Categories
Kolom Pengasuh Opini Tokoh

Tahun Baru 2024: Momentum Mensyukuri Hingga Reparasi Diri

Oleh: M. Noor Harisudin*

Bolehkah kita mengirim ucapan selamat tahun baru? Bagaimana juga hukum merayakan Tahun Baru? Lalu, apa makna tahun baru 1 Januari 2024 bagi seorang Muslim? Bukankah ini bukan tradisi Islam? Inilah yang menjadi pertanyaan bagi Muslim, baik menjelang maupun sesudah tahun baru masehi.    

Dalam beberapa forum dan pengajian, saya selalu mengatakan bahwa tahun baru itu bersifat netral. Hukumnya boleh, senyampang tidak ada kegiatan kemaksiatan. Dengan demikian, hukum asal merayakan tahun baru adalah boleh (mubah). Hukum mengirim ucapan tahun baru juga boleh. Tidak berpahala, tapi sekaligus juga tidak berdosa.

Hukum merayakan tahun baru berubah haram, ketika tahun baru diisi dengan melakukan kemaksiatan. Misalnya, tahun baru dengan meninggalkan shalat Isya, minum-minuman keras, ikhtilat laki-laki dan perempuan serta kemaksiatan yang lain.

Sebaliknya, tahun baru yang diisi dengan ketaatan seperti sholawatan, santunan anak yatim, dan khataman al-Qur’an sangat dianjurkan. Dalam bahasa agama, hukumnya sunah. Apalagi jika tahun baru ini dijadikan momentum tafakur bagi seorang muslim.

Dalam hemat saya, setidaknya ada lima makna tahun baru masehi, sebagai berikut:

Pertama, momentum mensyukuri. Memasuki tahun baru dalam keadaan sehat dan bisa bercengkerama dalam keluarga adalah kebahagiaan yang tiada tara. Bayangkan jika kita tidak sehat, semua menjadi tidak nikmat. Ibnu Atailah al-Iskandari dalam Master Piece-nya mengatakan. “Man lam yaskurin niam, faqad ta’aradla lizawaliha. Waman syakaraha, faqad yaddayah bi’iqaliha.” Barang siapa tidak mensyukuri nikmat, maka ia ingin hilangnya nikmat. Barang siapa mensyukuri, maka ia ingin nikmat tersebut lengket.  

Kedua, momentum introspeksi atau muhasabah. Umar bin Khatab mengatakan: “Melakukan hisablah kalian sebelum kalian dihisab besok di hari kiamat. Sesungguhnya hisab itu menjadi ringan di hari kiamat bagi orang yang biasa melakukan hisab di dunia”. Tahun baru 2024 adalah momentum kita introspeksi dan melihat ke belakang, yakni tahun 2023. Muhasabah ini sebagai pijakan untuk melakukan berbagai agenda tahun ini.

Ketiga, momentum mempertanyakan legacy. Allah Swt berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, seyogyanya seseorang melihat apa yang dilakukan di masa dulu untuk masa depannya. (QS.al-Hasyr: 18). Pertanyaannya, tahun kemarin, kita sudah meninggalkan legacy apa pada keluarga atau masyarakat. Tahun 2024, legacy apa yang akan kita siapkan.  

Keempat, momentum mawas diri. Tahun ini harusnya kita lebih hati-hati supaya tidak terjerumus dalam kesalahan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Allah Swt. Berfirman: “Taatlah kalian pada Allah Swt dan taatlah kalian pada Rasul serta berhati-hatilah”. (QS. Al-Maidah: 92).    

Kelima, momentum reparasi diri. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari yang kemarin, maka dia beruntung. Barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia merugi. Dan barang siapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka dia dilaknat”. Hadits ini memerintahkan pada kita untuk selalu mereparasi diri.

Tahun 2024 adalah momentum kita melakukan; mensyukuri, introspeksi, legacy, mawas diri dan juga reparasi diri. Semuanya merujuk pada terma insan kamil, manusia sempurna yang menjadi Impian orang-orang saleh. Dan ini bisa kita upayakan dengan melakukan reparasi diri sepanjang hayat kita. Wallahu’alam. **  

*M. Noor Harisudin adalah Ketua Yayasan Pendidikan Islam Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember dan Guru Besar UIN KHAS Jember.