Categories
Kolom Pengasuh

Inovasi Layanan Haji Ramah Lansia

Inilah sesungguhnya jihad haji ramah lansia. Berbeda dengan tahun sebelumnya, tagline Haji Ramah Lansia benar-benar tantangan tersendiri. Kementerian Agama telah berupaya keras bagaimana layanan haji tahun ini benar-benar support ramah lansia yang berusia 65 tahun ke atas dengan tidak mengurangi mutu layanan pada jemaah haji lain (non-lansia). Apalagi jumlah lansia yang mencapai 30 persen (67.000 orang) dari total jama’ah haji Indonesia yang berjumlah 229.000.

Kemenag RI juga telah memberikan SOP (standard operational procedure) bagaimana penanganan jemaah haji lansia mulai dari embarkasi, bandara, pesawat, Makkah-Madinah, dan terminal debarkasi. Di tempat-tempat ini, jemaah haji lansia mendapatkan perhatian khusus yang berbeda dengan umumnya jemaah haji Indonesia.

Tentu, memberikan perhatian lebih pada lansia tidak harus dengan mengorbankan jemaah haji yang lain. Sebaliknya, jemaah haji yang lain (non-lansia) tetap mendapatkan hak-haknya, sebagaimana mestinya. Hak sebagai jemaah haji Indonesia, yang pada tahun 2022 yang silam menjadikan indeks layanan haji Indonesia naik drastis dan menjadi tertinggi sepanjang sejarah haji di negeri ini.

Inovasi Layanan Jemaah Haji Lansia
Sebelumnya, Kemenag RI telah melakukan berbagai langkah dengan berbagai inovasi layanan pada Haji Lansia pada tahun 2023 ini, sebagaimana berikut:

Pertama, Kementerian Agama telah melibatkan ahli geriatri dari Universitas Indonesia untuk merumuskan konsep layanan, prosedur operasional, melakukan pemantauan sekaligus pengawasan kesehatan jemaah haji lansia saat operasional.

Kedua, Kemenag telah meluncurkan buku manasik haji ramah lansia, yang berisi panduan manasik untuk kaum risiko tinggi ini jauh-jauh hari sebelumnya. Buku ini memberikan penekanan hukum rukhsah bagi lansia dalam menjalankan ibadah haji.

Ketiga, Kemenag juga menyiapkan SDM khusus yang membidangi layanan jemaah haji lansia. Meski jumlahnya terbatas, namun penanganan pada jemaah lansia ditunjukkan dengan adanya bidang ramah lansia.

Keempat, Kemenag juga menyediakan sarana transportasi bus shalawat untuk jemaah haji lansia. Ada 422 bus shalawat yang menjadi armada layanan haji lansia dengan tiga terminal haji di Mekkah.

Kelima, Kemenag telah menyediakan ruang tunggu khusus bagi lansia di lobi-lobi hotel Mekkah, yang dikhususkan pada jemaah haji lansia. Demikian juga, Kemenag menyediakan lift khusus untuk prioritas jemaah haji ramah lansia.

Keenam, Kemenag juga berusaha memberikan makanan yang ramah lansia, misalnya bubur, dan sebagainya, meski yang terakhir ini dengan menyediakan saranan pembuatan bubur untuk ramah lansia.

Ketujuh, Kemenag dan Kementerian Kesehatan telah menyiapkan enam layanan, baik tenaga kesehatan haji, tim promosi kesehatan, gawat darurat sektor, KKHI, tim sanitasi maupun tim obat. Keenam layanan ini disipakan untuk melakukan pada jemaah secara umum dan ramah lansia.

Puncak Haji Armina dan Terobosan Pemerintah Saudi
Selain berbagai layanan inovasi jemaah haji lansia, Kemenag juga telah berupaya memberikan kemudahan untuk jemaah haji lansia. Dalam konteks ini, Kemenag minimal memetakan Jemaah Haji Lansia, khususnya dalam puncak haji Armina mulai 9 Zulhijah ke depan, sebagaimana berikut:

Pertama, skema ibadah haji lansia. Skema ini disiapkan untuk jemaah haji lansia yang meninggal dunia setelah di embarkasi, saat di pesawat dan tanah suci. Disamping itu, skema ini juga diperuntukkan pada jamah lansia yang memiliki ketergantungan pada alat dan obat sehingga tidak bisa dimobilisasi.

Kedua, skema safari wukuf lansia. Skema ini disiapkan bagi jemaah haji yang sakit dan dirawat, baik di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) maupun RS Arab Suadi dan masih bisa dimobilisasi. Jemaah ini akan disafari-wukufkan dengan diangkut bus yang sudah dimodifikasi sehingga bisa duduk atau berbaring. Mereka satu dua jam di Arafah dan kembali ke KKHI atau RS Arab Saudi.

Ketiga, jemaah lansia yang menggunakan kursi roda dengan fisik sehat. Jemaah ini akan tetap dibawa ke Arafah untuk menjalani wukuf di Arafah bersama jemaah haji yang lain. Hanya saja, mereka tidak mampir ke Muzdalifah karena Muzdalifah merupakan hamparan pasir dan kursi roda akan terasa berat jika akan mendorongnya.

Kemenag telah melakukan terobosan dengan skema ketiga menginisiasi dimana lansia kursi roda diberangkatkan dari Arafah langsung ke Mina menjelang tengah malam dan jemaah lansia lewat di Muzdalifa pada tengah malam. Mereka lalu mabit lahdzatan, sementara balang jumrahnya mereka wakilkan pada jemaah yang sehat.

Langkah ketiga ini baik, namun perlu sinergi berbagai pihak untuk mobilitas lansia yang menggunakan kursi roda. Kepedulian jemaah menjadi faktor penentu kelancaran dan kemudahan lansia menjalankan ibadah haji.

Namun demikian, kita perlu beri catatan, bahwa inovasi Kemenag — termasuk inovasi layanan lansia ini–terkadang terbentur dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Misalnya tenda kemah Arafah dan toilet yang terbatas. Ke depan, Pemerintah Saudi perlu melakukan langkah-langkah jitu untuk mengatasi masalah tersebut.

Bagaimanapun, kita sadar bahwa pemerintah saudi telah berupaya membuat fasilitas haji yang baik. Sebagai misal layanan mobil golf di jamarat bagi jama’ah yang jauh dari lokasi jamarat di Mina. Namun, tidak terobosan pemerintah saudi tidak boleh dianggap titik, namun harus dianggap ‘koma’ sehingga penyempurnaan demi penyempurnaan tidak akan berhenti.

Wallahu’alam.

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, S.Ag, S.H, M. Fil. I (Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Guru Besar UIN KHAS Jember dan PPIH Kloter SUB 55 Tahun 2023)

Categories
Lembaga Pendukung Lembaga Wakaf Tunai

Laporan Wakaf Tunai (Periode April 2023- Juli 2023)

Laporan Wakaf Tunai

PP. Darul Hikam Mangli Jember

Periode April 2023 – Juli 2023

Categories
Artikel Kegiatan

Tafaqquh Fiddin, Ponpes Darul Hikam Gelar Penutupan Ta’lim Dengan Fiqih Ubudiyah, dan Perawatan Jenazah

Media Center Darul Hikam– Pondok Pesantren memiliki misi guna meningkatkan dakwah Islam, sehingga perlu adanya pemahaman fiqih bagi santri sebagai bekal hidup di masyarakat. Menjelang libur bulan Syawal 1444 H, Pondok Pesantrem Darul Hikam menggelar penutupan ta’lim dengan pembelajaran fiqih ubudiyah dan perawatan jenazah. Acara tersebut bertempat di Pondok Cabang Putri Jalan Jumat pada Kamis (13/4).

Acara yang dihadiri langsung oleh pengasuh, Prof Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dan Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. diikuti oleh seluruh mahasantri, baik dari pusat, cabang putrid an cabang putra.

Acara diawali dengan khatmil Al-Qur’an dan tahlil yang dipimpin oleh Ibu Nyai Rabiatul Adawiyah dan diikuti oleh seluruh mahasantri. Dilanjutkan dengan buka bersama dan sholat maghrib berjamaah.

Penyampaian materi fiqih ubudiyah disampaikan oleh Kiai Harisudin mengenai hukum kutek yang biasanya dipakai oleh mahasantri putri. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa fiqih ubudiyah wajib diketahui oleh santri sebagai materi prasyarat agar ibadah yang dilakukan dihukumi sah dan diterima oleh Allah.

“Menyandang gelar mahasantri, tentu ada tuntutan agar memiliki ilmu agama yang lebih luas. Salah satunya dalam pembahasan hukum kutek yang tidak jarang telah dibahas dalam kitab fiqih yang sudah kita kaji bersama, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in tentang thoharoh,” jelas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

Kiai Haris (sapaan akrabnya) juga menjelaskan salah satu syarat sahnya wudhu dalam kitab Fathul Qorib adalah tidak ada penghalang air di kulit.

“Maka ulama kita sepakat bahwa kutek termasuk benda yang bisa menghalangi air masuk ke dalam kulit. Beda lagi dengan henna yang jika dipakai di kulit, air tetap bisa meresap di kulit, ” tambahnya yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.

Setelah penyampaian fiqih, acara dilanjutkan dengan praktik perawatan jenazah oleh mahasantri putra, hal ini dibimbing oleh Ibu Nyai Robiatul Adawiyah.

“Penting kami sampaikan dan dipraktikkan bagi seluruh mahasantri, baik laki-laki dan perempuan. Secara tata cara dan urutannya, mulai dari adab saat mendengar berita orang meninggal, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan itu hampir sama dengan mayit perempuan. Hanya saja perbedaannya adalah kain kafan yang digunakan oleh mayit laki-laki sebanyak 3 helai dan perempuan sebanyak 5 helai yang terdiri dari 3 helai kain, baju, celana dalam, sarung dan kerudung, ” ungkap Ibu Nyai Robiatul Adawiyah yang juga Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Acara berlangsung khidmat dan lancar dengan diakhiri sholat tarawih berjamaah dan doa bersama.

Penulis: Siti Junita

Editor: Erni Fitriani

Categories
Keislaman

Kultum Tarawih, Kiai Haris Ceritakan Kisah Seorang yang Keliru dalam Bersedekah

Media Center Darul Hikam- Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. tentang keutamaan sedekah, harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dalam Al-Qur’an pun tertulis bahwa orang yang bersedekah akan dijanjikan oleh Allah balasan berupa 10 kali dari jumlah sedekah mereka. Demikian yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I dalam Kultum Tarawih pada hari selasa, (11/4) bertempat di Masjid Jami’ Baitul Al Amien Jember.

Kiai Haris (sapaan akrabnya) menyampaikan dalam Kitab Shahih Muslim Juz 1 disebutkan bahwa ada ahli sedekah yang salah sasaran dalam cerita Rasulullah. Dalam memberikan sedekah tentu beberapa kriteria seperti harus diberikan kepada fakir miskin.

Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang hendak ingin bersedekah namun dengan cara sembunyi-sembunyi sehingga ia melakukannya pada tengah malam. Hal ini ia lakukan agar bisa mendapatkan ridho Allah dengan cara yang sempurna yaitu tidak mendatangkan riya’.

Sedekah itu ia lakukan selama 3 malam berturut-turut. Singkat cerita di malam pertama, ternyata sedekahnya jatuh di tangan pencuri yang dalam dugaannya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya di pasar ramai orang membincangkan hal itu. Orang tersebut merasa bersalah karena sedekahnya diberikan kepada orang yang keliru. Kemudian ia mengungkapkan kesedihannya seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Sedekahku jatuh di tangan pencuri.”

Laki-laki itupun kembali bertekad ingin bersedekah di malam berikutnya. Sebab ia mengira sedekahnya sia-sia dan tidak “sampai” karena jatuh bukan di tangan yang tepat.

Malam kedua pun tiba. Ia kembali menyelinap keluar rumah di tengah malam. Kemudian ia memberikan sedekahnya kepada wanita yang dalam prasangkanya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya kembali ramai di pasar bahwa ada seorang yang memberikan sedekahnya kepada wanita pezina. Ia kembali merasa sedih dan menyesal, dan seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Kali ini sedekahku jatuh di tangan pezina.”

Kemudian di malam selanjutnya ia kembali bertekad untuk bersedekah. Namun apa dikata, sedekahnya kembali salah sasaran. Ia memberikan sedekah kepada orang yang kaya raya. Hatinya sangat sedih dan ia kembali mengadu kepada Tuhannya dan berucap, “Ya Allah, hanya milik-Mu segala kebaikan. Kini sedekahku jatuh di tangan orang kaya.”

“Singkat cerita datanglah kabar gembira kepadanya melalui mimpi bahwa Allah telah menerima sedekahnya meski jatuh kepada orang yang salah. Ini semua karena ketulusan hati laki-laki itu dalam bersedekah,”ungkap Kiai Haris yang juga Ketua KP3 MUI Jawa Timur.

Dalam cerita tersebut menyimpan hikmah agung yang bisa diambil dari kesalahan laki-laki itu dalam bersedekah. Harapannya seorang pencuri itu bertobat dan berhenti mencuri, wanita pezina itu bertobat dan keluar dari dunia malamnya, dan orang yang kaya yang kikir bisa berubah menjadi dermawan dan menginfakkan hartanya untuk zakat mal. Akhir cerita, ketiga orang penerima sedekah itu menyesal dan berubah menjadi orang yang lebih baik dalam hidupnya.

“Orang yang bermaksiat kemudian ia merasa hina dan bertobat, itu jauh lebih baik dari pada  orang  yang melakukan ketaatan seperti ke masjid atau bersedekah, namun muncul dalam hatinya kesombongan,” pungkasnya yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember.

Penulis: Siti Faiqotul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Keislaman

Kiai Haris Sebut Tahajud sebagai Amalan Penting di Bulan Ramadhan

Media Center Darul Hikam- Bulan suci Ramadhan merupakan bulan mulia yang kedatangannya sangat dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Pada bulan ini, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan segala amal ibadah dilipat gandakan.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I dalam kultumnya di Masjid Baitul Amien Jember menyampaikan perihal amalan penting yang utama di bulan Ramadhan.

“Salah satu amalan mujarab yang dianjurkan untuk menghidupkan malam di bulan suci Ramadhan ialah shalat tahajud,” tutur Kiai Haris dalam Kultumnya pada Senin, (10/4/23).

Hal itu berdasarkan pada perintah mendirikan shalat tahajud tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:

وَمِنَالَّيْلِفَتَهَجَّدْبِهٖ نَافِلَةًلَّكَۖعَسٰٓىاَنْيَّبْعَثَكَرَبُّكَمَقَامًامَّحْمُوْدًا

Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.

Inti dari surah Al-Isra di atas menyebutkan perintah untuk mendirikan shalat tahajud di malam hari sebagai tambahan shalat Sunnah. Shalat Tahajud dalam kitab Ushul fikih dihukumi sunnah muakkad (sunah yang dianjurkan), yaitu dikutip dari kata “Nāfilatan” pada ayat tersebut.

“Shalat tahajud berasal dari kata “hujud” yang berarti tidur. Maka dari itu, sebagian para ulama mendefinisikan shalat tahajud ialah shalat yang dilakukan di malam hari setelah tidur,” imbuh Kiai Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jatim.

Sebagian ulama lain mengatakan bahwa shalat tahajud merupakan “shalatu laili”, yakni shalat yang didirikan pada malam hari, baik dilaksanakan sebelum atau sesudah tidur. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa tahajud ialah shalat yang didirikan pada malam hari sesudah tidur, karena Rasulullah ketika hendak mendirikan shalat tahajud beliau tidur terlebih dahulu.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang yang istiqamah dalam melaksanakan shalat tahajud, niscaya Allah akan menempatkannya di tempat yang mulia, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Meskipun pada ayat di atas yang dipakai berupa lafadz عسىٰ yang ghalib-nya bermakna tidak pasti (mungkin), akan tetapi ketika didampingkan dengan lafadz ربك maka yang awalnya bermakna tidak pasti menjadi pasti, yang awalnya bermakna tidak mungkin menjadi mungkin. Sedangkan lafadz مَقَامًامَّحْمُوْدًا dikutip dari beberapa tafsir, diartikan sebagai tempat yang terpuji. Dan sebagian ahli tafsir lain memaknai sebagai kebangkitan yang terpuji.

Maksud kebangkitan yang terpuji disini ialah kelak ketika di Padang Mahsyar orang-orang yang istiqamah melaksanakan shalat tahajud akan dibangkitkan dengan kebangkitan yang terpuji, karena mereka-mereka mendapat “Syafaatul Kubro”, yakni syafaat yang agung dari Rasulullah Saw.

“Semoga kita semua kelak mendapatkan Syafaatul Qubra dari Nabi besar Muhammad Saw,” pungkas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.

Penulis: Miftahul Jannah

Editor: Erni Fitriani

Categories
Artikel Kegiatan

PP Darul Hikam Kerjasama dengan Fordaf Fatayat Jember Adakan Pelatihan Perawatan Jenazah

Media Center Darul Hikam– Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Begitulah bunyi hadist Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada umatnya untuk selalu menambah wawasan dan mengamalkan ilmu bagi sesama. Dengan itu, Pesantren Darul Hikam bekerjasama dengan PC Fordaf (Forum Daiyah Fatayat) Jember mengadakan pelatihan perawatan jenazah pada Jumat (7/4). Acara yang bertempat di Pesantren Darul Hikam Cabang Putri diikuti oleh seluruh mahasantri putra dan putri Pesantren Darul Hikam. 

Perlu diketahui, bahwa kegiatan pelatihan perawatan jenazah merupakan salah satu program Pesantren Darul Hikam untuk membekali mahasantri ketika akan terjun ke masyarakat. Acara pelatihan ini dibimbing langsung oleh Pengasuh dan juga Ketua Fordaf Jember, Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. dan Sekretaris Ketua Fordaf Jember, Leny Marinda S.Pd.I, M. Pd.

“Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Ankabut ayat 59 yang berbunyi Kullu nafsin za`iqatul-maut,” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Sebagai generasi muda Islam disamping mempersiapkan diri menjemput kematian, namun juga harus belajar mengurus jenazah yang meliputi, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan. Beranjak dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Daruquthni, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain” jelas Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, ibu dari lima anak itu.

Wakil Fordaf Jember itu mengungkap bahwa kegiatan ini sebagai program edukasi kepada mahasantri dalam mengabdi kepada masyarakat.

“Mahasantri yang menjadi cikal bakal tokoh yang diharapkan bermanfaat ketika terjun ke masyarakat. Sehingga perlu adanya edukasi praktik keagamaan, salah satunya adalah Fordaf  Nahdlatul Ulama Jember bekerja sama dalam program perawatan jenazah sebagai penyiaran agama Islam,” ungkap Leny yang juga Dosen Fakultas Tarbiyah dan  Ilmu Keguruan UIN KHAS Jember. 

Pada kesempatan itu, Ibu Nyai Robi menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan ketika akan memandikan jenazah yakni : langkah yang pertama yakni mendoakan terlebih dahulu jenazah tersebut sesuai ajaran Rasulullah, jika mayit perempuan berdoa  Allohummaghfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa wa’fu ‘anhaa. Kemudian jika laki-laki Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Itu sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Langkah yang kedua yaitu menutup atau memejamkan mata mayit. Langkah yang ketiga menutup mulut mayit apabila mulut mayit terbuka ditutup dengan kain mulai dagu sampai ubun-ubun. Langkah Keempat, tangan ditata seperti orang sholat. Langkah Kelima, apabila kaki tidak lurus itu diluruskan dan ditali bagian ibu jari

“Adapun barang yang diperlukan saat memandikan jenazah yakni air 2 timba (1 timba air kapur barus dan 1 timba air bunga) & air yang mengalir, sabun, daun bidara/daun kelor/ batang daun sirih untuk membersihkan kuku mayit,” jelasnya yang juga Ketua Fordaf Jember.

Setelah selesai memandikan jenazah tersebut langkah selanjutnya yakni mengkafani. Untuk jenazah laki-laki itu 3 helai kain  kafan dan perempuan itu 5 helai kain kafan (baju, kerudung, popok, dan 3 kain dibawah). Diiringi pula menaburkan kapur barus yang sudah dihaluskan pada kafan dan jenazah.

“Menurut ajaran Rasulullah, merawat jenazah itu harus ada kapur barus jika tidak ada bunga. Karena kapur barus sendiri memiliki fungsi menghilangkan bau dan membuat wangi mayit” ungkap istri Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember itu

Selain itu, kegiatan ini sekaligus memperingati malam Nuzulul Qur’an dengan khatmil Al-Qur’an, sema’an bil ghoib oleh putra kedua Pengasuh PP Darul Hikam, Gus Iklil Naufal Umar. Dilanjutkan dengan buka bersama yang menjadi program rutinan pesantren, yang kemudian dilaksanakan shalat maghrib berjamaah.

Reporter : Muthi’ah Rahman

Editor : Siti Junita

Categories
Keislaman

 Kiai Haris Sampaikan Fiqh Aqalliyat Sebagai Solusi Berislam di Negara Minoritas

Media Center Darul Hikam- Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin akan masuk dan menyebar ke seantero dunia dan tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan berbagai problematika, terutama di negara minoritas muslim.

Dengan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. turut menjadi narasumber dalam Webinar Tadarus Ilmiah Ramadhan bertemakan,” FIQH AQALLIYAT Metode Ijtihad, Produk Hukum dan Tantangan Minoritas Muslim di Berbagai Belahan Dunia. Acara ini diselenggarakan di Institut Agama Islam Syarifudin Lumajang bersama dengan Akademi Komunitas Teknologi Syarifudin pada Rabu, (5/4/23) pukul 20.00 WIB melalui aplikasi Zoom Meeting.

Drs. Satuyar Mufid, M.A sebagai Rektor IAI Syarifudin Lumajang memberikan pengantar bahwa Allah ta’ala menyukai kemudahan. Bagi orang yang kesulitan dalam mengamalkan syariat Islam ketika berada di daerah atau negara minoritas muslim maka akan mendapat kemudahan.

“Biar semua orang merasakan bahwa Islam di Indonesia memang sangat nikmat, sedangkan orang di luar sana yang barangkali sulit mengerjakan ajaran Islam,” tuturnya.

Kiai Haris sebagai penulis buku Fiqh Aqalliyat menjelaskan bahwa buku ini hadir sebagai solusi dari kegelisahan spiritual umat Islam yang berada di wilayah minoritas Islam.

Kiai Haris membagikan pengalamannya ketika ditanyai oleh salah seorang warga di Taiwan yang merupakan saudara seagama. Saat itu dia bekerja di peternakan babi dan tidak pernah melaksanakan sholat jumat berjamaah karena jarak tempat kerja dengan masjid begitu jauh, yang kurang lebih tujuh jam.

“Tentu ini berat. Bagaimana kalau ini terjadi pada kita. Al ajru biqodri ta’ab, bahwa pahala itu tergantung kadar kepayahan dan kesulitan dalam mengadapi sesuatu,” ujar Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Darurat berkaitan dengan hajat, sementara hajat berkaitan dengan kesulitan dan kesempitan. Oleh karena itu, Islam memberikan rukhshah bagi umat yang memiliki hajat saat menjalankan ibadah syariat. Rukshah adalah keringanan yang disyariatkan Allah atas perkara dalam keadaan yang menghendaki keringanan tersebut.

“Jadi diberi keringanan karena memang kondisinya menyulitkan umat Islam. Sehingga dalam konteks mereka berhubungan dengan non muslim ketika bekerja atau lainnya mereka tetap bisa berhubungan dengan fleksibel, tetapi tetap pada keyakinan dan agamanya yaitu Islam,” ungkap Guru Besar UIN KHAS Jember.

Disisi lain, Gus Ahmad Ilham Zamzami, Lc. Sebagai narasumber kedua menuturkan bahwa Fiqh minoritas yang digagas oleh Syekh Yusuf Qardhawi  itu menjadikan agama selalu relevan dan selalu membuka wacana baru. Sehingga agama tidak hanya sebatas mengakar pada norma-norma yang ada, akan tetapi agama itu senantiasa memberikan landasan-lanadasan kehidupan bagi umatnya dimanapun umat itu berada.

Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Fiqh Aqalliyat punya 3 komponen yang perlu dibahas yaitu kita harus memahami dari sumber hukum yang asli berupa Al-Quran, Hadis, maupun ijma para ulama.

“Dari sisi itu pada akhirnya kita juga harus menentukan teks-teks yang tertuang di dalam kitab, kemudian kita dapat mengambil sisi manhaj atau sisi metodologis dari kitab tersebut. Kita perlu membaca dari sisi maqashid syariahnya atau  hikmah suatu  hukum perlu dilakukan,” ungkapnya yang juga Da’i Internasional Lembaga Dakwah PBNU.

Acara berlangsung aktif dengan dihadiri oleh ratusan peserta dari akademisi, santri dan tokoh publik di seluruh Indonesia.

Penulis: Erni Fitriani

Editor: Siti Junita

Categories
Keislaman

Tiga Janji Allah Kepada Tiga Golongan Hamba Terpilih

Media Center Darul Hikam- Sebagai seorang hamba yang sudah menyatakan beriman, maka wajib bagi dirinya untuk menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah. Hamba pilihan Allah adalah seseorang yang hidup di jalan kebenaran secara sungguh-sungguh demi mengharapkan keridhoan Allah Swt.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dalam Kajian Tafsir Kitab Marah Labid pada Senin, (3/4) mengutip QS. Ali Imran ayat 195 tentang tiga janji Allah kepada hamba yang mau berhijrah demi menjaga ketaatan agamanya. Allah Swt berfirman:

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. QS:Ali Imran Ayat: 195.

Adapun yang termasuk ke dalam tiga golongan hamba tersebut yaitu pertama, orang yang berhijrah menuju jalan Allah. Kedua, orang yang berperang memerangi hawa nafsu dan menghindar dari maksiat, dan ketiga adalah orang yang diusir dan disakiti karena taat kepada Allah. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan tiga kemuliaan pahala oleh Allah.

Tiga pahala yang dimaksud diantaranya adalah pertama, akan dihapuskan dosa kecil dan diampuni segala dosa besar.

“Sesuai dengan ayat yang sebelumnya dengan lafadz doa اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا yang artinya Ampunilah segala dosa besar dan lafadz َكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا artinya tutuplah segala dosa-dosa kecil, ” tutur Kiai Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli-Jember.

Janji Allah yang kedua adalah mendapatkan pahala agung yaitu masuk ke dalam surga, Ketiga, mendapatkan pahala sekaligus dengan kemuliaan yang ditempatkan Allah bersama dengan para hamba-Nya yang taat.

Bukti ketaaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, salah satunya adalah memperbanyak berdoa dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dari ikhtiar yang telah dilakukan. Dengan itu, Kiai Haris memberikan maqolah yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shodiq.

“Barang siapa seorang hamba yang dikenai masalah lalu ia  mengatakan رَبَّنَا sebanyak lima kali, maka Allah akan menyelamatkan apa yang ia khawatirkan dan akan memberikan apa saja yang dikehendaki,”pungkas Kiai Haris yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Wallahu A’lam

Penulis: Siti Junita

Editor: Erni Fitriani

Categories
Lembaga Pendukung Lembaga Wakaf Tunai

Laporan Wakaf Tunai (Periode Januari 2022 – Maret 2023)

Laporan Wakaf Tunai

PP. Darul Hikam Mangli Jember

Periode Januari 2022 – Maret 2023

Categories
Opini

 Nikah Siri, Bikin Rugi!

Oleh: Ekik Filang Pradana*

Pertama, yang perlu diketahui adalah pengertian nikah siri itu sendiri supaya bisa mengetahui inti dalam nikah siri. Nikah berasal dari bahasa Arab, nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. Menurut istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. Sedangkan kata siri juga berasal dari bahasa Arab yang artinya rahasia. Jadi, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi. Dalam hukum Islam pernikahan siri hukumnya sah jika syarat dan rukun pernikahan terpenuhi.

Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14 rukun dan syarat perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Ketika syarat dan rukun terpenuhi maka pernikahan tersebut adalah sah.

Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah pemikahan siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), nikah siri memang sah menurut agama Islam tetapi tidak mempunyai legalitas di negara, sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi, nikah siri adalah suatu perbuatan yang ilegal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 3, suatu pernikahan yang tanpa melibatkan negara yang berwenang adalah hal yang terlarang. Maka, pernikahan tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan hukum yang akan berakibat satu pihak dirugikan baik itu suami atau istri yang kemudian tidak akan dapat perlindungan hukum, dampak yang sering terjadi adalah anak menjadi korban yuridis formal, yaitu tidak bisa mendapatkan hak nafkah dan hak waris dari ayahnya

Bagaimana praktik nikah siri masih eksis di negara Indonesia, padahal undang-undang tidak mengakuinya?

Praktik nikah siri paling banyak dilakukan oleh masyarkat di desa dengan beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu antara lain:

      1.      Kurang pengetahuan tentang nikah siri dan dampaknya

Masyarakat pedesaan umumnya hanya mengenal tentang nikah adalah hubungan di dalam rumah tangga, suami istri yang sudah menikah sudah halal untuk melakukan hubungan setubuh, suami bisa memberikan nafkah kepada istri, dan istri taat kepada suami. Sedangkan pernikahan hanya bisa dibuktikan dengan akta nikah, untuk mengurus administrasi kependudukan seperti membuat kartu keluarga (KK), akta anak, dan surat penting lain yang membutuhkan bukti kebenaran adanya pernikahan dengan akta nikah, jika tidak mempunyai akta nikah maka harus mengajukan isbat nikah di kantor Pengadilan Agama, hal ini yang kurang diketahui oleh masyarakat desa.

       2.      Nikah siri sebagai alasan menghindari perzinahan

Alasan ini biasanya digunakan orang tua menikahkan anaknya yang masih belum memenuhi batas minimal usia pernikahan. Adapun usia pernikahan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 adalah baik pria atau wanita 19 tahun, sebenarnya  pernikahan bagi pasangan yang belum memenuhi usia harus mengajukan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama. Namun, dalam praktiknya lebih memilih menikahkan secara langsung dari pada mengajukan permohonan dispensasi kawin terlebih dahulu.

      3.      Menutupi aib dari hamil diluar nikah

Alasan selanjutnya adalah nikah siri dilakukan karena malu akibat mengandung terlebih dahulu atau hamil di luar nikah, oleh karena itu untuk menutupi aib tersebut harus melakukan pernikahan, karena malu untuk melakukan pernikahan secara sah maka lebih memilih melakukan pernikahan secara siri.

Nikah siri mengandung banyak mafsadat yang lebih besar kepada wanita dari pada pria, menurut penulis nikah siri harus dikaji ulang mengenai kebolehan nikah siri, memang benar menurut hukum Islam pernikahan secara siri adalah sah, tetapi tidak mendapatkan perlindungan atau pengakuan dari hukum positif. Sehingga suami istri yang menikah siri kemudian jika suami tidak mengakui adanya pernikahan, maka wanita tidak bisa membuktikan pernikahan karena tidak ada akta nikah, jika lahir anak dari pernikahan siri kemudian pria tidak mengakui pernikahan tersebut maka hak nafkah, hak waris yang seharusnya didapatkan  anak harus hilang. Sesuai Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai kedudukan anak, bahwasanya anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Hukum Islam memang memperbolehkan nikah siri, tapi dengan akibat yang ditimbulkan cukup banyak merugikan bagi pihak wanita, apakah nikah siri akan tetap diperbolehkan, sedangkan kaidah hukum Islam mengatakan “apabila bertemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan kejelekan, atau saling berbenturan, maka wajib menimbang yang paling kuat diantara keduanya”.

Dalam kenyataannya jika dibandingkan antara maslahat dan mafsadatnya, nikah siri lebih memberikan dampak mafsadat yang lebih besar diterima oleh pihak wanita dan anak yang lahir pernikahan siri. Pria bisa saja meninggalkan istrinya begitu saja atau menikah lagi dengan wanita, sedangkan istrinya dirugikan, bagaimana bisa pria yang menikahinya lepas tanggungjawab begitu saja, bagaimana ketika pernikahan tersebut lahir seorang anak, siapa yang akan menanggung nafkahnya. Dalam posisi seperti wanita tidak bisa menggugat suami nya karena tidak mempunyai bukti yang sah tentang pernikahan yaitu dengan menggunakan akta nikah.

Penulis mengangkat mengenai problematika nikah siri adalah bukan tanpa didasari dengan alasan, tetapi penulis merasa hak wanita dalam pernikahan siri direnggut, oleh karena itu pentingnya pembahasan dan pengkajian mengenai nikah siri adalah sangat penting, terutama bagi pelajar. Bagaimana akibat dari pernikahan siri ini bisa membuka pikiran sehinga nantinya nikah siri tidak berkembang di masyarakat. Jika nikah siri bisa diatasi, maka semakin berkurang juga wanita dan anak yang lahir dari pernikahan siri yang kehilangan hak-haknya.

Adat yang mendarah daging di masyarakat menjadi batu tolakan ketika mau menolak nikah siri, bahkan dari adat ada yang mendukung pernikahan siri di kampungnya. Harapan penulis tujuan perkawinan menciptakan ketenangan, kebahagiaan, mempunyai anak untuk meneruskan perjuangan agama Islam, maka keputusan untuk melakukan nikah siri harus dipertimbangkan lagi, dan tentunya penulis berharap pemerintah mempunyai peran untuk mengatasi problematika di masyarakat dari mafsadat yang ditimbulkan dari pernikahan siri.

Penulis sangat menolak terhadap pernikahan siri, harapan dari penulis tidak ada yang melakukan praktik nikah siri dengan alasan apapun, dan lebih memikirkan dampak jarak jauh terhadap pernikahan yang dilakukan, sehingga pernikahan yang dilakukan membawa manfaat dan mendapatkan pahala karena berniat mengikuti sunah Nabi Muhammad Saw.

Waallahua’lam Bissawab.

*Penulis adalah mahasantri Darul Hikam, Mahasiswa Semester 6 Fakultas Syariah UIN KHAS Jember