Media Center Darul Hikam – Umat Islam di Jerman harus banyak bersyukur. Karena di Jerman relatif tidak banyak masalah, lebih makmur dan lebih sejahtera dibandingkan dengan negara lain dunia. Demikian pernyataan Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag, SH, M.Fil, dalam pengajian menjelang berbuka puasa di Konsulat Jenderal RI Hamburg Jerman, Sabtu, 23 Maret 2024. Hadir Konsul Jenderal RI Jerman, Renata Siagian, Konsul I Nanang dan tiga ratusan jamaah yang memadati Gedung KJRI tersebut.
Prof. Haris mengutip hadits: ‘Ajaban liamril mu’min idza ashabathu sarra syakara wa idza ashabathu dlarra’ shabara. Betapa mengagumkan orang-orang mukmin. Ketika mereka itu mendapat kesenangan dan kebahagiaan, mereka bersyukur. Dan ketika mereka dikenai bencana, maka mereka itu bersabar. Orang Jerman pasti lebih banyak bersyukur berada di tengah-tengah negara Jerman yang banyak memberikan fasilitas pada warganya dengan baik.
Sebagai bentuk rasa syukur, maka umat Islam Jerman harus banyak-banyak melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Salah satunya perintah Allah Swt dalam bentuk puasa di bulan Ramadhan ini.
“Puasa ini diwajibkan pada umat Islam sebagaimana diwajibkan pada umat sebelum kita agar kita bertakwa. Nah, ibarat kupu-kupu yang indah dan disenangi banyak orang, kita puasa dari ulat menjadi kupu-kupu dengan cara menjadi kepompong. Untuk menjadi kupu-kupu, ulat harus puasa selama 1-2 minggu,” ujar Prof. Haris yang juga Direktur World Moslem Studies Center.
Untuk menjadi bertakwa, lanjut Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawab Timur, umat Islam dianjurkan untuk berbanyak dzikir atau ingat pada Allah Swt. Dzikir dianjurkan dalam kehidupan muslim seperti membaca istigfar, hamdalah, bismillah, tasbih, tahlil dan sebagainya. Waktunya bisa pagi, sore atau malam. Bacaannya juga banyak, sehingga kita tinggal memilih sesuai dengan kemampuan kita.
“Silahkan berbanyak dzikir pada Allah Swt. Itu pointnya. Jangan setelah sholat lima waktu, kita langsung cepat pulang tanpa dzikir pada Allah Swt.”, ujar Prof. Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.
Ada tiga manfaat dzikir. Pertama, menghilangkan kesempitan. Allah Swt berfirman: Barang siapa yang berpaling dari dzikir padaku, maka baginya kehidupan yang sempit. (QS. Thaha: 124). Kedua, membuat tenang jiwa. Allah berfirman: Ingatlah. Dengan dzikir pada Allah Swt, hati menjadi tenang. (QS. Ar-Rad: 28). Ketiga, mensucikan jiwa. Allah berfirman: Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa. Dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwa. (QS. as-Syams: 9). Maksudnya mensucikan jiwanya dengan berdzikir pada Allah Swt.
Selanjutnya, lanjut Prof. Haris, ada minimal empat level orang berdzikir pada Allah Swt. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Athilah al-Iskandari dalam Kitab Hikam:
“Jangan kau tinggalkan dzikir karena kamu belum hadir dihadapan Allah Swt. Karena kelalaianmu dari dzikir itu lebih buruk daripada kelalaianmu pada wujud dzikir tersebut. Barangkali Allah mengangkatmu dari dzikir yang lalai menuju dzikir yang sadar. Dari dzikir yang sadar menuju dzikir yang hudur di hadapan Allah. Dari dzikir yang hudlur menjadi dzikir disertai tidak ada yang diingat selain Allah Swt yang kita dzikiri tersebut,” ujar Prof. Haris yang juga Dewan Pakar Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur tersebut.
Dengan kata lain, lanjut Prof. Haris, ada empat tingkatan dalam dzikir. Pertama, dzikir dengan kelalaian. Kedua, dzikir dengan kesadaran. Ketiga, dzikir dengan hadirnya hati. Keempat, dzikir dengan hanya mengingat Allah Swt dan tidak ada yang lain.
“Dalam konteks Eropa, banyaknya orang bunuh diri dengan menabrak ke kereta api atau lainnya, ini karena mereka terasing. Kendati mereka Sejahtera dan berkecukupan, namun jiwanya gersang. Ini karena mereka tidak punya ajaran dzikir yang mengarahkan hidup ini sampai ke akhirat nanti,” ujar Prof. Haris yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember.
Reporter: M. Irwan Zamroni Ali
Editor: Siti Junita