Oleh: M. Noor Harisudin
Salah satu hal menarik di Belanda adalah banyaknya penjara yang terpaksa ditutup. Tahun 2009 misalnya, Belanda menutup delapan penjara. Demikian juga, tahun 2014 Belanda kembali menutup penjara. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung; 19 penjara. Alasan penutupan karena menurunnya kejahatan di Belanda.
Menurut laporan DutchNews.nl pada 1 Maret 2022, tingkat pencurian dan perampokan di Belanda menurun drastis dalam sepuluh tahun terakhir. Misalnya perampokan yang turun 71 %, perampokan rumah turun 74 % dan pencopetan turun 85 persen.
Menurunnya kejahatan berdampak pada minimnya jumlah tahanan. Jika dihitung mulai tahun 2005 hingga tahun 2022, jumlah tahanan di Belanda menurun drastis dari 50.650 menjadi hanya 30.380. Tentu saja, menurunnya angka kejahatan ini mengakibatkan penjara di Belanda banyak yang ditutup, bahkan sebagian disulap menjadi sekolah, pusat pengungsi, museum atau bahkan kantor.
Sekedar contoh, British School of Amsterdam yang menampung banyak permintaan pendidikan internasional hingga tahun 2021 menata ulang tempat yang sebelumnya merupakan penjara menjadi teater sekolah.
Demikian juga Penjara Nasional Veenhuizen di Propinsi Drenthe Belanda telah beralih fungsi sebagai museum sebagai upaya pemerintah Belanda membuka diskusi tentang kejahatan dan hukum serta ragam sejarah yang mengerikan yang mengitarinya. Sekarang namanya berubah menjadi Museum Penjara Nasional Veenhuizen.
Minimnya jumlah kejahatan dan tahanan di Belanda berkorelasi dengan jaminan sosial yang diberikan oleh negara pada rakyatnya.
Banyak penjara tutup. Karena sistem sosial sudah bagus. Jaminan sosial juga lancar. Kesenjangan orang kaya miskin tidak ada, kata dokter Ikhwan, putra Mahfud MD Habib pada saya. Ikhwan adalah mahasiswa S3 kedokteran di Amsterdam.
Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa pajak tinggi pada orang kaya membantu negara meratakan jaminan sosial pada seluruh warganya. Dengan cara ini, nyaris tidak ada orang yang miskin dan kekurangan karena semua telah difasilitasi negara.
Dengan kata lain, implementasi keadilan sosial telah menjadikan jumlah kejahatan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, kejahatan dilakukan oleh sebagian kecil imigran dari luar Belanda. Karena mereka sudah sejahtera dan makmur semua, maka tidak ada kejahatan, tukas dokter Ikhwan kembali pada saya.
Pada sisi lain, kita perlu mendalami aspek humanisme soal penjara di Belanda. Pemerintah Belanda memang jarang atau tepatnya meminimalisir memasukkan orang ke dalam penjara.
Kiai Nur Ahmad, mahasiswa Ph.D Leiden University, kembali bercerita tentang seorang pencuri handphone temannya. Temannya lapor pada polisi Belanda. Tapi, polisi Belanda mengatakan untuk menunggu orang yang mencuri sadar dan mengembalikannya beberapa bulan lagi. Jadi, diminta bersabar, kata Kiai Nur Ahmad dalam diskusi sahur pada bulan Ramadlan 1445 H ini.
Bagaimana dengan hak orang yang kehilangan? Bukankah Hp nya juga hal yang penting bagi dia? Bagaimana jika ternyata tidak dikembalikannya.
Ketika teman yang kehilangan kembali ke kantor polisi menanyakan Hp-nya, maka Polisi kembali menghimbaunya untuk bersabar. Karena, lanjut polisi, jika dia dipaksa untuk mengembalikan, maka besar kemungkinan dia akan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.
Walhasil, hingga artikel ini Hp masih belum kembali. Entah, sampai kapan. Namun, itulah model penanganan kejahatan di Belanda yang superhumanis.
Tidak hanya ketika penanganan kejahatan, namun ketika ada dalam penjara, Belanda juga memperlakukan narapidana secara humanis. Lihat misalnya bentuk penjara yang luas dan tidak sempit, seperti penjara-penjara di Indonesia.
Penjara Belanda ini bahkan memberikan layanan dua jam setiap enam minggu agar para tahanan bisa melepas rindu dengan keluarga atau pasangannya di kamar khusus yang telah disediakan. Luar biasa bukan.
Selain tentu saja, penjara bekerja sama dengan instansi lain memberikan ketrampilan agar narapidana bisa kembali bekerja saat bermasyarakat. Berbagai ketrampilan diajarkan dan tentu saja agar mereka tidak asing lagi di tenga-tengah masyarakat Belanda. Tegasnya, mereka dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat.
Penjara-penjara di Belanda, oleh karenanya, menyiapkan program reintegrasi para narapidana agar bisa diterima kembali dengan baik saat kembali dan selanjutnya narapidana diharapkan dapat berguna bagi dirinya sendiri serta masyarakat.
Gambaran ini semua menujukkan sikap humanisnya pemerintah Belanda pada para nara pidana baik sebelum, pada saat dan paska penjara di negeri kincir angin tersebut.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang terus overload kapasitas penjaranya? Nampaknya, Indonesia masih perlu banyak belajar lagi ke Belanda. *** (Bersambung)*
M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Ponpes Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Talif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.