
Oleh : Lutvi Hendrawan*
“Alhamdulillah, saya sudah berinfaq untuk pembangunan masjid hari ini”. Kalimat di atas tak jarang kita temukan dalam status atau story di media sosial. Sehingga potensi penyakit hati seperti riya’ atau ujub terasa sangat mudah untuk dilakukan. Perbuatan seperti itu, seakan-akan sudah menjadi perbuatan yang biasa-biasa saja. Bahkan tak jarang hampir setiap kegiatan religius seseorang upload di berbagai media sosialnya dengan berbagai macam seperti foto, video, atau hanya sekedar tulisan.
Sebagian besar orang juga tidak dapat melepaskan kehidupan sehari-harinya dari media sosial, baik untuk melakukan update status, membaca status orang lain, membagikan berita, maupun motif lainnya. Media sosial telah mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupannya. Dengan hadirnya media sosial telah mendorong orang menunjukkan eksistensi dirinya.
Pada dasarnya, keberagamaan seseorang ditunjukkan dalam dua hubungan, yaitu hubungan seseorang sebagai manusia dengan manusia yang lain dan hubungannya dengan Allah SWT. Hubungan manusia dengan Sang Khaliq atau Sang Pencipta sebenarnya merupakan hubungan yang sangat pribadi yang tidak seharusnya atau tidak lazim jika kemudian ditunjukkan atau dipamerkan kepada publik, dalam hal ini menggunakan media sosial.
Namun, kenyataannya di era digital ini media sosial telah menjadi sarana seseorang untuk menunjukkan perilakunya dalam beribadah yang cenderung menuju riya’. Oleh karena itu tak heran pada era digital ini, setiap orang mempunyai rasa bangga terhadap pencapaian dan perbuatan ibadah yang semestinya menjadi rahasia sendiri, akan tetapi sering diumbar, terkadang seseorang juga lupa, mana yang penting untuk disebarkan dan yang mana hanya untuk dijadikan dokumen pribadinya.
Rasulullah SAW bersabda artinya: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: apakah syirik paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya! Allah berfirman pada hari kiamat, ketika memberikan pahala terhadap manusia sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: “Pergilah kamu sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amalmu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu” (HR. Ahmad).
Hadist di atas menerangkan bahwasannya kebiasaan riya’ (Pamer) bukanlah hal sepele bahkan dikatakan perbuatan tersebut merupakan bagian dari syirik kecil. Maka dari itulah perlu kehati-hatian dalam meng-upload segala kegiatan yang berkaitan dengan ibadah. Karena dikhawatirkan hal tersebut dikategorikan sebagai riya’ (Pamer).
Di dalam Kitab Tafsir Al-Misbah, Prof. M Quraish Syihab, mengatakan riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit, bahkan mustahil dapat dikenal orang lain. Bahkan yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Apalagi jika dia sedang dipengaruhi dengan kesibukannya sendiri.
Akan tetapi pada dasarnya kita tidak dapat memutuskan perbuatan tersebut sebagai suatu keburukan. Namun, yang dikhawatirkan adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang, ketika berbuat mengumbar ibadahnya dengan tujuan agar membuat kagum dan mendapat pujian dari orang lain. Seperti contoh, pada awalnya kita ikhlas melaksanakan ibadah akan tetapi setelah dipublikasikan atau diupdate status mendapat banyak like dan komen sehingga membuat kita besar kepala. Akan tetapi sebaliknya, ketika update status tidak mendapat respon yang baik malah mendapat hinaan, kita menjadi jengkel dan marah. Pada posisi itulah terkadang niat kita gampang digerogoti dengan sifat riya’.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada para umatnya agar senantiasa menebar kebaikan meski itu hanya satu ayat atau satu kalimat, Rasulullah SAW bersabda artinya: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan dalam Islam, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala mereka.” (HR Muslim)
Pada hakikatnya media sosial memiliki sisi negatif dan positifnya masing-masing. Namun bagaimana cara memanfaatkan media sosial kembali lagi kepada para penggunanya. Terlepas dari bagaimana hukum seseorang memamerkan ibadahnya di dalam dunia sosial, tidaklah bisa kita simpulkan. Hal ini harus ditanyakan kembali pada masing-masing individu penggunanya.
Namun, ketika seseorang mempublikasikan ibadah lewat media sosial agar menjadi motivasi bagi orang lain, itu merupakan hal terpuji, dan hal ini harus sesuai dengan koridor yang disyariatkan. Karena perbedaan antara “memotivasi orang lain” dengan “ingin mendapat pujian” sangatlah tipis. Meskipun pada akhirnya mendapat sanjungan dari orang lain, di hatinya sangatlah mungkin terselip ingin dilihat atau didengar oleh orang lain. Dan dia akan mendapatkan kebaikan dari orang yang telah termotivasi untuk melakukan kebaikan.
Sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi “Segala sesuai tergantung maqasid (tujuan)nya” berarti seluruh yang dilakukan oleh manusia bergantung pada niat dan maksudnya, dan tempatnya niat ialah dalam hati, akan tetapi apakah kita dapat mengetahui niat yang terbesit di dalam hati manusia? Waallhua’lam Bi As-Sawab.
*Penulis adalah Maha Santri Putra Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan juga Mahasiswa Semester 3 Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KHAS Jember.