Categories
Kolom Pengasuh

Legenda Universitas Leiden

Oleh: M. Noor Harisudin

Setelah dari Waginengin, saya ditemani Syahril Imron bergeser ke Kota Leiden. Perjalanan dari Waginengin ke Leiden kurang lebih tiga jam naik kereta api dan bis. Di sini, Kiai Nur Ahmad, Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Belanda tinggal. Kiai Nur Ahmad adalah mahasiswa Ph.D Universitas Leiden. Ia bersama istri dan dua putranya. Satunya baru tujuh bulan, satunya baru kelas 1 basic school di Leiden. Ithaf nama putra pertama Kiai Nur Ahmad. Nama putra keduanya Mishka Sirri Ahmad.

Hari Rabu (20 Maret 2024), saya dan Hengki berkeliling kota Leiden. Hengki adalah Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr PCI NU Belanda. Betapa senang saya. Sudah sejak lama, saya hanya mendengar legenda Universitas Leiden. Kini, saya berkeliling ke kota Leiden dan bahkan berkeliling ke Universitas Leiden yang melegenda, meski hanya dua hari di sini.

Universitas Leiden didirikan tahun 1575 oleh Pangeran Willem van Oranje. Universitas ini adalah universitas tertua di Belanda. Banyak tokoh Indonesia yang mengenyam pendidikan di Universitas Leiden. “Kampus di sini terpencar dan berdempetan dengan rumah penduduk, Prof”, kata Hengki yang alumni S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memang, kompleks Universitas Leiden berpencar.

Kampus Leiden antar fakultasnya terpisah satu dengan lainnya. Dan itu disekat dengan rumah penduduk dan sungai yang bersih nan indah.  Namun, demikian ini tidak membuat Universitas Leiden tidak mentereng. Beberapa bangunan yang bertuliskan Universitas Leiden, itulah yang punya kampus. Sementara bangunan yang tidak ada tulisan, maka ya milik orang kampung. Selain di kota Leiden, Universitas Leiden juga berada di kota Den Haag.

Universitas Leiden masyhur dengan perpustakaan yang nyaman dan modern. Dus, perpustakaan Leiden terkenal paling lengkap koleksi manuskrip dan arsipnya di dunia. Mahasiswa, akademisi, peneliti, sejarawan dan budayawan dari berbagai negara silih berganti ke perpustakaan ini. Tentu kondisinya berbeda dengan perpustakaan Indonesia.

Dengan menggunakan sepeda pancal, siang itu saya bersama Hengki menuju Perpustakaan Leiden. Disini, banyak manusrkrip karya para ulama Indonesia. Demikian juga arsip-arsip kenegaraan Indonesia, semua ada disini. Semua dapat diakses baik oleh mahasiswa atau non-mahasiswa. Untuk yang non-mahasiswa, mereka harus memiliki library card dulu dengan membayar 40 euro per tahun atau 680 ribu rupiah. Dengan memiliki library card, maka semua akses dibuka layaknya mahasiswa Leiden.

Artinya, dengan memiliki library card, kita bisa membawa buku-buku ke housing kita. Kita juga bisa masuk berjam-jam di perpustakaan yang melegenda tersebut. “Biasanya saya malam, Prof. Karena sepi dan bisa sampai jam setengah 12 malam”, kata mas Hengki pada saya. Perpustakaan Leiden buka jam 09.00 pagi hingga jam 11.30 malam. Perpustakaan ini selalu ramai. Perpustakaan ini cukup menggunakan digital. Kita tinggal memesan buku, manuskrip atau arsip yang kita. Nanti kita ambil di rak. Dan jika mengembalikan, kita menggunakan mesin pengembalian buku. 

Sebagian buku sudah tertera dalam kotalog computer. Cara mencari buku, kita tinggal memesan buku yang hendak dilihat, kemudian paling cepat satu ham buku tersebut sudah ada. Buka diambil sendiri dalam loker. Komputer memberi tahun berapa buku yang sedang kita pesan. Untuk membuka loker, kita harus menggunakan anggota. Bagi yang berlama-lama di perpustakaan, disediakan loker. 

Sayangnya, ketika saya dan Hengki ke sana, perpustakaan Leiden tutup untuk umum. Karena sedang ada exam mahasiswa. Perpustakaan hanya digunakan untuk para mahasiswa Leiden yang sedang fokus dengan ujian mereka. Saya hanya bisa melihat dan mengamati dari luar.

Di sekitar Universitas Leiden, kita akan menemukan rumah Snouk Hourgronye. Rumahnya ada di pinggir sungai. Terlihat, rumah yang masih terawat dengan baik. Snouk Hourgronye dikenal sebagai seorang orientalis yang pertama kali mencetuskan hukum adat. Snouk Hourgronye dianggap sebagai pemecah belas umat Islam dan menjadi mualaf di Mekah. Kuburan Snouk Hourgronye juga ada di kota Leiden. Konsep kuburan di Leiden tidak sama dengan Indonesia. Di sini, pemakanan dibuat indah dan asri dengan berbagai pohon yang rindang serta taman-taman yang indah. Beruntung sekali saya bersama Kiai Nur Ahmad yang menunjukkan pada saya makam Snouk Hourgronye.    

Di Universitas Leiden, kita juga akan menemukan patung mahasiswa pertama Indonesia di Belanda. Namanya Husein Jayanegara. Patungnya spesial karena berdiri dengan sejumlah guru besar dan akademisi kenamaan di Universitas Leiden.   *(Bersambung) 

* M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.