Categories
Berita

Kajian Ramadhan, YPI Darul Hikam Bahas Puasa Perspektif Fiqh dan Kesehatan

Media Center Darul Hikam – Memasuki bulan suci Ramadhan 1446 H, seluruh umat Muslim dunia tengah menjalankan ibadah puasa. Yaitu, salah satu ibadah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkannya, mulai fajar hingga matahari terbenam.

Sebagai salah satu ibadah wajib seorang Muslim, penting kiranya untuk mengkaji lebih lanjut tentang puasa dari berbagai perspektif. Maka dari itu, Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember menggelar Webinar Nasional dengan tema “Puasa Perspektif Fiqh & Kesehatan” yang berlangsung secara online via zoom meeting pada Senin Sore, 03 Februari 2024.

Webinar kali ini mendatangkan 2 narasumber ternama yang ahli di bidangnya masing-masing, diantaranya; dr. Retno Warasati (Kepala Puskesmas Klabang Bondowoso) dan Ust. Suwardi S.HI., M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember & Pengajar PP. Darul Hikam).

Ketua YPI Darul Hikam, Prof. Dr. KH M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC menyambut baik kegiatan tersebut. Menurutnya, perlu memahami secara utuh makna puasa dari berbagai perspektif, seperti kesehatan dan fiqih.

 “Misalnya hadis yang berbunyi ‘Shumu Tashihhu’ adalah hadis yang artinya “puasalah niscaya kamu akan sehat”. Nah, sehat yang dimaksud dalam hadis ini sehat yang bagaimana menurut ilmu kesehatan, termasuk maqash id syariahnya jika ditinjau dari fiqh nya,” ujar Prof Haris yang saat ini diundang PCI NU Jepang untuk Dakwah Internasional 28 Februari – 14 Maret 2025.

Kepala Puskesmas Klabang Bondowoso, dr. Retno Warasati menjelaskan bahwa puasa memiliki banyak manfaat salah satunya adalah bisa menurunkan kadar insulin dan berat badan.

“Banyak orang saat ini yang obesitas sehingga menimbulkan sejumlah penyakit baru, seperti penyumbatan aliran darah, jantung koroner, dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh berat badan yang lebih,” jelasnya.

Manfaat lainnya juga yaitu memberikan efek yang bagus terhadap masa pertumbuhan dan optimalisasi pembakaran lemak.

“Ketika tubuh tidak bergantung lagi pada karbohidrat, secara otomatis lemak-lemak kita akan terbakar sebagai energi, sehingga kolesterol, lemak jahat, asam urat serta hal negatif lainnya berkurang,” tambah dr. Retno.

Di kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Pengajar PP. Darul Hikam, Ust. Suwardi S.HI., M.H. menyampaikan bahwa puasa merupakan penyanggah agama Islam. Ia mengutip salah satu hadis yang berbunyi ‘Buniyal islamu ala khomsin artinya Islam dibangun di atas lima perkara, salah satunya puasa.

Menurut Ust. Suwardi, Puasa diwajibkan hanya bagi orang yang beriman, tidak cukup Islam saja. Sehingga dalam al-Quran salah satu dalilnya yang berbunyi “Kutiba alaikumus siam” adalah bagian dari ayat Al-Qur’an yang artinya “diwajibkan atas kamu berpuasa”.

“Jadi langsung menggunakan kata ‘Kutiba’ artinya diwajibkan, maka biasanya hal-hal yang diwajibkan itu pasti berat pelaksanaannya atau bertentangan dengan selera manusia pada umumnya seperti pada ibadah mahdhah lainnya,” jelas Ust. Suwardi.

Orientasi puasa, lanjut Ust. Suwardi yaitu La allakum tattaqun adalah frasa dalam Al-Qur’an yang artinya “agar kamu bertakwa”. Frasa ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 183. 

“Takwa memang maknanya menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tetapi ada hal dibalik itu semua yaitu kadar keimanan kita. Semakin kuat iman seseorang maka semakin takwa seseorang, karena keimanan berbanding lurus dengan ketakwaan,” pungkasnya.

Reporter : M. Syafiq Abdur Raziq

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Berita

Direktur World Moslem Studies Center: Fiqh Aqalliyat Cocok untuk Muslim Jepang

Niigata – Praktik Fiqh Aqaliyat atau fikih minoritas menjadi solusi bagi umat Islam yang tinggal di negara dengan penduduk mayoritas non-Muslim, termasuk Jepang. Hal ini menjadi salah satu topik pembahasan Direktur World Moslem Studies Center, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin, S.Ag. SH., M.Fi.I dalam kajian yang digelar di Masjid Nusantara Kota Tsubame, Prefektur Niigata, Jepang, pada Minggu, 02 Maret 2025.

Masjid Nusantara Tsubame merupakan masjid baru. Masjid ini mulai digunakan untuk kegiatan shalat Jumat sejak tanggal 31 Januari 2025. Masjid dua lantai dengan luas 420 meter persegi ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi diaspora Indonesia di Tsubame dan kota-kota sekitarnya. Pada akhir pekan, saat banyak pekerja migran libur, masjid ini semakin ramai dikunjungi umat Islam.

Kajian Fiqh Aqalliyat dimulai pada pukul 16.30 hingga 17.30 waktu setempat. Prof. Haris, yang juga Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, membuka pembahasan dengan menjelaskan konsep masyaqat atau kesulitan dalam menjalankan ibadah.

“Pahala itu bergantung pada masyaqat-nya. Jika menjalankan ibadah di Jepang lebih sulit, maka pahalanya pun lebih besar. Prinsipnya, semakin sulit, semakin banyak pahala,” ujar Prof. Haris yang juga Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur.

Menurut Prof Haris, seorang Muslim yang tinggal di Jepang dapat menerapkan Fiqh Aqalliyat dalam praktik keseharian Islam. Fiqh Aqalliyat adalah fiqh yang dirancang khusus untuk komunitas Muslim di negara-negara minoritas muslim. Di negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Taiwan, China, dan negara sejenis, minoritas muslim lain dapat menggunakan fiqh aqalliyat yang juga juga dikenal dengan fiqh rukshah (dispensasi) tersebut.

Dalam pandangan Prof Haris, fiqh aqaliyat juga disebut fiqh dispensasi karena dalam fiqh aqalliyat berlaku hukum pengecualian karena alasan keadaan sulit (masyaqqat) bagi umat Islam.

“Jika fiqh umumnya mewajibkan muslim dikubur dalam satu pemakaman dengan muslim yang lain, maka ini tidak bisa dilakukan di Jepang yang pada umumnya tidak ada pemakaman muslimnya. Oleh karena, Fiqh Aqalliyat membolehkan kuburan muslim berbaur dengan pemakaman non-muslim. Demikian juga, mensucikan najis mughaladlah pada umumnya pada tujuh kali basuhan salah satunya dengan debu. Ini juga sulit bagi muslim minoritas karena mereka tinggal di lantai tinggi apartemen dimana mereka sangat susah ke bawah cari debu dan apalagi jika dimarahi majikan. Maka dalam Fiqh Aqalliyat tidak pakai debu, tapi dicampur dengan sabun”, ujar Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Demikian juga dengan sholat Jum’at yang sulit dilakukan bagi sebagain muslim. Sebagai contoh, banyak pekerja migran Indonesia yang harus bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00, sehingga kesulitan melaksanakan salat Jumat di masjid. Kalau ingin jumatan, mereka harus tidak masuk kerja. Sebaliknya, kalau mereka kerja, mereka tidak bisa sholat Jum’at.

Menurut Prof. Haris, tantangan yang dihadapi Muslim di Jepang tidak hanya terbatas pada akses ke masjid, tetapi juga ketersediaan makanan halal, pemakaman Muslim, serta regulasi pemerintah yang tidak selalu mendukung praktik keagamaan Muslim. Ia menambahkan bahwa dalam kondisi sulit seperti ini, Muslim diaspora Jepang mendapatkan rukhsah atau keringanan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga tetap bisa beribadah dengan baik meskipun berada di lingkungan yang berbeda dari negara-negara Muslim mayoritas.

Seperti di negara-negara minoritas Muslim lainnya, keterbatasan ini mengharuskan umat Islam untuk cerdas mencari solusi dengan menerapkan Fiqh Aqaliyat, jelas Pengasuh PP Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut.

Apa yang disampaikan Prof. Haris senada dengan pengalaman H. Suratman yang sudah tinggal puluhan tahun di Jepang. Dulu, H. Suratman harus meminta izin tidak masuk kerja agar bisa melaksanakan shalat Jumat. Lambat laun, ia mengubah strategi dengan cara menunaikan salat Jumat di perusahaan dengan meminta tempat pada perusahaan, meski jumlah jamaah kurang dari 40 orang.

“Alhamdulillah, sekarang kami sudah ada masjid sehingga tidak pernah meninggalkan sholat Jum’at,” kata H. Suratman, salah satu peserta kajian yang juga Pengelola Masjid Nusantara Tsubame Niigata Jepang.

Sementara itu, Ketua Tanfidziyah MWCI NU Niigata Jepang, Alfian mengatakan bahwa mereka yang kerja di lapangan sulit melakukan sholat Jum’at. Karena kerja di lapangan pada umumnya menyesuaikan dengan target perusahaan.

“Kalau kita yang di lapangan harus ikut pada target perusahaan, sehingga kita seringkali sulit Jum’atan di Jepang. Akhirnya, ya kita qadla karena dilakukan di luar waktu Jum’at. Karena saat kerja, tidak cukup waktu sholat Jum’at dan juga sholat Ashar”, kata Alfian yang asal Bandar Lampung Indonesia. ***

Reporter : Wildan Rofikil Anwar

Editor : M. Irwan Zamroni Ali

Categories
Berita

Guru Besar UIN KHAS Jember: Puasa Berdampak Sosial pada Diaspora Muslim Jepang

Ibaraki, Jepang – Puasa di bulan Ramadan memiliki dampak sosial yang besar, terutama bagi komunitas Muslim di perantauan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA.,CWC dalam kuliah tujuh menit (kultum) di Masjid NU At-Taqwa, Koga, Ibaraki, Jepang, pada Sabtu, 1 Maret 2025.

Acara ini dihadiri oleh ratusan jamaah dari berbagai latar belakang, baik warga Indonesia maupun Muslim dari negara lain. Kultum disampaikan tujuh menit setelah salat Magrib, kemudian dilanjutkan dengan salat Tarawih dan Witir sebanyak 23 rakaat.

Dalam ceramahnya, Prof. Haris, yang tengah diundang PCI NU Jepang untuk kegiatan Dakwah Internasional pada 28 Februari – 14 Maret 2025, menekankan bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan akan tercermin dalam perilaku sehari-hari.

“Ibnu Atha’illah Al-Iskandari mengatakan, ‘man wajada tsamrata ‘amalihi ‘ajilan fahuwa daliilun ala qabuulihi ajilan.’ Artinya: ‘Barang siapa yang menemukan buah amalnya di dunia, maka itu bukti akan diterima amalnya kelak di akhirat.’ Buah amal ini tampak dari perubahan seseorang menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Prof. Haris, yang juga Direktur World Muslim Studies Center.

Lebih lanjut, Prof. Haris menjelaskan bahwa seorang Muslim yang menjalankan puasa dengan baik akan menunjukkan sikap baik tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga terhadap makhluk lain, seperti hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitar.

Dalam konteks ini, ia mengutip Al-Qur’an QS. Al Baqarah: 183 yang menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah membentuk pribadi bertakwa (la’allakum tattaqun).

” Ibarat hewan, tattaqun adalah kupu-kupu yang indah nan elok dilihat dan menyenangkan setelah seekor ulat melakukan puasa menjadi kepompong “, ujar Prof Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Menurutnya, jika Muslim di Jepang mampu menunjukkan akhlak yang baik dan unggul, hal ini akan membawa dampak positif bagi masyarakat Jepang. Keberadaan diaspora Muslim dapat menjadi solusi bagi masyarakat Jepang yang mengalami dahaga spiritual.

Reporter: Siti Junita
Editor: M. Irwan Zamroni Ali