Categories
Keislaman

Hukum Perempuan Menjadi Khatib Shalat Id

Shalat Idul Adha disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah, namun juga boleh dilakukan sendirian, baik sedang dalam perjalanan (musafir), maupun tidak sedang bepergian. Shalat ini diperuntukkan bagi laki-laki dan wanita.  

Dalam beberapa kondisi sangat memungkinkan didirikan jamaah shalat Id khusus perempuan. Dengan kondisi yang demikian, apakah masih disunahkan khutbah ied dengan khatib perempuan?   

 Pada dasarnya khutbah id hukumnya sunah. Kesunahan memberikan khutbah meskipun jumlah jamaah hanya dua orang. Namun, khutbah tidak disunahkan untuk satu orang dan jamaah perempuan kecuali jika ada seorang laki-laki yang bertindak sebagai khatib untuk memberikan khutbah kepada mereka. Berikut penjelasan kitab Busyral Karim:

Artinya, “Kemudian setelah selesai mengerjakan shalat ied dianjurkan untuk memberikan khotbah meskipun hanya untuk dua orang, atau meskipun mereka adalah musafir, dan meskipun waktu shalat telah berlalu, dan mereka shalat secara sendiri-sendiri, tidak ada khutbah untuk satu orang dan jamaah wanita kecuali jika ada laki-laki yang memberikan khutbah untuk mereka.” (Said Ibn Muhammad Ba’ali Baisan, Busyral Karim,[Jedah, Darul Minhaj: 2004 M] halaman 426).

Lebih jelas lagi Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa khutbah Idul Adha itu sama persis dengan khutbah Jumat dalam rukun dan sunah-sunahnya, dan khatibnya harus laki-laki menurut pendapat mu’tamad.    

Artinya, “Dan disunahkan bagi imam untuk berkhotbah dengan dua khotbah untuk jamaah, bukan untuk orang yang shalat sendirian, setelah salam dari shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) serta shalat gerhana. Dua khotbah pada hari raya sama seperti dua khotbah Jum’at dalam rukun dan sunah-sunahnya, tetapi tidak dalam syarat seperti berdiri, menutup aurat, bersuci, dan duduk di antara keduanya. Dianjurkan untuk duduk sebelum keduanya sebagai istirahat.

Benar, untuk melaksanakan sunah dan sahnya khutbah, harus menyampaikan dengan suara yang bisa didengar dan didengarkan, meskipun hanya secara potensial, sebagaimana dijelaskan dalam khutbah Jumat. Khotbah harus dengan bahasa Arab (cukup rukun-rukunnya) dan khatib harus laki-laki menurut pendapat mu’tamad.” (Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, halaman 109).  

Menurut Imam As-Syafi’i sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bayan, perempuan tidak boleh memberikan khutbah meskipun seluruh jamaahnya perempuan, karena khutbah adalah salah satu hal yang khusus dikerjakan laki-laki. Namun, sebagai penggantinya dapat diganti dengan mau’idzah.   

Artinya: “Imam Syafi’i berkata, ‘jika para wanita berkumpul untuk melaksanakan shalat Id, maka tidak mengapa, kecuali mereka tidak boleh menyampaikan khutbah; karena khutbah termasuk perkara yang dilakukan (sunah) oleh kaum laki-laki. Jika salah seorang dari mereka berdiri dan memberikan nasihat serta mengingatkan mereka, maka itu adalah hal yang baik.” (Abu Husain Yahya bin Abil Khair Al-‘Umrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam As-Syafi’i, [Jedah, Darul Minhaj, cetakan pertama: 2000], juz II, halaman 663).  

Senada penjelasan di atas Imam Al-Bujairimi berkata:   

Artinya, “Ungkapan Mushanif: ‘Tidak untuk orang yang shalat sendirian’ , maksudnya dan juga tidak (disunahkan khutbah) untuk jamaah wanita kecuali jika ada laki-laki yang berkhutbah untuk mereka. Maka jika salah satu dari jamaah perempuan tersebut berdiri dan memberikan nasihat, maka tidak mengapa.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi, Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhil Manhaj, [Beirut, Matba’ah Al-Halabi: t.t], juz I, halaman 426).  

Simpulan

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami, boleh mendirikan jamaah shalat id khusus perempuan, namun tidak ada kesunahan khutbah id, kecuali jika ada seorang laki-laki yang bertindak menjadi khatibnya.  

Ketidaksunahan ini karena perempuan tidak boleh bertindak sebagai khatib, karena menurut pendapat yang mu’tamad khatib harus laki-laki.   

Sebagai solusinya khutbah dapat diganti dengan mau’idzah dan ini adalah hal yang baik.  

Sebenarnya antara khutbah dan mau’idzah itu sama, sama-sama ucapan yang isinya nasihat keagamaan. Bedanya mau’idzah lebih fleksibel, sedangkan khutbah memiliki struktur formal yang harus dipenuhi untuk keabsahannya seperti syarat, rukun, kewajiban dan kesunah-kesunahannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-perempuan-menjadi-khatib-shalat-id-e0OTE

Categories
Keislaman

Apakah Orang Kaya Boleh Menerima Daging Kurban Wajib?

Kurban atau udhiyah adalah ritual ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara menyembelih binatang berupa kambing, sapi, dan unta pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik. Hukum dasar dari kurban adalah sunah, dan anjuran tersebut diperuntukkan kepada orang-orang yang memiliki harta lebih atau dapat disebut orang kaya.  

Hukum kurban dapat berubah menjadi wajib dengan dua hal. Pertama dengan nazar. Orang yang mengucapkan nazar untuk menyembelih kurban, maka hukum kurbannya menjadi wajib. Kedua dengan ucapan kesanggupan berkurban dan telah menentukan binatangnya, seperti seseorang menyatakan “aku jadikan kambing ini sebagai kurban”.  Dengan pernyataan tersebut, maka hukum kurbannya juga menjadi wajib.   

Dalam mendistribusikan daging kurban, terjadi perbedaan aturan antara kurban sunah dan wajib.

Dalam kurban sunah, daging yang harus disedekahkan kepada fakir miskin hanyalah sedikit. Artinya dalam mendistribusikan daging kurban sunah diperbolehkan hanya memberikan satu dua suap daging untuk fakir miskin dan selebihnya dimakan sendiri, meskipun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap saja untuk mengambil berkah kurban.

Hal ini berbeda dengan aturan yang ada dalam kurban wajib. Pihak yang berkurban beserta keluarganya tidak boleh sama sekali untuk memakan daging kurbannya. Ia wajib menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin yang ada di daerahnya. 

Meski demikian aturannya, realita yang ada, terkadang panitia kurban langsung saja membagi daging kurban menjadi beberapa potongan kecil dan memasukkannya ke dalam plastik, kemudian langsung membagikannya kepada para tetangga sekitar tanpa memilah mana keluarga yang masuk dalam kategori fakir miskin, dan mana yang masuk kategori keluarga mampu atau kaya.   

Lantas, apakah cara mendistribusikan daging kurban wajib seperti di atas dapat dibenarkan?  

Ada dua poin yang menjadi pokok permasalahan. Pertama hukum menyerahkan daging kurban wajib kepada orang kaya. Dalam kajian fiqihnya, kurban wajib harus disedekahkan semua kepada fakir miskin. Ini menegaskan bahwa kurban wajib tidak boleh dimakan oleh pihak yang berkurban, serta tidak boleh pula untuk diberikan kepada orang kaya, karena daging kurban bagi orang kaya tidak disebut sedekah melainkan sebatas ith’am (memberikan hidangan).  

Karena itu, jika kurban wajib tidak tersalurkan seluruhnya kepada fakir miskin, semisal ada sebagian yang dimakan oleh pihak yang berkurban, maka ia harus menggantinya dengan daging lain dan menyerahkannya kepada fakir miskin. 

Dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal disebutkan:

Artinya, “Adapun kurban yang dinazari maka harus disumbangkan seluruhnya, sebagaimana disebutkan di atas dalam penjelasan Ar-Ramli dan Ibnu Hajar.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013] juz VIII, halaman 226

Artinya, “(Tidak boleh memakannya) dan mestinya tidak boleh diberikan kepada orang kaya, demikian penjelasan Ibnu Qasim. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “Dan jika orang yang berkurban memakannya, maka dia didenda untuk menggantinya”.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2015] juz XII, halaman 280).  

Kedua, standar orang kaya dalam bab udhiyah. Dalam hal ini, ulama berpeda pendapat dalam menentukan standarnya. Menurut imam Ar-Ramli standar orang kaya dalam udhiyah adalah orang yang haram menerima zakat, sedangkan orang fakir dalam udhiyah adalah orang yang berhak menerima zakat.   

Pendapat lain disampaikan oleh imam At-Thabalawi, beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang mampu untuk melaksanakan kurban, yaitu orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok yang dipertimbangkan dalam zakat fitrah. 

Artinya, “(Ungkapan: “Dan ia boleh memberi makan kepada orang kaya”). Ulama tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kaya di sini. Imam Ar-Ramli membolehkan yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang diharamkan menerima zakat, dan orang miskin di sini adalah orang yang dihalalkan menerima zakat.  

Sementara menurut At-Thabalawi boleh pula orang kaya adalah orang yang mampu menunaikan kurbannya, dan dia adalah orang yang memiliki harga hewan kurban, melebihi kebutuhan yang dipertimbangkan lebih pada zakat fitrah.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi ‘alal Manhaj [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz IV, halaman 401).  

Simpulan Hukum Kurban wajib tidak boleh diberikan kepada selain fakir miskin. Jika terjadi pendistribusian kepada selain fakir miskin, maka wajib diganti dengan daging lain dan diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam.  

Penulis: Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jatim.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/apakah-orang-kaya-boleh-menerima-daging-kurban-wajib-11ced