Media Center Darul Hikam – Beragama di Belanda, lebih banyak pahalanya. Demikian disampaikan Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M.Fil.I, CLA, CWC, dalam safari dakwah kerjasama World Moslem Studies Center (Womester) dengan Pengurus Cabang Istimewa NU Belanda di Masjid Al-Hikmah Den Hag Belanda (19/Maret 2024).
Menurut Prof Haris, pahala itu bergantung pada kadar kepayahan seseorang. Tentu kadar kesulitan dan kepayahan beragama di Belanda lebih berat daripada di negara Indonesia. Ini salah satu ciri khas beragama di negara Belanda dan negara Eropa lainnya.
Acara ceramah agama dimulai jam 17.30 hingga jam 18.45 waktu buka puasa. Hadir pada kesempatan itu KH Hasyim Subadi (Rois Syuriyah PCI NU Belanda), Kiai Nur Ahmad, Ph.D (Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda), para pengurus Masjid Al Hikmah dan ratusan jamaah masjid. Ratusan orang hadir menyimak ceramah guru besar UIN KHAS Jember tersebut.
Mengapa? Karena di sini lebih masyaqat dibanding di Indonesia. Padahal, pahala itu bergantung pada kadar kepayahan orang. “Al-ajru biqadrit ta’abi. Pahala itu bergantung pada kadar kepayahan. Kalau kepayahan orang puasa di Belanda 17 jam, tentu lebih banyak dari puasa yang hanya 14 jam seperti di Indonesia,” ujar Prof. Haris yang juga Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Selanjutnya, Prof Haris menjelaskan tentang tingkatan beragama. Dalam beragama, ada tingkatannya seperti tingkatan dalam berfikih ada yang pakai taqlid, ittiba dan ijtihad.
“Kalau praktik beragama itu, ya tiga itu. Taqlid, ittiba dan ijtihad. Jadi, jangan dicaci orang awam yang beragama secara taqlid. Namun, orang yang punya kapasitas harus didorong untuk melakukan ijtihad. Kalau tidak bisa ijtihad sendiri, maka dilakukan ijtihad jama’i,” terang Prof Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember.
Dari aspek tauhid, beragama juga bertingkat, yaitu tauhidnya orang awam, orang filosof dan orang ahli ma’rifat sebagaimana disebut dalam kitab ihya Ulumudin.
“Tauhidnya orang awam ya ikut pada ustad, kiai atau ulama tentang keyakinan pada Allah. Sementara, tauhidnya orang filosof atau ahli teologi butuh dalil. Dan tauhidnya orang ahli makrifat, mereka langsung melihat langsung hadirat Allah Swt,” ujar Prof Haris yang berdakwah di Eropa sejak tanggal 10 sampai dengan 26 Maret 2024 ini.
Demikian juga dalam hal puasa. Ada tingkatan orang berpuasa. Tingkatan puasa orang awam. Selanjutnya tingkatan puasa orang khawas. Dan terakhir tingkatan orang khawasul khawash.
“Seperti disampaikan Kiai Subadi dalam kitab Durratun Nasihin, tingkatan ini ada. Dan paling banyak tingkatan orang awam. Makanya, kalau bisa, kita menaikkan tingkatan puasa kita dari awam ke khawash,” ujar Prof. Harisudin yang telah berdakwah ke berbagai negara seperti Taiwan, Australia, Singapura dan New Zealand.
Cara untuk menaikkan kelas, salah satunya adalah dengan puasa orang khawas. Puasanya dengan puasa yang tidak hanya tidak makan dan tidak minum. Sabda Navi Muhammad Saw: Rubba shaimin laisa lahu min shiyamihi illal jua’ wal athas. Banyak sekali orang berpuasa tidak mendapat apa-apa dalam puasanya, kecuali lapar dan dahaga.
“Puasa khawas belajar tidak hanya sekedar itu. Namun puasa mata dari melihat yang tidak bermanfaat. Puasa telinga dari mendengar yang tidak berguna. Puasa bicara dari bicara yang tidak bermanfaat. Puasa pikiran dari pikiran kotor. Kita belajar puasa ini biar naik kelas”, ujar Prof Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.
Reporter :M. Irwan Zamroni Ali
Editor : Siti Junita