Menulis Itu Membuat Awet Muda !!!Sesungguhnya, ada banyak manfaat orang menulis. Salah satunya adalah membuat para penulis menjadi awet muda. Demikian disampaikan Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, MHI, pada hari Ahad, 31 Januari 2016, di kantor Graha Pena Salsabila, Jl. Mataram C.7 No. 6 RT 04 RW 010 Perum Pesona Surya Milenia Mangli Kaliwates Jember. “Sesungguhnya, ada banyak manfaat orang menulis. Salah satunya adalah membuat orang yang menulis itu awet muda. Ini saya juga berdasarkan referensi tokoh penulis seperti Fatimah Mernisi dari Maroko”, kata Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, MHI selaku Direktur Eksekutif Penerbit Pena Salsabila. Hanya sayangnya, masih banyak yang belum memahami ini. Karena itu, lulusan Pasca sarjana yang juga Pengasuh Putri Ponpes Darul Hikam Mangli Jember itu memotivasi berbagai kalangan untuk menulis apa saja. Ada banyak motivasi dalam menulis. Selain awet muda, menulis juga menjadi bagian dari menyalurkan hobi, mendapatkan popularitas, mendapatkan materi (honor penulis) dan sebagainya. Semua ini motivasi yang menurut Ibu Nyai Robi akan menjadikan seseorang tergerak untuk menulis apa saja. “Kiai Cholil Bisri Rembang almarhum dulu menulis, salah satu motivasinya adalah ekonomi”, katanya menceritakan tokoh penulis di masa dulu. “Silahkan menulis dengan motivasi apapun. Itu baik sekali. Penerbit kami memfasilitasi berbagai kalangan agar termotivasi untuk menulis baik dalam bentuk cerpen, novel, majalah, jurnal, buku dan sebagainya. Pokoknya, menulis, menulis, dan menulis. Kami akan membantu kebutuhan menulis tersebut”, kata Ibu Nyai Robi, penulis buku Edward W. Said di Mata Santri yang diterbitkan STAIN Press Jember tersebut.(Sohibul Ulum/Humas Pena Salsabila).
Author: ponpesantrendarulhikam@gmail.com
Pena Salsabila
Media Center Darul Hikam- Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin akan masuk dan menyebar ke seantero dunia dan tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan berbagai problematika, terutama di negara minoritas muslim.
Dengan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. turut menjadi narasumber dalam Webinar Tadarus Ilmiah Ramadhan bertemakan,” FIQH AQALLIYAT Metode Ijtihad, Produk Hukum dan Tantangan Minoritas Muslim di Berbagai Belahan Dunia. Acara ini diselenggarakan di Institut Agama Islam Syarifudin Lumajang bersama dengan Akademi Komunitas Teknologi Syarifudin pada Rabu, (5/4/23) pukul 20.00 WIB melalui aplikasi Zoom Meeting.
Drs. Satuyar Mufid, M.A sebagai Rektor IAI Syarifudin Lumajang memberikan pengantar bahwa Allah ta’ala menyukai kemudahan. Bagi orang yang kesulitan dalam mengamalkan syariat Islam ketika berada di daerah atau negara minoritas muslim maka akan mendapat kemudahan.
“Biar semua orang merasakan bahwa Islam di Indonesia memang sangat nikmat, sedangkan orang di luar sana yang barangkali sulit mengerjakan ajaran Islam,” tuturnya.
Kiai Haris sebagai penulis buku Fiqh Aqalliyat menjelaskan bahwa buku ini hadir sebagai solusi dari kegelisahan spiritual umat Islam yang berada di wilayah minoritas Islam.
Kiai Haris membagikan pengalamannya ketika ditanyai oleh salah seorang warga di Taiwan yang merupakan saudara seagama. Saat itu dia bekerja di peternakan babi dan tidak pernah melaksanakan sholat jumat berjamaah karena jarak tempat kerja dengan masjid begitu jauh, yang kurang lebih tujuh jam.
“Tentu ini berat. Bagaimana kalau ini terjadi pada kita. Al ajru biqodri ta’ab, bahwa pahala itu tergantung kadar kepayahan dan kesulitan dalam mengadapi sesuatu,” ujar Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Darurat berkaitan dengan hajat, sementara hajat berkaitan dengan kesulitan dan kesempitan. Oleh karena itu, Islam memberikan rukhshah bagi umat yang memiliki hajat saat menjalankan ibadah syariat. Rukshah adalah keringanan yang disyariatkan Allah atas perkara dalam keadaan yang menghendaki keringanan tersebut.
“Jadi diberi keringanan karena memang kondisinya menyulitkan umat Islam. Sehingga dalam konteks mereka berhubungan dengan non muslim ketika bekerja atau lainnya mereka tetap bisa berhubungan dengan fleksibel, tetapi tetap pada keyakinan dan agamanya yaitu Islam,” ungkap Guru Besar UIN KHAS Jember.
Disisi lain, Gus Ahmad Ilham Zamzami, Lc. Sebagai narasumber kedua menuturkan bahwa Fiqh minoritas yang digagas oleh Syekh Yusuf Qardhawi itu menjadikan agama selalu relevan dan selalu membuka wacana baru. Sehingga agama tidak hanya sebatas mengakar pada norma-norma yang ada, akan tetapi agama itu senantiasa memberikan landasan-lanadasan kehidupan bagi umatnya dimanapun umat itu berada.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Fiqh Aqalliyat punya 3 komponen yang perlu dibahas yaitu kita harus memahami dari sumber hukum yang asli berupa Al-Quran, Hadis, maupun ijma para ulama.
“Dari sisi itu pada akhirnya kita juga harus menentukan teks-teks yang tertuang di dalam kitab, kemudian kita dapat mengambil sisi manhaj atau sisi metodologis dari kitab tersebut. Kita perlu membaca dari sisi maqashid syariahnya atau hikmah suatu hukum perlu dilakukan,” ungkapnya yang juga Da’i Internasional Lembaga Dakwah PBNU.
Acara berlangsung aktif dengan dihadiri oleh ratusan peserta dari akademisi, santri dan tokoh publik di seluruh Indonesia.
Penulis: Erni Fitriani
Editor: Siti Junita
Media Center Darul Hikam- Sebagai seorang hamba yang sudah menyatakan beriman, maka wajib bagi dirinya untuk menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah. Hamba pilihan Allah adalah seseorang yang hidup di jalan kebenaran secara sungguh-sungguh demi mengharapkan keridhoan Allah Swt.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dalam Kajian Tafsir Kitab Marah Labid pada Senin, (3/4) mengutip QS. Ali Imran ayat 195 tentang tiga janji Allah kepada hamba yang mau berhijrah demi menjaga ketaatan agamanya. Allah Swt berfirman:
فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. QS:Ali Imran Ayat: 195.
Adapun yang termasuk ke dalam tiga golongan hamba tersebut yaitu pertama, orang yang berhijrah menuju jalan Allah. Kedua, orang yang berperang memerangi hawa nafsu dan menghindar dari maksiat, dan ketiga adalah orang yang diusir dan disakiti karena taat kepada Allah. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan tiga kemuliaan pahala oleh Allah.
Tiga pahala yang dimaksud diantaranya adalah pertama, akan dihapuskan dosa kecil dan diampuni segala dosa besar.
“Sesuai dengan ayat yang sebelumnya dengan lafadz doa اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا yang artinya Ampunilah segala dosa besar dan lafadz َكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا artinya tutuplah segala dosa-dosa kecil, ” tutur Kiai Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli-Jember.
Janji Allah yang kedua adalah mendapatkan pahala agung yaitu masuk ke dalam surga, Ketiga, mendapatkan pahala sekaligus dengan kemuliaan yang ditempatkan Allah bersama dengan para hamba-Nya yang taat.
Bukti ketaaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, salah satunya adalah memperbanyak berdoa dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dari ikhtiar yang telah dilakukan. Dengan itu, Kiai Haris memberikan maqolah yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shodiq.
“Barang siapa seorang hamba yang dikenai masalah lalu ia mengatakan رَبَّنَا sebanyak lima kali, maka Allah akan menyelamatkan apa yang ia khawatirkan dan akan memberikan apa saja yang dikehendaki,”pungkas Kiai Haris yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Wallahu A’lam
Penulis: Siti JunitaEditor: Erni Fitriani
Media Center Darul Hikam- Bulan suci Ramadhan merupakan bulan mulia yang kedatangannya sangat dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Pada bulan ini, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan segala amal ibadah dilipat gandakan.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I dalam kultumnya di Masjid Baitul Amien Jember menyampaikan perihal amalan penting yang utama di bulan Ramadhan.
“Salah satu amalan mujarab yang dianjurkan untuk menghidupkan malam di bulan suci Ramadhan ialah shalat tahajud,” tutur Kiai Haris dalam Kultumnya pada Senin, (10/4/23).
Hal itu berdasarkan pada perintah mendirikan shalat tahajud tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:
وَمِنَالَّيْلِفَتَهَجَّدْبِهٖ نَافِلَةًلَّكَۖعَسٰٓىاَنْيَّبْعَثَكَرَبُّكَمَقَامًامَّحْمُوْدًا
Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.
Inti dari surah Al-Isra di atas menyebutkan perintah untuk mendirikan shalat tahajud di malam hari sebagai tambahan shalat Sunnah. Shalat Tahajud dalam kitab Ushul fikih dihukumi sunnah muakkad (sunah yang dianjurkan), yaitu dikutip dari kata “Nāfilatan” pada ayat tersebut.
“Shalat tahajud berasal dari kata “hujud” yang berarti tidur. Maka dari itu, sebagian para ulama mendefinisikan shalat tahajud ialah shalat yang dilakukan di malam hari setelah tidur,” imbuh Kiai Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jatim.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa shalat tahajud merupakan “shalatu laili”, yakni shalat yang didirikan pada malam hari, baik dilaksanakan sebelum atau sesudah tidur. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa tahajud ialah shalat yang didirikan pada malam hari sesudah tidur, karena Rasulullah ketika hendak mendirikan shalat tahajud beliau tidur terlebih dahulu.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seseorang yang istiqamah dalam melaksanakan shalat tahajud, niscaya Allah akan menempatkannya di tempat yang mulia, baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Meskipun pada ayat di atas yang dipakai berupa lafadz عسىٰ yang ghalib-nya bermakna tidak pasti (mungkin), akan tetapi ketika didampingkan dengan lafadz ربك maka yang awalnya bermakna tidak pasti menjadi pasti, yang awalnya bermakna tidak mungkin menjadi mungkin. Sedangkan lafadz مَقَامًامَّحْمُوْدًا dikutip dari beberapa tafsir, diartikan sebagai tempat yang terpuji. Dan sebagian ahli tafsir lain memaknai sebagai kebangkitan yang terpuji.
Maksud kebangkitan yang terpuji disini ialah kelak ketika di Padang Mahsyar orang-orang yang istiqamah melaksanakan shalat tahajud akan dibangkitkan dengan kebangkitan yang terpuji, karena mereka-mereka mendapat “Syafaatul Kubro”, yakni syafaat yang agung dari Rasulullah Saw.
“Semoga kita semua kelak mendapatkan Syafaatul Qubra dari Nabi besar Muhammad Saw,” pungkas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.
Penulis: Miftahul Jannah
Editor: Erni Fitriani
Media Center Darul Hikam- Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. tentang keutamaan sedekah, harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dalam Al-Qur’an pun tertulis bahwa orang yang bersedekah akan dijanjikan oleh Allah balasan berupa 10 kali dari jumlah sedekah mereka. Demikian yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil. I dalam Kultum Tarawih pada hari selasa, (11/4) bertempat di Masjid Jami’ Baitul Al Amien Jember.
Kiai Haris (sapaan akrabnya) menyampaikan dalam Kitab Shahih Muslim Juz 1 disebutkan bahwa ada ahli sedekah yang salah sasaran dalam cerita Rasulullah. Dalam memberikan sedekah tentu beberapa kriteria seperti harus diberikan kepada fakir miskin.
Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang hendak ingin bersedekah namun dengan cara sembunyi-sembunyi sehingga ia melakukannya pada tengah malam. Hal ini ia lakukan agar bisa mendapatkan ridho Allah dengan cara yang sempurna yaitu tidak mendatangkan riya’.
Sedekah itu ia lakukan selama 3 malam berturut-turut. Singkat cerita di malam pertama, ternyata sedekahnya jatuh di tangan pencuri yang dalam dugaannya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya di pasar ramai orang membincangkan hal itu. Orang tersebut merasa bersalah karena sedekahnya diberikan kepada orang yang keliru. Kemudian ia mengungkapkan kesedihannya seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Sedekahku jatuh di tangan pencuri.”
Laki-laki itupun kembali bertekad ingin bersedekah di malam berikutnya. Sebab ia mengira sedekahnya sia-sia dan tidak “sampai” karena jatuh bukan di tangan yang tepat.
Malam kedua pun tiba. Ia kembali menyelinap keluar rumah di tengah malam. Kemudian ia memberikan sedekahnya kepada wanita yang dalam prasangkanya adalah seorang yang miskin. Keesokan harinya kembali ramai di pasar bahwa ada seorang yang memberikan sedekahnya kepada wanita pezina. Ia kembali merasa sedih dan menyesal, dan seraya mengatakan, “Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu. Kali ini sedekahku jatuh di tangan pezina.”
Kemudian di malam selanjutnya ia kembali bertekad untuk bersedekah. Namun apa dikata, sedekahnya kembali salah sasaran. Ia memberikan sedekah kepada orang yang kaya raya. Hatinya sangat sedih dan ia kembali mengadu kepada Tuhannya dan berucap, “Ya Allah, hanya milik-Mu segala kebaikan. Kini sedekahku jatuh di tangan orang kaya.”
“Singkat cerita datanglah kabar gembira kepadanya melalui mimpi bahwa Allah telah menerima sedekahnya meski jatuh kepada orang yang salah. Ini semua karena ketulusan hati laki-laki itu dalam bersedekah,”ungkap Kiai Haris yang juga Ketua KP3 MUI Jawa Timur.
Dalam cerita tersebut menyimpan hikmah agung yang bisa diambil dari kesalahan laki-laki itu dalam bersedekah. Harapannya seorang pencuri itu bertobat dan berhenti mencuri, wanita pezina itu bertobat dan keluar dari dunia malamnya, dan orang yang kaya yang kikir bisa berubah menjadi dermawan dan menginfakkan hartanya untuk zakat mal. Akhir cerita, ketiga orang penerima sedekah itu menyesal dan berubah menjadi orang yang lebih baik dalam hidupnya.
“Orang yang bermaksiat kemudian ia merasa hina dan bertobat, itu jauh lebih baik dari pada orang yang melakukan ketaatan seperti ke masjid atau bersedekah, namun muncul dalam hatinya kesombongan,” pungkasnya yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember.
Penulis: Siti Faiqotul Jannah
Editor: Erni Fitriani
Media Center Darul Hikam– Pondok Pesantren memiliki misi guna meningkatkan dakwah Islam, sehingga perlu adanya pemahaman fiqih bagi santri sebagai bekal hidup di masyarakat. Menjelang libur bulan Syawal 1444 H, Pondok Pesantrem Darul Hikam menggelar penutupan ta’lim dengan pembelajaran fiqih ubudiyah dan perawatan jenazah. Acara tersebut bertempat di Pondok Cabang Putri Jalan Jumat pada Kamis (13/4).
Acara yang dihadiri langsung oleh pengasuh, Prof Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. dan Ibu Nyai Robiatul Adawiyah, S.HI., M.H. diikuti oleh seluruh mahasantri, baik dari pusat, cabang putrid an cabang putra.
Acara diawali dengan khatmil Al-Qur’an dan tahlil yang dipimpin oleh Ibu Nyai Rabiatul Adawiyah dan diikuti oleh seluruh mahasantri. Dilanjutkan dengan buka bersama dan sholat maghrib berjamaah.
Penyampaian materi fiqih ubudiyah disampaikan oleh Kiai Harisudin mengenai hukum kutek yang biasanya dipakai oleh mahasantri putri. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa fiqih ubudiyah wajib diketahui oleh santri sebagai materi prasyarat agar ibadah yang dilakukan dihukumi sah dan diterima oleh Allah.
“Menyandang gelar mahasantri, tentu ada tuntutan agar memiliki ilmu agama yang lebih luas. Salah satunya dalam pembahasan hukum kutek yang tidak jarang telah dibahas dalam kitab fiqih yang sudah kita kaji bersama, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in tentang thoharoh,” jelas Kiai Haris yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Kiai Haris (sapaan akrabnya) juga menjelaskan salah satu syarat sahnya wudhu dalam kitab Fathul Qorib adalah tidak ada penghalang air di kulit.
“Maka ulama kita sepakat bahwa kutek termasuk benda yang bisa menghalangi air masuk ke dalam kulit. Beda lagi dengan henna yang jika dipakai di kulit, air tetap bisa meresap di kulit, ” tambahnya yang juga Guru Besar UIN KHAS Jember.
Setelah penyampaian fiqih, acara dilanjutkan dengan praktik perawatan jenazah oleh mahasantri putra, hal ini dibimbing oleh Ibu Nyai Robiatul Adawiyah.
“Penting kami sampaikan dan dipraktikkan bagi seluruh mahasantri, baik laki-laki dan perempuan. Secara tata cara dan urutannya, mulai dari adab saat mendengar berita orang meninggal, memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan itu hampir sama dengan mayit perempuan. Hanya saja perbedaannya adalah kain kafan yang digunakan oleh mayit laki-laki sebanyak 3 helai dan perempuan sebanyak 5 helai yang terdiri dari 3 helai kain, baju, celana dalam, sarung dan kerudung, ” ungkap Ibu Nyai Robiatul Adawiyah yang juga Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.
Acara berlangsung khidmat dan lancar dengan diakhiri sholat tarawih berjamaah dan doa bersama.
Penulis: Siti Junita
Editor: Erni Fitriani