Categories
Keislaman

Sound Horeg Diharamkan, Ini Penjelasannya

Di berbagai daerah, sound horeg seolah sudah menjadi tradisi wajib dalam setiap perayaan. Apalagi saat karnaval bulan kemerdekaan Indonesia. Hampir setiap hari karnaval disertai sound horeg sebagai musik pengiringnya.

Bahkan tak hanya sebagai pengiring saat karnaval, tapi juga digunakan sebagai pengiring acara-acara keagamaan seperti halnya peringatan Maulid Nabi SAW. Meskipun sebagian orang ada yang pro dengan adanya sound horeg, tapi banyak juga pihak yang menolak. Lantas bagaimana pandangan Islam melihat fenomena ini?

Perlu diketahui, istilah sound horeg merujuk pada sebuah rangkaian sound system beragam jenis yang ditempatkan di atas truck, yang disetel dengan suara kencang dan menyebabkan kondisi sekitar bergetar atau disebut horeg. Bahkan ada yang sampai menggetarkan bangunan seperti runtuhnya genteng atau kaca bangunan.

Tidak hanya itu, karnaval yang melibatkan sound horeg biasanya diikuti oleh orang yang berjoget-joget baik laki-laki maupun perempuan, dan terjadinya percampuaran (ikhtilat) antara lawan jenis yang tidak dapat diindahkan.

Melihat hal ini, Syekh Syamsuddin menjelaskan keharaman memainkan dan mendengarkan alat-alat musik yang bisa mendorong pada kemaksiatan:

Artinya: “Dan haram menggunakan alat musik yang menjadi ciri khas para peminum khamr, seperti tunbur (dengan dhammah pada huruf pertama), ‘ud, rabab, santir, jank, dan kamanjah, serta sanj (dengan fathah pada huruf pertama), yaitu sebuah alat dari kuningan (logam) yang dipasang senar di atasnya lalu dipukul, atau berupa dua lempengan kuningan yang satu dipukulkan ke yang lainnya. Keduanya hukumnya haram. Juga mizmar ‘Iraqi (seruling khas Irak), serta seluruh jenis alat musik berdawai dan seruling. Demikian pula haram mendengarkannya, karena kenikmatan yang diperoleh dari alat-alat itu mendorong kepada kerusakan, seperti halnya minum khamr, terutama bagi orang yang masih baru bertobat atau dekat masanya dengan kemaksiatan.” (Syekh Syamsuddin al-Ramli, Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, tt], juz 8 halaman 296).

Sedangkan terkait acara, yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, dalam hal ini karnaval dengan iringan sound horeg, maka hukumnya haram untuk dilakukan, serta harus dicegah pelaksanaannya, sebagaimana keterangan di bawah ini:

 قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ: وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ، أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ: لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ – بَلْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ – زَجْرُهُمْ وَمَنْعُهُمْ، وَمَنْ امْتَنَعَ عُزِّرَ، قَالَ: وَحَيْثُ رُفِعَ مُنْكَرٌ لِوَالٍ فَقَدَرَ عَلَى إِزَالَتِهِ فَلَمْ يُزِلْهُ: أَثِمَ

Artinya: Musa bin az-Zayn berkata, “Apabila para pemain bola atau permainan lainnya menyempitkan jalan bagi para pejalan kaki, atau perbuatan mereka atau teriakan mereka menimbulkan gangguan terhadap orang-orang, seperti menghalangi ketenangan mereka dalam tidur dan semacamnya, atau mengganggu orang yang duduk di halaman rumah mereka, maka wajib bagi para wali (orang tua/pengurus mereka) dan pemimpin mereka (atau bahkan setiap orang yang mampu) untuk mencegah dan melarang mereka. Barangsiapa yang tidak melarang, maka boleh dikenai hukuman ta‘zīr (hukuman edukatif dari penguasa).”

Lebih lanjut, Musa bin az-Zayn juga berkata: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, sedangkan ia mampu menghilangkannya dengan melaporkan kepada wali/penguasa tetapi tidak melakukannya, maka ia berdosa.” (Syekh Abdullah bin Muhammad, Qolaidul Khoroid, [Beirut: Muasasah Ulumil Qur’an, 1990 M/1410 H], juz 2 halaman 356).

Sementara itu, Syekh Abu Bakar Syatha menjelaskan terkait keharaman sebuah acara yang terdapat percampuran antara laki-laki dan perempuan, meskipun itu acara yang baik seperti halnya khataman Al-Qur’an:

ٱلْوُقُوفُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ أَوِ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ، وَٱلِٱجْتِمَاعُ لَيَالِيَ ٱلْخُتُومِ آخِرَ رَمَضَانَ، وَنَصْبُ ٱلْمَنَابِرِ وَٱلْخُطَبُ عَلَيْهَا، فَيُكْرَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ ٱخْتِلَاطُ ٱلرِّجَالِ بِٱلنِّسَاءِ بِأَنْ تَتَضَامَّ أَجْسَامُهُمْ، فَإِنَّهُ حَرَامٌ وَفِسْقٌ

Artinya: “Berkumpul pada malam Arafah atau di Muzdalifah, berkumpul pada malam-malam khataman Al-Qur’an di akhir bulan Ramadhan, serta mendirikan mimbar dan berkhutbah di atasnya. Semua itu hukumnya makruh selama tidak terjadi percampuran laki-laki dan perempuan hingga tubuh-tubuh mereka saling bersentuhan. Namun apabila terjadi hal demikian, maka hukumnya adalah haram dan termasuk kefasikan.” (Syekh Abu Bakar Syatha, Hasyiyah l’anah ath-Thalibin, [Maktabah Syamilah, tt] juz 1 halaman 313).

Masih konteks yang sama, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya menjelaskan, bahwa pelaksanaan Maulid Nabi yang menyebabkan terjadinya maksiat itu harus dihindari dan hukumnya haram, berikut penjelasannya:

 فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ، وَجَبَ تَرْكُهُ، وَحَرُمَ فِعْلُهُ

Artinya: “Maka ketahuilah bahwa apabila pelaksanaan Maulid Nabi menyebabkan terjadinya maksiat yang dominan seperti kemungkaran, maka wajib untuk ditinggalkan dan haram untuk dilakukan.”

Selanjutnya, Kiai Hasyim merinci acara Maulid yang haram untuk dilakukan sekaligus dihadiri, karena memuat beberapa hal:

يَخْتَلِطُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَيَلْبَسُ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ الشُّبَّانُ مَلَابِسَ النِّسْوَانِ فَيَحْصُلُ افْتِتَانُ بَعْضِ الْمُتَفَرِّجِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، وَتَقَعُ الْفِتْنَةُ فِي الْفَرِيقَيْنِ، وَيَثُورُ مِنَ الْمَفَاسِدِ مَا لَا يُحْصَى، حَتَّى أَدَّتْ إِلَى حُصُولِ الْفُرْقَةِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ، وَهَذِهِ مَفَاسِدُ مُرَكَّبَةٌ مِنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ مَعَ فِعْلِ الْمُنْكَرَاتِ

Artinya: “Dalam perayaan itu, laki-laki dan perempuan bercampur baur. Pada sebagian waktu, para pemuda mengenakan pakaian perempuan, sehingga sebagian penonton—baik laki-laki maupun perempuan—menjadi tergoda. Akhirnya timbul fitnah dari kedua pihak, dan berbagai kerusakan pun meledak tak terhitung jumlahnya, hingga sampai menyebabkan perceraian antara suami dan istri. Ini semua adalah kerusakan-kerusakan yang muncul akibat perayaan maulid yang disertai dengan perbuatan-perbuatan mungkar.” (Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, At-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yashna’ul Maulid Bil Munkarot, [Jombang, Maktabah At-Turots Al-Islami, tt], halaman 19-20).

Walhasil, hukum penggunaan sound horeg sebagai iringan acara-acara, seperti halnya karnaval adalah haram, baik mengganggu pihak lain atau tidak. Semua ini dengan pertimbangan bahwa penggunaan sound horeg identik dengan syi’ar fussaq (kerusakan/kefasikan), dapat menarik orang lain untuk berjoget yang diharamkan, bercampurnya laki-laki dan perempuan, dan bisa menjadi potensi maksiat yang lain.

Editor: Risma Savhira 

Kontributor: M Rufait Balya B

Sumber: https://jatim.nu.or.id/keislaman/sound-horeg-diharamkan-ini-penjelasannya-1euEM

Categories
Opini

Kesadaran Meiwaku di Jepang

Oleh : M. Noor Harisudin*

*Direktur Womester, Guru Besar UIN KHAS Jember dan Dai Internasional Jepang Tahun 2025

Salah satu nikmat terbesar dalam Safari Ramadlan Tahun 2025 adalah naik kereta api cepat di Jepang. Jepang memiliki Sinkansen. Negara Sakura dengan 47 prefaktur (propinsi) dihubungkan dengan trasnportasi publik yang keren abis. Karena itu, kalau anda jalan-jalan ke Jepang, jangan lewatkan naik Sinkansen.

Alhamdulillah, saya berkali-kali naik Sinkansen. Dari Koga ke Hiroshima, Hiroshima ke Tokyo, Nigata ke Tokyo dan juga rute Koga ke Nagano dan terakhir Nagano ke Tokyo. Umumnya, suasana dalam kereta hening. Tenang. Tidak ada orang yang bicara. Tidak ada keramaian sedikitpun. Semua khusuk menikmati Sinkansen.

Dalam sebuah perjalanan dari Hiroshima ke Tokyo, saya tak lama kemudian menghubungi keluarga di Indonesia. Maklum, saya meninggalkan rumah 15 hari cukup kangen juga. I miss you, my wife. Akhirnya dalam suasana hening kereta api, saya bincang-bincang istri hanya lima menit, Sementara di sebelah kanan depan dan di samping saya ada penumpang lain.

Tak lama kemudian, saya didatangi polisi. Dengan bahasa Jepang halus, ia menegur saya. Ya, karena saya berbicara dalam kereta. Padahal, menurut orang Jepang, itu mengganggu sekali. Meski tidak utuh memahami bahasa polisi di kereta api, saya mengerti bahwa polisi ini menyuruh saya untuk berhenti.

Apa yang menjadi catatan disini adalah prinsip jangan merugikan orang lain. Bahasa Jepangnya, hito ni meiwaku o kakenai. 人に迷惑をかけない. Artinya jangan merugikan orang lain.

Sejak kecil, anak-anak di Jepang diajari untuk tidak boleh merugikan. Apalagi mendzalimi orang lain. Ini adalah bagian dari pendidikan etika dan sopan santun. Pada level luas, prinsip ini digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari, hubungan bisnis dan juga professional.

Saya juga punya pengalaman dengan Cak Yuanas, petani sukses asal Indonesia di Jepang. Ketika diajak menggunakan mobilnya, saya berencana mengambil foto di depan rumah orang Jepang. Namun, saya dilarang. Saking hati-hatinya, cak Yuanas melarang mengambil foto depan rumah orang atau Gedung.

Bandingkan dengan kita di Indonesia yang sedikit-sedikit selfie. Semua tempat adalah wahana selfie, meski kadang tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Tidak hanya bicara dan selfie. Di Indonesia lebih ruwet. Orang sengaja menaruh sepeda motor seenaknya di tengah jalan tempat orang lewat. Mobil juga diparkir di pertigaan, padahal demikian itu sangat mengganggu orang lain. Demikian juga, orang mengendarai sepeda motor dari arah depan mobil kita dengan seenaknya. Bahkan, masih sempat marah-marah. Sudah salah, kok malah marah.

Jika kita jalan-jalan ke desa di Indonesia, kita juga sering mendengar suara musik yang berlebihan. Astagfirullah. Dug dug dug dengan suara yang bising dan bahkan bisa merusak kesehatan manusia. Aneh, hal-hal seperti ini dianggap biasa dan orang yang melakukannya juga merasa tidak bersalah.

Padahal, Islam mengajarkan pada kita untuk tidak merugikan orang lain. La dlarara wala dlirara, jangan sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Demikian juga, jangan berbuat dzalim pada orang lain. La tadzlimun wa la tudzlamun.

Apa yang dalam Islam, sejatinya sejalan dengan ajaran hukum alam. Hukum alam yang dianggap sebagai peraturan hidup berdasarkan kaidah old maxim juris praecepta suntan haec, honesta vivere, alterum non laedere suum cuique tribuere. Artinya, peraturan hukum adalah hidup dengan hormat, jangan merugikan orang lain, laksanakanlah kewajiban masing-masing.

Nah, semua hal yang merugikan orang lain di Jepang tidak ada. Tak heran, Ketua PCI NU Jepang yang juga alumni PhD. UGSAS Gifu University, Gus Gazali mengatakan kalau di Jepang sulit ada kejahatan. Karena semua peraturan termasuk budaya dibuat agar orang berbuat Kebajikan dan menjauhi kejahatan. Keren kan ?

Wallahu’alam***