
Oleh: M. Noor Harisudin*
*Direktur Womester, Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dan Dai Internasional Jepang Tahun 2025
Hari itu, saya tiba kembali di Tokyo. Sehari sebelumnya, saya menghadiri acara tabligh akbar di Masjid Mihara Hiroshima. Kereta api cepat Shinkansen tiba tepat waktu di stasiun Tokyo. Saya sebut ‘Stasiun Jumbo’. Karena stasiun kereta api Tokyo ini sangat besar sekali. Tujuh lantai bawah tanah yang besar. Dan lima lantai atas. Setiap lantai terlihat besar, luas dan juga mewah.
Ratusan ribu orang masuk ke stasiun ini. Manusia seperti semut. Semua asyik dengan dunianya. Di Tokyo, ada dua stasiun utama, yaitu Stasiun Tokyo dan Stasiun Sinjoku. Kedua stasiun ini besar sekali. Tentu juga mewah sekali. Jangan coba-coba keliling. Bisa kesasar, kalau tidak paham.

Pengalaman kedua kali masuk stasiun Tokyo, saya mendapat musibah. Saya kehilangan tiket kereta api cepat. Jangan sampai hilang tiket kereta api jika di Jepang. Itulah pelajaran berharga ketika setengah bulan di bumi Sakura.
Tiket kereta api di Jepang dan Indonesia tidak sama. Justru di Indonesia, kita bisa membawa tiket sampai ke rumah. Karena kita keluar stasiun tidak diminta tiketnya. Tapi, jangan coba-coba di Jepang. Tiket kereta api jangan sampai hilang. Setiap masuk dan keluar stasiun, kita harus mengeluarkan tiket kereta api. Dan tiketnya ‘dimakan’ mesin.

Saya dicegat polisi laki-laki di pintu keluar. Karena saya tidak membawa tiket, saya minta ijin keluar. Polisi tidak membolehkan saya keluar. Padahal, mas Kristian menunggu saya di luar. Tapi, tetap tidak bisa keluar. Kristian, pengurus PCI NU Jepang yang menjemput saya menghampiri agar saya mencari solusi lain.
Saya menuju ruang rehat stasiun. Di sana ramai orang. Masyaallah. Saya langsung tawasul ke Kiai As’ad. Saya duduk istirahat. Satu jam saya di rest room stasiun. Saya lemas duduk di ruang istirahat. Saya merenung. Apa saya bisa keluar stasiun?

Lalu, saya kembali lagi ke pintu keluar. Saya ketemu polisi lain. Saya menyampaikan kalau saya seorang mahasiswa (berbohong).
“I lost my train ticket”, kata saya pada polisi perempuan tersebut dalam bahasa Inggris. Kelihatannya polisi perempuan ini perhatian pada saya. Ia pun memberi solusi agar saya ke tempat tersebut.
Tak ambil lama, saya ke ruang tersebut. Saya sampaikan, kalau tiket saya hilang. Petugas langsung mengeluarkan tiket saya. Alhamdulillah. Ternyata tiket saya ketemu disini. Saya akhirnya tidak jadi beli tiket yang seharga tiga juta rupiah.
Saya lalu merapat kembali ke polisi perempuan. Tiket saya masukkan dalam mesin. Lalu mesin memakan tiket. Dan pintu terbuka untuk saya.

“Alhamdulillah, Prof. Jenengan bisa keluar. Memang begini kalau kehilangan tiket di Jepang. Bisa seharian tidak keluar stasiun”, kata Kristian yang juga guide wisatawan Jepang.
Saya kagum dengan stasiun di Jepang. Hampir semua besar dan mewah. Stasiun kereta api terbesar ada di Tokyo. Namanya: Stasiun Sinjoku dan Stasiun Tokyo.
Sore itu, saya diajak ke Kuil Asakusa di Tokyo. Kuil ini berjarak lima menit daru Stasiun Tokyo. Ramai sekali kuil ini. Bukan hanya orang bersembahyang, namun juga orang yang berwisata. Sebelah kuil asakusa, ada kuil Sinto. Kedua kuil ini bersebelahan menunjukkan posisi keduanya yang berdampingan dan saling menguatkan.
Bagi masyarakat Jepang, kuil asakusa dan kuil Sinto adalah sama-sama perlu dihormati. Karena dua hal penting yang menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Jepang.
Wallahu’alam. ***