Oleh: M. Noor Harisudin
Ada sesuatu yang salah-paham disebarluaskan dalam masyarakat. Pandangan ini berkembang luas seolah menjadi kebenaran yang tidak dapat dibantah. Bahwa poligami adalah sunnah nabi. Atau juga poligami itu Syari’at Islam (!). Dan sunah nabi atau Syari’at Islam ini –jika dilakukan akan mendapat banyak pahala dari Allah Swt, bahkan pelakunya akan mendapat surga. Sebaliknya, bagi perempuan yang menolak poligami, akan memperoleh neraka. Naudzubillah min dzalika.
Saya tidak tahu: bagaimana asal mulanya ini. Tapi, saya mencoba untuk melihat ini dalam kacamata fiqh-ushul fiqh. Dalam ilmu Ushul Fiqh, dikenal alur istinbat al-ahkam as-syar’iyyah (penggalian hukum syar’i) untuk memastikan benar tidaknya penalaran yang mengatakan bahwa poligami ini adalah sunah nabi atau syari’at Islam.
Pertama, kita bahas terlebih dahulu apa itu sunah Nabi. Dalam istilah Ushul Fiqh, sunah adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan atau penetapannya (taqrir). Dalam pengertian ini, sunah meliputi banyak hal dalam kehidupan, baik berupa perbuatan yang dilarang maupun yang diperintahkan. Dengan demikian, pada saat nabi Saw., sunah Nabi adalah imtitsaalu awaamirillah wajtinaaba nawaahiihi (melakukan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya).
Adalah benar mengatakan poligami sebagai sunah Nabi dalam definisi di atas karena poligami memang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw. Hanya saja, perlu diklarifikasi: apakah sunah Nabi dalam pengertian yang umum ini merupakan perintah ataukah larangan Allah Swt.? Dan perlu diingat, bahwa di tengah-tengah antara perintah dan larangan itu, ada perbuatan yang dihukumi boleh (ibahah).
Klarifikasi yang sama juga bisa kita ajukan bagi orang yang mengatakan bahwa poligami adalah Syari’at Islam. Pertanyaan yang bersifat klarifikatif adalah: syari’at Islam yang mana? Syari’at Islam yang diperintahkan ? Ataukah syari’at Islam yang dilarang ? Atau juga syari’at yang diperbolehkan ? Term syari’at sendiri bermakna umum yaitu menyangkut dimensi aqidah, ibadah-muamalah dan akhlak.
Dalam hemat saya, yang paling tepat adalah memotret poligami dalam pandangan hukum Islam yang lima, yaitu: hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Ketika kita menyebut sunah, maka yang dimaksud adalah sebuah perintah yang jika dilakukan kita akan dapat pahala, dan jika ditinggalkan kita tidak mendapatkan dosa. Dalam definisi ini, hukum dasar poligami jelas bukan sunah (mandub).
Kedua, secara fiqh, hukum poligami adalah boleh (mubah). Fiqh menyebutnya yajuzu (boleh). Kesimpulan mubah ini diambil dari dalil-dalil yang ada. Misalnya Nabi Saw. pernah mengatakan pada Ghailan ad-Dimasyqi untuk mencerai 6 orang istrinya dari 10 orang istri sehingga praktis ia hanya memiliki 4 orang istri saja. Al-Qur’an sendiri menyebut poligami sebagi perintah yang menuju makna kebolehan (ibahah) (QS. An-Nisa’: 3). Nabi sendiri menikah istri 9 orang yang dalam konteks fiqh disebut dengan khususiyah Nabi Saw. Artinya, ini merupakan kekhususan hukum yang hanya berlaku pada Nabi Muhammad Saw.
Walhasil, berdasarkan ini, maka kita tidak bisa menyimpulkan bahwa poligami adalah sunah Nabi atau syari’at Islam. Kita juga tidak bisa menyimpulkan bahwa orang yang berpoligami akan mendapat pahala dan perempuan yang menolaknya akan mendapat neraka. Yang benar adalah orang yang melakukan poligami tidak diberi pahala ataupun dosa sama dengan hukum mubah bagi orang yang makan, minum, berjalan atau perbuatan mubah yang lain.
Wallahu’alam. **
Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember
Ketua Yayasan Puan Amal Hayati PP NURIS Jember
Katib Syuriyah PCNU Jember
Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Jember