Oleh: Miftakhul Jannah (Mahasantri Darul Hikam Prodi Bahasa Sastra Arab Semester 5)
Lisan merupakan salah satu bentuk kenikmatan yang Allah SWT anugerahkan kepada kita. Hakikatnya lisan diciptakan senantiasa untuk banyak menyebut asma Allah SWT. Namun belakangan ini tak jarang ditemukan orang yang sering berkata hal yang tak baik termasuk juga hal yang bathil. Lisan memang sulit untuk dikendalikan. Lisan yang tak terkontrol dapat menimbulkan seseorang terperangkap dalam jerat permusuhan, hingga berujung pertumpah darahan. Na’udzubillah. Salah satu sikap bijak agar tidak terjadi hal demikian ialah diam. Iya diam. Diam merupakan kunci keselamatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari sahabat Abdullah bin Amr, beliau berkata“Barang siapa yang diam niscaya ia akan selamat.”(H.R Tirmidzi). Memang benar apa yang beliau katakan, dengan diam seseorang tidak akan terjerumus dalam jurang kebinasaan terlebih kemaksiatan. Bahkan, dalam sikap diam pun tersirat tingkat kedalaman iman seorang hamba terhadap tuhan-Nya. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰه واليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik atau diam”(Muttafaq ‘alaih : Imam Bukhari, no. 6018; Imam Muslim, no.47)
Memang diam bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih berbicara merupakan salah satu bentuk interaksi manusia dengan manusia yang lain. Karena manusia termasuk makhluk sosial. Akan tetapi sikap diam merupakan paling tingginya ibadah dan bisa menjadi cerminan hati seseorang. Seseorang yang bijak akan mencerna perkataannya terlebih dahulu sebelum dikeluarkan, bahkan sangat teliti dalam mempertimbangkan perkataan. Terlebih seorang muslim. Karena sebaik-baiknya muslim ialah yang menjaga muslim yang lain dari gangguan lisan dan tangannya. Lantas apakah diam yang menyelamatkan yang dimaksudkan? Nah, diantaranya ialah menghindari statement atau pembicaraan yang unfaedah yang berbau kemaksiatan dan berujung kesia-siaan, seperti halnya debat kusir, dusta yakni berkata-kata yang tidak sebenarnya, syatm yakni perkataan yang mengandung unsur penghinaan, buhtan yakni menyebarkan kebohongan dengan tujuan untuk menjatuhkan harga diri seseorang dan menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain, dalam Islam disebut dengan ghibah.Yang mana ghibah tersebut sangat dilarang keras untuk dilakukan, bahkan seseorang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai). Sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub dalam Q.S Al Hujurat/ 12:
يٰأيُّهَا الّذِيْنَ اٰمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظنِّ، إنّ بَعْضَ الظنّ اثم ولاَ تجسّسُوْا ولا يغْتَب بَعْضُكُمْ بَعْضًآ أيُحِبُّ اَحَدُكُمْ أن يَأْكُلَ لحْمَ اخِيْه مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ، وَإتَّقُوا اللّٰه، إنّ اللّٰهَ توّابٌ رّحِيْمٌ ( الحجرات/١٢)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Na’udzubillahi min dzalikjami’an, semoga kita semua terhindar dari hal demikian. Tak hanya itu saja, bahkan banyak sekali pepatah yang mengatakan perihal bobroknya lisan yang tak asing kita dengar, diantaranya“Jika pedang melukai tubuh masih ada harapan untuk sembuh, jika lidah melukai hati dimana obat hendak dicari.” Dari situ terlihatjelas bahwa lisan lebih tajam daripada pedang, tidaklah mudah menyembuhkan hati yang terluka akibat goresan ucapan lidah meski tak berdarah. Dengan itu diam lebih utama dari berkata-kata. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhu berkata: “Seseorang mati karena tersandung lidahnya, dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya, tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya sedangkan tersandung kakinya akan sembuh secara perlahan.”Maka dari itu berpikir cermat sebelum berbicara mutlak harus diupayakan agar terhindar dari kerusakan terlebih kemaksiatan. Lukman berkata kepada sang anak “Andaikata bicara terbuat dari perak, maka diam dari emas”, yang kemudian ditambahkan oleh Ibnu Al Mubarak “Andaikata perkataan dalam mentaati Allah SWT adalah perak, maka diam dari maksiat kepada Allah SWT adalah dari emas.”Sungguh diam lebih berharga dari berkata-kata. Perlu kita ingat “Mulutmu harimaumu”. Jikalau tidak bisa berkata baik niscaya diam lebih baik. Karena dengan diam, risiko tergelincir akan semakin kecil.
Wallahua’lamubisshawaab.