Oleh:
M. Noor Harisudin
Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember dan Guru Besar IAIN Jember
Kala pandemi covid-19, umat Islam di Indonesia dianjurkan untuk tidak melakukan tarawih di masjid. Demikian ini untuk memutus persebaran virus covid-19 yang semakin mengganas. Diprediksi, virus ini akan menyebar puncak pada bulan Mei 2020, tepat dimana Bulan Ramadlan tiba. Wakil Presiden RI, KH. Maruf Amin meminta masyarakat untuk melakukan sholat tarawih, tadarus dan sholat berjamaah di rumah. Bahkan, tarawih di daerah yang zona merah, lanjut Ketua Umum MUI non-aktif ini, tidak boleh dilakukan di masjid secara berjamaah. (Republika, 17/4/2020).
Sebagian kalangan memandang bahwa instruksi pemerintah dan sejumlah ormas untuk melaksanakan tarawih di rumah merupakan upaya menjauhkan umat dari masjid. Dalam konteks ini, pemerintah dan ormas dipandang hanya akan menjauhkan umat dari masjid saja. Karena itu, sebagian takmir masjid memilih untuk menolak instruksi pemerintah. Bahkan, sebagian ‘bandel’ dengan mengatakan bahwa mati hidup sudah merupakan ketentuan dan takdir Allah Swt.
Lebih dari itu, sebagian kalangan ini justru memandang instruksi Menteri Agama RI dan Ormas merupakan bentuk ketidakpatuhan pada Allah Swt. Dalam logika mereka, ketaatan hanya berlaku bagi orang yang melakukan sholat tarawih di masjid dalam keadaan apapun juga, meski nyawa mengancam manusia. Pandangan ‘pendek’ sebagian kalangan ini dapat dimaklumi karena mereka memandang keberlakukan keabadiaan hukum syariat Allah Swt dalam tanpa kecuali; dalam keadaaan apapun dan tempat apapun juga. Padahal, dalam hukum Islam fiqh berlaku kaidah al-hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa adaman. Hukum itu bergantung pada ada tidaknya illat hukum.
Dalam hemat penulis, dalam keadaan darurat covid-19, perintah melaksanakan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah agama. Ada beberapa argumentasi mengapa melakukan sholat tarawih di rumah dalam keadaan ini disebut perintah agama sebagaimana berikut:
Pertama, hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunah muakad yang sunah hukumnya dilakukan secara berjamaah. Karena itu, kita melihat di Indonesia pada umumnya, shalat tarawih dilakukan di masjid setelah melakukan sholat Isya. Sholat tarawih jelas berbeda dengan melakukan sholat Jumat yang hukumnya wajib.
Kedua, melakukan shalat tarawih di rumah merupakan rukhsah (dispensasi) karena udzur syari berupa virus pandemi yang persebarannya melalui manusia. Dalam terma Ushul Fiqh, dikenal dua keadaan hukum: keadaan normal dimana berlaku hukum azimah dan keadaan darurat yang berlaku hukum rukhsah. Jika hukum azimah disebut juga dengan hukum asal, maka hukum keringanan disebut dengan hukum rukhsah. Hukum asal memakan bangkai adalah haram, namun dalam keadaan darurat misalnya tidak ada makanan lain dan kalau tidak memakan seseorang akan mati, hukum memakan bangkai adalah halal. Haramnya memakan bangkai dalam situasi normal adalah azimah, sementara, halalnya makan bangkai ketika keadaan darurat adalah hukum rukhsah.
Ketiga, dalam al-Quran dikatakan: wala tulqu biadiikum ilt tahlukati. (al-Baqarah: 195). Janganlah kau jatuhkan dirimu ke dalam kerusakan. Dalam kondisi pandemi dimana jumlah jamaah di masjid sulit dibatasi, maka menghadiri jamaah masjid bisa menuju pada tahlukah. Dalam gramatikal Arab, tahlukah berarti kerusakan atau kebinasaan. Seorang muslim diwajibkan untuk menjauhkan diri dari kerusakan dan kebinasaan.
Keempat, hadits Nabi la dlarara wala dlirara. (HR Imam Ahmad dan at-Tahbrani). Tidak boleh ada madlarat pada diri dan madlarat pada orang lain. Prinsip tidak tertular dan tidak menulari pada orang lain saat covid-19 selaras dengan hadits la dlarara wala dlirara, meskipun hanya berupa dugaan kuat. Hadits ini lebih relevan lagi dengan keadaan beberapa kota yang sudah dinyatakan zona merah dan pemerintah dengan keras melarang perkumpulan yang diduga menjadi media persebaran virus Covid-19.
Kelima, dalam kaidah Fiqh dikatakan: darul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih. Menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada menggapai kemaslahatan. Seperti yang telah disebut, berkumpulnya banyak orang di masjid dalam situasi pandemi diduga menjadi mafsadah (kerusakan). Dalam konteks ini, memperhatikan menghindar mafsadah itu lebih diutamakan daripada menggapai maslahah dengan melakukan tarawih di masjid.
Keenam, memelihara jiwa, dalam pandangan ulama, lebih diutamakan daripada memelihara agama. Menghindari sholat tarawih berjamaah di masjid adalah bagian daripada memelihara jiwa, sementara melaksanakan tarawih adalah bentuk kemaslahatan yang mestinya dinomorduakan karena harus dengan mengutamakan jiwa atau nyawa manusia. Ini selaras dengan prinsip dalam ilmu hukum. “Salus Populi Suprema lex esto.” Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Ketujuh, taat pada ulil amri sejatinya juga taat pada Tuhan, selama tidak memerintahkan maksiat. Perintah Ulil Amri dalam hal ini pemerintah–untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, social distance, memakai masker, cuci tangan adalah perintah yang mengandung kemaslahatan yang harus ditaati oleh rakyatnya.
Dalam konteks taat pada Ulil Amri ini, Syeikh Nawawi Banten, ulama besar Nusantara yang tinggal di Mekah abad 19, mengatakan: Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sudah wajib, maka hukumnya menjadi wajib muakad. Jika pemerintah mewajibkan sesuatu yang sunah maka hukumnya menjadi wajib. Jika pemerintah mewajibkan yang mubah jika mengandung kemaslahatan umum seperti meninggalkan merokok, maka hukumnya menjadi wajib juga. (Nihayatuz Zein: I, 112 ).
Walhasil, dalam keadaan darurat pandemic covis-19, perintah untuk melakukan sholat tarawih di rumah adalah juga perintah Tuhan. Perintah sholat tarawih di rumah, karena itu, juga merupakan ketaatan dan kepatuhan kita pada Allah Swt.
Wallahualam.**