Pada Rabu, 10 Juni 2020, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I. Dekan Fakultas Syariah yang juga Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember kembali menjadi narasumber dalam acara Webinar yang diadakan oleh Madrasah Virtual dengan tema Reaktualisasi Nilai Kesantrian pada Generasi Milenial. Selain juga bisa diikuti melalui Live Streaming Facebook dan Youtube di channel Dirasah Virtual, kegiatan ini juga dapat ditonton melalui media video conference Qeeta.id. Webinar yang juga didukung oleh Telkom Indonesia tersebut berlangsung mulai jam 20.00-22.00 WIB dan diikuti oleh ratusan peserta.
Acara ini dimoderatori oleh Gus Ahmad Humaidi. Hadir dua narasumber; Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, dan Dr. M. Asvin Abdur Rohman, M,P.d.I, Dosen Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo.
Direktur Dirasah Virtual, Ahmad Karomi, dalam sambutannya berharap agar kegiatan ini bisa memberikan manfaat untuk umat, “Kegiatan ini untuk memperkuat ukhuwah kita, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Webinar ini sekaligus merupakan acara pembuka dari kegiatan Dirasah Virtual yang insyallah kedepannya akan terus mengadakan kajian-kajian tematik tentang dunia Islam, Saya berharap kegiatan yang diawali dengan hal baik insyallah untuk seterusnya virtual madrasah tetap akan memberikan yang terbaik untuk umat,” tutur Ahmad Karomi yang juga Mahasiswa S3 UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sementara itu, dalam paparannya, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I., mengupas tentang nilai-nilai santri, “Sebagai seorang santri yang didalamnya terdapat nilai-nilai keislaman, mereka (santri) harus mampu merespon perkembangan yang begitu cepat saat ini. Adapun nilai santri yang pertama yaitu nilai tawadhu, tidak ada seorang santri yang memiliki sifat sombong (takabur), Alhamdulillah banyak saya temui santri yang memiliki sifat rendah hati, sekalipun ia (santri) ilmunya sudah tinggi, kuliahnya di luar negeri, mereka tidak menjadi sombong,” ujar Prof Haris yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.
Nilai kedua, lanjut Prof. Haris, adalah nilai kesederhanaan. Dalam kehidupan seorang santri, mereka sudah diajarkan sifat hidup sederhana sejak berada dalam pesantren, sehingga demikian ini menjadi sangat relevan jika dilihat dari kondisi saat ini, dimana orang-orang melihat kemewahan, kekayaan yang melimpah, jabatan atau kedudukan yang tinggi. Ukuran kesuksesan manusia tidak bisa diukur dengan materi dengan melupakan arti penting kesederhanaan dalam kehidupan.
“Ketiga, nilai kemandirian, di luar mereka sudah siap bekerja apa saja, mulai dari pekerjaan yang dianggap rendah menurut manusia, meski ukuran Allah berbeda, santri tetap siap dalam kondisi apa saja baik menjadi pejabat negara, dosen dan sebagainya. Inilah diantara nilai-nilai santri yang bisa diterapkan di masyarakat luas untuk memberikan warna ditengah arus modernisasi. Dan masih banyak nilai-nilai lain santri yang tidak bisa saya paparkan semua,” ujar Prof. Kiai M. Noor Harisudin, M. Fil.I yang juga Ketua Umum Asosisi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia.
Untuk mendorong santri milenial, Guru Besar IAIN Jember yang juga Sekjen PP Keluarga Alumni Mahad Aly PP. Salafiyah Syafiiyah Situbondo tersebut menyampaikan setidaknya ada dua hal yang harus dipegang seorang santri dalam kondisi tantangan yang semakin deras. “Pertama, Self Development (mengembangkan diri), seorang santri harus tetap selalu update pengetahuan salah satunya tentang kemajuan teknologi. Kedua, Innovation (pembaruan) santri harus selalu berinovasi demi kemaslahatan umat. Santri harus punya dua nilai penting ini, tambah Prof. Haris.
Disisi lain, dosen INSURI Ponorogo Dr. M. Asvin Abdur Rohman yang juga narasumber dalam acara tersebut memaparkan tentang kesantrian dalam zona pendidikan menyebutkan, Dalam perkembangannya pesantren kemudian mengajarkan keislaman secara utuh yaitu tentang Islam, iman, dan ihsan. Dalam materi yang diajarkan di pesantren itu dapat membentuk generasi yang muhsin, yaitu orang-orang yang kuat islam, iman dan ihsannya. Hal inilah sebenarnya yang bisa kemudian ditransfer ke generasi berikutnya dengan catatan tidak mengesampingkan salah satu pokok keislaman itu sendiri, dari sisi pembelajarannya, keunggulan pesantren mampu menciptakan sebuah miniatur yang berkultur kehidupan masyarakat luas sehingga disisi lain juga diajarkan tentang hidup bersosial dengan masyarakat luas, tutur Kiai Asvin.
Webinar berlangsung seru dengan banyak pertanyaan dari para pemirsa yang umumnya milenial. Salah satu pertanyaan kritis tentang identitias: siapa santri itu. Menurut Prof. Haris, santri harus dimaknai lebih umum: semua orang yang ngaji dengan sanad yang jelas. Misalnya pada ustadz atau kiai. Sementara, identitas khusus mereka yang belajar di pesantren dalam rentang waktu tertentu. Pertanyaan lain tentang keistiqomahan santri, santri dengan perilaku yang tidak santri, sisi menarik santri dan sebagainya.
Reporter : M. Irwan Z.