Oleh: M. Noor Harisudin
Namanya Parjo. Orangnya hitam. Perawakannya tinggi. Matanya tajam. Orangnya ramah. Begitu kenal pertama kali dengan saya di Masjid al-Ikhlas Amsterdam. Aku wong suriname. Kata Parjo ramah pada saya. Ya, Parjo adalah orang Jawa Suriname.
Suriname adalah nama sebuah negara di di Amerika Selatan bagian utara. Suriname berbatasan demgan Samudera Atlantik di utara, Guyana Perancis di Timur, Guyana di Barat dan Barsil di Selatan. Suriname adalah negara terkecil di Amerika Selatan dengan jumlah penduduk 612.985 jiwa dengan wilayah seluas 163.820 kilometer persegi. Ibu kota Suriname adalah Paramibo.
Suriname telah dihuni berbagai masyarakat adat termasuk Arawak, Karibia dan Wayana sejak milenium keempat sebelum masehi. Belanda menguasai sebagian besar wilayah tersebut pada akhir abad ke-17. Tahun 1954, Suriname menjadi konstituen Kerjaan Belanda dan pada tanggal 25 Nopember 1975, Suriname merdeka dari Belanda. Kebanyakan orang Suriname adalah keturunan budak dan buruh yang dibawa Afrika dan Asia oleh Belanda. Tidak ada etnis yang mendominasi. Salah satunya adalah etnis Jawa yang berjumlah 14 persen di Suriname.
Selain menguasai bahasa Inggris, dan Belanda, orang Jawa Suriname Jawa juga fasih Bahasa Jawa. Jawa Ngoko tepatnya. “Aku isin Bahasa Jowo Ngoko. Ora iso alus”, kata Parjo ketika menjemput saya dari Hotel Hyatt ke Masjid al-Ikhlas Amsterdam.
Parjo sendiri adalah jaksa purna bakti yang mendarmakan dirinya di Masjid al-Ikhlas. Kemampuannya di bidang penegakan hukum sebagai jaksa menjadikan masjid al-Ikhlas seperti punya ‘benteng hukum’ yang kuat. Sebagai Wakil Ketua PPME yang menaungi Masjid Al Ikhlas, Parjo –kata bapak Kiai Budi—menjadikan pengurus PPME Masjid Al-Ikhlas tidak perlu takut-takut melaksanakan kegiatan senyampang tidak bertentangan regulasi di Belanda. Parjo sendiri menjadi jaksa di Amsterdam selama 16 tahun.
Parjo bercerita saat bekerja menjadi jaksa dan merasa yang under presser karena bekerja mulai jam 7 pagi dan pulang jam 11 malam. Itu ia jalani selama 16 tahun. Belum suka duka di ruangan sidang dalam menjalani penegakan hukum di negeri kincir angin.
Sebelumnya, Parjo kerja sebagai jurnalis selama 15 tahun di Amerika Serikat. Ia menguasai tiga Bahasa: Inggris, Perancis dan Belanda. Tentu, penguasaan ini baik orasi maupun literasi (tulisan) dalam membuat pemberitaan di media tersebut.
Parjo memiliki tujuh anak dan satu istri. Istri Parjo adalah pebisnis yang tinggal di Amerika. Sementara, Parjo tinggal sendiri di Amsterdam. Jadi keluarga tersebut memiliki rumah di Amsterdam dan Amerika. Kecuali anak keenam dan ketujuh, anak Parjo sudah mentas. Yang terakhir, masih kuliah.
Kini, di usia yang sudah 63 tahun, Parjo mendarmakan dirinya sebagai aktivis majlis al Ikhlas Amsterdam. Ia bersama pengurus yang lain menggerakkan Masjid al Ikhlas sehingga lebih Makmur dan bergeliat di tengah kota Amsterdam. Seperti tugas pada hari jum’at itu (15/3/2024). Dia menyiapkan khutbah versi Belanda dari naskah yang saya susun dalam Bahasa Indonesia. Setelah saya membacakan berkhutbah dalam Indonesia, Parjo menyampaikan khutbah ulang dalam Bahasa Belanda. Ini penting agar pesan keagamaan dalam khutbah Jumat sampai pada para Jama’ah.
Memang, Jumat hari itu, 15 Maret 2024, saya mendapat tugas dari Kiai Budi untuk berkhutbah di Masjid al-Ikhlas Amsterdam. Saya diminta membuat pokok-pokok pikiran versi Bahasa Indonesia dan Parjo yang mentranslate -nya ke dalam Bahasa Belanda.
Saya menyampaikan khutbah tentang Filantropi Islam di Bulan Ramadlan. Filantropi mesti lebih dimaksimalkan lagi di bulan Ramadlan. Saya memberi perhatian khususnya sedekah dan wakaf –selain tentu saja zakat—untuk menggerakkan dakwah Islam di negara Belanda. Saya khutbah kurang lebih tiga puluh menit karena disambung dengan khutbah versi Belanda-nya Parjo.
Kembali ke Parjo. Ketika saya tanya, sebagai apa di masjid, Parjo menjawab dengan bahasa Jawa ngoko. “Aku dadi wakil ketua PPME Al Ikhlash Amsterdam periode 2022 – 2025. Kaping pisanan, aku dijaluk dadi ketua nalika Rapat Anggota Umum, nanging aku nolak amarga sibuk kerja lan uga lelungan menyang luar negeri akeh”. (Artinya: Saya menjadi Wakil Ketua PPME Al-Ikhlas Amsterdam Periode 2022-2025. Pertama, aku diminta jadi ketua dalam Rapat Anggota Umum, namun saya menolak karena sibuk kerja dan sering bepergian keluar).
Lebih lanjut, tentang kontribusi ke Masjid al-Ikhlas, Parjo menuturkan: “Kula minangka tiyang Jawi Suriname sampun dipun paringi ide gotong royong pramila kula ngrewangi ngrembakaken masjid PPME Al Ikhlash Amsterdam kanthi dhuwur. Aku seneng nuduhake kawruh lan pengalaman ing organisasi”. (Artinya: Sebagai orang Jawa Suriname, sayi diberi ide gotong royong untuk musyawarah masjid PPME Al Ikhlas Amterdam agar maju. Saya senang menunjukkan pengetahuan dan pengalaman di organisasi). *** (Bersambung) *
M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Ta`lif wa an Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.