Oleh: M. Noor Harisudin
Di sela-sela gemerlap intelektual Leiden University yang melegenda, saya berkesempatan berkunjung ke rumah Snouck Hourgronye. Siapa yang tidak kenal dengan Snouck Hourgronye? Seorang orientalis Belanda yang masyhur dan memiliki reputasi dunia. Pahlawan bagi Belanda, namun tokoh munafik yang dibenci oleh rakyat Indonesia. Oleh Belanda, Snouck Hourgronye diminta untuk menaklukkan perlawanan rakyat Indonesia. Studinya tentang Islam luar biasa. Dikagumi, namun juga dibenci. Itulah sosok Snouck Hourgronye.
Hari Rabu itu (20/3/2024), Hengki, Ketua Lembaga Talif wan Nasyr Pengurus Cabang Istimewa NU Belanda yang juga seorang alumni magister Universitas Islam Negeri Sahida Jakarta mengajak saya keliling ke Universitas Leiden. Setelah berkeliling kesana-sini, saya lalu diajak ke rumah Snouck Hourgronye. Ini rumah Snouck Hourgronye, Prof. Rumahnya ada di pinggir kanal yang lain. Rumah Snouk Hourgronye tampak kecil, namun asri. Di atas pintu tertulis namanya, meski tidak kelihatan jelas.
Nama lengkapnya Christian Snouck Hourgronye. Dilahirkan 8 Pebruari 1857dan meninggal 26 Juni 1936. Snouck Hourgronye menjadi mahasiswa teologi Kristen di Unversitas Leiden tahun 1874. Gelar doktornya diperoleh tahun 1880 dengan disertasinya Het Mekkaansche feest (Perayaan Mekah). Tahun 1881, Snouck Hourgronye diangkat menjadi professor di Sekolah Pegawai Sipil Leiden.
Snouck Hourgronye dikenal sebagai sarjana Belanda bidang budaya Oriental dan Bahasa. Snouck Hourgronye yang fasih Bahasa Arab ini masuk ke kota suci Mekkah tahun 1885, setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan untuk diizinkan ziarah ke kota Mekah. Untuk masuk ke kota Mekah, Snouck Hourgronye melalui Kerajaan Ottoman yang masih berkuasa di dunia Islam saat itu. Selain itu, Snouck Hourgronye harus menjadi mualaf. Nama mualafnya Haji Abdul Ghafar.
Tahun 1889, Snouck Hourgronye menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden. Selain itu, ia juga menjadi penasehat resmi pemerintah Belanda urusan Kolonial. Ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir Perang Aceh (1873-1913). Dengan pengetahuannya tentang Islam, Snouck Hourgronye merancang strategi untuk menghancurkan perlawanan rakyat Aceh dan mengakhiri perang 40 tahun dengan korban kurang lebih 100.000 dan satu juta terluka. Tahun 1906, Snouck Hourgronye kembali ke Belanda dan melanjutkan karir akademisnya.
Selain ke rumah Snouck, saya juga diajak ke patung para tokoh Universitas Leiden. Sejumlah guru besar dan tokoh penting. Salah satunya, orang Indonesia yang pertama kali kuliah disana, yaitu Prof Hussein Djayadiningrat yang asal Serang Banten. Tertulis pada prasasti di bawah arca Prof Hussein: The first scholar to receive a Ph.D converred on 3 may 1913 by Le Converred Leiden University. Orang yang pertama kali lulus kuliah di Leiden University.
Tak terasa, hari sudah sore, dan kami harus pulang ke housing Kiai Nur Ahmad. Tadi belum ke makam Snouck Hourgronye, Prof. Besok saya akan antar ke sana, kata Kiai Nur Ahmad ketika buka bersama saya dan Hengki di housingnya. Buka puasa hari itu spesial banget. Ada sop buntut yang disiapkan untuk kita semua dengan sambal terasi jeruknya. Maknyus. Belum dengan gorengan bakwan, tahu isi dan lain sebagainya serasa buka bersama di Indonesia.
Hari Kamis, (21/3/2024), sesuai janjinya, saya diajak Kiai Nur Ahmad ke makam Snouck Hourgronye. Kurang lebih setengah jam, kami sudah sampai di lokasi yang dituju. Sebelumnya, kami harus naik sepeda lima kilometer dari housing Kiai Nur Achmad. Sepanjang jalan, kami juga berhenti di spot-spot kota Leiden yang indah dan menawan. Tentu sambil foto-foto selfi bersama kiai muda asal UIN Walisongo Semarang tersebut.
Makamnya, lanjut Kiai Nur Ahmad, indah sekali. Tak heran jika menjadi tempat pelarian muda-mudi yang pacaran. Atau sekedar menjadi tempat baca-baca. Sama sekali tidak ada kesan seram seperti makam-makam di Indonesia. Sama dengan pemakaman yang lain di Belanda, gerbang pemakaman Snouck Hourgronye tampak indah dari depan. Ada parkir sepeda pancal yang disiapkan.
Kiai Nur Ahmad yang menunjukkan dimana makam Snouck Hourgronye. Ini makamnya Snouck Hourgronye. Dia bersama tiga orang keluarganya yang lain, kata Kiai Nur Achmad pada saya.
Saya langsung jujug ke makam Snouck Hourgronye. Ada kotak persegi empat yang cor-coran. Di sana tertulis nama-nama orang yang dikuburkan, meski tulisan juga terlihat samar-samar. Dalam makam ini, ada empat keluarga Snouck yang dikubur. Saya berdiri di sebelah makam saja, Kiai Nur Ahmad, pinta saya pada Kiai Nur Ahmad. Jepret-jepret, foto di sebelah kuburan Snouck Hourgronye.
Sekitar setengah jam kemudian, saya berdiri di pusara Snouck Hourgronye. Entah, apa yang saya pikirkan. Namun, saya reminder pada masa kejayaan saat Snouck Hourgronye diangkat oleh penjajah Belanda. Bagaimana orientalis jenius ini bisa menjadi penasehat Belanda dan sangat berpengaruh di bumi Indonesia. Memori saya pun kembali pada teori Knowledge and Power. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaannya, Michael Foucault. *** (Bersambung)
M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember