Categories
Opini

Rasa Malu, Perhiasan Muslimah Mulia

Oleh: Lutvi Hendrawan

*Mahasantri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 5 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember

Malu merupakan salah satu sifat terpuji. Sifat ini mampu menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan, dosa, perbuatan buruk dan kemaksiatan. Seseorang yang memiliki rasa malu akan terjaga dari tindakan-tindakan tercela dan memiliki kesadaran untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Dijelaskan dalam kitab Huququl-Mar’ah wa Wajibatuha fi Dhau’il-Kitab was-Sunnah, “Jika rasa malu yang terdapat dalam diri seorang laki-laki dinilai baik, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika rasa malu itu terdapat di dalam diri seorang perempuan. Jika rasa malu dinilai memiliki keutamaan dalam diri seorang laki-laki, maka sesungguhnya rasa malu itu lebih utama jika terdapat dalam diri seorang perempuan. Karena rasa malu itu akan memberikan tambahan perhiasan dan keindahan bagi perempuan, menjadikannya lebih dicinta dan disukai.”

Salah satu bentuk implementasi dari sifat malu pada seorang Muslimah adalah dengan menggunakan jilbab. Jilbab dan rasa malu bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan tidak dapat terpisahkan.

Dalam pandangan lain, Imam Baihaqi membahas sifat malu dalam kitabnya Syu’abul-Iman. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa jilbab pada perempuan termasuk ke dalam bahasan bab malu (babul-haya). Ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jilbab dan rasa malu pada wanita.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Aku sering masuk ke dalam rumah dengan melepas pakaianku, padahal Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan di dalamnya. Karena sesungguhnya dia adalah suami dan ayahku sendiri. Ketika Umar dimakamkan di tempat yang sama, Demi Allah aku tidak pernah masuk ke dalamnya kecuali jika aku tertutup rapat dengan mengenakan pakaian, karena merasa malu kepada Umar.

Dalam riwayat ini, bisa diambil hikmah dari bukti nyata rasa malu yang dimiliki Sayyidah Aisyah terhadap seorang yang telah meninggal dunia, oleh karena itu jika Sayyidah Aisyah saja mempunyai rasa malu dengan manusia yang sudah meninggal, lantas bagaimana dengan rasa malu beliau terhadap mereka yang masih hidup?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra., ia berkata, Rasulullah Saw. telah bersabda pada suatu hari, “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Kami (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu.’ Rasulullah bersabda, “Bukan sekadar itu, akan tetapi barang siapa yang malu dari Allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga perut dan apa yang di dalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Barang siapa menginginkan akhirat, ia akan meninggalkan hiasan dunia. Barang siapa yang mengerjakan itu semua, berarti ia telah merasa malu kepada Allah dengan sesungguhnya.”

Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa melepaskan diri dari rasa malu merupakan suatu hal yang sangat buruk bahkan bisa menjadi indikator dalam kemerosotan harga diri seorang perempuan. Kehilangan rasa malu juga bisa menjadikan manusia kehilangan akhlak, suka melakukan hal yang dilarang oleh ajaran agama, dan tidak memperdulikan terhadap hal yang diharamkan.

Perlu kita sadari bahwa terdapat hubungan yang lazim antara menutup aurat yang diwajibkan oleh Allah dengan ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian bagi manusia. Takwa bisa menutupi aurat batin serta menghiasinya. Sedangkan rasa malu bisa menutupi aurat zahir dan juga menghiasinya. Kedua hal ini akan selalu beriringan dan saling melengkapi satu sama lain.

Di antara tanda bahwa seseorang itu takut dan malu kepada Allah SWT adalah anggapan buruknya terhadap perbuatan membuka aurat atau perasaan malunya untuk membuka aurat. Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. al-A’raf : 26)

Penulis mengutip dari pandangan Wahab bin Munabbih, beliau berpendapat, “Iman itu diumpamakan dengan sesuatu yang masih telanjang. Pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah sifat malu dan hartanya adalah iffah (menjaga diri). Oleh karena itu, manusia harus memperhatikan, menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang begitu saja. Jika rasa malu berhasil dijaga, maka menjaga dan menyelamatkan fitrah manusia dari noda dan penyimpangan akan mudah diwujudkan. Karena di dalam penyimpangan fitrah itu terdapat noda yang bisa mengotori naluri manusia. Wallahu a’lam bi as-sawab .