
Jember – Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Februari 2025 menyepakati Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi usul inisiatif DPR. Sejumlah akademisi dan praktisi hukum banyak berasumsi bahwa harus ada keterlibatan masyarakat untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan masyarakat dan menjamin Hak Asasi Manusia (HAM).
Pandangan sejumlah akademisi dan praktisi mengenai revisi RUU KUHAP ini disampaikan dalam Seminar Nasional ‘Kesetaraan Peran dan Kewenangan Dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)’ pada Kamis (20/2/2025). Acara berlangsung di Aula Perpustakaan UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember pada pukul 09.00 – 12.00 WIB.
Guru Besar UIN KHAS Jember, Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H. M.Fil.I, CLA., CWC. menyatakan bahwa ada terdapat beberapa pokok pembahasan yang menjadi sorotan masyarakat sipil terhadap RUU KUHAP ini.
“Kami menilai KUHAP yang sudah diberlakukan sejak 1981 ini harusnya diselesaikan tanggal 1 Januari hingga 20 Maret 2025. Terkesan terburu-buru sehingga berpotensi menjadi problematika di kemudian hari. Kemudian untuk menjaga transparansi, seharusnya perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat sehingga kami benar-benar bisa menilai apakah revisi RUU tersebut sudah sesuai atau perlu adanya penyempurnaan ulang,” ucapnya yang juga Ketua PP APHTN .
Prof Haris juga menyebutkan beberapa kritik terhadap beberapa keputusan dalam KUHAP, diantaranya diferensiasi fungsional Aparat Penegak hukum (APH).
“Di sini APH ada diferensiasi fungsional, tapi yang diusulkan itu ada posisinya masing-masing. Ini diduga ada ketimpangan yang begitu signifikan, salah satunya ada APH yang fungsinya lebih dominan, seperti Jaksa,” tutur Prof Haris yang juga Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negera.
“Dalam RUU ini juga dihilangkan pasal penyelidikan, ini pertanda tidak ada upaya untuk menjaga HAM. Mekanisme penyelidikan ini diharapkan ada agar lebih efektif dari praperadilan,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum, menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam RUU KUHAP merupakan hal krusial.
“Dalam sejarah berdirinya KUHAP pada tahun 1981 sebagai karya agung yang dipuji oleh bangsa Indonesia. Sehingga wajar jika setiap perubahannya masyarakat begitu antusias, karena dinamika politik yang terjadi di Indonesia,” ujarnya.

Prof Arief menyebutkan gagasannya bahwa adanya digitalisasi dalam sistem peradilan pidana (SPP).
“Jangan sampai ada tumpang tindih dan terlalu lama. Saat ini kita sudah di era teknologi, maka mari gunakan itu untuk memperkuat sistem peradilan terpadu agar masyarakat juga bisa mengontrol dan masalah bisa selesai dengan cepat dan mudah diakses”, tambah Prof Arief.
Di sisi lain, tokoh praktisi yang turut menjadi narasumber, Zaenal Abidin, S.H., M.H., turut menyatakan pandangannya. Menurut Mas Aby panggilannya, terdapat beberapa pasal yang menjadi sorotan masyarakat, salah satunya adalah tidak dimuatnya restorative justice.
“Seharusnya perlu ada kewenangan Polri sebagaimana penegak hukum. Poin lain yang saya anggap penting adalah advokat tidak hanya bertugas untuk melihat dan mendengar pemeriksaan, tapi juga dimintai keterangan. Ada beberapa pemeriksaan kepada beberapa orang yang tidak terlalu bisa menyampaikan apa yang dimaksud. Nah ini seharusnya menjadi ranah advokat sebagai perwakilan dari terdakwa,” ujarnya yang juga direktur LKBHI UIN KHAS Jember.
“Saya menyambut baik adanya perubahan RUU KUHAP, selama perubahan tersebut benar-benar dilakukan secara matang, adanya dialog dari aparat hukum terkait. Sebab dinamika politik selalu ada dan itu sebuah keniscayaan,” jelasnya.
Ketua Panitia, M. Irwan Zamroni Ali, S.H., M.H., CWC. menjelaskan bahwa, kegiatan Seminar Nasional tersebut digelar oleh Pusat Kajian Keislaman dan Bantuan Hukum (PK2BH) YPI Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember bekerjasama dengan LKBHI UIN KHAS Jember dan PC Fatayat NU Jember.
“Terima kasih kepada para peserta yang sudah hadir, saya berharap kegiatan ini menambah wawasan kita semua serta menjadi usulan kepada pejabat yang berwenang,” jelas Irwan.
Seminar berlangsung secara interaktif dengan diikuti oleh seribu lebih peserta secara online maupun offline, mulai dari para akademisi, praktisi, politisi, hingga mahasiswa dan mahasantri.
Reporter : Siti Junita, S.Pd., M.Pd.
Editor : Wildan Rofikil Anwar, S.H., M.H