Categories
Keislaman

Apakah Perlu Pindah Mazhab ketika Haji dan Umrah?

Haji dan umrah merupakan ibadah yang cukup dinamis. Secara normatif, ketentuan di dalam haji dan umrah sudah jelas di dalam kitab-kitab fiqih baik pandangan mu’tamad yang dikemukakan oleh mayoritas ulama maupun pendapat ulama orang seorang tentu dengan kualitas yang bervariatif, rajih dan marjuhnya.  

Haji dan umrah sebagaimana ibadah lainnya memiliki ketentuan, syarat, rukun, wajib, dan sunnah yang sedapat mungkin dilaksanakan termasuk larangan haji dan umrah yang harus dihindari.  

Adapun haji dan umrah dalam praktik tidak dapat disimplifikasi ke dalam satu buku panduan manasik atau penerapan satu mazhab fiqih tertentu. Haji dan umrah dalam praktik akan mengalami kendala ketika jamaah terpaku oleh satu kerangka normatif tertentu.

Haji dan umrah dalam praktik perlu pendekatan khusus yang tidak hanya berbasis nash, tetapi juga mempertimbangkan waqa’i/realitas-realitas di lapangan baik yang bersifat kebijakan Kemenag RI, otoritas Arab Saudi, keragaman kategori [kebutuhan] jamaah haji Indonesia, kepadatan jamaah haji, keterbatasan area manasik haji (termasuk Armuzna), kebijakan konsumsi, ketersediaan fasilitas umum dan akomodasi [kelayakan tenda, jumlah toilet], kondisi lalu-lalang bus/ambulans atau arus pergerakan pejalan kaki, maupun kondisi cuaca terik area manasik.

Status istitha’ah (kemampuan) calon jamaah haji yang menentukan syarat wajib seseorang juga berbeda penerjemahannya dalam bentuk kebijakan di negara-negara yang memberangkatkan haji warga negaranya.

Keragaman kategori calon jamaah haji seperti jamaah sehat, jamaah sakit dengan pendampingan, jamaah dengan risiko tinggi, jamaah lansia, jamaah demensia, jamaah disabilitas, bahkan istitha’ah berdasarkan usia sudah cukup pelik.  

Walhasil haji dan umrah dalam praktik cukup dinamis dan kompleks. Secara simpel, Imam An-Nawawi membagi dinamika dan kompleksitas hambatan dan kendala ibadah dalam dua kategori, yaitu uzur aam yang bersifat umum-kolektif dan objektif; dan uzur khas yang bersifat individual subjektif.  

Di tengah ‘uzur ‘aam dan ‘uzur khas yang cukup dinamis, perpindahan mazhab (intiqalul madzhab) secara umum yang sering kali tak terhindarkan pada dasarnya telah memiliki landasan teologisnya.  

Perpindahan mazhab dalam ibadah haji bukan sekadar soal sentuhan laki-laki dan perempuan di tengah kepadatan jamaah saat tawaf dan sai di Masjidil Haram.

Perpindahan mazhab dalam konteks haji dan umrah menjadi niscaya dan dibutuhkan ketika pelaksanaan tawaf ifadhah bagi jamaah haji perempuan yang haidh, kriteria pembadalan jamaah yang uzur, agenda safari wukuf, pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan murur (seperti lazim dilakukan jamaah haji asal Turki), kebijakan tanazul sebagian jamaah untuk mengurangi kepadatan mabit di Mina, ketentuan (bebas) dam bagi petugas haji dan tim kesehatan yang tidak sempat mengerjakan wajib haji karena kesibukannya dalam tugas pelayanan, ketentuan miqat makani, area mabit (Mina Jadid), keutamaan berlipat ganda ibadah di Tanah Haram yang nggak melulu di Masjidil Haram, shalat berjamaah dari hotel terdekat kepada imam di Masjidil Haram, suci sebagai syarat sah tawaf, tawaf di perluasan Masjidil Haram, dan bahkan optimalisasi dam haji.  

Dengan demikian, perpindahan mazhab dapat menjadi solusi untuk mencari opsi-opsi yang memungkinkan dan meringankan dinamika praktik haji dan umrah sesuai kebutuhannya yang pelik dan kompleks di lapangan.  

Syekh M Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M) ulama prolifik ini memberikan landasan teologis terkait perpindahan mazhab. Fleksibilitas itu tampak ketika ia mengutip salah satu pandangan ulama yang membolehkan perpindahan mazhab atau bahkan penggabungan dua mazhab dalam satu masalah sejauh tidak bertentangan dengan pandangan ijmak, suatu konsensus yang telah disepakati ulama.

Artinya: “Soal perpindahan dari satu ke lain mazhab–meski tidak secara keseluruhan satu rangkaian ibadah–, ulama memiliki tiga pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama melarang secara mutlak. Sebagian ulama lagi membolehkan secara mutlak. Sebagian ulama lain lagi membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijmak. Apabila bertentangan dengan ijmak, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama. (Nawawi Al-Bantani, Ats-Tsimarul Yani’ah fi Riyadhil Badi’ah, [Mesir-Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah: tanpa catata tahun], halaman 13).  

Nahdlatul Ulama (NU) sendiri dalam anggaran dasar organisasinya mengakui empat mazhab sebagai ketentuan normatif fiqih yang boleh dipraktikkan oleh masyarakat NU. Meski lebih dominan dan memprioritaskan mazhab Syafi’i, NU tetap membuka kemungkinan terhadap praktik penggabungan dua mazhab atau lebih (talfiq).  

Dalam Musyawarah Alim Ulama Nasional (Munas) NU 2006 di Surabaya, secara eksplisit NU memutuskan kebolehan talfiq antara pendapat empat mazhab fiqih Islam. “Talfiq pada dasarnya dilarang. Talfiq dibolehkan jika ada masyaqqah (kesulitan) dan tidak dalam rangka tattabbu’ur rukhash (semata-mata mencari keringanan).” (Ahkamul Fuqaha, Solusi Hukum Islam, [Jakarta-Surabaya, LTN PBNU-Kalista: 2012 M], halaman 859-860).  

Dalam putusan Munas NU 2006, praktik talfiq merujuk pada penggabungan dua pendapat atau lebih dalam satu qadhiyah (satu rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru yang tidak ada seorang imam (ulama) pun berpendapat seperti itu.  

Contoh, seseorang bertaqlid kepada mazhab Syafi’i dalam keabsahan wudhu dengan hanya mengusap sebagian kepala. Kemudian bertaqlid pada mazhab Hanafi dalam hal ketidakbatalannya karena menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram. (Ahkamul Fuqaha, 2012 M: 859-860).  

Inisiatif praktik talfiq berangkat dari perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah memunculkan persoalan-persoalan keagamaan yang membutuhkan jawaban yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Kompleksitas persoalan itu dihadapkan pada teks- teks (nushus) syar’i terbatas. Demikian juga dengan keterbatasan pendapat-pendapat ulama yang terintegrasi dalam suatu persoalan. Sedangkan persoalan-persoalan keagamaan selalu muncul tidak ada batasnya. Terkadang, talfiq menjadi langkah yang sulit dihindari demi tercapainya kemaslahatan dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi.  

Sistem bermazhab yang dianut oleh NU sendiri sudah sejak lama mempraktikkan talfiq dalam kajian-kajian keagamaannya. Hanya saja putusan Munas NU 2006 di Surabaya ini memberikan ketentuan, batasan kebolehan, dan juga landasan atau dasar hukum praktik talfiq yang sudah dikutip sebelumnya.   Putusan Munas NU 2006 di Surabaya tentang talfiq ini sungguh penting sebagai pintu masuk untuk mencari solusi atas dinamika, problematika, dan kompleksitas ibadah haji dan umrah, tetapi juga “untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menggunakan talfiq dan menghindari penyalahgunaan talfiq yang menyesatkan,” (Ahkamul Fuqaha, 2012 M: 859). Wallahu a’lam.

Penulis:

Ustadz Alhafiz Kurniawan M.Hum., Redaktur Keislaman NU Online, Penyuluh Agama Islam Jakarta Selatan, Wakil Sekretaris LBM PBNU, MCH 2024.

Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/apakah-perlu-pindah-mazhab-ketika-haji-dan-umrah-MnZX2