkembang dari nusantara, atau juga bukan Islam yang tumbuh dan berkembang untuk nusantara. Jadi, Islam Nusantara adalah Islam yang tumbuh dan berkembang di nusantara yang memiliki karakter inklusif dan moderat” .

Kehadiran Islam Nusantara, lanjut Kiai Harisudin yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini, menjadi “hipnotis” tersendiri dalam spektrum peradaban dunia. Bahkan, ia setuju dengan pendapatnya Prof Abdul Karim, yang menyebutkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Demikian ini karena kehidupan mayoritas muslim di Timur Tengah, Benua Kecil lndia, Afrika Utara, dan Afrika Tengah, sedang terhimpit konflik dan keganasan. Tak heran, seperti disampaikan oleh Prof Nur Syam, Sekjen Kemenag RI, saat acara di Malang, jika Wapres Jususf Kalla di tahun 2016, bahwa menolak pengiriman mahasiswa Indonesia ke Timur Tengah, karena hanya akan belajar konflik dan konflik belaka.

“Dengan demikian, kiblat peradaban Islam bukan lagi Timur Tengah, tapi Indonesia. Indonesia layak untuk jadi episentrum peradaban dunia. Dari segala aspek, Indonesia paling  layak di seluruh dunia. Layaknya ini ya karena tawaran Islam Nusantara yang inklusif, toleran dan juga moderat”, kata Kiai Harisudin yang juga Wakil Ketua Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.

Lebih lanjut, Kiai Harisudin juga menyebut ciri Islam Nusantara. “Setidaknya, ada beberapa ciri Islam Nusantara. Yaitu, pertama, adanya pengalaman sejarah yang panjang. Kedua, ide pribumisasi Islam. Ketiga penghargaan dan keteguhan terhadap kearifan lokal. Keempat, adanya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam Inklusif dan toleran. Kelima, peran Ormas dan para pemikir muslim Indonesia yang membebaskan dan juga mencerahkan,” jelas Kiai muda yang juga Kaprodi Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam di Fakultas Syari’ah IAIN Jember tersebut.

Dan Islam Nusantara, menurut Kiai Harisudin, akan terus berdialektika dengan sejarah sosial ummat Islam di Indonesia. Islam Nusantara bisa menerima perubahan sepanjang ada ‘illat perubahan itu sendiri. “Jadi, Islam Nusantara tidak berhenti di sini dan saat ini. Islam Nusantara akan terus melakukan evaluasi diri secara terus menerus untuk meyuguhkan yang terbaik dalam peradaban dunia”, tutur Kiai muda yang juga pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.  

Pada kesempatan yang sama, Moch Eksan menyampaikan bahwa tema Islam Nusantara muncul bersamaan dengan agenda muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Agustus  2015 yang silam. Tema ini, menurut pria yang juga aktifis muda PCNU Jember ini merupakan tawaran paradigma keberagamaan, baik dari sisi Minhajul Fikr, maupun Minhajul ‘Amal. NU menawarkan Islam Nusantara ini sebagai hasil dari dialektika intelektualisme dan sosial kultural antara NU dan Indonesia.

Sebagai sebuah tawaran tambah Eksan, Islam nusantara ini didukung sekaligus juga ditentang. Hal tersebut, menurut anggota DPRD Jatim ini, satu hal yang wajar sebagai konsekuensi logis dari dinamika diskursus keislaman Indonesia kontemporer yang terbuka dan demokratis. Para intelektual Islam NU barang tentu banyak yang mendukung. “Bahkan tokoh tokoh sekaliber Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A., Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, juga mengamini tawaran NU ini. Tak kurang juga seorang Islamis Indonesianis asal belanda Prof. Dr. Martin Van Brussen, M.A. mengapresiasi tawaran NU dalam mengembangkan Islam damai, santun, dan anti kekerasan,” tandasnya.

Selain banyak dukungan diatas, juga terdapat kelompok dan tokoh yang menentang. Semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). HTI memandang bahwa tawaran Islam nusantara NU tidaklah fair dengan membanding-bandingkan negara Indonesia dan negara Timur Tengah hari ini. Kondisi yang bertolak belakang antara Indonesia dan negara Timur Tengah merupakan bagian dari skenario skularisme global. FPI bukan hanya menentang tapi juga mengecam Islam Nusantara sebagai cara berfikir yang sesat menyesatkan, Habib Rizieq menuding bahwa Islam Nusantara itu tak lebih dari propaganda dari Zionis yang berisi gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang anti islam. Semula memang anti arab tapi berujung anti-Islam.

(Anwari/Kontributor NU Online).

Categories
Sains

PCNU Jember, Terbitkan Buku Panduan Sholat Gerhana Matahari dan Bulan

Jember, NU Online.

Dalam rangka untuk mensyiarkan Sholat Gerhana Matahari, sebagaimana himbauan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada warga NU di seluruh dunia beberapa hari yang lalu, maka PCNU Jember berupaya meresponnya dengan baik. Salah satunya dengan menerbitkan buku saku Panduan Sholat  Gerhana Matahari dan Bulan. Buku yang berisi pengertian, hukum dan tata cara Sholat Gerhana Matahari dan Bulan disusun oleh Dr. Kiai MN. Harisudin, M.Fil. I (Katib Syuriyah NU) dan Kiai Abd. Wahab MHI (Wakil Katib Syuriyah NU) .

Di kantor NU Jember, Jl. Imam Bonjol 41 A Jember, Dr. Kiai MN. Harisudin menekankan pentingnya praktek sholat Gerhana Matahari pada tanggal 9 Maret 2016. “Kami himbau kepada seluruh Pengurus NU Jember, mulai Ranting, MWC dan Cabang untuk melaksanakan Sholat Gerhana Matahari di tempat masing-masing. Ini sebagai Syiar Islam. Kalau di Bali, tanggal 9 Maret 2016 ada  nonton bareng Gerhana Matahari, kalau di Islam ya Sholat Bareng Gerhana Matahari”.

Menurut Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember tersebut, sholat Gerhana Matahari nyaris jarang dipraktekkan karena terjadinya Gerhana Matahari ataupun Bulan tidak terjadi harian, mingguan, bulanan atau tahunan. “Kalau dipelajari itu sesungguhnya tidak sulit. Namun, karena jarang terjadi, akhirnya ya jarang praktek. Jadi ya banyak yang belum bisa”, tukas Kiai Muda yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember.

Sementara itu, Ketua Tanfidziyah PCNU Jember yang juga Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan ini, Dr. KH. Abdullah Samsul Arifin, MHI sangat mendukung terbitnya buku saku ini. “Meski ini buku saku, insya’allah, kemanfatannya sangat besar bagi warga NU khususnya dan warga Jember pada umumnya. Dan buku ini merupakan bentuk khidmah PCNU Jember dalam melayani ummatnya”, ujarnya di sela-sela kegiatannya di Fakultas Tarbiyah IAIN Jember.

Di Kabupaten Jember sendiri, gerhana Matahari terjadi antara  6: 21: 42 sampai dengan 8: 40: 08 WIB dengan durasi gerhana 02: 18: 27. Gerhana Matahari ini terjadi dalam koordinat 113 o 42’ BT; -8o 10’ LS.   

(Kontributor NU Online/Anwari)