Categories
Kolom Pengasuh

Memotret Pendidikan Di Negeri Belanda

Oleh: M. Noor Harisudin

Sembari berdakwah lima belas hari di negeri kincir angin, saya juga takjub dengan model Pendidikan di Belanda. Pendidikan di Belanda termasuk maju. Menurut World Economic Forum, Belanda disebut sebagai negara terdidik ketiga di dunia.  Untuk mengurus Pendidikan, Belanda memiliki kementerian Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wetenschappen; OCW. Selain membidangi pendidikan, kementerian ini juga membidangi  kebudayaan, ilmu pengetahuan, penelitian, kesetaraan gender dan juga komunikasi.

Sistem pendidikan di Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang dikenal di Asia, Amerika, bahkan di sebagian besar wilayah Eropa. Di Eropa sendiri, sistem pendidikan ala Belanda hanya dikenal oleh beberapa negara, antara lain Jerman dan Swedia. Salah satu perbedaan sistem pendidikan di Belanda adalah penjurusan yang sudah dimulai sejak pendidikandi tingkat dasar. Penjurusan ini tentu saja mempertimbangkan minat dan kemampuan akademis dari siswa.

Secara umum, sistem penjurusan di Belanda dapat dikategorikan sebagai berikut:

Pertama, pendidikan tingkat dasar dan lanjutan (primary en secondary education). Kedua, pendidikan tingkat menengah kejuruan (senior secondary vocational education and training) Ketiga, pendidikan tingkat tinggi (higher education).

Sebelum kuliah di perguruan tinggi, terdapat beberapa jenis kelas yang dapat diambil siswa Belanda. Misalnya siswa dapat mengambil HAVO (pendidikan menengah umum senior) atau VWO (pendidikan pra-universitas) sebelum mereka melanjutkan ke perguruan tinggi. Atau juga mereka juga dapat mengambil VMBO (pendidikan kejuruan menengah persiapan) jika dia tidakingin langsung masuk perguruan tinggi. Dengan sistem ini, siswa dapat bekerja dengan program yang akan mengakomodasi kebutuhan mereka.

Sementara itu, hari sekolah di sekolah dasar Belanda biasanya berlangsung muai jam 8.30 pagi hingga jam 15.00 sore pada hari kerja. Namun, siswa pulang untuk makan siang daripada makan di kafetaria sekolah. Bagi Warga Negara Indonesia yang ingin langsung anaknya diterima di Indonesia ketika kembali, mereka tidak mencukupkan  sekolah di Belanda, mereka masih mensekolahkan anaknya lagi di KBRI Den Haag secara online. Jadi ketika kembali ke tanah air, mereka langsung dapat menggunakan ijasahnya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.  

Namanya Sekolah Indonesia Den Haag yang disingkat SIDH. Sekolah SIDH diselenggarakan baik offline maupun online mulai tingkat SD sampai SMA. Menurut dokter Ikhwan, seorang mahasiswa Ph.D kedokteran di Amsterdam, ia menyekolahkan buah hatinya di SIDH agar setelah kembaki ke Indonesia tidak perlu melakukan penyesuaian jenjang pendidikan. SIDH memiliki kurikulum yang sama dengan di Indonesia.  

Apa yang membedakan sekolah Belanda dengan Indonesia? Sekolah di Belanda memberikan pekerjaan rumah (PR) dengan jumlah sedikit bagi anak-anak. Bagi Belanda, bermain dan olahraga sangat penting untuk pertumbuhan dan kinerja anak-anak di sekolah. Oleh karena itu, pelajar Belanda di bawah usia 10 tahun menerima sangat sedikit pekerjaan rumah –untuk dibilang tidak ada. Orang tua siswa merasa senang karena pekerjaan rumah tidak dibawa ke rumah masing-masing. Tentu ini berbeda dengan Pendidikan di Indonesia yang senang memberi PR pada siswa.

Mereka juga diajari critical thinking sejak kecil. Dengan critical thinking, mereka terbiasa memiliki pendapat sendiri. Mereka juga biasa berpendapat berbeda dengan orang lain. Bukan orang Belanda, kalau dia tidak memiliki pendapat. Kalau Indonesia hanya menghafal Pelajaran saja sehingga siswa tidak kritis dan cenderung tidak punya pendapat. Hal yang mestinya diubah untuk Pendidikan Indonesia di masa-masa yang akan datang. Apalagi di era 4.0 seperti sekarang. Seorang mahasiswa S3 Kedokteran di Amsterdam, dokter Ikhwan, mengatakan bahwa critical thinking ini membuat anaknya punya pendapat yang berbeda.     

Perbedaan lainnya adalah bahwa biaya pendidikan di Belanda cukup terjangkau. Di Belanda, kita menemukan pendidikan gratis untuk sekolah dasar dan menengah bagi orang yang tinggal di Belanda. Orang tua baru disuruh  membayar uang sekolah tahunan ketika anak mereka mencapai usia 16 tahun. Sementara itu, keluarga dengan penghasilan rendah dapat mengajukan hibah dan pinjaman. Untuk mahasiswa, biaya kuliah rata-rata sekitar 2000 euro per tahun. Padahal, biaya pendidikan aslinya mencapai 19.000 euro per tahun.

Namun demikian, Habibus Salam, seorang warga Indonesia di Amsterdam khawatir dengan anak-anaknya jika nanti sekolah di Belanda. Ada kekhawatiran sebagian warga Indonesia bahwa nanti anak-anak akan berubah setelah masuk ke sekolah Belanda. Pendidikan di Belanda dipandang akan memberangus ‘tradisi Islam’ dari orang tua mereka. Kekhawatiran ini tentu berlebihan, namun begitulah faktanya.

Dalam konteks inilah, saya bisa memahami, mengapa PPME Al Ikhlas Amsterdam mendirikan ‘madrasah’ di saat weekend dengan para pengajar yang berkompeten. Di madrasah inilah, anak-anak Indonesia ditempa secara agama dengan baik. Mereka dikenalkan agama, meskipun tidak banyak karena hanya memanfaatkan momentum weekend. PPME Al- Ikhlas juga mengadakan Pendidikan agama, bukan hanya anak kecil namun juga untuk orang-orang lansia.

Hasilnya, luar biasa. Muncul generasi baru muslim yang pada satu sisi aware dengan Pendidikan Belanda, namun pada sisi lain tetap teguh dengan ajaran agama mereka. Ini yang saya dapati dari anak-anak milenial seperti Hamzah, Nabila, Mizar, dan lain sebagainya. Mereka adalah generasi Z muslim Belanda yang luas dalam pergaulan, namun tetap teguh dengan pendirian (Islam-nya).  *** (Bersambung) 

* M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.